HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019

Vol 25.1 Februari 2021: 93-102

Gerakan Sosial (Wuat Wa’i) pada Masyarakat Desa Gurung Liwut

Rikardus Haman, I Ketut Darmana, Aliffiati

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Correspondence e-mail: [email protected] , [email protected] , [email protected]

Info Artikel


Masuk: 13 September 2020 Revisi: 30 November 2020 Diterima: 5 Desember 2020

Keywords: Tradition, Wuat Wa'i, Society.

Corresponding Author:

Rikardus Haman

emial: [email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.2

021.v25.i01.p012


Kata kunci: Tradisi, Wuat Wa’i, Masyarakat.


Abstract

One of the traditions that is still preserved today in the village of Gurng Liwut is the wuat wa'i tradition. The procession of the Wuat Wa'i tradition emphasizes the participation of the local community. The preservation of the tradition of wuat wa'i is based on community behavior which upholds the value of solidarity and integrity towards an innovative society in advancing and prospering social life. The formulation of the problems in this study include (1). How is the function of wa'i in the community of Gurung Liwut Village, Borong District, East Manggarai Regency? (2). What is the existence of the Wuat Wa'i tradition in the people of Gurung Liwut Village? This study aims to determine the function of the Wuat Wa'i tradition and explain the meaning of the Wuat Wa'i tradition for the people of Gurung Liwut Village. This research uses functional theory from Bronislaw Malinowski and Giving from Marcel Mauss. The method used is a qualitative research method. Data collection techniques include observation, interviews, and literature study. The analysis used is descriptive qualitative. The results of this study reveal that in the tradition of wuat wa'i there is a relationship between moral values, economic improvement, and improvement in formal education. The implementation of the Wuat Wa'i tradition is a social movement that raises funds to finance formal education and increase capital for someone who goes abroad, both at home and abroad. There are various processes in carrying out the tradition of wuat wa'i, namely the deliberation of the event organizers, determining the good day, the completeness of the event material. The conclusion of this research is that the tradition of wuat wa'i is a clear proof of the motivation of the local community for the importance of learning through formal education and desires to improve the community's economy through experience gained in the land of thechain.

Abstrak

Salah satu tradisi yang masih dilestarikan sampai sekarang pada masyarakat Desa Gurng Liwut adalah tradisi wuat wa’i. Prosesi tradisi wuat wa’i lebih mengedepankan peran serta masyarakat setempat. Pelestarian tradisi wuat wa’i didasarkan pada perilaku masyarakat yang menjujung tinggi nilai solidaritas serta integritas untuk menuju masyarakat yang inovatif dalam memajukan dan mensejahterakan hidup bermasyarakat. Adapun

rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi (1). Bagaimana fungsi wuat wa’i pada masyarakar Desa Gurung Liwut, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur? (2). Bagaimana eksistensi tradisi wuat wa’i pada masyarakat Desa Gurung Liwut? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi tradisi wuat wa’i serta menjelasakan makna tradisi wuat wa’i bagi masyarakat Desa Gurung Liwut. Penelitian ini menggunakan teori fungsional dari Bronislaw Malinowski dan Pemberian dari Marcel Mauss. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis yang digunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam tradisi wuat wa’i ada hubungan antara nilai moral, peningkatan ekonomi, serta peningkatan pendidikan formal. Pelaksanaan tradisi wuat wa’i merupakan gerakan sosial masyarakat mengumpul dana guna membiayai pendidikan formal dan menambah modal bagi seorang yang pergi merantau keluar daerah, baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Ada berbagai proses dalam pelaksanaan tradisi wuat wa’i yaitu musyawarah keluaraga penyelenggara acara, menentukan hari baik, kelengkapan material acara. Keseimpulan dari penelitian ini adalah bahwa tradisi wuat wa’i merupakan sebuah bukti nyata motivasi masyarakat setempat akan pentingnya belajar melalui pendidikan formal serta berkeinginan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat melalui pengalaman yang didapat di tanah perantaun.

PENDAHULUAN

Penanggulangan kemiskinan adalah sebuah kebijakan strategis menuju kehidupan yang sejahtera.(Sumarno, 2004:102). Berbagai macam program untuk menanggulangi kemiskinan atau sering disebut Program Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan (Tamin, 2011:36).     Program     Peningkatan

Penanggulangan Kemiskinan (PPK) atau biasa di kenal program inpres desa (berdasarkan inpres nomor 5 tahun 1993) adalah program khusus dengan misi utama menjadikannya sebagai:   (a)

gerakan masyarakat, (b) strategi peningkatan pemerataan pembangunan dan (c) upaya mengerakan roda ekonomi rakyat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat miskin melalui pemberdayaan.(Pramudiyasmono,2012:). Upaya PPK dengan terbentuknya berbagai kegiatan, seperti kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Gurung

Liwut dan lembaga PPK itu sendiri seperti proyek Penigkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang ditangani oleh Departemen pertanian bersama Bank Rakyat Indonesia. Program Bina Desa Hutan dan Perhutanan Sosial yang ditangani oleh Depertemen Kehutanan bersama pemegangan konsesi HPH, Program Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) yang ditangani oleh Depertemen Transmigrasi, dan lain-lain, perbaikan sosial masyarakat yang jadi target proyek atau melalui berbagai program yang dilakauakan tujuan dapat mengatasi masalah kemiskinan masyarakat akan tetapi, menyadari betapa beratnya upaya penghapusan kemiskinan, maka yang dibutuhkan adalah terpadunya kegiatan dan pelaksanaan antar program PPK sehingga sinerginya dapat ditingkatkan untuk mengatasi kemiskinan (Sajogyo, 1999:2-3).

Seperti halnya yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang umunya diketahui menyimpan banyak kendala dan keterbatasan prasarana dasar. Bahkan bermula dari keterbatasan itu pula muncul kepermukaan berbagai problem seperti askesbilitas pendapatan masyarakat menuju pendapatan yang bermodal sehingga dapat di tingkatkan atau berusaha untuk bertumbuh dan berkembang. Penanggulangan kemiskinan jelas menjadi masalah yang krusial di kawasan timur Indonesia. Keikutsertaan dari berbagai kelompok atau lembaga dengan tujuan untuk memberi dukungan Seperti program Operasi Nusa Makmur (OPM), program perbaikan kelembagaan desa yang dinamakan program panca warsa benah desa (PWBD), Gerakan Membangun Desa (GERBADES), dan program Gerakan Meningkat Pendapatan Asli Daerah (GEMPAR), (Sanjogyo. 1999:6465).

Semua itu merupakan aspek pemberian bantuan modal dan teknologi inovatif dengan harapan utama agar masyarakat desa terutama yang miskin dapat mengakses ke pasar sehingga ada jaminan yang pasti dan keberlanjutan. Masyarakat desa sebaliknya sebelum mengenal kajian-kajian ilmiah mengenai masalah kemiskinan, mereka sudah memiliki tradisi sebagai respons terhadap problem kemiskinan seperti bentuk pemberian. Kegiatan memberi di berbagai bentuknya tidak terbatas dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga pekerjaan atau berbagai upaya untuk meringankan beban orang lain, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejateraan hidup bermasyarakat seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur.

Tradisi Wuat wa’i secara sosial merupakan salah satu cara dalam upaya pengentasan kemiskinan (social service) yang tujuan akhirnya adalah tercapai

kesejahteraan di masyarakat. Tradisi wuat wa’i merupakan salah satu modal sosial yang diwariskan secara turun temurun dan mengakar di masyarakat Manggarai hingga sekarang khususnya pada masyarakat desa Gurung Liwut. Tradisi wuat wa’i terimplementasi melalui kegiatan gotong-royong serta pemberian bantuan dana dengan cara pengumpulan dana dari warga masyarakat baik yang memiliki hubungan kekerabatan maupun tidak dan dana yang terkumpul diberikan kepada mereka yang memerlukannya.

Budaya berderma merupakan implementasi dari nilai gotong-royong (Hidayati, 2017:222). Tradisi wuat wa’i sebagai salah satu strategi masyarakat dalam upaya mengatasi masalah keterbatasan yang mereka hadapi. Berbagi dana diantara mereka secara timbal balik sebagai bentuk bantuan modal kepada warga masyarakat yang memerlukan secara bergantian. Tradisi wuat wa’i tumbuh dan berkembang di masyarakat seiring perkembangan jaman dan kebutuhan dari masyarakat pendukungnya. Tradisi wuat wa’i bagian dari budaya masyarakat yang juga mewarnai jati diri masyarakat Manggarai pada umumnya dan masyarakat Gurung Liwut khususnya.

Berdasarkan masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana fungsi tradisi wuat wa’i pada masyarakat Desa Gurung Liwut? Bagaimana eksistensi tradisi wuat wa’i dalam masyarakat Desa Gurung Liwut?

METODE DAN TEORI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif melihat data sebagai peristiwa atau sumber data yang mutlak berdasaraka peristiwa yang terjadi di masyarakat melalui tutur kata dari informan

(Koentjaraningrat, 2014:99). Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dimana hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif yang menjelaskan secara terperinci mengenai topik yang diangkat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data skunder. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) teknik penentuan informan; 2) teknik observasi; 3) teknik wawancara; 4) studi kepustakaan. Selain dari pada itu dalam penelitian ini terdapat tiga tahapan yang harus dikerjakan dalam menganalisis data penelitian kualitatif, yaitu: (1) reduksi data (data reduction); (2) penyajian data (data yaitu (1) reduksi data (data reduction); (2) penyajian data (data display); (3) penarikan serta penguji kesimpulan (drawing and verifying conclusion

Ada beberapa peneliti terdahulu yang mengkaji tentang tradisi masyarakat di pedesaan. Kajian-kajian tersebut antara lain adalah jurnal yang ditulis oleh Puspitasari (2015) tentang Alternatif Pembiayaan Pendidikan Melalui Tradisi Tu’u dan buku yang ditulis oleh Mauss (1992) berjudul “Pemberian: Kewajiban Memberi, Menerima, dan Membayar Kembali”. Sedangkan kajian teoritisnya adalah teori fungsional yang dicetuskan oleh Malinowski.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan tradisi wuat wa’i oleh masyrakat Desa Gurung Liwut merupakan suatu gerakan sosial guna untuk membiayai pendidikan dan menambah modal untuk seorang yang pergi merantau di luar daerah. Pada umumnya untuk menyatakan kebersamaan dan kolektivitasnya masyarakat Manggarai umumnya, sering memakai baitan-baitan bahasa syair dan bahasa simbol. Bersikap harmonis terhadap alam juga berperngaruh dalam relasi dengan sesama. Sesama manusia

(hae tau, hae ata) adalah teman seperjalanan untuk mencapai kesejateraan hidup bersama. Seseorang selalu melihat dirinya dalam hubungan kebersamaan dengan orang lain (Deki, 2011:48).

Fungsi Sosial Budaya

Dasar kegiatan adalah untuk memberi solusi yang tepat terhadap permasalahan yang tengah dialami oleh masyarakat sehingga hidup rukun dan damai(Sumarno, 2014:102). Dalam relasi sesama manusia tampak dalam ungkapan “muku ca pu’u neka woleng curup” (pisang sepohon jangan lain bicara). Masyarakat Desa Gurung Liwut merasa diri salah satu pohon pisang (muku) dan serumpun (ca pu’u), berkewajiban memelihara kebulatan suara atau kebulatan aspirasi dengan bersikap positif mendukung aspirasi kelompok dengan berusaha tidak berbeda pendapat (neka woleng curup) demi tercapainya tujuan hidup bersama. Perubahan sosial adalah perubahan yang terjai pada lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang dipengaruhi system sosial termasuk nilai,sikap, dan pola prilaku antar kelompok masyarakat (Sururi, 2017:25). Pada masyarakat Manggarai nilai kebersmaan yang dirumuskan dalam ungkapan “muku ca pu’u neka woleng curup agu teu ca ambo neka woleng lako”secara simbolis dihayati dalam bentuk pola perilaku yang selalu bersama tidak hanya dalam acara pengumpulan dana, dodo (kerja gotong-royong) dalam hal bertani sehingga tidak ada kepurukan atau kesengsaraan dalam hidup bersama atau selalu mengarahkan pada kesejahteraan hidup. Kolektivitas kebersamaan masyrakat Desa Gurung Liwut pada acara wuat wa’i terkenal dengan kekerabatannya dengan istilah ase kae (saudara) seperti: ase kae ca wa’u (saudara berdasarkan satu keturunan) atau ase kae para sili ulu le

(saudara karena sedarah),anak rona (saudara laki-laki), anak wina (saudara perempuan)ase kae wenggol agu ndorik (saudara dalam keluarga besar baik dari keturunan ayah mau pun dari keturuna ibu), ase kae pang agu ngaung (saudara dalam sekampung atau tetangga).

Meningkat Nilai Moral

Berbagai bentuk praktek sosial yang memotivasi masyarakat lokal untuk selalu mejaga kesolidaritasan dan kekopakan sehingga berbagai problem hidup dapat (Dasuki, 2007:14). Gerakan sosial mengumpul dana oleh masyarakat Desa Gurung Liwut yang dilakukan secara bersama dan dihadiri oleh seluruh masyarakat desa. Pada dasarnya kegiatan ini merupakan kegiatan penanaman modal oleh seseorang yang turut ambil bagian dalam acara dan dapat digunakan atau dirasakan ketika suatu saat nanti membuat acara yang serupa, karena kegiatan wuat wa’i pada pelaksanaannya bersifat timbal balik. Tradisi wuat wa’i tidak hanya semata-mata untuk mengumpulkan dana oleh masyarakat Desa Gurung Liwut tetapi juga pada implikasi tradisi wuat wa’i sangat menjunjung tinggi nilai moral, rasa kepedulian sesama sangat nampak pada acara wuat wa’i seperti mendorong seorang yang pergi merantau demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat juga sangat antusias dengan kesadaran akan pentingnya memperoleh pendidikan formal, maka kegiatan ini turut membantu dalam membiayai pendidikan formal.

Fungsi Ekonomi Wuat Wa’i

Pengembangan ekonomi lokal diartikan sebagai peningkatan peran – peran endogenous dalam kehidupan sosial ekonomi lokalitas dengan tetap melihat keterkaitan serta intergrasinya secara fungsional dan pasial (Agustina, 2005:425). Pengembangan ekonomi local dapat mensejaterahkan kehidupan

masyarakatnya (Muniah, 2016:80). Bagi masyarakat Manggarai, suksesnya seseorang ditanah rantau terlepas dari berhasilnya acara wuat wa’i. Sukses yang dimaksud ketika dana dukungan yang dikumpul mampu menghantar seorang yang pergi merantau dan seorang anak yang mengenyam pendidikan. Dana hasil pengumpulan wuat wa’i merupakan penanaman modal bagi seorang yang pergi merantau dengan harapan untuk berkembang dan sukses di rantauan. Sedangkan dalam dunia pendidikan merupakan penambahan modal bagi keluarga yang akan membiayai sekolah dengan cara mengelolah uang yang ada agar terus bertambah modal.

Fungsi Manifest Wuat Wa’i

Fungsi manifest (internal) kebudayaan adalah menyangkut manfatmanfat kebudayaan yang bersifat manifest atau disadari oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Selain tujuan mengumpul dana, tradisi wuat wa’i juga dapat memperat hubungan tali persudaraan antara keluarga dalam satu kampung juga dengan keluarga yang berada diluar wilayah yang merupakan bagian dari keluarga inti. Luar wilayah maksudnya keluarga inti yang menetap di luar desa tetapi masih dalam satu lingkup Kabupaten atau Provinsi yang sama. Seperti halnya saudara perempuan yang mengikuti suami yang yang berdomisili di luar Desa Gurung Liwut.

Fungsi Laten Wuat Wa’i

Fungsi laten (eksternal) kebudayaan adalah menyangkut manfaat-manfaat kebudayaan yang bersifat latent atau yang disadari oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Fungsi tersembunyi (laten) dalam tradisi wuat wa’i di Desa Gurung Liwut adalah sebagai ungkapan rasa kepedulian sesama lewat doa dan

ungkapan nasehat (support) yang disimbol tidak hanya dalam bentuk dana tetapi juga, benda-benda dan tenaga dengan tujuann terwujudnya suatu impian atau rencana. Seperti dalam istilah lokal ketika orang memberi dana selalu mengungkapkan“neka lelo angka’n” (jangan lihat angkanya). Jika dimaknai dari kalimat ini adalah ketulusan hati seseorang untuk membantu sesama sangat dengan hati yang iklas.

Ungkapan neka lelo angka (jangan dilihat angkanya), bukan berarti memberi dana dengan nilai kecil tetapi memberi dana dalam jumlah banyak. Ini secara tidak langsung dia mengatakan yang walaupun dana yang diberikan belum menutup kebutuhan semoga dengan ini bisa meringan sedikit beban biaya atau biaya yang diperlukan.

Wuat Wa’i Sebagai Tradisi

Munculnya wuat wa’i sebagai suatu gerakan sosial oleh masyarakat Manggarai hal ini terjadi dikarenakan merasa kesengsaraan dengan nasib miskin. Hidup hanya bergantung pada hasil alam seperti hasil ladang dan hasil sawah yang tidak menentu, pergi mencari pekerjaan di luar kota, adalah suatau cara agar terlepas dari kepahitan hidup. Tradisi wuat wa’i sebagai jembatan agar terwujudnya impian. Dengan adanya kegiatan wuat wa’i banyak masyarakat yang yang sukses ditanah rantauan hampir 30% atau setara 1.067 jiwa dan sebgaian masyarakat dapat menikmati pentingnya pendidikan formal, karena itu wuat wa’i sejak dulu hingga sekarang masih dilestarikan.

Di Desa Gurung Liwut sekitar tahun 1986 pada saat itu masyarakat pengalaman pertama pergi ke luar daerah baik untuk merantau maupun juga untuk menuntut ilmu saat itu muncul wuat wa’i pertama kali. Tradisi wuat wa’i diadakan tegi campe agu momang de ngasang ase

kae (minta bantuan dan dukungan dari keluarga besar. Acara wuat wa’i ini terus dilakukan setiap tahun yang walaupun orang yang pergi keluar daerah tidak dalam jumlah banyak.

Prosesi Wuat Wa’i

Di Desa Gurung Liwut prosesi acara wuat wa’i diadakan atas ada perencanaan (lonto leok) untuk merantau atau melajutkan pendidikan dari keluarga penyelenggara acara. Menunjukan gerakan keberanian dan perubahan untuk memiliki tujuan bersama yaitu menurun angka kemisikinan (Tisnawati, 2016:75). Seperti Mengadakan musyawarah keluarga yang di hadiri oleh dari ase kae (keluarga inti), anak rona (keluarga ibu), pangung ngaung (keluarga tetangga), anak wina (keluarga saudara perempuan) yang dipimpin oleh tua kilo (kepala keluarga) untuk mementukan hari baik acara, setelah itu memberi undangan kepada seluruh masyrakat untuk hadir baik orang tua maupun muda-mudi, ketika hari yang telah ditentukan melakukan acara ritual sembelih ayam putih (manuk bakok) mohon perlindungan Tuhan (Mori Kraeng) melalui memberi sesajian kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal (teing hang empo) sebagai perantara Tuhan dengan manusia hidup. Terakhir mengumpulkan danah, sekali gus acara nasehat para tua-tua kepada seorang anak yang pergi merantau.

Tradisi Wuat Wa’i Sebagai Pratkek Pendidikan

Strategi untuk meningkatkan etos kerja kelompok miskin adalah dengan meningkatkan pendidikan (Palikhah, 2016:23). Tradisi wuat wa’i dalam prosesnya mencerminkan kerukunan mayarakat Manggarai khususnya Desa Gurung Liwut. kerukunan itu adalah salah satu fungsi pendidikan. Jika disimpulkan pandangan Panjitan tentang fungsi pendidikan yaitu kerukunan dan

kerja sama secara tidak sadar sebenarnya telah membudaya dalam masyarakat Manggarai seperti pada praktek acara wuat wa’i, karena itu fungsi tradisi ini tidak hanya untuk membantu dalam pembiayaan pendidikan tetapi juga secara tidak sadar dengan adanya tradisi ini mengajarkan bukti nyata fungsi dari pendidika itu sendiri.

Makna Tradisi Wuat Wa’i

Permasalahan sosial masyarakat bukan sesuatau yang mustahil untuk diselesaikan (Hadi, 2006:178). Masalah kemiskinan dan keterbelangkangan pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan persepsi dan praktek budaya yang dominan di dalam masyarakat (Parihala & Rolland, 2019:51). Tradisi wuat wa’i adalah pratek budaya yang merupakan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri dan masyarakatnya. Pendidikan dan merantau langkah strategi dipandang sebagai upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana harus menjadi atau berada.

Oleh karena itu pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakekat manusia. Jagat pendidikan harus memuat adanya “pendidikan nilai” yakni suatu proses pembudayaan yang selalu berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan nilai merupakan suatu aktivitas yang secara khusus bertujuan untuk menananmkan nilai-nilai tertentu, seperti religius (pendidikan agama), nilai moral (pendidikan kewarganegaraan), dan nilai estetik (pendidikan seni budaya).

Wuat Wa’i Sebagai Wujud Solidaritas Sosial

Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dan

melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial (Al-amin, 2016:56). Gerakan sosial adalah aksi yang terorganisir dari kelompok sosial masyarakat tertentu dalam menghadapi adanya ketimpangan, menata dan mengarahkan prilaku anggota masyrakat memenuhi suatu tuuan tertentu (Naping, 2013:2). Gerakan sosial adalah usaha yang terorganisir oleh sekelompok manusia dalam mengupayakan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang didalamnya tidak hanya mencakup individu-individu melainkan sekelompok manusia yang bereaksi lewat kerumunan (Hotman, 1995. 33-35).

Kehidupan komunitas lokal banyak menawarkan cakupan terbesar Perilaku inovatif yang merupakan perilaku seseorang yang menerima tujuan sesuai nilai-nilai budaya yang diidamkan masyarakat (Marzuki, 2018:265). Gerakan sosial wuat wa’i yang terjadi dimasyarakat Desa Gurung Liwut adalah sesuatu bentuk pemberdayaan terhadap pendidikan. Karena pada praktek pelaksanaan ( Usman, 2011:46). wuat wa’i adalah kegiatan mengumpul dana oleh seluruh masyrakat desa dan juga keluarga yang berada diluar desa. Turut membantu mengumpulkan dana guna untuk meringankan beban biaya pendidikan dalam istilah lokal “tegi campe agu tompal momang” (mohon bantuan dana dan dukungan doa), merupakan suatu bentuk usaha yang terdorong oleh hasrat naluri untuk membantu sesama sebagai satu kesatuan masyarakat desa.

Meningkatkan Resiprositas Masyarakat Desa

Di Indonesia terdapat banyak kearifan lokal di bidang ekonomi yang telah diimplementasikan oleh masyarakat local (Hakim, 2014:4). Tradisi wuat wa’i telah memberi pengaruh terhadap ekonomi masyarakat, dalam arti

keberadaan tradisi wuat wa’i kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik. Berawal dari tradisi yang saling memberi atau menyumbang, mengumpulkan dana guna untuk membiayai seorang yang keluar daerah baik itu untuk merantau maupun untuk melanjutkan pendidikan. Keberadaan seorang diluar daerah atau merantau tujuan untuk menggali pengalaman baru kelak akan diterapkan di masyarakat. Pengimplementasi pengalaman baru di masyarakat pada Desa Gurung Liwut telah memberi pengaruh yang cukup baik bagi kehidupan mayrakat.

Pembangunan perdesaan yang memberi fokus pada upaya penanggulangan kemiskinan (Susantyo, 2007:18). Penggunaan teknologi dan pengetahuan pembudidaya alam kini semakin meningkat seperti sistem pengairan sawah, budaya menanam tanaman dan juga pemanfaatan alam serta memelihara perternakan dari berbagai jenis untuk mengurangi kemiskinan. Keterbatasan sudah semakin berkurang di kehidupan masyrakat dan taraf ekonomi semakin meningkat dari hasil penjualan ternak, hasil kebun dan sawah, kini membuat masyarakat Desa Gurung Liwut hidup dalam keberadaan walaupun belum maksimal.

Wuat Wa’i Sebagai Benteng Pertahanan Budaya

Sebagai sebuah istilah “indentitas” dan budaya. Identitas (indetity) memberi pengertian sebagai lambing sebagai diri sendiri. Dari perspetif antropologi identitas merupakan ciri khas dari perorang dan komunitas (Aliaras, 2009:56). Budaya adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kiehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2011:72). Dengan demikian indentitas budaya adalah dapat diartikan suatu ciri yang dimiliki oleh

masyrakat yang secara filosofis membedakan masyarakat tersebut dengan masyarakat lainnya.

Seperti halnya dengan tradisi wuat wa’i yang dimiliki oleh masyarakat Manggarai NTT Flores. Tradisi wuat wa’i yang merupakan gerakan sosial untuk mengumpul dana yang bertujuan untuk membiayai baik untuk seorang yang pergi keluar kota dengan tujuan merantau maupun untuk membiayai pendidikan. Kegiatan ini diadakan dari generasi kegenerasi hingga sekarang sehingga menjadi tradisi oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dan secara khusus oleh Desa Gurung Liwut. Tradisi wuat wa’i perilaku budaya yang diakui oleh kebudayaan lainnya sehingga dapat diterima dan menjadikan tradisi wuat wa’i sebagai suatu indentitas budaya Manggarai pada umumnya dan Desa Gurung Liwut pada khususnya. Keberadaan tradisi ini dapat terjaganya nilai-nilai kearifan lokal seperti: dodo (gotong-royong), campe hae tau (kerja sama), ase kae (tali persaudaraan).

SIMPULAN

Tradisi wuat wa’i di Desa Gurung Liwut adalah representasi nilai kebersamaan yang dirumuskan dalam ungkapan “mukuca pu’u neka woleng curup “dan” teu ca ambo neka woleng lako” secara simbolis dihayati dalam bentuk pola prilaku masyrakat Desa Gurung Liwut yang selalu menjunjung tinggi nilai kebersamaan (solidaritas). Orang manggarai dalam kebersamaan terkenal dengan istilah ase kae (persaudaraan). Konsep kebersamaan dalam falsafah muku ca pu’u neka woleng curup dan teu ca ambo neka woleng lako dengan padanan nai ca anggit tuka ca leleng, inti dari ungkapan tersebut adalah kesatuan atau kerbersamaan. Semangat kebersamaan di antara para warga Desa Gurung Liwut, misalnya pada saat pelaksanaan acara

waut wa’i yaitu pengumpulan dana, pengumpulan bahan juga melakukan upacara terkait dengan tradisi wuat wa’i yaitu teing hang empo (memberi sesajian kepada roh nenek moyang).

REFERENSI

Dasuki,. 2007. “Model Pengembangan Pelayanan Organisasi Organisasi Sosial         (OSL) Berbasis

Masyarakat”. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan     Kesejahteraan

Sosial Volume 12 No. 03:22

Deki, Kanisus teobaldus, 2011.Tradisi Lisan Orang Manggarai.Jakarta: Parrhesia Institude Jakarta.

Dagur,      Anthony      Bagul.1997.

Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah      Satu      Khasanah

Kebudayaan Nasional. Surabaya: Umbhara Press

Hadi, Aulia Edi Suharto, Ph.D. 2006. “Pekerjaan     Sosial     Dalam

Pembangunan       Kesejateraan

Sosial”. PT. Reflika Aditama Bandung: Jurnal Masyarakat Dan Budaya Volume 10 No. 1:183

Hidayati, Okta Nurul, IAIN Surakarta 2017. “Filantropi Dakwah Dan Kaum Minoritas Di Indonesia”. Surabaya:        Journal       of

Multidisciplinary Studies Vol. 1 No.2:230

Hotman M. Siahan. 1995 Makro Sosiologi.     Jakarta:     PT.Raja

Grafindo Persada

Hakim, Abdul. 2014. “Kearifan Lokal Dalam Ekonomi Islam”. Fakultas Syari’ah Dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya: Jurnal Akademika Vol. 8 No. 1: 81

Ina Helena, Agustina.  2005. “Studi

Kemampuan Masyarakat Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal Sebagai Upaya    Pengetasan

Kemiskinan Desa Tega Lurung,

Kecamaatan         Legonkulon,

Kabupaten Subang”. Fakultas

Teknik Universitas Bandung: Jurnal Penelitian Volume 21 No. 03: 429.

Muniah. 2016. “Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam     Rangka     Program

Pengetasan Kemiskinan Di Wilayah Karimunjawa”. Program pascasarjana Interdisipliner Univ. Brawijaya Malang: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian “Agrarika” Vol. 10 No. 1:83

Marzuki, Ahmad. 2002 “Strategi Adaptasi Minoritas Muslim Dengan Budaya Lokal Desa Suku Tengger, Kabupaten Pasuruan”. Jurnal Penelitian Volume 1: No. 3: 270.

Namping, Hamka. 2013. “Modal Sosial Sebagai Strategi Pengetasan Kemiskinan Secara Mandiri Pada Nelayan. Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Barat: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat vol. 12 No. 1:13

Pramudyasmono, Hajar G. 2012 “Perilaku Masyarakat Miskin Di Kota Bengkulu Dan Model Pengentasan Kemiskinan Berbasis Nilai Sosial-Budaya Lokal”. Jurusan Sosiologi Fisip UNIB: Jurnal Sosiologi Andalas vol.12 No. 1: 18

Palikhah, Nur. ”Konsep Kemiskinan Kultural”. Fakultas Dakwah Dan Komunikasi IAIN Antasari: Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 15 No. 30

Susantyo, Bandrum. Telaahan atas tulisan David C. Korten 2007. “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Di Pedesaan”. Jurnal Forum Penelitian Volume 12 No. 03: 21.

Safri Miradj, Sumarno. 2014. “Pemberdayaan       Masyarakat

Miskin, Melalui Proses Pendidikan Nonformal, Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Di Kabupaten

Halmahera Barat”. Universitas Negeri    Yogyakarta:     Jurnal

Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Vol. 1 No. 1: 12

Trisnawati, Ni Made. 2016. “Partisipasi Kelas     Menengah     Dalam

Pengetasaan Kemiskinan Perdesaan Di Kabupaten Gianyar”. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana Bali: Jurnal Penelitian Vol. 12 No. 2:79

Sururi, Ahmad. 2017. “Representasi Komunikasi Budaya   “Ngarak

Pengantin Buaya Putih” Dalam Perubahan Sosial Masyarakat Padarincang”. Banten:    Jurnal

penelitian profektif Komunikasi vol. 10 No. 02:33

Tamin, Imron Hadi. 2011. “Peran Filantropi Dalam Pengetasan Kemiskinan Dalam Komunitas Lokal”. Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Unud: Jurnal Sosiologi IslamVol. 1 No. 1:58

Usman, Jaelan. 2011. “Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintah Daerah Dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal”. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Univ. Muhammadiyah Makassar Vol.1 No. 1:50

Parihala, Yohanes, dan Rolland A. Samson. 2019. “Pendidikan yang Membebaskan       Masyarakat

Vaimite dari Kemiskinan”. Universitas Kristen Indonesia Maluku: Jurnal Ilmiah Teologi dan Studi Agama Volume 1 No.1:59