FENOMENA KREATIF DUA PERUPA BALI DALAM MENGHADAPI MODERNISASI Kajian Proses Cipta Ketut Budiana dan Made Wianta Cerminan Transformasi Kultural Masyarakat Bali
on
FENOMENA KREATIF DUA PERUPA BALI
DALAM MENGHADAPI MODERNISASI
Kajian Proses Cipta Ketut Budiana dan Made Wianta Cerminan Transformasi Kultural Masyarakat Bali
Ni Made Purnamasari Jurusan Antropologi
Abstrak
In the process of changes in socio-cultural Bali, the presence of modernity is an inevitable thing. Some claim to modernity as a reference, objectives and even the road to progress, both in the technical and practical ideas. There are also points out, the emergence of modernity often offend traditional values of this island, which standardized through a series of conservation efforts.
It also emerged in the works of Balinese art, which has been in contact with modernity since the entry of outside painting techniques of artists such as Rudolf Bonnet, Walter Spies, Arie Smith, and so on. With reference to the process of creation and creativity of two artists of Bali, Ketut Budiana and Made Wianta, this paper aims to clarify the idea of these Balinese artists in the face of the process of changing the culture of Bali.
Although both artists are trying to explore different visual art, the characteristics of tradition has remained present in their creativity. The trend of the creation of two artists, despite the attempt to achieve a universal modernity, but the views, thoughts and style of Balinese painting with full canvas, figurative iconic Bali, as well as the form of typical traditional way is also seen. It is suspected due to the influence of childhood each one very closely with the Balinese cultural memory, and prove that even though modernity tried to change many things in the present life, the basic characteristics of the tradition will not disappear, which actually can be developed into a form of awareness of the importance of maintaining the value locality for the preservation of cultural heritage of Bali.
Keywords:
Tradition, modernity, process of changes
-
1. Latar Belakang
Dalam kurun waktu terakhir, Pulau Bali telah dan tengah mengalami transisi dari tradisi ke modernitas. Berbagai wujud perubahan masih terjadi, tidak hanya meliputi sisi kultur yang bersifat materi, namun juga pola perilaku serta cara pandang masyarakatnya atas lingkungan, hubungan lintas bangsa, dan bahkan adat-istiadat. Pesatnya penerapan teknologi komunikasi, keterbukaan arus informasi, hingga industri pariwisata disinyalir sebagai faktor pendorong percepatan perubahan ini, dan tak terelakkan menyebabkan terjadinya modernisasi di segala bidang.
Modernitas Bali kini ditengarai berada dalam simpang tujuan, dan bahkan dinilai sebagai pemicu munculnya berbagai ketegangan sosial dan kultural.
Manuaba (2009) menyebutkan adanya pandangan orang Bali yang menyatakan bahwa modernitas lebih penting dibandingkan tradisi. Sedangkan lainnya menyatakan tradisi sebagai tujuan kebudayaan, dan modernitas semata merupakan alat. Manuaba (2009) menambahkan bahwa ketika modernitas diunggulkan, tradisi diabaikan. Namun di sisi lain, ketika masyarakat Bali menjalani modernitas dan acap kali kembali pada tradisi. Kadangkala seseorang ingin menjadi modern, padahal kesadaran tradisinya masih kuat.
Pendapat yang hampir serupa juga dielaborasi oleh Geriya (2008), menegaskan bahwa dalam menyikapi modernitas, masyarakat Bali terpilah dalam dua pandangan. Pertama, perubahan dari kebudayaan tradisi menuju kultur Bali modern pada dasarnya sejalan dengan konsepsi continuity in change yang didukung konsep revitalisasi, adaptif, akomodatif, fleksibel dan selektif. Kedua, kebudayaan tradisi masihlah berdiri sedemikian kokoh, dan modernisasi senyatanya hanya mengubah hal-hal yang bersifat permukaan dari kultural Bali tersebut.
Ketut Budiana dan Made Wianta ialah cerminan dari dua pemilahan sikap tersebut. Kendati lahir pada masa yang hampir sama (Budiana tahun 1950 dan Made Wianta pada 1949), keduanya tenyata memilih aliran rupa yang berbeda. Ketut Budiana, yang kelahiran Padangtegal, Ubud, menekuni sikap yang pertama, mengolah kosarupa tradisi menjadi bentuk kosa rupa yang mempribadi, dan dengan itu mencirikan sesuatu yang modern dari dirinya. Berbeda dengan Made Wianta, asal Apuan, Baturiti, Tabanan, yang memilih tipe kedua, seolah-olah berkarya kontemporer, namun jejak tradisi masih dapat dilacak dalam lukisan, seni instalasi maupun hasil kreasi lainnya. Kedua kecenderungan ini juga dapat mencerminkan secara nyata bagaimana penyikapan masyarakat Bali terhadap modernisasi, termasuk sejauh mana transformasi pandangan mereka terhadap tradisi dan modernitas.
-
2. Pokok Permasalahan
Tulisan ini mengetengahkan pokok permasalahan, yakni perihal bagaimana tanggapan kreatif Ketut Budiana dan Made Wianta menyikapi modernisasi di Bali yang tercermin dalam proses cipta dan karya-karya mereka.
-
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Selain guna menemukan pemahaman baru atas upaya kreatif para seniman-seniman Bali dalam menyikapi modernisasi di pulau ini, dengan menggunakan studi komparatif antara perupa Made Wianta dan Ketut Budiana, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kreatif para seniman Bali dalam menyikapi modernisasi di pulau ini, berikut faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan cara pandang masyarakat Bali terhadap globalisasi. Sementara manfaat dari penelitian ini antara lain dapat menambah serta memperkaya pengetahuan terkait sosial budaya, khususnya menyangkut kehidupan seni rupa di Bali dan upaya para kreatornya dalam menyikapi modernisasi.
-
4. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di studio penciptaan Made Wianta dan Ketut Budiana (masing-masing di banjar Tanjungbungkak Denpasar dan banjar Padangtegal, Ubud, Gianyar), termasuk pada beberapa kegiatan pameran seni rupa keduanya di beberapa tempat di Bali, antara lain Bentara Budaya Bali. Adapun pendekatan yang digunakan ialah deskriptif kualitatif, dengan menggali informasi dari sumber data primer, yakni Ketut Budiana dan Made Wianta, berikut sumber-sumber sekunder seperti paparan informan lain, dokumentasi video, buku dan artikel media massa. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara serta studi pustaka, di mana keseluruhannya dianalisis secara deskriptif kualitatif, komparatif serta interpretatif, sebagaimana yang selanjutnya tertuang pada tulisan ini.
-
5. Hasil dan Pembahasan
Ada beberapa faktor yang dinilai sebagai penyebab percepatan kehadiran modernisasi di Bali, yakni kepariwisataan, ekonomi, serta pendidikan (Dwipayana, 2003; Geriya, 2008; Manuaba, 2009; Picard, 2005). Tidak hanya itu, perkembangan televisi yang menghadirkan luasnya berita dan hiburan hingga ke rumah tangga, juga memberikan dampaknya tersendiri, di mana manusia tidak
dapat lagi hadir sebagai individu yang sungguh mempribadi, namun juga sedikit banyak terpengaruh oleh tokoh-tokoh dalam tayangan ataupun peristiwa-peristiwa di layar kaca yang sering diandaikan sebagai kenyataan yang sesungguhnya (Piliang, 2004).
Couteau (1995) memaparkan proses transformasi kultural masyarakat Bali sejak pra kolonial hingga masa kekinian. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dalam beberapa fase, mulai dari masuknya pengaruh pedagang-pedagang asing pada pra kolonial yang sedikit banyak mempengaruhi sistem serta struktur kuasa raja-raja, penerapan hukum-hukum kolonial yang meletakkan tata administratif modern, hingga sistem pemerintahan serta posisi pulau ini dalam peta politik dan pemerintahan nasional pascaperang kemerdekaan, yang kemudian memberikan kuasa penuh pada gubernur—sebuah peran yang semula dimiliki para raja di Bali. Dari babakan tersebut, jelas terlihat bahwa Bali mengalami beberapa tahapan modernisasi, dilakukan atas ‘niatan’ untuk memperbaiki—ataupun menyederhanakan—sistem-sistem ataupun struktur yang telah ada demi kepentingan publik.
Namun demikian, ketegangan antara modernitas dan tradisi justru kian mengemuka selama dasawarsa terakhir ini, yang boleh jadi disebabkan kian meruncingnya pembedaan nilai, unsur serta kecenderungan budaya lokal dan luar. Putra (2005) mensinyalir hal ini karena persoalan-persoalan yang bersifat identiter, yakni posisi Bali dalam lokalitas, nasional dan juga global. Dalam konteks ini, Bali dituntut untuk mengaktualisasikan dirinya dalam ruang-ruang kewenangan dan pemosisian antara pusat dan daerah, dan pada saat yang sama harus menghadapi globalisasi secara luas. Masalah identiter orang Bali ini dirujukkan pula dengan konsep budaya Timur dan Barat, di mana Bali identik dengan kultur dan nilai ketimuran, dan berseberangan dengan kecenderungan Barat. Bali diharapkan dapat tampil terbuka terhadap unsur kebudayaan luar guna menjaga dan menghidupkan kepariwisataan, namun di satu sisi harus tetap menjaga apa yang dipandang sebagai ciri-ciri identitasnya.
Modernisasi juga turut berpengaruh pada dunia penciptaan para seniman
Bali. Couteau (2009) mengungkapkan, oleh karena perubahan persepsi tentang
modernisasi, maka konsepsi masyarakat Bali atas melukis dan aktivitas seni pun berubah, dan sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pariwisata. Di antaranya konsep ngayah, di mana kegiatan kesenian diartikan sebagai ibadah atau tugas suci, perlahan mulai bergeser menjadi peran atau fungsi yang profan. Di sisi lain, inspirasi melukis juga menjadi berbeda, dari yang mulanya diyakini dari taksu, dianggap dari dunia niskala, kini mewujud menjadi ilham-ilham yang kadangkala bersifat sangat banal.
Oleh sebab itu, dalam upaya menguraikan respon seniman terhadap transformasi kultural ini, penting untuk mencermati bagaimana proses kreatif para kreator, terutama yang dilakukan Ketut Budiana dan Made Wianta, berikut keterkaitannya dengan kondisi maupun situasi sosial di sekitarnya. Di samping itu, oleh karena keduanya tumbuh dalam dinamika modernisasi masyarakat Bali, dapat dipandang bahwa selama proses pertumbuhan kreativitasnya, para perupa ini juga secara tidak langsung menyikapi percepatan perubahan tersebut, tentu saja dengan cara dan pilihan sikapnya masing-masing.
Selaku seorang seniman Bali, kehidupan Ketut Budiana tidak terlepas dari tata sosial masyarakat lokal pulau ini pada umumnya. Selain memilih jalan sebagai pelukis, Ketut Budiana yang berasal dari Desa Padangtegal, Ubud ini juga mengambil peran selaku undagi yang kerap membuat berbagai sarana upacara adat, semisal bade dan lembu pengabenan, berikut juga ukiran-ukiran pada bangunan Bali. Kehidupan Ketut Budiana dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan aktivitas seniman-seniman tradisi Bali lainnya, yang selain giat melukis juga terlibat dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Ketut Budiana melakoni aktivitas undagi dengan belajar dari sosok kakeknya. Dirinya berkeyakinan, dengan bergiat di bidang tradisi ini, sejatinya mencerminkan keeratan hubungan seniman dari masyarakat lokal. Setiap kegiatan yang dilakukan merupakan wujud pergaulan sosialnya. Bahkan dirinya berpendapat, seni mampu membawa siapa saja pada pencerahan batin. Bukan semata karena intensitas dalam berkreasinya, namun disebabkan kesadaran yang bersangkutan untuk berempati pada sekitarnya. Seni baginya sangat terkait dengan keindahan estetika yang muncul karena ketekunan mengasah kepekaan rasa. Tapi
dalam tataran lain, seni turut mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya, sebentuk refleksi atas kebudayaan yang lekat dengan seniman itu sendiri.
Ketut Budiana secara sadar menggunakan filosofi-filosofi Hindu dan Bali dalam karya-karyanya. Namun yang coba ditampilkan bukanlah ragam karya yang molek dengan pilihan bentuk ataupun sapuan warna yang beraneka sebagaimana yang umumnya dapat disaksikan pada karya tradisi Bali. Budiana mengambil warna-warna gelap, bahkan beberapa lukisan warna hitam menjadi dominan. Di sisi lain, bentuk-bentuk mahluk yang dihadirkan menunjukkan sosok yang mirip dengan rangda atau leak, dan sebagian lainnya mencerminkan gambaran wajah menyeramkan yang imajinatif.
Buta Kala (2003). Dokumentasi Ketut Budiana
Meskipun pilihan warna dan bentuk figuratifnya berbeda dengan karya tradisi, bukan berarti Ketut Budiana tidak dapat disebut atau dikategorikan sebagai seniman tradisi. Dirinya justru menjadi sangat ‘Bali’ oleh karena nuansa filosofis yang dihadirkannya. Hanya saja, filosofis yang ditampilkan bukanlah filosofis sebagaimana ajaran dogmatis agama, melainkan lebih mengarah pada kedalaman batin manusia Bali, di mana unsur spiritual merasuk jauh hingga ke inti kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, yang ditunjukkannya ialah sisi batin sosialita Bali, berpadu dengan imaji bawah sadar yang ditunjukannya dengan penggunaan warna-warna bernuansa kelam.
Pada saat yang sama, Ketut Budiana sekaligus seniman modern, sebab ia juga melakukan eksplorasi dari seni-seni tradisi sehingga mampu menciptakan karya yang mempribadi. Pencarian kreativitas Ketut Budiana tercermin dari
adanya tambahan idiom kabut, adanya konsep fokus tunggal dalam kanvas hingga aneka komposisi, gradasi dan sebagainya. Hampir semua karya Ketut Budiana juga secara bebas mengelaborasi figur-figur khas Bali seolah tanpa pernah terbebani oleh memori kultural yang lekat di masyarakat Bali yang secara tidak sadar menjadi pakem-pakem figuratif tertentu.
Sementara itu Made Wianta terbilang berhasil melakukan transformasi atas dirinya, di mana seni-seni tradisi yang pernah lekat pada masa kanaknya, dieksplorasi sedemikian rupa serta dikontekstualisasikannya dengan kehidupan kekinian. Semasa kecil, ia mempelajari berbagai seni tradisi, dan dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, di mana sang ayah, Gde Labdana, adalah pemangku (pemimpin upacara agama) di Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Baturiti. Wianta dikenal memiliki kegelisahan kreatif yang tinggi serta senantiasa ingin meraih pencapaian baru di bidang seni. Karena itulah ia tidak hanya melukis, melainkan juga mengeksplorasi ragam seni lainnya, mulai dari puisi yang dipadukannya dengan karya seni rupa, seni-seni instalasi, performing maupun happening art hingga video-video art. Tjidera (1998) menyebutkan karya-karya Wianta memiliki bentuk-bentuk yang abstrak dengan gaya yang berubah-ubah, memiliki visi, fungsi dan makna di balik apa yang tersurat dan tersirat.
Berbagai periode penciptaan telah dilakukan seniman yang kini bermukim di Tanjungbungkak, Denpasar ini, mulai dari periode Karangasem, periode segitiga dan segi empat, periode titik, periode kaligrafi, dan sebagainya. Melalui peralihan periode-periode ini, yang dapat terbaca bukan hanya kepribadian Made Wianta yang selalu ingin mengeksplorasi berbagai hal, namun juga betapa pun canggih dan modern hasil olah ciptanya, unsur tradisi ternyata masih lekat dengan dirinya. Meskipun perupa ini seolah-olah menemukan bentuk penciptaan baru yang bertolak belakang dengan tradisi, pada dasarnya Wianta merupakan sosok yang transisi, berada dalam simpang jalan antara tradisi dan modern. Pemberontakannya terhadap warisan budaya Bali yang dilakukan dengan memunculkan lukisan, seni instalasi ataupun juga karya-karya lainnya, tak lebih dari upaya eksplorasi yang bersifat ‘keluar’, di mana ia hanya mengeksplorasi bentuk penciptaan namun tidak kuasa menghindar ataupun mengingkari memori kultural tradisinya.
Bali ternyata tetap hadir sebagai memori kulturalnya, yang ciri dan bentuknya masih dapat dilihat dalam karya-karyanya hingga kini. Ruang kanvasnya yang penuh, ikon-ikon visualnya menyerupai ataupun dekat dengan tradisi, serta konsep-konsep dari beberapa karyanya—salah satunya adalah seni instalasi serta happening art berjudul Art and Peace dan Dream Land—sejatinya menggambarkan bahwa Bali masihlah mengada dalam dirinya. Hanya saja, ia dengan sengaja mengolah ke-Bali-annya dan mencoba mengonkentualisasikan gagasan ataupun nilai-nilai kultur lokalnya, hingga yang hadir dalam karyanya adalah sebentuk dialektika antara tradisi dan modernisasi secara nyata.
Periode Segitiga (2000). Dokumentasi Made Wianta
-
6. Simpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas Ketut Budiana dan Made Wianta memiliki kesamaan, yakni bermula dari memori kultural tradisi dan pengalaman hidup semasa kanak maupun hingga tahapan selanjutnya. Kebudayaan tradisi hadir dan tumbuh di dalam kesadaran masing-masing, baik berupa wujud visual maupun nilai rasa dan etika norma, yang selanjutnya member corak bagi kepribadiannya.
Perubahan terjadi setelah keduanya bersentuhan dengan modernitas, yang didapat dari pendidikan formal ataupun pengalaman-pengalaman di lingkungan seberang Bali ataupun keadaan yang berseberangan dengan nilai-nilai tradisi, meskipun ini terjadi di wilayah Bali. Modernitas ini kemudian memberikan pandangan lain bagi keduanya terhadap apa yang disebut dengan tradisi (yang mewakili kelokalan) dengan modernitas yang mencerminkan keuniversalan.
Made Wianta menilai kemodernan sebagai suatu pencarian atau eksplorasi guna menemukan keuniversalan, sehingga karya-karyanya cenderung mengikuti arus kemajuan seni-seni kontemporer. Kendati demikian, sejatinya akar budaya Bali masih lekat dan tampak pada karya-karyanya. Made Wianta hadir dengan kanvas tampak penuh, sebagaimana yang juga ditemukan pada lukisan tradisi gaya Kamasan dan sebagainya. Ia juga mengolah nilai-nilai Bali untuk direfleksikan di beberapa periode karya dan ragam seni instalasinya.
Sementara Ketut Budiana menanggap modernitas sebagai tantangan untuk lebih mengenal dan mengaktualisasikan nilai-nilai tradisi dalam berbagai sisi kehidupan. Baginya, tradisi memiliki nilai-nilai keuniversalannya sendiri, terefleksikan dari luasnya makna filosofi Bali yang dapat diaplikasikan pada kehidupan-kehidupan di luar pulau ini. Meskipun kesadarannya amatlah ‘tradisi’, sejatinya pencarian ini justru membawanya pada kemodernan, sebab wujud visual yang dihadirkan dalam lukisannya mencerminkan ciri ‘ke-aku-an’, dengan unsur kekhasan individu yang kuat mengemuka. Kemodernan menekankan pentingnya eksistensi pribadi, bukan komunalitas sebagai ada pada tradisi umumnya.
Hal ini member indikasi bahwa memori kultural dasar yang lekat pada alam berpikir memberikan dampak yang penting, di mana yang bersangkutan tetap tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri darinya. Bali dengan segala aspek kehidupannya telah mempengaruhi cara pandang kedua perupa ini, yang meskipun masing-masing berupaya menyikapi perubahan modernisasi dengan caranya sendiri, ternyata kebudayaan lokal pulau ini tidak dapat terhindarkan kehadirannya.
-
7. Daftar Pustaka
Couteau, Jean. 1995. Bali Di Persimpangan Jalan 2. Denpasar: Nusadata
Indobudaya
----------------. 2009. Siyu Taksu. Gianyar: Bali Bangkit
Dwipayana, AA. Ari. 2003. Kasta dan Kuasa di Bali. Yogyakarta: LKIS
Geriya, Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali. Surabaya: Penerbit Paramita
Manuaba, I.B. Putera. 2009. Persepsi Pengarang Tentang Masyarakat.
Yogyakarta: Logung Pustaka
Picard, Michel. 2005. Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika (Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna). Yogyakarta: Jalasutra
Putra, Nyoman Darma. 2005. Bali Dalam Kuasa Politik. Bali: Buku Arti
Tjidera, Gung Wayan. 1998. Perkembangan Gaya Lukisan Made Wianta Ditinjau dari Dimensi Seni Kontemporer. Tesis Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana.
Discussion and feedback