DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i01.p31

ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 22.1 Pebruari 2018: 207-213

Dampak Modernisasi Terhadap Sistem Pertanian Berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug Karangasem-Bali

Octawinanda Muhadir¹*, A.A.Ayu Murniasih2

¹²Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud 1[[email protected]] 2[[email protected]]

*Corresponding Author

Abstract

The essentially of Tri Hita Karana is a relationship built between human to the god, human to human and human to the nature. These three aspects are inseparable elements, and also inherent to the agricultural system in the Bugbug village. That’s three relationship is purpose to create a harmonious life. However, the elements of modernization entering into the life of the community in Bugbug village and causing some impact. This research is interesting to be investigated further with the formulation of the problem (1) How is the agriculture system based Tri Hita Karana in the Bugbug village and, (2) What is the impact of modernization on agricultural system based Tri Hita Karana in Bugbug village. As the purpose of this research is to know the system of agriculture based Tri Hita Karana in Bugbug village and to know the impact of the modernization of Tri Hita Karana based agriculture system in Bugbug village. The theory used is the theory of modernization by J.W Schoorl. The conculsion of this research is first, the agriculture system in the Bugbug village is categorized as a agriculture based Tri Hita Karana because the people still pay attention to the pattern of relationship between parhyangan, pawongan and palemahan aspect. Second, the entry of modernization elements into agriculture system based Tri Hita Karana raises a number of impact that divided into three aspects parhyangan, pawongan and palemahan.

Key words: Impact, Modernization, Agriculture System and Tri Hita Karana.

  • 1.    Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman, pertambahan penduduk di Indonesia dari waktu ke waktu juga kian meningkat hingga tanpa terasa berimplikasi pada peningkatan kebutuhan hidup seperti: bahan pangan, sarana produksi serta berbagai kelembagaan ekonomi dan sosial yang dibutuhkan oleh penduduk. Hasil surve BPS pada tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang angka pertumbuhan

penduduk tertinggi nomer 4 di dunia dengan jumlah penduduk 255,708,785 atau sekitar 3,49% dari jumlah penduduk dunia.

Dalam konteks pangan, perkembangan kuantitas penduduk Indonesia membawa dampak pada perubahan kebutuhan dan produksi pangan nasional. Kebutuhan pangan bertambah seiring pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan artikel on-line www.kompasiana.com yang diakses pada 13 Juli 2016 menyinggung hal menarik

mengenai masalah ketahanan pangan nasional, ternyata konsumsi beras per kapita di Indonesia tergolong tinggi di tingkat dunia. Diperkirakan rata–rata konsumsi beras per kapita mencapai sekitar 139 kg per tahun, dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa, setidaknya dibutuhkan 34 juta ton beras per tahun.

Makanan atau pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar (primer) bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut kerap pula diiringi dengan munculnya berbagai jenis kebutuhan lain sebagai penunjang (sekunder), misalnya dalam rangka memenuhi kebutuhan makanan manusia juga membutuhkan adanya kerjasama dengan sesamanya. Sehubungan dengan itu lahirlah berbagai bentuk kelompok atau organisasi, seperti muang fai di Thailand, zangera di Filiphina Utara dan di Indonesia khususnya di Bali terdapat Subak (Pitana,1993:1).

Bagi masyarakat Bali sendiri, sistem subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang merupakan suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan air berdasarkan pada pola pikir harmoni dan kebersamaan, berlandaskan pada aturan–aturan formal dan nilai–nilai agama. Menjaga kelangsungan organisasi pengairan tradisional (subak) di Bali sangat penting, hal ini sebagai upaya untuk melestarikan nilai–nilai lokal yang ada bagi keberlangsungan sirkulasi kehidupan masyarakat di Bali.

Secara historis, ekologis dan sosiologis masyarakat Bali adalah masyarakat pertanian. Pertanian tradisional di pedesaan masih dianggap sebagai nadi kehidupan masyarakat perdesaan khususnya di Bali. Sistem mata pencaharian (pertanian) tradisional

di Bali masih berpedoman pada pola-pola hubungan antara manusia dengan lingkungan spiritual (parhyangan), lingkungan sosial (pawongan), dan lingkungan alam atau fisik (palemahan) yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Ketiganya merupakan unsur-unsur yang tak terpisahkan dan diperuntukkan menjaga kestabilitas dan keharmonisan kehidupan masyarakat terutama masyarakat Bali. Pada dasarnya Tri Hita Karana merupakan sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat Bali yang berfungsi untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan ketiga ragam lingkungan tersebut dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pertanian (Pujaastawa, 2014: 14-15).

Implementasi terhadap konsep Tri Hita Karana dalam bidang pertanian dapat dijumpai di berbagai tempat di Bali. Meski demikian penelitian ini lebih memfokuskan perhatian pada sistem petanian dengan konsep nyegara gunung berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug Karangasem yang dijadikan sebagai salah satu model pengelolaan sumber daya alam berbasis pemberdayaan masyarakat/ globally important agriculture agriculture heritage system (GIAHS) di Indonesia, dan telah memperoleh kunjungan dari Tim FAO Roma di Tahun 2014.

Ditetapkannya Desa Bugbug di Karangasem-Bali sebagai model GIAHS karena hasil dari penelitian yang cukup lama dilakukan FAO melalui fasilitasi IPB Bogor terhadap keberadaan sistem pertanian di Desa Bugbug. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pertama, Desa Bugbug memiliki pertanian lahan basah berupa sawah disertai dengan subaknya. Kedua, Desa Bugbug juga memiliki pertanian dengan lahan kering berupa lahan perkebunan (www.Karangasem.go.id) diakses pada

18 Oktober 2016. Selain kedua faktor tersebut keadaan alam di Desa Bugbug juga menjadi daya dukung yaitu keberadaan areal subur yang berpotensi sebagai sumber penghidupan sehingga sangat memungkinkan masyarakatnya untuk menekuni profesi di bidang pertanian (Dwijendra,2009 : 130).

Perkembangan selanjutnya adanya masalah yang dialami oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia dan juga masyarakat di Desa Bugbug yaitu tidak memungkinkannya untuk terhindar dari adanya proses modernisasi. Menurut Schoorl (1982), aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi suatu masyarakat adalah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern. Pergantian teknik tersebut tentunya dapat menimbulkan berbagai implikasi sosial budaya. Berdasarkan hal tersebut, maka berkembangnya modernisasi diasumsikan akan membawa sejumlah dampak terhadap sistem pertanian nyegara gunung berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug Karangasem-Bali. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merasa bahwa penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak modernisasi yang terjadi pada sistem pertanian masyarakat di Desa Bugbug Karangasem-Bali.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini lebih difokuskan pada Dampak Modernisasi terhadap sistem pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug maka masalah ini akan dipahami dengan menjawab pertanyaan penelitian yang diformulasikan sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana sistem pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug?

  • 2.    Apa dampak modernisasi terhadap sistem pertanian bebasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Untuk menjelaskan hal–hal yang akan ditelaah dalam penelitian dengan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui sistem pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug 2) Untuk mengetahui dampak modernisasi terhadap sistem pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug.

  • 4.    Metode Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Desa Bugbug dengan beberapa pertimbangan yaitu pertama karena Desa Bugbug merupakan desa yang masih terkategori sebagai desa tua dan Desa Bali Aga, kedua karena Desa Bugbug merupakan desa yang memiliki contoh lahan pertanian lengkap yang mencakup lahan basah seperti areal persawahan, pantai dan laut serta lahan kering berupa areal perkebunan. Penentuan keyinforman berdasarkan beberapa kriteria tertentu yang dianggap layak seperti: pakaseh (pimpinan subak), bendesa adat (pimpinan desa adat), petani dan warga di Desa Bugbug. Jenis data dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif dan diiringin dengan data kuantitatif sebagai data pendukung.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug

Pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug terbagi ke dalam tiga aspek yaitu aspek Parhyangan, Pawongan, Palemahan. Di dalam aspek Parhyangan yaitu terdapat konsepsi keyakinan masyarakat Desa Bugbug yang masih mempercayai keberadaan

penguasa elemen air yaitu Dewa Wisnu dan penguasa areal persawahan sekaligus dewi kesuburan yaitu Dewi Sri. Keberadaan dari tempat suci yang berada di areal pertanian juga turut diperhitungkan diantaranya yaitu : Pura Ulun Suwi, Pura Bedugul, Palinggih Bedugul Pamaroan dan Palinggih Sedahan Carik. Tempat-tempat suci tersebut menjadi lokasi wajib untuk kegiatan persembahyangan demi kelancaran kegiatan pertanian. Beberapa ritual pun masih tetap dijalankan oleh masyarakat setempat di Desa Bugbug terutama petani. Ritual-ritual tersebut diantaranya: ngusaba manggung, ngusaba gumang, upacara purnama sasih kelima, upacara sasih keenem, dan terakhir terdapat pidabdab makarya ring bangkete (ritual tentang tata kerja di sawah).

Aspek pawongan di dalamnya menyinggung tentang keberadaan organisasi sosial masyarakat berupa subak, awig-awig, dan solidaritas sosial. Terdapat lima subak di Desa Bugbug yaitu Subak Lumpadang, Subak Umakaang, Subak Tegakin, Subak Desa, dan Subak Gelogor. Organisasi subak yang ada di Desa Bugbug terdiri atas prajuru subak dan krama subak. Masing-masing jumlah krama subak berbeda-beda. Antara sesama krama subak, diatur dengan hukum adat yang telah dibentuk dan disepakati bersama yaitu berupa awig-awig subak. Awig-awig subak di dalamnya membahas tentang kewajiban krama subak, aturan tanam menanam, batas-batas subak, tata cara pemilihan dan penetapan prajuru subak beserta masa baktinya, penyelesaian masalah dan penyelenggaraan rapat, pemeliharaan dan pengaturan keamanan di wilayah subak.

Kegiatan pertanian di sawah nampaknya sulit dilakukan oleh pemilik sawah seorang diri, maka bantuan tenaga kerja sangat diperlukan untuk

menyelesaikan pekerjaan di sawah (Depdikbud, 1991 : 89). Tenaga kerja saat bertani di sawah Desa Bugbug berasal dari krama subak. Pembagian sistem kerjanya tidak ada sistem khusus untuk membagi. Sistem tenaga kerja di bidang pertanian di Desa Bugbug masih bersifat gotong royong serta lebih mempertimbangkan kesadaran dari masing-masing anggota subak. Begitu pula dengan sistem upah yang diperoleh oleh masing-masing petani di Desa Bugbug, tidak ada standarisasi upah melainkan lebih mengandalkan seberapa banyak kekuatan untuk mampu menyelesaikan pekerjaan di sawah per harinya.

Aspek palemahan dalam kehidupan pertanian di Desa Bugbug tercermin melalui kelestarian lingkungan fisik berupa lahan pertanian dan infrastruktur pendukung lainnya. Areal persawahan di Desa Bugbug memiliki luas kurang lebih 415 ha yang tersebar di sisi barat dan utara dari pemukiman pusat Desa Bugbug. Adapun infrastruktur pendukung diantaranya yaitu: empelan berupa bendungan dengan ukuran kecil, pemunduk bendungan dengan ukuran yang lebih besar dari empelan, telabah yaitu berupa saluran pengairan yang bersifat terbuka, cakangan berupa tempat penampungan dan penyaluran air agar air mampu menjangkau areal yang lebih rendah.

  • 5.2    Proses dan Mekanisme Modernisasi

Modernisasi merupakan suatu fenomena sosial yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia, karena modernisasi merupakan proses transformasi yang mengubah masyarakat beserta berbagai aspek pendukungnya (Schoorl, 1991: 1). Pada dasarnya modenisasi tidak hanya menuntut ketrampilan atau tekhnik tertentu atas

pencapaian sebuah teknologi modern, melainkan menuntut adanya kesiapan mental terhadap hal-hal yang akan terjadi di lingkungan sekitar (Havilland, 1988: 278-279) karena kesiapan masyarakat dalam menentukkan sikap untuk menghadapi perubahan atau hal-hal yang baru nantinya akan berguna untuk mengubah pola pikir masyarakat yang modern. Masyarakat modern sebenarnya merupakan masyarakat yang memiliki sikap yang terbuka terhadap berbagai bentuk pengalaman dan perubahan. Disadari maupun tidak modernisasi menimbulkan sejumlah dampak.

Adapun modernisasi di bidang pertanian terjadi di Indonesia dimulai sejak rezim Presidan Soeharto di tahun 1970-an. Pertanian menjadi salah satu program utama pemerintah yang direalisasikan melalui program Repelita dengan program andalan Revolusi Hijau. Di tahun 1984 Indonesia sempat mengalami puncak keberhasilan di bidang pertanian terbukti bahwa Indonesia pernah menjadi negara swasembada pangan (Sudarta, 2016:237). Seiiring dengan berkembanganya pertanian di Indonesia maka pertanian di Bali pun mengalami perkembangan, karena pertanian dan kehidupan masyarakat Bali nampaknya tidak dapat terpisahkan. Adapun bentuk-bentuk modernisasi pertanian yaitu : penggunaan pupuk, penggunaan varietas bibit unggul, penggunaan sarana produksi pertanian berupa traktor dan alat penyemprot pestisida.

  • 5.3    Pariwisata sebagai fenomena modernisasi

Pariwisata merupakan sumber kehidupan yang paling potensial bagi kehidupan masyarakat Bali karena pengembangan pariwisata berakar dari budaya yang sangat bersejarah dan memiliki peradaban tua (Mantra,

1996:35). Bidang pariwisata di Bali berkembang dengan pesat karena di dalamnya terkandung proses pertumbuhan ekonomi, proses rasionalisasi, dan westernisasi yang kesemuanya merupakan bagian dari proses yang diidentifikasikan sebagai bagian dari proses modernisasi (Weiner dalam Geriya, 1996:6).

Berdasarkan data BPS di tahun 2015, menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik mengalami perubahan jumlah di tiap tahunnya selama 5 tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya pembangunan infrastruktur yang cukup seperti ketersediaan akomodasi pariwisata, salah satu contoh yang terjadi di Kabupaten Karangasem yang mengalami perkembangan di bidang pariwisata, terlihat dari adanya pembangunan dan pengembangan fasilitas-fasilitas pariwisata dan salah satunya berupa hotel. Berdasarkan data BPS di tahun 2015 pertumbuhan hotel di masing-masing kecamatan di Kabupaten Karangasem cukup banyak.

Modernisasi nampaknya juga berimplikasi di bidang pendidikan yang meliputi penyediaan sarana atau fasilitas pendidikan seperti gedung belajar, tenaga pengajar dan sarana penunjang lainnya. Berdasarkan data BPS Provinsi Bali di tahun 2016 disebutkan bahwa Kecamatan Karangasem mengalami peningkatan jumlah murid pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pariwisata, baik sekolah swasta maupun sekolah negeri. Tercatat jumlah siswa-siswi yang terdaftar pada tahun 2015 sebanyak 1364 orang dan di tahun 2016 bertambah sebanyak 1688. Hal ini menunjukkan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) banyak diminati oleh siswa-siswi di Kecamatan Karangasem.

  • 5.4    Dampak Modernisasi Terhadap Sistem Pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug

Dampak yang ditimbulkan dari adanya proses modernisasi terhadap sistem pertanian berbasis Tri Hita Karana di Desa Bugbug terbagi ke dalam tiga aspek yaitu aspek parhyangan, aspek pawongan dan aspek palemahan. Dampak terhadap aspek parhyangan diantaranya yaitu : adanya perpindahan lokasi Pura Ulun Suwi, adanya perubahan terhadap komposisi bahan baku persembahyangan berupa penggunaan staples pada bebantenan. Dampak terhadap aspek pawongan yaitu : keterbukaan anggota subak dalam keikutsertaannya pada lomba subak yang diadakan oleh pemerintah Kabupaten Karangasem, adanya pengalihan penyerapan tenaga kerja di sawah pada saat proses memanen berlangsung, adanya peningkatan hasil panen serta adanya gejala penurunan minat generasi muda terhadap bidang pertanian. Dampak terhadap aspek palemahan yaitu adanya pembagunan pintuair di Bendungan Sungai Buhu serta adanya pelebaran jalan menuju areal persawahan.

  • 6.    Simpulan

Sistem pertanian di Desa Bugbug Karangasem dikategorikan sebagai sistem pertanian berbasis Tri Hita Karana karena masyarakatnya masih memperhatikan keharmonisan pola-pola hubungan antara manusia denganlingkungan spiritual (parhyangan), dengan lingkungan sosial (pawongan) dan juga terhadap lingkungan alam (palemahan).

Wujud dari adanya sikap yang berlandaskan Tri Hita Karana tercermin melalui keberadaan tempat persembahyangan di kawasan pertanian yaitu antara lain: Pura Ulun Suwi, Pura Bedugul, Palinggih Bedugul Pamaroan,

dan Palinggih Sedahan Sawah; terlaksananya ritual-ritual yang masih berkaitan dengan bidang pertanian dan tetap dijalankan oleh masyarakat setempat seperti ngusaba manggung, ngusaba gumang,dan ngusaba kelama. Selain ngusaba terdapat pula tata urutan bekerja di sawah (pidabdab makarya ring bangkete).Pola-pola hubungan antara manusia terhadap lingkungan sosial juga tercermin melalui adanya solidaritas sosial di antara sesama petani yang terwujud dalam organisasi “sekaa” dan dilengkapi dengan awig-awig yang berfungsi sebagai acuan hukum adat. Pola-pola hubungan antara manusia dengan lingkungan alam juga tercermin melalui pengelolaan terhadap areal persawahan yang baik karena adanya ketentuan terkait pewarisan kepemilikan tanah yang hanya diperbolehkan bagi sesama warga Desa Bugbug saja.

Bentuk-bentuk modernisasi di bidang pertanian yaitu adanya penggunaan pupuk alami menjadi pupuk buatan,adanya peralihan penggunaan bibit lokal menjadi varietas bibit unggul serta adanya penggunaan alat dukung pertanian seperti traktor dan juga alat semprot pestisida.

Adapun dampak terhadap aspek parhyangan yaitu adanya perpindahan lokasi Pura Ulun Suwi, dan adanya pergeseran penggunaan bahan baku untuk persembahyangan. Dampak terhadap aspek pawongan yaitu adanya keterbukaan masyarakat untuk ikut serta dalam perlombaan subak yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem, pengalihan penyerapan tenaga kerja di sawah, peningkatan hasil panen serta adanya gejala penurunan minat muda-mudi di Desa Bugbug terhadap bidang pertanian. Dampak terhadap aspek palemahan yaitu adanya pelebaran jalan untuk mengakses areal persawahan serta

pembangunan pintu air di Bendungan Sungai Buhu.

  • 7.    Saran

Terdapt beberapa saran yang perlu mendapat perhatian oleh pihak-pihak yang terkait yaitu sebagai berikut.

  • 1)    Bagi aparat Desa Adat Bugbug, diharapkan mampu berperan sebagai mediator dalam rangka mengkomunikasikan masuknya unsur-unsur baru yang ada di tengah-tengah        kehidupan

masyarakat    serta mampu

memfilter unsur-unsur tersebut agar sesuai dengan kebudayaan lokal setempat, terlebih lagi terhadap unsur-unsur baru yang terkait ke dalam bidang pertanian di Desa Bugbug.

  • 2)    Bagi masyarakat, diharapkan mampu untuk tetap menjaga dan mengelola aset pertanian, mengingat pertanian sebagai warisan leluhur yang perlu dijaga kelestariannya. Terlebih lagi Desa Bugbug memiliki potensi alam yang bagus untuk dikembangkan lebih lanjut. Misalnya dijadikan sebagai lokasi eco-wisata pertanian.

  • 8.    Daftar Pustaka

BPS Provinsi Bali, 2016. Data Pertumbuhan Penduduk Tahun 2015.

BPS Provinsi Bali, 2017. Karangasem dalam angka Tahun 2016.

Depdikbud. 1991. Sistem Pertanian Tradisioanal di Magelang Jawa Tengah. Jakarta: Depdikbud.

Dwijendra, Ngakan Ketut Achwin. 2009, Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar: Udayana University Press.

Geriya, Wayan. 1995. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional dan Global (Bunga Rampai Antropologi Pariwisata). Denpasar: Upada Sastra.

Havilland, William.A. 1988.

Antropologi, Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Pitana, I Gde (ed). 1993. Canangsari

Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.

Pujaastawa, I.B.G. 2004. Tri Hita Karana: Kearifan Lokal dengan nilai-nilai Universal. Yogyakarta: Pilar Politika Kelompok Pilar Media.

Schoorl, J.W. 1991. Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan negara-negara       berkembang.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Sudarta, I Wayan. 2016.  Sosiologi

Pertanian. Denpasar:   Udayana

Press.

Sumber media online

www.kompasiana.com diakses pada 13 Juli 2016

www.Karangasem.go.id diakses pada 18 Oktober 2016

213