ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 21.1 Nopember 2017: 71-76

Ritus Metoh-Tohan Pada Masyarakat Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli

Ni Made Ayu Ratna Dewi1*, Purwadi2, I Wayan Suwena3 [Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud]

1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

*Coressponding Author

ABSTRACT

Manikliyu society, Kintamani has a rites that is performed from generation to generation that is metoh-tohan. The problem in this research, focuses on two things: (a) how is the process of metoh-tohan rites in Manikliyu Village and (b) what is the function and meaning of metoh-tohan implementation in Manikliyu Village. As for its purpose is to know the procession of metoh-tohan rites, and to reveal the function and meaning of the implementation of metoh-tohan rites in Manikliyu Village. The concept used as a guideline in this research is the concept of rites, metoh-tohan, and Bali Aga Village. Similarly, in this study using the method of ethnography in the form of qualitative research with data collection techniques through participatory observation, in-depth interviews, and literature study. The results showed that the ritesl metoh-tohan through various stages: nanceb (install) penjor, making temple Bentar and Gelung Kuri, Melasti, Sampiyan Oyod lunga (visiting) to Kahyangan Tiga, Pura Dadia, and pengaksan, metoh-tohan, Metalun Teruna, Metani, Metalun Desa, and Mabuang. The Function and meaning of rites metoh-tohan as follows: (a) function and social meaning,(b) function and meaning of education,(c) Economic function, (d) the function meaning of religious, and (e) psychological function.

Keywords: rites, metoh-tohan, Aga

  • 1.    Latar Belakang

Salah satu desa di Bali, yaitu Desa Manikliyu memiliki suatu bentuk ritual yang dianggap unik, yaitu ritus metoh-tohan. Desa ini merupakan salah satu desa di Bali yang termasuk desa Bali “asli” atau disebut juga dengan sebutan Desa Bali Aga. Keunikan ritus metoh-tohan tersebut karena dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Galungan yang jatuh pada Buda Kliwon Wuku Dunggulan pada Sasih Kapitu (perhitungan bulan berdasarkan kalender bali). Selain itu bertepatan pula dengan Bulan Purnama, hari raya ini disebut dengan Galungan Nadi. Ritus metoh-tohan dapat juga dilaksanakan pada Galungan Mebunga, yaitu hari

Raya Galungan yang jatuh pada Sasih Kapitu (perhitungan bulan berdasarkan kalender bali). Menurut kepercayaan masyarakat setempat, metoh-tohan disamakan artinya dengan sabung ayam (tajen, tabuh rah), dimana tajen mempergunakan ayam jago sebagai alat bertanding. Berdasarkan kamus Bahasa Bali-Indonesia (Anandakusuma, 1986: 204), kata metoh-tohan memiliki kata dasar, yaitu toh yang artinya petaruh, dimana kata metoh yang memiliki arti bertaruh.

Pada ritus metoh-tohan pemain utamanya adalah daha (pemudi), teruna (pemuda), janda (balu luh) dan duda (balu muani). Sama halnya dengan tajen, metoh-tohan juga disamakan

dengan ajang taruhan, bagi yang mengalami kekalahan harus membayar denda berupa 2 kaling atau 2-3 liter minuman tuak (air pohon enau). Pada saat pementasan yang menyaksikan adalah prajuru adat setempat dan diiringi oleh Sekaa Gong dan Sekaa Gambang (Penabuh Gong dan Penabuh Gambang).

Saat ritus metoh-tohan dilakukan tarian dengan mengelilingi api unggun selama 12 jam, dan para penari berikut Sekaa Gambang dan Sekaa Gong (penabuh gambang dan gong) berpuasa, tidak boleh tidur dan tidak boleh dari arena pertandingan (grombong).

Bagi masyarakat Desa Manikliyu ritus metoh-tohan merupakan salah satu ritus yang mereka anggap penting dalam hidup keseharian mereka, karena berkaitan dengan nilai-nilai tradisi yang mereka junjung selama ini. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Turner, yang melihat masyarakat sebagai proses sosial yang dinamik dan ada hubungan erat antara hidup sehari-hari masyarakat dengan ritus-ritus. Lebih lanjut menurut Turner bahwa ritus mengungkapkan nilai pada tingkat yang paling dalam dan merupakan kunci untuk memahami pembentukan essensial masyarakat (Turner dalam Winangun, 1990: 12-15).

Berdasarkan hal tersebut dan pemaparan-pemaparan yang telah disampaikan sebelumnya penulis mengkaji ritus metoh-tohan secara lebih mendalam pada sebuah penelitian yang berjudul, “Ritus Metoh-Tohan Pada Masyarakat Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

  • 1.    Bagaimanakah prosesi ritus metoh-tohan di Desa Manikliyu,

Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli?

  • 2.    Apa fungsi dan makna pelaksanaan ritus metoh-tohan bagi masyarakat Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui bagaimana prosesi ritus metoh-tohan yang ada di Desa Manikliyu. 2) Untuk mengetahui fungsi dan makna dilaksanakannya ritus metoh-tohan bagi masyarakat Desa Manikliyu.

  • 4.    Metode Penelitian

Penelitian ritus metoh-tohan yang dilakukan berupa penelitian etnografi. Pada suatu penelitian etnografis, metode pengumpulan data yang digunakan bersifat kualitatif, yaitu berupa wawancara     dan     pengamatan

berpatisipasi (Soeriadiredja, 2016: 3).

Penelitian kualitatif sifatnya deskrtiptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil wawancara, hasil pengamatan, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti dilokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk angka-angka.

Pada penelitian kualitatif, Untuk menentukan informan dilakukan dengan cara teknik purposive. Teknik pengumpulan data yang digunkan di antaranya:     observasi     partisipasi,

wawancara mendalam, dan studi pustaka.

Adapun langkah-langkah untuk menganalisis     data,     diantaranya

mengumpulkan data wawancara, fieldnotes dan rekaman audiovisual yang kemudian dicatat kembali dalam bentuk catatan etnografis yang lengkap. Selanjutnya peneliti menyusun catatan mengenai berbagai hal yang berisikan gagasan atau ungkapan yang mengarah

pada teorisasi berkenaan dengan data yang ditemui di lapangan. Selanjutnya peneliti menyusunnya dan dilengkapi dengan kode dan cacatan yang berisikan gagasan dengan sejumlah data yang ditemukan di lokasi penelitian. Pada akhirnya, peneliti menyusun rancangan konsep serta penjelasan. Penjelasan berkaitan dengan tema dan pola data yang bersangkutan.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Prosesi Ritus Metoh-Tohan Pada Masyarakat Desa Manikliyu

Pada ritus metoh-tohan ada beberapa gejala alam atau tanda-tanda akan dilaksanakan ritus ini berupa adanya burung besar berwarna putih yaitu burung bangau (kedis kokokan) yang berukuran sangat besar yang hinggap disalah satu pelinggih yang ada di Pura Bale Agung. Tidak hanya itu, selain tanda-tanda berupa burung besar, terlihat adanya padi yang baru mulai berbuah (padi beling).

Ritus metoh-tohan merupakan tarian dengan mengelilingi api unggun selama 12 jam yang dilakukan oleh daha (pemudi), teruna (pemuda), janda (balu luh) dan duda (balu muani) berikut Sekaa Gambang dan Sekaa Gong (penabuh gambang dan gong). Ritus metoh-tohan merupakan tarian dengan mengelilingi api unggun selama 12 jam yang dilakukan oleh daha (pemudi), teruna (pemuda), janda (balu luh) dan duda (balu muani) berikut Sekaa Gambang dan Sekaa Gong (penabuh gambang dan gong).

Adapun pantangan yang harus dipatuhi ialah berpuasa tidah boleh makan ataupun minum, tidak boleh keluar dari arena pertandingan (grombong) dan tidak boleh tidur. Apabila salah satu peserta terutama daha (pemudi) dan janda (balu luh) menggunakan selendang dan jatuh maka dinyatakan kalah. Apabila mengalami

kekalahan harus membayar denda dengan tauk 2 kaling (2-3 liter minuman tuak).

Areal pelaksanaan metoh-tohan (grombong) dilaksanakan di areal Jaba Tengah Pura Bale Agung. Dibuatkan areal (grombong) yang berbetuk lingkarangan yang berdiameter kurang lebih 11 depa (panjang rentang tangan dari ujung tangan kiri ke ujung tangan kanan) yang setiap depa panjangnya 1,5 meter.

Pembuatan areal tersebut menggunakan pelepah daun enau yang sudah dikumpulkan oleh krama pengarep atau tergantung jumlah krama desa pengarep (warga pokok). Pelepah yang dikumpulkan pun harus dengan kondisi yang bagus, apabila dinyatakan rusak harus dikembalikan dan mengumpulkan yang baru. Setelah semua terkumpul, baru pelepah-pelepah tersebut ditancapkan ke tanah berbentuk lingkaran dan dijalin menggunakan tikar (tikeh). Tidak hanya mempergunakan pelepah enau tetapi juga menggunakan tikar yang nantinya akan membuat panas api itu tidak keluar dan hawa panas tersebut terasa oleh para penari. Sebelum dilakukannya ritus metoh-tohan tersebut adapun upakara (banten) yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bertujuan untuk mengharmonisasikan jagat raya (alam semesta) beserta isinya agar senantiasa menjadi shantidan seimbang adalah banten caru eka sata.

Selama didalam arena (grombong), para penari daha (pemudi) dan janda (balu luh) menari seperti Tari Rejang. Sedangkan untuk teruna (pemuda) dan duda (balu muani) menari seperti Tari Baris (tarian peperangan). Gerakan yang ditarikan juga tergolong sederhana. Daha (pemudi) dan janda (balu luh) menari mengelilingi api unggun dan mengikatkan selendangnya di salah satu jari yang saling mengikat

satu penari dengan penari lainnya. Posisi Pradulu (ulu apad) ikut serta didalam yang fungsinya untuk mengontrol jalannya suatu ritual. Adapun tugas dari teruna (pemuda) yang tidak mengikuti metoh-tohan tersebut adalah mengatur besar kecilnya api dan menyiapkan kayu bakar. Mereka yang mempunyai tugas ini diperbolehkan keluar masuk arena (grombong). Api unggun yang dibuat pun tidak kecil, tidak tanggung-tanggung api yang ada didalam pun memiliki ketinggian sampai 7 meter setara dengan tinggi pohon enau dan dengan kondisi api yang tidak boleh padam.

Keesokan harinya setelah waktu dianggap cukup oleh Pradulu Adat, maka mereka yang ada di dalam area metoh-tohan   (grombong)   tersebut

keluar dan merobek area (grombong) yang terbuat dari daun enau menggunakan keris. Abu dari sisa pembakaran api unggun tersebut dibagi kepada masyarakat desa yang memiliki lahan perkebunan, selanjutnya abu tersebut ditaburkan diladang yang dipercaya oleh masyarakat untuk kesuburan tanaman.

  • 5.2    Fungsi dan Makna Ritus Metoh-Tohan Pada Masyarakat Desa Manikliyu

Berdasarkan konsep Morfologi Sosial yang dikembangkan oleh Mauss dan Beuchat (dalam Koentjaraningrat, 1982:  105) bahwa solidaritas sosial

suatu masyarakat itu dapat mengedor dan menjadi intensif kembali. Oleh sebab itu, perlu ada usaha-usaha khusus secara berulang untuk mengintensif kembali solidaritas tadi. Menurut Mauss dan Beuchat hal ini dilakukan berdasarkan sistem keagamaan, yang diintensifkan kembali melalui upacara-upacara keagamaan. Dalam ritus ini tampak bahwa masyarakat menyatu,

berkumpul bersama dalam membuat segala bentuk upakara. Masyarakat Desa Manikliyu sangat antusias berperan dalam seluruh rangkain Upacara Galungan Nadi dan Galungan Mebunga khususnya ritus metoh-tohan.

Koentjaraningrat (1974: 103), mengatakan dalam hubungan sosial dengan orang lain perlu tercipta keharmonisan yang dapat direalisasikan lewat korelasi-korelasi, gotong royong, kebersamaan, musyawarah serta saling pengertian yang mendalam.

Ritus metoh-tohan merupakan suatu ritus yang langka dalam masyarakat desa khususnya Desa Manikliyu. Walaupun demikian, ritus metoh-tohan dapat menjadi salah satu bentuk pendidikan non-formal bagi masyarakat setempat. Hal ini disebabkan karena ritus metoh-tohan oleh masyarakat Manikliyu, selain sebagai pendidikan masyarakat juga banyak memberikan pelajaran terhadap generasi muda di Desa Manikliyu agar senantiasa menjaga, memelihara, dan melestarikan kebudayaan yang sudah ada.

Fungsi ekonomi masyarakat Manikliyu percaya dan yakin bahwa upacara Galungan Nadi dan Galungan Mebunga khususnya ritus metoh-tohan sebagai upacara yang wajib dilaksanakan karena akan membawa kemakmuran. Masyarakat yakin dan percaya mengenai abu dari sisa pembakaran api unggun tersebut diambil dan dipergunakan oleh para petani yang ada di desa yang nantinya ditaburkan di ladang.

Kearifan dalam beperilaku masyarakat adalah untuk kepuasan psikologis. Melalui adanya ritus tersebut masyarakat selalu ingat terhadap leluhur sebagai perintis atau cikal bakal. Fungsi ini upaya pelestarian nilai budaya yang berwujud rasa hormat kepada leluhur dan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Fungsi

religius adalah nilai-nilai atau persepsi yang berkaitan dengan upacara religi atau keagamaan.

Manusia hidup dihadapkan kepada tantangan dan bahaya. Tantangan dan bahaya dapat datang dari alam sekitar, dan dapat pula dari manusia lain. Tantangan dari alam sekitar seperti musim dingin dan musim panas, binatang buas, hama tanaman, topan dan badai, kekeringan, banjir, gempa bumi, dan tanah longsor. Agama pada umunya mengajarkan bahwa segala tantangan dan hambatan harus dihadapi manusia sesuai dengan yang diajarkannya (Agus, 2006: 259-260).

Menurut masyarakat Desa Manikliyu, dimana ritual tersebut dilaksanakan dikarenakan adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan keamanan, cinta kasih, harga diri, dan adanya ancaman kematian. Apabila manusia melakukan suatu kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai penganut umat dengan melaksanakan suatu ritual, masyarakat mengharapkan adanya keamanan yang dilindungi oleh tuhan atau Ida Shyang Widhi Wasa.

  • 6    Simpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis data tentang ritus metoh-tohan di Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dapat disimpulkan bahwa: ritus metoh-tohan merupakan upacara yang langka karena tidak dilaksanakan setiap tahun, melainkan dalam jangka waktu yang relatif lama, berdasarkan waktu yang telah ditentukan dan didukung dengan gejala-gejala alam yang dipercaya oleh masyarakat. Adapun prosesi ritus metoh-tohan dari awal hingga akhir adalah membuat penjor, membuat candi bentar dan Gelung Kuri,melasti, Sampiyan Oyod lunga (mengunjungi) ke Kahyangan Tiga, Pura Dadia, dan

Pemaksan, Metoh-tohan, Metalun Truna, Metani,Metalun Desa, Mabuang.

Ritus memiliki fungsi dan makna dalam pelaksanaanya ialah ritus dapat menyatukan masyarakat dimana kehidupan masyarakat yang mengahabiskan waktunya di ladang dan merantau keluar desa mengakibatkan kurangnya rasa kebersamaan, maka dari itu diharapkan ritus dapat menyatukan masyarakat. Dengan melakukan suatu ritus diharapkan mendapatkan perlindungan dari tuhan dan leluhurnya. Rasa hormat masyarakat kehadapan tuhan diwujudkan dalam suatu bentuk ritual. Manusia dihadapkan kepada tantangan dan bahaya, dikarenakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi terutama kebutuhan akan keamanan, cinta, kasih, dan harga diri.

Hubungan sosial dengan orang lain perlu tercipta keharmonisan yang dapat direalisasikan dalam bentuk gotong royong, kebersamaan, musyawarah, dan saling pengertian. Kebersamaan akan terlihat dalam suatu ritus dimana msyarakat bersama-sama segala keperluan upacara. Suatu ritus dapat membawa kesejahteraan masyarakat dan kesuburan hasil panen yang ada di Desa Manikliyu.

  • 7    Saran

Pertama, bagi masyarakat Desa Manikliyu diharapakan agar tetap melestarikan ritus metoh-tohan agar diwariskan kepada generasi mendatang mengingat, ritus ini tidak berlangsung setiap tahunnya. Sehingga nilai- nilai yang terkandung pada ritus ini dapat hidup dan tertanam kuat dalam pribadi individu serta dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kedua, bagi pihak aparat desa, Bendesa Adat, ataupun Pradulu (ulu apad) diharapkan agar membuat suatu bentuk catatan kecil mengenai keadaan

dan kebudayaan yang ada di Desa Manikliyu. Bagi peneliti-peneliti lanjutan yang ingin melakukan penelitian berkaitan dengan ritus metoh-tohan diharapkan agar mengkajinya lebih mendalam.

  • 8    Daftar Pustaka

Agus, Bustanudin. 2006. Agama dalam Kehidupan        Manusia

(Pengantar      Antropologi

Agama). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anandakusuma, Sri Reshi. 1986. Kamus Bahasa Bali. Bali: CV Kayuman Agung.

Koentjaraningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: P.T. Dian

Rakyat.

.     .1982. Asas-Asas Ritus,

Upacara, dan Religi dan Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta.

Soeriadiredja, Purwadi. 2016. Catatan Lapangan dalam Penelitian Etnografi.   Denpasar:   Prodi

Antropologi FIB UNUD.

Winangun, Y.W.  Wartaya.   1990.

Masyarakat  Bebas Struktur:

Liminitas dan Komunitas menurutVictor          Turner.

Yogyakarta: Kanisius.

76