Tinggalan Arkeologi Di Pura Puseh Lan Bale Agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 17.3 Desember 2016: 286 - 292
Tinggalan Arkeologi Di Pura Puseh Lan Bale Agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli
Putu Agus Weda Prayudi1*, I Wayan Redig2, Ida Bagus Sapta Jaya3 123Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[ [email protected]] 3
Abstract
Archeological heritage in Bali still functional and kept scares by the public by placing them in a temple, one of them is Puseh lan Bale Agung Tampuagan Temple, District of Tembuku, Bangli regency. The previous research conducted by the Institute for Preservation of Cultural Bali-NTB-NTT in 2001, discovered only to the extent of conservation or has not reached the stage of in-depth analysis. The objective of this study is to determine the form, period, and function of the archaeological heritage found Puseh lan Bale Agung Tampuagan Temple, Tembuku district, Bangli regency.
The research method used in this study is the functional theory and the theory of religion. The first stage of method used to solve problems in this study is by collecting data through observation, interview, and library research. The second stage is data processing and analyzing data using qualitative, iconography, and contextual analysis.
Based on the analysis, the conclusions are drawn in the form of archaeological heritage of 1 caturkaya statue that looks simple, 2 embodiment statues of bhatara, 5 embodiment statues of bhatari, 1 lingga tribhaga, 1 lingga above the lapik and stela, 1 fragment of lingga, 1 fragment of Ganesha statue, 4 fragments of statues, and fragments of buildings including 1 piece of building fragment above the lapik, 1 piece waterless building fragment, and 2 pieces of building fragments that might be a pillar. Archaeological heritage in Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan can be incorporated into the century of period Bali Madya because it has the characteristics of a style that was similar to the statue of Bali Madya contained in Puncak Penulisan Temple, the statue of the Bhatara in Sibi Agung Kesian Temple, statues pairs in Subak Taulan Kerobokan Temple, and the statue of the bhatari in Penataran Sasih Pejeng Temple. Archaeological heritage in Puseh lan Bale Agung Tampuagan Temple, Tembuku district, Bangli regency is still used as a means of worship by penyungsung temple. Societies or penyungsung temple consider that the archaeological heritage has religious power, magic, that on a certain day ceremony was held veneration of the archaeological heritage. The storage pelinggih penyimpen arca is trusted by the community as a means to seek refuge, safety, and fertility to plants and animals domesticated cattle community.
Keywords: Archaeological heritage, Puseh lan Bale Agung Temple, Form, period, Function.
Bali merupakan sebuah pulau yang kaya tinggalan arkeologi dan sangat disakralkan oleh para penyungsungnya. Biasanya peninggalan arkeologi baik miniatur candi, komponen bangunan, prasasti, arca dll ditempatkan pada sebuah bangunan pelinggih atau sering disebut dengan gedong. Hal ini membuktikan peninggalan di Bali masih difungsikan atau living monument. Tinggalan arkeologi yang masih difungsikan atau dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dilihat pada beberapa pura, salah satunya yaitu di Pura Puseh lan Bale Agung Desa Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.
Tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan sebelumnya tidak pernah mendapatkan perhatian dan perawatan dari pemerintah dalam upaya perlindungan maupun pemeliharaannya. Benda cagar budaya yang tersimpan di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan sebagian besar diletakkan begitu saja berserakan di belakang pelinggih padmasana. Sebagian juga sudah ada yang ditempatkan pada sebuah pelinggih balai pelindung namun kondisinya cukup memprihatinkan, karena banyak yang sudah mengalami kerusakan, bagian yang patah dan ada kemungkinan yang tidak dapat disambung kembali karena ada beberapa bagian yang sudah hilang. Melalui anggaran tahun 2000 Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan sudah mendapatkan bantuan balai pelindung dari Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Bali-NTB-NTT (sekarang bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya atau BPCB), dan dilanjutkan anggaran tahun 2001 dengan bantuan konservasi yaitu membersihkan arca-arca kuna dengan bahan kimia (Agung, 2001:3-4).
Terkait dengan data arkeologi yang terdapat di Pura Puseh lan Bale Agung Desa Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut karena ada beberapa hal yang masih perlu dibahas secara rinci, serta mengingat kegiatan konservasi hanya sebatas penyelamatan temuan.
Adapun permasalahan yang ingin dipecahkan yaitu (1) bentuk tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan, (2) periodisasi tinggalan arkeologi
di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan, dan (3) fungsi tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai aspek-aspek kehidupan dan aktivitas budaya masyarakat pendukung tinggalan arkeologi. Selain hal tersebut, tujuan penelitian ini mencoba untuk mengetahui kehidupan kebudayaan manusia masa lalu dan proses perubahan budaya yang terjadi berdasarkan tingkah laku masyarakat di Desa Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli. Secara khusus tujuan penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas yaitu untuk mengetahui bentuk dari tinggalan arkeologi, periodisasi tinggalan arkeologi, dan fungsi dari tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap Pertama yaitu teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Tahap kedua yaitu menganalisis data menggunakan anallisis kualitatif, ikonografi, dan komparatif.
Bentuk tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli memiliki bentuk yang beragam. Adapun tinggalan arkeologi di Pura tersebut yaitu 1 arca caturkaya yang bentuknya sederhana, 2 arca perwujudan bhatara, 5 arca perwujudan bhatari, 1 lingga tribhaga, 1 lingga diatas lapik dan berstela, 1 fragmen lingga, 1 fragmen arca ganesha, 4 fragmen arca, dan fragmen-fragmen bangunan yang diantaranya 1 buah fragmen bangunan diatas lapik, 1 buah fragmen kemuncak bangunan, dan 2 buah fragmen bangunan yang kemungkinan berupa pilar bangunan. Tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Baleagung Tampuagan tersebut terbuat dari batu padas berwarna abu-abu dan memiliki ukuran yang hampir sama antara tinggalan satu dengan yang lainnya.
Hasil penelitian oleh Dr. W.F. Stutterheim yang berjudul Oudheden Van Bali terkait dengan periodisasi seni arca Bali akan digunakan sebagai acuan dalam menetapkan periodisasi seni arca di Pura Puseh lan Baleagung Tampuagan. Perbandingan ini didasari atas prinsip umum, yang banyak dianut oleh para sarjana lainnya, yaitu persamaan langgam akan mengacu kepada persamaan periodisasi (Stutterheim, t.t:37-46).
W.F. Stutterheim telah meneliti pembabakan periodisasi seni arca di Bali yang kemudian hasil penelitian tersebut diterbitkan pada tahun 1929, dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Bali. Adapun sistem klarifikasi yang dipergunakan oleh Stutterheim dalam menguraikan hasil penelitiannya atas azas geografis dan historis, sehingga berdasarkan atas azas tersebut pembabakan periodisasi seni arca Bali diklarifikasikan sebagai berikut.
-
a. Seni arca periode Hindu Bali (abad VIII-X).
Arca-arca yang tergolong ke dalam periode Hindu Bali memperlihatkan gaya Internasional, karena gaya arca seperti ini juga ditemukan di Malaka, India, Nepal, Tibet, Asia Tengah dan berakar pada gaya kesenian Gupta (Stutterheim, t.t: 36). Arca-arca tersebut mempunyai karakter lemah lembut serta kehalusan rasa dan ekspresi kedewataan (Divine Expresion). Arca-arca dari periode ini banyak memperlihatkan persamaan dengan arca-arca di Jawa Tengah (Mantra, 1962;5).
-
b. Seni arca periode Bali Kuna (abad X-XIII).
Arca-arca yang tergolong ke dalam periode ini terutama mulai abad XI merupakan arca-arca perwujudan raja-raja dan permaisuri yang telah didewatakan. Arca-arca ini memperlihatkan gaya yang serba kaku, lurus dalam penyelesaiannya. Seni arca pada periode ini oleh Stutterheim dikelompokkan menjadi empat kelompok yang didasarkan atas azas geografis dan historis yaitu kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah, Gunung Kawi, dan Kutri (Stutterheim, t.t:44).
-
c. Seni arca periode Bali Madya (abad XIII-XIV).
Arca-arca yang dikelompokkan ke dalam periode ini memperlihatkan ciri-ciri sikap badan yang kaku, frontal, proporsi badan yang kurang seimbang, mahkota berteras semakin ke atas semakin mengecil, pada penggunaan perhiasan dan pakaian timbul suatu kegemaran yang serba megah (Widia, 1980:66). Bagian kiri dan kanan mahkota arca terdapat hiasan berupa hiasan stiliran daun (simping). Hiasan seperti ini
menunjukkan persamaan dengan arca-arca dari zaman Majapahit akhir yang dsebutkan oleh Stutterheim sebagai hiasan telinga berbentuk sayap (Stutterheim, t.t: 76).
Mengenai periodisasi relatif dari tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan khususnya arca, dapat dimasukkan ke dalam periode abad Bali Madya karena memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang sama dengan kelompok arca Bali Madya yang terdapat di Pura Puncak Penulisan, Arca Bhatara di Pura Sibi Agung Kesian, arca berpasangan di Pura Subak Taulan Kerobokan, dan arca perwujudan bhatari di Pura Penataran Sasih Pejeng, baik dari unsur badaniah dan unsur non-badaniah arca nampaknya merupakan langgam dari arca zaman Bali Madya. Berdasarkan perbandingan yang dilakukan, tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan sementara dapat dimasukkan ke dalam periodisasi arca zaman Bali Madya yang dibuat sekitar abad XIII-XIV Masehi. Karena bentuk Arca-arca yang terdapat di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan memperlihatkan ciri-ciri sikap badan yang kaku, frontal, proporsi badan yang kurang seimbang, mahkota berteras semakin ke atas semakin mengecil, pada penggunaan perhiasan dan pakaian timbul suatu kegemaran yang serba megah, serta menggunakan hiasan di kanan dan kiri mahkota berupa hiasan stiliran daun (simping).
Tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan pada masa lampau memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan masing-masing bentuk dan tokoh yang diwujudkan. Arca caturkaya memiliki fungsi sebagai arca perwujudan dalam aspek Dewa Siwa dengan aspeknya, sebagai media untuk memohon keselamatan rakyatnya dan dunia pada umumnya. Arca perwujudan memiliki fungsi sebagai perwujudan tokoh raja yang sudah meninggal untuk memohon perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyat atau Negara. Arca Ganesha memiliki fungsi sebagai dewa pelindung, dewa penyelemat, atau dewa penolak marabahaya dan rintangan. Lingga memiliki fungsi merupakan lambang Dewa Siwa sebagai simbol kesuburan. Fragmen bangunan sebagai pelengkap arsitektur sebuah bangunan suci. Tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli tersebut sampai sekarang masih dimanfaatkan sebagai sarana pemujaan oleh penyungsung pura. Masyarakat atau penyungsung pura memandang bahwa tinggalan arkeologi tersebut memiliki kekuatan religius magis yang pada hari tertentu dilaksanakan upacara pemujaan terhadap tinggalan arkeologi tersebut. Tinggalan
arkeologi yang tersimpan di pelinggih penyimpen arca tersebut dipercaya oleh masyarakat sebagai sarana untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan kesuburuan baik bagi diri sendiri, seseorang, keluarga, hewan peliharaan, serta tumbuh-tumbuhan. Secara umum Pura Puseh merupakan tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu yang bertugas untuk memelihara alam semesta. Tugas Dewa Wisnu dalam memelihara alam semesta dapat dikaitkan dengan fungsi tinggalan arkeologi sebagai memohon perlindungan dan keselamatan. Mengenai fungsi kesuburan tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Baleagung Tampuagan dapat dikaitkan dengan sakti Dewa Wisnu, yaitu Dewi Sri/Pertiwi/Ibu sebagai simbol kesuburan.
Bentuk tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli memiliki bentuk yang beragam. Adapun tinggalan arkeologi di Pura tersebut yaitu 1 arca caturkaya yang bentuknya sederhana, 2 arca perwujudan bhatara, 5 arca perwujudan bhatari, 1 lingga tribhaga, 1 lingga diatas lapik dan berstela, 1 fragmen lingga, 1 fragmen arca ganesha, 4 fragmen arca, dan fragmen-fragmen bangunan yang diantaranya 1 buah fragmen bangunan diatas lapik, 1 buah fragmen kemuncak bangunan, dan 2 buah fragmen bangunan yang kemungkinan berupa pilar bangunan.
Mengenai periodisasi relatif dari tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan khususnya arca, dapat dimasukkan ke dalam periode abad Bali Madya karena memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang sama dengan kelompok arca Bali Madya yang terdapat di Pura Puncak Penulisan, Arca Bhatara di Pura Sibi Agung Kesian, arca berpasangan di Pura Subak Taulan Kerobokan, dan arca perwujudan bhatari di Pura Penataran Sasih Pejeng, baik dari unsur badaniah dan unsur non-badaniah arca nampaknya merupakan langgam dari arca zaman Bali Madya. Berdasarkan perbandingan yang dilakukan, tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan sementara dapat dimasukkan ke dalam periodisasi arca zaman Bali Madya yang dibuat sekitar abad XIII-XIV Masehi.
Tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan pada masa lampau memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan masing-masing bentuk dan tokoh
yang diwujudkan. Pada saat ini tinggalan arkeologi di Pura Puseh lan Bale Agung Tampuagan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli masih dimanfaatkan sebagai sarana pemujaan oleh penyungsung pura. Masyarakat atau penyungsung pura memandang bahwa tinggalan arkeologi tersebut memiliki kekuatan religius magis yang pada hari tertentu dilaksanakan upacara pemujaan terhadap tinggalan arkeologi tersebut. Tinggalan arkeologi yang tersimpan di pelinggih penyimpen arca dipercaya oleh masyarakat sebagai sarana untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan kesuburuan baik bagi diri sendiri, seseorang, keluarga, hewan peliharaan, serta tumbuh-tumbuhan.
Agung, Anak Agung Gede, dkk. 2001. “Laporan Konservasi Benda Cagar Budaya di Pura Puseh Tampuagan Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli” Laporan Konservasi. Gianyar: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Bali-NTB-NTT.
Mantra, 1962. “Penilaian Secara Kritis Kesenian Bali Ditinjau dari Sejarah”. Pidato Ilmiah Piodalan Catur Warsa Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar.
Stutterheim, W.F. t.t. Oudheden Van Bali. Diterjemahkan oleh I Gusti Ngurah Tjakra. Denpasar: Hotel Dirgapura.
Widia, I Wayan. 1980 “Peninggalan Arkeologi di Pura Puseh Kangin Carangsari”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Jakarta.
292
Discussion and feedback