Rasionalitas Di Balik Perlakuan Masyarakat Terhadap Hewan Kerbau Di Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 17.3 Desember 2016: 137 - 145
Rasionalitas Di Balik Perlakuan Masyarakat Terhadap Hewan Kerbau Di Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
Made Widana1*, I Gst. Ketut Gde Arsana2, Aliffiati3
123
123Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]] *
Corresponding Author
Abstract
Bufallo has such an important role in life of Indonesian society. Generally, bufallo is used to be a plougher as ploughing the rice field, while the flesh and milk could be utilized as the nutrient needs, as well as the horns and bones, could be used as the materials of handicraft. Buffalo’s safeguarding, generally is being stabled and its nose is pinned as a sign of livestock. In Tenganan Pegringsingan village, buffalo is not used as a livestock and the local people do not consume its flesh and milk. The buffalos are freely live around the village without being stabled or pinned.
The way of local people treating the buffalo is special. The physical treatment of local people could be seen from the way they called the buffalo as Jero Gede, they do not use it as a plougher, so do its flesh and milk, are not consumed by them. The symbolic treatment of buffalo could be seen from the special ceremony for the buffalo, and two holy temples as the places of sacrifice and respect towards buffalo as well as The God who trusted as the owner of buffalo, Kandang Temple and Raja Purana Temple.
The special rationality of local people to the buffalo is a type of local society wisdom. The rationalities such as; maintained the social relationship continuously, maintained the buffalo race, ecology, cultural conservation, and protection of magic threat and diseas.
Keywords : buffalo, treatment, rasionality
Kerbau mempunyai peranan penting dalam aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Indonesia sudah mengenal kerbau sejak jaman neolitik, pada waktu itu manusia sudah hidup bertempat tinggal menetap dan telah mempunyai
kepandaian berladang (Istari, 2012: 71). Hampir di seluruh daerah di Indonesia kerbau menjadi salah satu hewan ternak yang diunggulkan masyarakat. Selain sebagai binatang pekerja, terutama daging dan air susunya dijadikan pemenuhan gizi. Selain itu, kerbau sering kali dijadikan bahan kerajinan. Misalkan tulangnya digunakan sebagai ukiran, tanduk kerbau banyak digunakan sebagai hiasan rumah, dan kulit kerbau banyak dimanfaatkan untuk alat musik rebana. Pada daerah-daerah tertentu kerbau juga menjadi sarana pelengkap dalam berbagai upacara.
Di Desa Tenganan Pegringsingan, kerbau tidak dipakai sebagai alat bantu untuk membantu menyelesaikan aktivitas masyarakat seperti membajak sawah. Kerbau memiliki kedudukan yang sangat diistimewakan. Bahkan kerbau diberikan ruang yang sangat leluasa tanpa diikat seperti kerbau pada umumnya. Hal ini terlihat dari perlakuan masyarakat baik secara fisik maupun simbolik. Secara teoritis, perlakuan istimewa tersebut pada intinya dilatarbelakangi oleh adanya prinsip-prinsip mitos terhadap hewan kerbau tersebut.
Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan menyebut kerbau dengan istilah Jero Gede. Karena dihormatinya binatang kerbau oleh masyarakat, maka dibuatlah bangunan suci yang disebut sebagai Pura Kandang dan Pura Rajapurana yang merupakan pura khusus untuk hewan kerbau. Pura Kandang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat dipeliharanya kerbau pada jaman dulu, meskipun sekarang kerbau-kerbau sudah dibiarkan berada dekat dengan masyarakat. Sementara itu, Pura Raja Purana adalah pura atau kuil khusus yang digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara berkaitan dengan kerbau.
Perlakuan istimewa terhadap hewan kerbau, seperti tidak digunakan sebagai tenaga kerja, memiliki upacara dan tempat pemujaan dan penghormatan khusus, bahkan kerbau sangat dekat dengan manusia, maka kerbau dapat dikatagorikan sebagai binatang totem.
Arti kata totem, yang secara lengkap berbunyi ototeman, dalam bahasa Ojibwa berarti “dia adalah kerabat pria saya” (Koentjaraningrat, 1987: 225-226). Perlakuan masyarakat yang menunjukkan sikap hormatnya terhadap kerbau juga menjadi salah satu indikator dikatagorikannya kerbau sebagai hewan totem.
Pertanyaannya, apakah perlakuan terhadap hewan kerbau seperti itu memiliki prinsip-prinsip rasionalitas di baliknya. Hal inilah yang menjadi urgent untuk diteliti berdasarkan antropologi.
Masalah penelitian yang hendak dikaji dalam hal ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah perlakuan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan terhadap hewan kerbau?
-
2. Bagaimana rasionalitas di balik perlakuan masyarakat Desa Tenganan pegringsingan terhadap kerbau?
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan yang terkesan khusus terhadap hewan kerbau dan untuk mengetahui rasionalitas di balik perlakuan masyarakat terhadap hewan kerbau.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian atau fenomena yang terjadi oleh sebuah subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskriptif. Penelitian ini juga bersifat deskriptif holistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan perlakuan masyarakat terhadap hewan kerbau yang ada di Desa Tenganan Pegringsingan.
Jenis dan sumber data adalah data primer dan sekunder. Sumber data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara, sedangkan sumber data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dapam penelitian ini yakni, teknik penentuan informan, teknik observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Data yang
telah diperoleh kemudian dikembangkan dengan menggunakan beberapa teori yakni, teori totem, teori fenomenologi, dan teori fungsi manifest dan fungsi laten. Model analisis data yang dilakukan penulis melalui tiga proses yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan serta pengujian kesimpulan.
-
5. Hasil dan Pembahasan
-
a. Hewan Kerbau dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan.
Menurut penuturan Wayan Witha Raga, seorang Jero Kubayan Desa Ngis, bahwa kerbau-kerbau yang saat ini ada di Desa Tenganan Pegringsingan berasal dari Desa Ngis. Kerbau-kerbau tersebut dipelihara di Desa Ngis oleh Jero Mangku Puseh. Masyarakat meyakini kerbau-kerbau tersebut merupakan kerbau-kerbau suci sehingga harus dipelihara oleh orang-orang suci seperti pemangku. Kerbau diliarkan pada pagi hari, kemudian sore hari dikandangkan dalam pagedogan (kandang). Suatu ketika kerbau-kerbau tersebut datang lebih sore daripada biasanya, bahkan saat hari sampai hampir gelap. Jero Mangku Puseh akhirnya memarahi, memukul, dan mencacimaki kerbau-kerbau tersebut. Karena merasa marah akhirnya kerbau-kerbau tersebut pergi meninggalkan kandangnya di Desa Ngis.
Diceritakan saat kerbau-kerbau tersebut mengalami stress (ngambul), mereka meninggalkan pagedogan (kandang) sepanjang hari untuk mencari makan dengan menyusuri hutan-hutan. Hingga suatu ketika kerbau-kerbau itu melewati bukit kemudian sampai di Desa Tenganan Pegringsingan. Ketika masyarakat mengetahui bahwa kerbau-kerbau tersebut adalah kerbau suci yang dipelihara oleh Jero Mangku Puseh di Desa Ngis, maka masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan memelihara kerbau-kerbau tersebut hingga sekarang.
Populasi kerbau di Desa Tenganan Pegringsingan dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang sangat drastis. Pada tahun 2010 jumlah kerbau sebanyak 30 ekor. Jumlah yang sangat banyak tersebut dikarenakan tidak ada pembatasan pengembangbiakan kerbau. Proses hidup dan mati kerbau di Desa Tenganan Pegringsingan terjadi secara alamiah, tidak ada upaya khusus yang dilakukan secara sengaja untuk menambah ataupun membatasi populasi kerbau. Akan tetapi, setiap
tahunnya, kerbau-kerbau disana semakin banyak mati, bukan semata karena digunakan untuk upacara, melainkan mati karena faktor umur dan kesehatan. Berikut ini merupakan perkiraan populasi kerbau dari tahun ke tahun dan kerbau berdasaran jenis kelamin:
Tabel 5.1 Popoulasi Kerbau dari Tahun ke Tahun
No |
Tahun |
Jumlah Kerbau |
1 |
2010 |
30 ekor |
2 |
2011 |
27 ekor |
3 |
2012 |
22 ekor |
4 |
2013 |
19 ekor |
5 |
2014 |
8 ekor |
6 |
2015 |
6 ekor |
7 |
2016 |
4 ekor |
Sumber : Hasil wawancara dengan Ketut Sudiastika
Jenis kerbau yang ada di Desa Tenganan Pegringsingan saat ini adalah kerbau cemeng (hitam), dengan induk jantan dan betina berwarna hitam.
Bentuk-bentuk perlakuan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan yang istimewa terhadap kerbau terlihat melalui dua hal yakni, (1) fungsi kerbau bagi masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan yang terbagi atas : fungsi sosial budaya, fungsi religius, dan fungsi kerbau sebagai sarana pengobatan.
Pada rangkaian usaba sambah, terdapat sarana upacara yang unik yang dipersembahkan. Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan menyembelih kerbau kemudaian digunakan sebagai sarana upakara atau sesajen. Penyembelihannya melalui berbagai macam rangkaian upacara penyucian. Rangkaian upacara pada Sasih Sambah diawali dengan pembuatan kain yang disebut sampet. Kain ini dibuat oleh warga Desa Tenganan Pegringsingan yang sudah mengikuti upacara mulukayu atau pembersihan. Rangakaian upacara setelah membuat sampet adalah ngujang aji ngejuk ombo. Ngujang aji ngejuk ombo adalah gotong royong yang dilaksanakan oleh semua masyarakat dua hari sebelum pemotongan kerbau. Setelah ngujang aji ngejuk ombo, rangkaian upacara selanjutnya adalah mati ombo sang hyang. Sebelumnya, pada pagi hari masyarakat desa melakukan gotong royong atau ngujang aji di depan bale agung. Pada hari yang sama juga dilaksanakan ngairang. Ngairang adalah prosesi dimana kerbau yang akan
dipotong tersebut diupacarai di Pura Kandang dan Pura Raja Purana. Selanjutnya kerbau tersebut diikat di jepun pamugehan, rangkaian upacara selanjutnya adalah nuwur keris pajenengen yang diletakkan di Bale Patemu Kelod. Pemotongan kerbau atau mati ombo sang hyang harus dilakukan setelah jejeg matan ai, atau kira-kira pukul 12.30 WITA. Setelah kerbau mati, dagingnya akan dikuliti terlebih dahulu kemudian akan dipotong berdasarkan bebalungan dan akan digunakan untuk keperluan upacara pesangkepan pada malam harinya di bale agung. Ketika upacara telah selesai, daging kerbau dibagikan kepada krama desa berdasarkan tingkatan-tingkatan jabatannya. Bagian daging kerbau yang dibawa pulang oleh masyarakat lokal disebut dengan istilah dedauh.
Keseluruhan rangkaian upacara di atas tidak hanya mencerminkan ketaatan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan. Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama yang berlangsung secara berkala tersebut mencerminkan kehidupan kolektif, dimana terlihat kodrat manusia sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Upacara terkait dengan kerbau di Desa Tenganan Pegringsingan adalah Upacara Tumpek Uye atau Tumpek Kandang yang berlangsung di Pura Kandang. Upacara dilaksanakan harus setelah jej-jeg ai atau setelah matahari condong ke arah barat, kira-kira pukul 12.30 WITA. Jero mangku datang ke Pura Kandang yang berlokasi di sebelah Utara pemukiman penduduk membawa sarana upacara. Pada Upacara Tumpek Kandang atau Tumpek Uye sesajen yang dipersembahkan berupa : banten taenan, banten panglawad, tipat kelan, banten pengangon, dan semida. Upacara ini menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap hewan kerbau.
Tumpek Kandang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai salah satu kearifan lokal Bali. Artinya, Tumpek Kandang masih tetap relevan dengan perkembangan jaman, setidaknya sampai saat ini. Ini didukung dan sejalan dengan pendapat Poespowaedoyo, sifat-sifat kearifan lokal adalah sebagai berikut : (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli, (3) mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli, (4) mampu mengendalikan, dan (5) mampu memberi arah perkembangan budaya (Udayana, 2008 : 43).
Selain memiliki upacara khusus terkait dengan kerbau, di Desa Tenganan Pegringsingan juga terdapat dua pura (kuil) khusus untuk pemujaan. Kedua pura tersebut adalah Pura Kandang dan Pura Raja Purana. Pura kandang ini dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat dikandangkannya kerbau dan juga tempat tinggal para pengangon (pengembalan) terdahulu. Sementara itu, Pura Raja Purana adalah kuil pemujaan khusus untuk dewa yang dipercaya sebagai pemilik kerbau.
Selain perlakuan masyarakat terhadap kerbau dalam hal religius, tidak dapat dipungkiri terdapat sikap masyarakat dalam menjaga keberadaan kerbau. Hal ini terlihat dari cara masyarakat dalam menghormati kerbau sebagai Jero Gede dan sebagai binatang ternak.
Selain mengenai pantangan-pantangan cara memperlakukan kerbau melalui tindakan, dalam hal berbahasapun masyarakat setempat sangat menjaga etikanya. Demikian juga bahasa yang digunakan untuk menyebut sesuatu hal juga khusus, misalnya ngajeng (makan), merem (tidur), sungkan (sakit), mobot (bunting), seda atau lebar (mati), dan sebagainya menggunakan bahasa Bali halus. Sebagai binatang ternak, kerbau diperlakukan layaknya seperti hewan-hewan pada umumnya.
-
b. Kearifan Lokal Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan terkait dengan Perlakuan terhadap Hewan Kerbau.
Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Robert K. Merton mengenai fungsi manifest dan fungsi laten yang merupakan sebuah analisis fungsional. Keberadaan kerbau di Desa Tenganan Pegringsingan dianggap memiliki fungsi lain sehingga membuat masyarakat setempat memperlakukan kerbau secara istimewa dan juga dianggap sebagai hewan suci. Berikut ini adalah rasionalitas tersembunyi di balik perlakuan masyarakat terhadap hewan kerbau di Desa Tenganan Pegringsingan :
-
1. Kearifan Lokal terkait Kesinambungan Hubungan Sosial Religius
Berbagai macam kegiatan kolektif terkait dengan kerbau yang dilakukan oleh masyarakat merupakan salah satu cara untuk memperekat hubungan sosial. Sebagai salah satu contoh adalah ketika berlangsungnya pesangkepan. Krama desa, teruna, dan
saye (utusan) dari Desa Ngis akan berkumpul untuk melangungkan upacara. Dengan demikian, akan terjalin hubungan yang sangat baik dari seluruh lapisan masyarakat.
-
2. Kearifan Lokal terkait Cara Masyarakat utuk Mempertahankan Keaslian Ras Kerbau Mempertahankan keaslian ras kerbau terlihat dari perlakuan masyarakat terhadap kerbau. Salah satu hal yang paling terlihat adalah dari bentuk perkawinan sekerabat (inbreeding). Inbreeding atau perkawinan sekerabat akan menghasilkan generasi kerbau dengan ras identik seperti induk kerbau. Dengan tidak mencampur ras asli kerbau Desa Tenganan Pegringsingan dengan kerbau luar, maka keaslian ras kerbau akan tetap terjaga.
-
3. Kearifan Lokal terkait dengan Ekologi.
Masyarakat tradisional sebenarnya sudah memiliki mekanisme pelestarian lingkungan dan secara tidak sadar telah melindungi kehidupan ekologi mereka sejak dahulu hingga sekarang. Terkait dengan ekologi, terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara kerbau dengan lingkungan alam di Desa Tenganan Pegringsingan. Hubungan yang terlihat adalah ketika kerbau memakan rumput atau dedaunan sebagai pakan ternak dan kotoran kerbau dimanfaatkan sebagai pupuk. Dengan demikian, ekosistem alam akan tetap terjaga.
-
4. Kearifan Lokal terkait dengan Pelestarian Budaya.
Keberadaan kerbau juga membantu masyarakat dalam pelestarian budaya. Yang terlihat di Desa Tenganan Pegringsingan adalah kerbau menjadi icon desa yang diwujudkan dengan patung kerbau yang diletakkan di depan desa. Selanjutnya pada beberapa kain geringsing juga menggunakan motif bergambar kerbau. Secara tidak langsung hal ini menjadi salah satu cara untuk melestarikan budaya.
-
5. Kearifan Lokal terkait Proteksi Penyakit dan Proteksi Ancaman Magis.
Perkawinan sekerabat atau inbreeding menjadi salah satu cara untuk memproteksi penyakit yang dibawa oleh kerbau dari luar. Dengan pembatasan perkawinan, maka kerbau lokal akan terhindar dari penyakit. Terkait dengan proteksi ancaman magis, masyarakat mempercayai bahwa keberadaan kerbau di Desa Tenganan Pegringsingan dapat menjadi sarana tolak bala atau sebagai cara untuk memproteksi ancaman magis.
-
6. Simpulan.
Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan memperlakukan kerbau dengan istimewa. Hal ini karena terdapat kepercayaan bahwa kerbau-kerbau tersebut merupakan milik dari dewa. Perlakuan istimewa tersebut terlihat perlakuan lahiriah yang menyangkut perlakuan sehari-hari terhadap kerbau, dan perlakuan secara simbolik terkait ritus-ritus insidental dan bangunan suci khusus sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap kerbau dan dewa yang dipercaya sebagai pemilik kerbau.
Di balik perlakuan istimewa tersebut, terdapat rasionalitas yang berhubungan dengan kearifan-kearifan lokal, seperti : sebagai perekat hubungan sosial religius, untuk mempertahankan keaslian ras kerbau, ekologi, pelestarian budaya, dan proteksi ancaman penyakit dan proteksi ancaman magis.
Istari, T.M. Rita. 2012. Peranan Kerbau dalam Masyarakat Jawa Dahulu dan Sekarang. Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Balai Arkeologi Denpasar. Volume 25 No. 1 April 2012
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Udayana, I D G Alit. 2008. Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak. Denpasar : Pustaka Bali Post
145
Discussion and feedback