ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 17.3 Desember 2016: 81 - 87

Komodifikasi Penjor Di Kota Denpasar Tahun 2000 – 2015

I Wayan Gede Mahaputra1*, A.A. Bagus Wirawan2, I Wayan Tagel Eddy3 123Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

1[wayangedemahaputra@gmail.com] 2[bgs.wirawan@yahoo.co.id]

[tageleddy58@gmail.com]

*

*Corresponding Author

Abstract

Penjor is part of Galungan ceremony. Penjor symbolized the victory of Dharma over Adharma. Penjor a means of gratitude to God. Penjor development not only as a means but also as a decoration ceremony of Bali. Penjor used as a tourist attraction, a means of competition, and as a livelihood. Penjor the local wisdom of Bali Hindu culture. Developments Penjor able to attract the younger generation to understand and maintain the cultural heritage, it is not only made to be developed but also understood its meaning so that the future can create harmony between the needs of religiosity, social, cultural, economic, and political.

Keyword : Penjor, Galungan Ceremony, Culture Heritage.

  • 1.    Latar Belakang

Hari raya Galungan adalah hari suci bagi umat Hindu, karena merupakan simbol dari kemenangan dharma melawan adharma. Perayaan hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari atau setiap Buda Kliwon Dunggulan (I Ketut Wiana, 2009 : 73).

Pembuatan penjor bagi umat Hindu di Bali sangat penting. Selain sebagai alat untuk pemujaan dewa-dewi diseluruh muka bumi juga sebagai simbol ucapan rasa syukur umat Hindu atas kemurahan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan hasil bumi yang melimpah. Penjor sebagai simbol rasa syukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi atas kemakmuran yang telah diberikan kepada seluruh umat manusia di alam semesta ini.

Perkembangan penjor dari masa Sri Jaya Kesunu hingga saat ini sudah banyak mengalami perubahan bentuk tetapi tanpa menghilangkan nilai-nilai filosofis dari penjor tersebut. Masyarakat di Kota Denpasar merupakan masyarakat yang memiliki tingkat

kreativitas yang tinggi sehingga penjor yang semula memiliki simbol dan makna religi yang sakral, lambat laun dimodifikasi sedemikian rupa sehingga penjor saat unur religius juga mengandung unsur nilai seni (estetis).

Kerajinan merupakan bagian dari kesenian yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu yang memproduksi berbagai jenis barang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk proses produksi barang-barang kerajinan itu digunakan peralatan yang sederhana dengan keterampilan, ketekunan, ketelitian, dan kecakapan yang tidak saja melibatkan gerak tangan, tetapi juga pikiran yang selalu tanggap dan kreatif. Berdasarkan pengertian di atas timbul istilah seni kerajinan dan kerajinan tangan (I Putu Siharta,1993 : 5).

Bali khususnya Kota Denpasar merupakan daerah tujuan wisata nusantara maupun mancanegara. Pengaruh pariwisata juga mempengaruhi kreasi bentuk penjor yang awalnya merupakan simbol suci kini menjadi sebuah karya seni yang bernilai tinggi tanpa menghilangkan pakem. Oleh karena itu beberapa warga masyarakat atau kelompok pemuda di Kota Denpasar jeli melihat perkembangan pariwisata di Bali sehingga mereka mulai mencoba membuat penjor yang memiliki nilai ekonomis tinggi agar dapat semakin menarik minat wisatawan.

Benda-benda budaya yang bernilai seni yang dihasilkan berdasarkan ketekunan dan kreatifitas tangan – tangan trampil tidak hanya mengarah pada nilai guna pakai yaitu untuk keperluan upacara dan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga bernilai guna ekonomis untuk mengejar keuntungan dan sebagai mata pencaharian. Peranan faktor-faktor produksi seperti: permodalan, tenaga kerja bahan baku, peralatan dan managemen sangat penting bagi pertumbuhan industri kerajinan.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • 1.    Bagaimana proses kemunculan penjor di Denpasar?

  • 2.    Bagaimana bentuk, fungsi, makna dari penjor?

  • 3.    Apa dampak dari komodifikasi dan komersialisasi penjor terhadap masyarakat di Denpasar?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • 1.    Untuk memberikan wawasan mengenai sejarah penjor di Denpasar yang berkembang di Kota Denpasar.

  • 2.    Untuk mempelajari perubahan – perubahan sifat serta pola pikir dan tindakan umat Hindu dalam menyambut hari raya Galungan dan Kuningan.

  • 3.    Untuk mengetahui bagaimana perubahan bentuk, struktur, fungsi, makna dan filosofis penjor yang ada di Denpasar.

  • 4.    Metode Penelitian

Metodologi adalah ilmu yang membicarakan jalan yang dapat di tempuh oleh peneliti dan penulis sejarah untuk mengembangkan kembali peristiwa sejarah termasuk pendekatannya (Kuntowijoyo, 2003 : xix). Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

  • 1.    Observasi

Observasi adalah teknik untk mengamati secara langsung terhadap kegiatan yang sedang terjadi. Dalam hal ini, peneliti mencatat informasi sebagaimana yang telah dilaksanakan selama penelitian (Gulo, 2002 : 116).

Peneliti dalam penelitian ini , menggunakan observasi partisipan yaitu peneliti terjun langsung ke objek penelitian, peneliti juga mengamati dan ikut dalam kegiatan – kegiatan yang di lakukan oleh pengerajin penjor.

  • 2.    Wawancara

Wawancara adalah interview yang merupakan suatu bentuk komunikasi verbal, semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi (Nasution, 1996 : 133). Teknik ini bisa digunakan untuk mengali pendapat informan, pengalaman, gagasan, ide, dan pandangan para informan lengkap dengan alasan atau motif yang melandasinya,terutama terkait dengan permasalahan penelitian yang sedang diteliti.

  • 3.    Studi keputakaan

Metode kepustakan adalah cara pengumpulan data dengan cara membaca buku – buku, literatur, majalah yang ada hubungannyadengan masalah yang dibahas, kemudian dilakukan pencatatan secara sistematis. Menurut Iqbal (2002 : 45).

  • 4.    Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bukti- bukti peristiwa yang telah berlalu, biasanya berbentuk tulisan, foto, gambar, karya monumental. Dokumen karya seni dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain (Margono, 2003 : 181).

  • 5.    Hasil Pembahasan

Perkembangan penjor di Kota Denpasar tidak lepas dari sejarah munculnya penjor yaitu sejak jaman pemerintahan raja Sri Jaya Kesunu. Sebelum Jaya Kesunu ada beberapa keturunan raja yang menjabat sebagai raja, namun selalu saja berumur pendek dan terjadi musibah. Sri Jaya Kesunu mendapat arahan dari Mpu Baradah untuk bertapa memuja Dewi Durga untuk memperoleh wahyu.

Setelah mendapat wahyu dari Dewi Durga, maka Sri Jaya Kesunu menciptakan penjor sebagai sarana pemujaan para dewa di seluruh muka bumi. Itulah proses kemunculan penjor dibali termasuk juga digunakan oleh maasyarakat di kota Denpasar saat ini (Ardika, 2015 : 132). Dengan demikian tradisi memenjor adalah suatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan sebagai sebuah pengulangan-pengulangan (repetition).

Tradisi adalah repetisi dan reproduksi. Tradisi dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai pengetahuan dan kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan atau direinterpretasikan (Subrata, 2014 : 15).

Bentuk dan makna penjor secara umum ada 2 yaitu penjor sakral dan penjor seni. Penjor sakral ada 4 jenis : dewata, caru, biu kukung dan sunari. Penjor seni ada bermacam-macam jenisnya tergantung dari seni si pembuat penjor atau dari konsumen. Penjor sakral memiliki fungsi sebagai sarana upacara dan penjor seni memiliki fungsi sebagai hiasan atau dekorasi.

Makna penjor sakral adalah sebagai ungkapan rasa syukur umat hindu terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Makna penjor seni adalah sebagai ungkapan kreatifitas manusia sesuai dengan imajinasinya.

Penjor juga memberi dampak terhadap perekonomian, kehidupan sosial, dan terhadap agama Hindu itu sendiri di Kota Denpasar. Dampak ekonomi, dampak ekonomi terhadap masyarakat tidak lain adalah adanya peningkatan penghasilan bagi pengerajin, pengusaha, dan penjual eceran di warung-warung kecil.

Dampak sosial, adalah terjadi persaingan dalam membuka usaha, terjadi persaingan dalam pembuatan penjor. Persaingan –persaingan tersebut mencerminkan adanya keegoisan, kesombongan, atau memperlihatakan status sosial di masyarakat dengan penjor yang mereka pasang di depan rumah mereka pada saat hari raya galungan.

Dampak agama, dalam kenyataan dilapangan yang saya amati bahwa komodifikasi sangat membantu umat hindu di kota Denpasar dalam mendapatkan alat-alat untuk membuat penjor, melihat di kota Denpasar sudah tidak ada lagi lading untuk menanam tumbuh-tumbuhan untuk membuat penjor. Ampak negatifnya, generasi umat hindu mulai malas dan bahkan tidak mau belajar membuat penjor, kareena sudah merasa lebih mudah jika membeli.

  • 6.    Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dibuat pada bab-bab sebelumnya, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penjor sudah ada sejak zaman pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, yang pada saat itu penjor digunakan untuk sarana pemujaan terhadap para Dewa di Bumi. Tujuannya adalah agar masyarakat Bali dapat memperoleh kesejahteraan kedamaian dan kebahagian jasmani dan rohani.

Jenis-jenis penjor di Kota Denpasar yaitu penjor bernilai sakral dan penjor yang bernilai seni atau profan. Penjor yang bernilai sakral adalah penjor Dewata (Galungan, Piodalan), penjor Bhuta (Caru), dan penjor Sunari. Kemudian penjor yang bernilai seni atau propan adalah penjor yang digunakan untuk hiasan atau pajangan saat acara-acara pernikahan, penyambutan tamu, perlombaan dan lain sebagainya diluar acara upacara keagamaan agama Hindu. Penjor hias tersebut tidak menggunakan pakem atau kelengkapan seperti penjor untuk upacara.

Dalam perkembangannya penjor dimodifikasi dan dikomodifikasikan di Kota Denpasar, yang meliputi produksi dan konsumsi. Komodifikasi penjor diproduksi karena banyaknya permintaan masyarakat akan kebutuhan alat-alat penjor saat hari raya Galungan dan upacara Piodalan. Secara keseluruhan bentuk komodifikasi penjor meliputi bambu, ental atau daun lontar, ambu, ron, alang-alang, padi, kertas, kain, sanggah penjor, sampian penjor, kelapa, janur, tempeh, niu, ider-ider.

Konsumsi penjor dimodifikasi bagi sebagian besar masyarakat lokal di Denpasar karena khususnya Denpasar, tidak hanya digunakan sebagai sarana persembahyangan. Akan tetapi penjor jenis ini (modifikasi) memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena hampir sebagian industri pariwisata di Bali menggunakan penjor modifikasi sebagai ciri khas dari kebudayaan Bali. Penggunaan penjor modifikasi tidak hanya terdapat di setiap rumah masyarakat di Bali khususnya di Kota Denpasar, melainkan penjor jenis ini banyak terdapat di hotel-hotel seputaran kawasan wisata di Kota Denpasar dan terkadang penjor jenis ini terdapat juga dibeberapa pusat-pusat perbelanjaan di Kota Denpasar.

Penjor modifakasi yang diperjual-belikan kepada masyarakat di Kota Denpasar disebut dengan istilah komodifikasi. Komodifikasi terjadi apabila penjor atau sesuatu benda yang awalnya mempunyai nilai dan fungsi sakral kemudian beralih fungsi menjadi penjor modifikasi sesuai dengan keaadan jaman sehingga komodifikasi penjor mempunyai dampak dan memberi pemaknaan yang beragam. Dampaknya yakni : Dampak ekonomi bagi pelaku usaha penjor mendapatkan penghasilan yang dihasilkan melalui produksi penjor untuk upacara ataupun hanya untuk hiasan. Warga disekitar lingkungan pengusaha penjor juga dapat bekerja sampingan dengan ikut bekerja dengan membuat sampian penjor atau pernak-pernik untuk hiasan penjor.

Dampak ekonomi lainnya dari komodifikasi penjor bagi masyarakat di Kota Denpasar adalah terbukanya peluang usaha atau lapangan pekerjaan. Dengan munculnya usaha penjor di Kota Denpasar, kehidupan sosial masyarakat yang terlibat secara langsung dalam usaha penjor meningkat kesejahteraannya. Selain itu, usaha penjor yang marak di Kota Denpasar secara tidak langsung mencetak tenaga-tenaga ahli atau profesional dibidang seni penjor. Usaha penjor di Kota Denpasar setidaknya mampu meningkatkan rasa menyame braya (persaudaraan) di lingkungan masyarakat.

Dampak terhadap kehidupan umat Hindu di Kota Denpasar adalah mempermudah umat memperloleh bahan-bahan untuk membuat penjor baik saat Galungan ataupun saat piodalan di pura. Penjor sebagai ciri has Agama Hindu di Bali menjadi warisan budaya turun temurun yang kemudian menjadi daya tarik wisata. Dalam kaitannya dengan proses komodifikasi pada usaha penjor tampak berlaku hukum produksi, distribusi dan konsumsi. Ketiga komponen ini berjalan secara seimbang demi tercapainya kesejahtraan dalam proses berproduksi dalam upaya meningkatkan

kehidupan bermasyarakat yang harmonis dalam rangka melaksanakan upacara keagamaan di Kota Denpasar.

  • 7.    Daftar Pustaka

Ardika I Wayan, Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali.Dalam Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas.  Denpasar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra

Universitas Udayana, 2008

Gulo, W. 2002 Metodelogi Penelitian. Jakarta : Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Subrata, I Wayan. 2014. Komodifikasi Tari Barong. Surabaya: Paramita.

Siharta, I Putu.”Perkembangan Industri Kerajinan Bambu Dan Dampaknya Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Di Kabupaten Karangasem Tahun 1969-1989”, dalam sekripsi jurusan Sejarah Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana,1993

Sirikanden.”Galungan” Denpasar: Percetakan Toko Buku Ria,ttt

87