ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 17.2 Nopember 2016: 156 - 164

Legenda Pura Goa Gong Di Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan: Analisis Struktur Dan Fungsi

Ni Made Alit Sutarini1*, I Ketut Ngurah Sulibra2, I Wayan Suteja3

123Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]]1 [[email protected]]2 [[email protected]]3

Corresponding Author

Abstract

Research into the Pura Goa Gong legend is about the analysis of the structure and function. This analysis has the objective to reveal the structure and disclosure functions embodied in the legend of Pura Goa Gong.

This study used the theory of structural, and functional theory. The methods and techniques used in this study were divided into three stages, namely: (1) Methods and techniques providing data using the method of observation and interview techniques aided by purposive sampling, recording techniques, recording techniques, and translation techniques. (2) Methods and techniques of data analysis using qualitative and descriptive analytic techniques. (3) Methods and techniques of presentation of the results of data analysis using informal methods supported by deductive and inductive techniques.

The results obtained from this study, that forms the structure that includes: a variety of language and style. Narrative structure includes: three incidents using advanced groove and the groove is divided into five stages, namely stage situation, circumstances generating stage, the stage of rising action, climax stage, and the stage denoument. Character and characterization are divided into three, namely the main characters, secondary characters, and complementary figures. Background is divided into three, namely the background of the place, time setting, and background ambience. Mandate comprising: an implicit mandate, namely moral teaching, explicit mandate, namely the advice, warnings and restrictions. In addition this study reveal the functions contained in the legend Pura Goa Gong, include: historical function, function of religion, namely tattwa, decency, ceremonies, magical function and aesthetics fuction.

Keywords: legend, structure, and function.

  • 1.    Latar Belakang

Bali adalah salah satu pulau di Nusantara yang memiliki penduduk dominan beragama Hindu, kaya dengan karya sastra lisan masatua (bertutur), tradisi lisan, dan ritual. Karya sastra lisan tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan

perkembangan masyarakatnya sehingga memegang peranan penting dalam pembentukan watak sosial masyarakat pendukungnya. Karya sastra lisan adalah karya sastra yang bentuknya murni lisan dari mulut ke mulut. Salah satu karya sastra lisan yakni legenda merupakan hasil budaya nenek moyang yang berupa warisan haruslah di lestarikan agar terhindar dari kepunahan. Usaha untuk menjaga kelestarian legenda telah banyak dilakukan misalnya dengan cara bentuk tulisan.

Usaha memahami karya sastra lisan, terutama mengenai legenda yang dikaji dalam penelitian ini adalah legenda Pura Goa Gong. Keberadaan Pura Goa Gong dilihat dari tata letaknya berada di lingkungan Banjar Angga Swara Batu Ngongkong, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pura yang jika di lihat dari arah mata angin berada di sebelah timur Kuta Selatan, dengan dua patung macan di depan pintu gerbang halaman pura. Gambaran pura yang dominan menonjol, yaitu dari luar bibir pintu goa sudah dapat terlihat pemandangan tiang batu yang mengagumkan memenuhi isi goa. Keunikan dari pura ini terdapat kucuran air yang menetes dari bebatuan dinding atas yang di yakini sebagai sumber air suci bagi masyarakat setempat. Situs Pura Goa Gong ini terletak di atas sebuah batu yang terukir dari tetesan air berbentuk tiang batu yang menyerupai gong. Secara historis perayaan di Pura Goa Gong jatuh setiap tujuh bulan masehi (6 bulan Bali) berdasarkan perhitungan pawukon (210 hari) tepatnya pada Soma Pon, wuku Sinta yang lazim disebut Soma Ribek. Selain itu, disamping Pura Gong Gong di sebelah barat terpampang dua patung naga yang dinamakan Pura Goa Peteng. Ketertarikan peneliti untuk meneliti Pura Goa Gong adalah penelitian ini belum pernah dikaji sebelumnya dari segi objek maupun analisis, serta ingin menonjolkan salah satu warisan budaya Bali. Selain itu, Pura Goa Gong yang termasuk pura umum patut dijaga kelestariannya serta menjunjung kepercayaan pura tersebut secara turun-temurun. Pada penelitian ini, peneliti akan difokuskan pada legenda Pura Goa Gong dari segi struktur, dan fungsi.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • (1)    Elemen-elemen apa sajakah yang membangun legenda Pura Goa Gong di Desa Jimbaran?

  • (2)    Fungsi apa sajakah yang membangun legenda Pura Goa Gong di Desa Jimbaran?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • (1)    Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan inspirasi dan dapat mengembangkan salah satu aspek kebudayaan Indonesia serta bertujuan untuk mengkaji, memahami, mendeskripsikan serta melestarikan legenda sebagai salah satu warisan budaya bangsa melalui pengembangan kebudayaan daerah yang terdapat di Pura Goa Gong. Diharapkan juga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menghubungkan penelitian tentang legenda sebagai khazanah ilmu pengetahuan.

  • (2)    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut ini:

  • a)    Untuk mendeskripsikan elemen-elemen yang membangun legenda Pura Goa Gong di Desa Jimbaran.

  • b)    Untuk mendeskripsikan fungsi yang membangun legenda Pura Goa Gong di Desa Jimabaran.

  • 4.    Metode Penelitian

Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut ini: (1) Metode dan Teknik Penyediaan Data, (2) Metode dan Teknik Analisis Data, (3) Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.

  • (1)    Metode dan Teknik Penyediaan Data

Metode yang digunakan dalam proses penyediaan data berkaitan dengan penelitian ini, yakni yang pertama adalah menggunakan metode observasi. Metode observasi adalah mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengamati objek penelitian. Pengamatan ini disertai dengan pendukumentasian melalui pemotretan terhadap objek yang hendak diamati. Teknik wawancara adalah teknik utama yang dipakai dalam penelitian tersebut yaitu menanyakan kepada informan yang mengetahui cerita (legenda) tersebut dibantu dengan teknik purposive sampling (Hadi, 1973: 70), yaitu ditentukan dengan memilih informan kunci yaitu pendeta Pura Goa Gong, Bendesa Adat, serta salah satu tokoh masyarakat. Selain itu dipakai juga teknik rekaman untuk merekam apa yang disampaikan oleh narasumber atau penutur dan dibantu pula dengan teknik pencatatan dan teknik terjemahan. Dalam hal ini terjemahan dilakukan secara harfiah dan idiomatis. Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata

demi kata dengan tidak ada perubahan bentuk. Sedangkan untuk mengetahui makna biasanya menggunakan terjemahan idiomatis. Terjemahan idiomatis adalah menyampaikan pesan sumber seperti aslinya, terjemahan ini mengutamakan penyampaian pesan bahasa sumber dan bahasa sasaran lebih mendekati sehingga mudah dipahami (Larson, 1991: 16).

  • (2)    Metode dan Teknik Analisis Data

Dalam tahapan analisis data ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dikarenakan metode ini secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2004: 53). Sedangkan teknik yang digunakan adalah teknik deskriptif analitik yaitu teknik yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan, namun tidak semata-mata hanya menguraikan melainkan juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2004: 53).

  • (3)    Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

Tahap terakhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penyajian hasil analisis data. Dalam tahapan ini, hasil analisis disajikan dengan metode informal. Metode informal digunakan untuk menyajikan hasil analisis data dalam bentuk katakata biasa serta mudah di pahami dan bukan dalam bentuk angka-angka (Ratna, 2004: 54). Tahap ini didukung dengan menggunakan teknik deduktif dan teknik induktif. Menurut Sudaryanto (1982: 4) Teknik deduktif adalah cara penyajian dengan

menggunakan hal-hal yang bersifat umum kemudian dikemukakan hal-hal khusus sebagai penjelas, sedangkan teknik induktif, adalah penyajian dengan menggunakan hal-hal yang bersifat khusus kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat umum.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

Struktur legenda Pura Goa Gong meliputi struktur bentuk dan struktur naratif.

  • a. Struktur Bentuk Legenda Pura Goa Gong

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga bentuk adalah wujud, bangunan, rupa (Tim Penyusun, 2005: 135). Bentuk cerita lisan yang lebih dikenal dengan istilah satua, berbentuk prosa. Dalam pengertian kesastraan, prosa sering diistilahkan dengan fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimiliki lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Pembahasan mengenai struktur bentuk pada legenda Pura Goa Gong meliputi: ragam bahasa, yakni bahasa bali alus, dan bahasa bali kasar, serta gaya bahasa, yakni gaya bahasa metafora, antithesis, sarkasme, dan antonomasia. b. Struktur Naratif Legenda Pura Goa Gong

Struktur naratif legenda Pura Goa Gong meliputi: insiden, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, dan amanat.

  • (1)    Insiden

Insiden adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita tidak tergantung dari panjang pendek, yang secara menyeluruh membangun kerangka struktur cerita menyeluruh (Sukada, 1982: 22). Dalam legenda Pura Goa Gong dibagi menjadi tiga insiden, insiden pertama diawali dengan Dang Hyang Nirartha mendengar suara gong yang sangat merdu dari arah timur laut, sampai pada nsiden terakhir saat Dang Hyang Nirartha menemukan sumber suara gong dan seketika suara itu berhenti. (2) Alur

Alur yakni urutan peristiwa yang membangun keutuhan sebuah cerita. Alur pada legenda Pura Goa Gong menggunakan alur lurus peristiwa disusun dari awal, tengah dan akhir. (Tasrif dalam Nurgiantoro, 2002: 149-150) Tahapan plot dibagi menjadi lima tahap, yakni tahap situation, generating circumstances, rising action, climax serta denoument.

  • (3)    Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan sosok atau individu rekaan yang menjalankan seluruh peristiwa dalam sebuah karya sastra. Penokohan merupakan penyajian watak atau pencitraan yang diwujudkan oleh tokoh. Tokoh dan penokohan pada legenda Pura Goa Gong secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tokoh utama, tokoh sekunder,

dan tokoh komplementer atau pelengkap. Pengarang juga menggambarkan tokoh dalam legenda Pura Goa Gong dalam tiga dimensi pokok, yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis yang khas.

  • (4)    Latar

Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Karmini, 2011: 67). Dalam legenda Pura Goa Gong latar mencakup tiga unsur, yaitu latar tempat, waktu dan suasana. Latar tempat dalam legenda ini, yaitu: di Pura Uluwatu, di Taman Goa Peteng, dan di Pura Goa Gong. Latar waktu meliputi: pada saat itu, bertahun-tahun, pagi dan malam hari, dan pada hari Rabu. Latar suasana meliputi: suasana sedih, suasana gembira, dan suasana kaget.

  • (5)    Amanat

Amanat yaitu gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Amanat yang terkandung pada legenda Pura Goa Gong terdiri dari amanat implisit dan amanat eksplisit. Implisit atau tersembunyi yaitu pada ajaran moral yang disiratkan pada tingkah laku tokoh, pada rangkaian dialog ataupun percakapan tokoh. Di dalam ajaran moral terdapat pesan yang disampaikan pengarang secara tidak langsung kepada para pembaca, beberapa pesan tersebut diantaranya mengenai pesan ajaran-ajaran moral yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha. Amanat yang terkandung secara eksplisit yaitu menyampaikan seruan, saran peringatan, nasehat, anjuran, larangan dan berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita. Beberapa pesan tersebut mengandung anjuran di dalam percakapan antar tokoh yaitu pada saat Dang Hyang Nirartha memberikan anjuran pada dua ekor naga agar tubuhnya menjaga Taman Goa Peteng yang didirikan olehnya, Kemudian terdapat pesan yang mengandung saran peringatan saat para wong samar (makhluk halus) memohon pembebasan diri pada Dang Hyang Nirartha, namun beliau memberikan peringatan bahwa pembebasan tersebut sesuai dengan karmanya masing-masing, selanjutnya terdapat pesan yang mengandung larangan yaitu pesan pengarang secara langsung memberitahu pada pembaca bahwa sudah dari seperti itu saat melakukan persembahyangan dilarang untuk tidak sembahyang di Pura Goa Gong pada hari Rabu.

Fungsi Legenda Pura Goa Gong

Fungsi sebuah karya sastra sangat berkaitan dengan apa yang ingin ditujukan pengarang atau penutur dalam karyanya, apa yang dimaksud dan diharapkan pengarang dalam karyanya (Wellek & Warren, 1989: 109). Dalam hal ini, fungsi sebuah teks sastra harus dilihat dalam kerangka dialektika berfikir horatius yaitu sifat dulce dan utile, yakni indah dan berguna sebagai tujuan dan fungsi karya sastra (Teeuw, 1984: 8). Fungsi yang terkandung dalam legenda Pura Goa Gong, yakni sebagai berikut ini:

Fungsi historis berkaitan dengan sejarah didirikannya Pura Goa Gong yang di awali saat Dang Hyang Nirartha melaksanakan tanggung jawab sebagai pendeta sang raja yang melakukan perjalanan suci mengelilingi pulau Bali dan pulau Jawa sampai akhirnya beliau berada di Pura Uluwatu dan mendengar suara gong yang sangat merdu dari arah timur laut, beliau menemukan sebuah batu berbentuk gong yang berada di dalam goa serta disucikan hingga didirikan sebuah pura yang bernama Pura Goa Gong.

Fungsi agama berkaitan dengan tiga kerangka dasar agama Hindu yang meliputi tattwa/filsafat, susila/etika, dan upacara, ketiganya merupakan satu kesatuan yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu. Tattwa merupakan kepercayaan adanya kuasa atas segala yang ada disebut Tuhan, serta segala sesuatu yang yang bersangkut paut dengan kepercayaan itu. Hal tersebut ditunjukan ketika Dang Hyang Nirartha melaksanakan yoga semadi di Pura Goa Gong tepatnya pada hari Rabu, dimana masyarakat setempat mempercayai untuk tidak diperkenankan melaksanakan persembahyangan pada hari Rabu, bukan melarang melainkan menghormati Dang Hyang Nirartha yang melakukan yoga semadi pada hari rabu dan masyarakat setempat meyakini adanya kepercayaan tersebut. Susila adalah bagian kedua Tri Jnana Sandhi yang terdiri dari kata Su dan Sila. Su berarti baik, indah, harmonis, sedangkan Sila berarti dasar, perilaku, tata laku. Jadi, susila adalah tingkah laku manusia yang baik dan terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Di dalam legenda Pura Goa Gong ajaran susila/etika terdapat pada tokoh Dang Hyang Nirartha yang suka menolong atau memberikan belas kasihan kepada sesama makhluk. Upacara mengandung makna sekitar tata cara pelaksanaan agama Hindu. Artinya, acara itu menyangkut hal-hal seperti: jenis upacara, tempat upacara, saat atau waktu upacara, rangkaian upacara,

sarana atau alat upacara, dan lain-lain. Pada legenda Pura Goa Gong terdapat fungsi pengruwatan, fungsi tirtha yatra dan pengeramatan yang tergolong pada fungsi upacara.

Fungsi magis dalam legenda Pura Goa Gong tidak terdapat upacara suci atau ritual yang dilakukan, melainkan fungsi magis berupa tenaga gaib, kekuatan gaib, dan sihir serta fungsi estetika. Estetika berurusan dengan konsep-konsep tentang apa yang lebih buruk, yang syahdu dan lucu, dan sama sekali tidak urusan langsung dengan kegunaan dan moralitas. Fungsi estetika dalam legenda Pura Goa Gong terdapat pada saat penutur melukiskan sebuah batu berbentuk gong yang mengeluarkan suara yang sangat merdu hingga Dang Hyang Nirartha berkeinginan mendekati suara gong tersebut, dan penutur melukiskan pada dinding atas goa menetes air suci bagaikan air sungai gangga saat Dang Hyang Nirartha melakukan yoga semadi yang kini diyakini sebagai sumber air suci, selain itu fungsi estetika juga terdapat pada keunikan dan pemandangan dari Pura Goa Gong yang menarik minat wisatawan asing untuk datang berkunjung.

  • (6)    Simpulan

Legenda merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita memang benar-benar terjadi serta tidak dianggap suci, serta peristiwa dari zaman dahulu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah. Kajian struktur bentuk meliputi: ragam bahasa, dan gaya bahasa. Struktur naratif meliputi: insiden, alur (plot), tokoh dan penokohan, latar, dan amanat. Struktur naratif meliputi: tiga insiden, alur atau plot yang digunakan dalam legenda Pura Goa Gong adalah alur lurus, serta tahapan alur/plot dibagi menjadi lima tahapan, yaitu tahap situation, generating circumstances, rising action, climax, denoument. Tokoh dan penokohan dibagi menjadi tiga, yaitu tokoh utama, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer serta tokoh dibagi mejadi tiga dimensi, yaitu fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Latar dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Amanat dibagi menjadi dua, amanat implisit yaitu mengenai ajaran moral dan amanat eksplisit mengenai anjuran, peringatan, dan larangan. Fungsi yang terkandung dalam legenda Pura Goa meliputi: fungsi historis, fungsi agama, yaitu tattwa/filsafat, susila/etika, dan upacara, serta fungsi magis. Selain itu terdapat pula nilai yang terkandung dalam legenda Pura Goa Gong meliputi: nilai estetika.

  • (7)    Daftar Pustaka

Hadi, Sutrisno. 1973. Metodelogi Research. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Karmini, I Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi Dan Drama. Denpasar: Pustaka Larasan.

Larson, Milfred L. 1989. Penerjemah Berdasarkan Makna. Jakarta: Arcan.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2014. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Grafitipress.

Sudaryanto. 1982. Metode Penelitian Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sukada, Made. 1982. Masalah Sistematisasi Analisis Cipta Sastra Prosa. Denpasar: Lembaga Penelitian. Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

164