Fungsi dan Peranan Tinggalan Arkeologi di Pura Yeh Gangga Desa Perean Kabupaten Tabanan
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 17.1 Oktober 2016: 147 - 152
Fungsi dan Peranan Tinggalan Arkeologi di Pura Yeh Gangga Desa Perean Kabupaten Tabanan
Komang Ary Purwaningsih1* A.A Gde Aryana2 Coleta Palupi Titasari3 123Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana 1[purwaningsihary@rocketmail.com] 2[gde_ariana@unud.ac.id] 3[ajunary@yahoo.com]
*Corresponding Author
Abstract
Title the study is Function and Roles of the archaeological heritage in Yeh Gangga Temple Tabanan Regency has the aim knowing the function of archaeological heritage and roles of archaeological heritage for the society Perean Village. Data in this study were obtained by using observation, interview, and literature techniques and then the data were analyzed using qualitative analysis, contextual analysis, and comparing analysis. As a result of the study, it was found that the function archaelogical heritage in Yeh Gangga Temple has a manifestation God to keep safety, prosperity, pacify, healty and fertility, while roles of the archaeological heritage in Yeh Gangga Temple in social aspect has media to unite society of Perean Village, in the cultural aspect field it would be one tengible evidence of mixing process between the culture of Java and Bali, and then pride for society Perean Village, in religious field the archaeological heritages functions as the media of maintaining a good relationship between the local community with the ancestors and Gods.
Keyword: archaeological, heritages, function, and roles.
Arkeologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan masa lalu berdasarkan benda-bendanya (Anonim, 2005: 65). Arkeologi di Indonesia memiliki rentetan zaman yang panjang salah satunya yaitu pada masa klasik. Masa klasik dapat dikatakan sebagai masa keemasan dari tinggalan arkeologi karena masyarakat meninggalkan warisan leluhur yang cukup kompleks seperti candi, arca perwujudan, lingga, dan lain sebaginya. Tinggalan arkeologi tersebut memiliki nilai fungsi tersendiri bagi individu dan masyarakat seperti yang terlihat pada perbedaan fungsi tinggalan arkeologi di Bali dan Jawa. Masyarakat di Jawa pada masa sekarang umumnya tidak memfungsikan tinggalan arkeologi sebagai pemujaan terhadap roh leluhur ataupun
dewa-dewi, dapat dikatakan bahwa sifat tinggalan arkeologi di Jawa dikategorikan sebagai death monument. Masyarakat Hindu di Bali memberikan arti tersendiri bagi tinggalan leluhurnya, dikeramatkan serta disimpan pada tempat suci atau yang dikenal dengan istilah pura, sifat tinggalan arkeologi di Bali dapat dikategorikan sebagai living monument serta tinggalan arkeologi di Bali menjadi penting bagi masyarakat (Cakrawan, 1998: 2).
Salah satu contonya yaitu masyarakat Desa Perean di Kabupaten Tabanan, masyarakat tersebut menjaga serta melindungi tinggalan arkeologi, mereka percaya bahwa tinggalan tersebut diwariskan oleh leluhur mereka untuk menjaga serta melindungi masyarakat Desa Perean. Desa Perean memiliki beberapa pura atau tempat suci yang menyimpan tinggalan arkeologi yaitu Pura Yeh Gangga dan Pura Puseh lan Desa. Tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga diletakkan menyebar diareal pura dan cukup kompleks, yang terdiri dari lingga yang berjumlah 7 buah, arca perwujudan yang berjumlah 2 buah, arca Ganesa, arca dwarapala yang berjumlah dua buah, arca pancuran naga pada patirthaan, ceruk yang berjumlah 2 buah, dan meru tumpang tujuh.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu (1) Apakah fungsi dari tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga? Dan (2) Bagaimanakah peranan tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga terhadap masyarakat Desa Perean?
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui fungsi serta peranan tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga dan bertujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tinggalan arkeologi yang disakralkan oleh masyarakat dan dipuja serta masyarakat mampu menjaga serta melestarikan tinggalan arkeologi maupun nilai-nilai yang terkandung dalam tinggalan arkeologi tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu, tahap pertama teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik penyajian hasil analisis. Teknik pengumpulan data terdiri dari observasi, wawancara dan studi pustaka,
teknik analisis data terdiri dari analisis kualitatif, analisis kontekstual, dan analisis komparatif, dan teknik penyajian hasil analisis dalam bentuk deskripsi, bagan, tabel serta gambar.
-
a) Lingga
Lingga dianggap sebagai simbol kesuburan khususnya oleh agama Hindu. Pandangan ini sudah tampak sejak lama yaitu semenjak peradaban kebudayaan Lembah Sungai Indus di India (Liebert, 1976: 152), lingga dapat juga dikatakan sebagai
perwujudan dari Dewa Siwa. Dewa Siwa digambarkan sebagai dewa dari semua dewa, dewa penguasa dunia, dewa keselamatan, sebagai dewa penguasa kehidupan dan kematian, sebagai dewa pengasih, dewa yang memberikan kesejahteraan dan lain sebagainya(Gupte dalam Sukadana, 2001: 45). Di Pura Yeh Gangga terdapat 7 buah lingga yang bentuknya bervariasi dan ditempatkan menyebar di sekitar areal pura yaitu pada jeroan pura atau halaman dalam dan pada ceruk yang terletak disebelah timur pura. Lingga yang terdapat di areal pura jika dibandingkan bentukny dengan lingga yang terdapat di ceruk memiliki bentuk yang berbeda, sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi yang berbeda. Fungsi lingga yang ditempatkan di halaman dalam yaitu sebagai dewa keselamatan dan perwujudan Dewa Siwa sedangkan fungsi lingga yang terletak di Ceruk berfungsi sebagai perwujudan roh leluhur yang terdapat di Gunung Agung, Gunung Batur dan Puncak Lempuyang.
-
b) Arca Perwujudan
Arca perwujudan adalah penggambaran wujud jasmani dari orang yang telah meninggal dan rohnya telah dianggap suci. Pembuatan arca-arca tersebut dimaksudkan sebagai media pemujaan terhadap roh suci leluhur dan dewa-dewa. Terdapat 2 buah arca perwujudan di Pura Yeh Gangga yang ditempatkan di beberapa pelinggih halaman dalam pura. Bentuknya sudah tidak utuh lagi, beberaapa bagian tubuh arca ada yang patah dan hilang namun, masih dapat diketahui jenis kelamin dari arca tersebut yaitu satu buah arca perwujudan Bhatara dan satu buah arca perwujudan Bhatari. Fungsi arca perwujudan di Pura Yeh Gangga adalah sebagai pemujaan dan penghormatan terhadap
roh suci leluhur untuk keselamatan namun, tokoh yang diwujudkan ke dalam arca perwujudan tersebut belum diketahui.
-
c) Arca Ganesha
Arca Ganesa terletak di belakang meru, memiliki perut buncit, sikap duduk wairasa, duduk diatas lapik namun, belalainya sudah patah dan hilang. Fungsi dari arca Ganesa di Pura Yeh Gangga yaitu sebagai Vighneswara atau dewa keselamatan.
-
d) Arca Dwarapala
Arca dwarapala di Pura Yeh Gangga Berjumlah 2 Buah atau dapat dikatakan sepasang, bentuknya serupa namun, arah hadap muka berbeda dan tangan yang menggenggam senjata berupa golok juga berbeda. Arca dwarapala terletak di badan meru tumpang tujuh yaitu pada sisi utara dan sisi selatan. Fungsi arca dwarapala ini adalah sebagai penolak bala atau bahaya.
-
e) Arca Naga pada Patirthaan
Fungsi dari arca naga pada patirthaan yaitu sebagai lambang kesuburan. Naga pada umumnya dipandang berkaitan dengan air, naga juga digambarkan sebagai binatang mitologi yang hidup atau menjaga berbagai tempat-tempat seperti mata air, sungai, danau, atau lautan. Organisasi subak yang terdapat di Desa Perean turut serta menjaga serta melindungi patirthaan yang terdapat di Pura Yeh Gangga.
-
f) Ceruk
Ceruk pada umumnya difungsikan sebagai tempat pertapaan sehingga tidak jarang ceruk terdapat di dekat areal patirthaan yang suci, terpahat di atas tebing yang curam. Ceruk pada Pura Yeh Gangga berjumlah dua buah yang ukurannya berbeda, di dalam ceruk terdapat lingga, selain itu terdapat hiasan atau goresan pada dinding ceruk yang berukuran lebih besar. Fungsi dari ceruk di Pura Yeh Gangga yaitu sebagai perwujudan dari roh leluhur yang terdapa di Gunung Agung, Gunung Batur dan Puncak Lempuyang untuk memohon keselamatan.
-
g) Batu bertulis Angka Tahun
Batu ini terbuat dari batu pada yang tersusun dan pada bagian atasnya terdapat tulisan angka yang menandakan tahun yaitu 1261 Saka atau 1339 Masehi. Batu ini berfungsi sebagai penanda didirikannya pura tersebut serta tinggalan arkeologi yang lainnya.
-
h) Meru Tumpang Tujuh
Meru memiliki dua fungsi yang pertama sebagai sthana para dewa dihubungkan dengan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai penguasa arah dari kiblat mata angin dan fungsi meru sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur, jumlah tumpang pada meru dihubungkan dengan status sosial orang yang didharmakan. Meru yang difungsikan sebagai pemujaan roh suci leluhur terlihat pada kompleks Pura Besakih, jumlah tumpang pada meru yakni 11 atau meru tumpang 11 yang merupakan pedharman dari Raja Dalem Waturenggong. Perbedaan fungsi tersebut diseuaikan dengan konteks dari tempat meru tersebut di letakkan. (Rata, 1985: 395-397). Fungsi dari Meru Tumpang Tujuh yang terletak di Pura Yeh Gangga jika di kaitkan dengan lingga yang terdapat di dalam meru tersebut yaitu sebagai perwujudan Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa untuk memohon keselamatan, kesejahteraan serta kesehatan.
-
a) Bidang Sosial
Masyarakat Desa Perean merupakan masyarakat yang agraris atau sebagian besar mata pencaharian mereka adalah bertani. Organisasi subak merupakan salah satu organisasi yang mengatur mengenai pertanian, subak yeh gangga merupakan salah satu subak yang ikut melestarikan patirthaan yang terdapat di Pura Yeh Gangga. Dalam bidang sosial tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga pada khususnya yaitu patirthaan memiliki peranan sebagai wadah pemersatu masyarakat Desa Perean dan memiliki peranan sebagai lambang dari kemakmuran dan kesuburan jika dikaitkan dengan organisasi subak yang ikut menjaga patirthaan tersebut. b) Bidang Budaya
Peranan tinggalan arkeologi dalam bidang budaya adalah sebagai bukti adanya akulturasi budaya antara budaya Jawa Timur dan budaya Bali yang dilihat pada meru tumpang tujuh. Akulturasi tersebut terlihat pada grendel pintu mirip dengan pintu semu yang terdapat di Candi Singasari Jawa Timur, hiasan-hiasan pada kaki meru serupa dengan hiasan pada Candi Kidal, dan kepala kala pada meru serupa dengan kepala kala pada cand-candi di Jawa Timur yaitu berdagu. Meru tumpang tujuh yang memiliki
bentuk unik dan berbeda dari meru pada umumnya di Bali menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Desa Perean.
c) Bidang Religi
Peranan tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga dalam bidang religi yaitu sebagai media dalam menjaga hubungan baik antara dunia arwah atau dengan leluhur mereka dan dewa-dewi, masyarakat menyadari bahwa tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga tersebut merupakan warisan leluhur dan sarana atau media untuk berkomunikasi dengan dewa-dewi maupun leluhur maka dari itu tinggalan arkeologi tersebut harus dijaga kelestariannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi tinggalan arkeologi di Pura Yeh Ganga berupa lingga, arca perwujudan, arca Ganesa, arca dwarapala, arca pancuran pada patirthaan, ceruk, batu bertulis angka tahun dan meru tumpang tujuh adalah sebagai perwujudan dari dewa-dewa untuk menjaga keselamatan, kemakmuran, ketentraman, kesehatan dan kesuburan, sedangkan peranan tinggalan arkeologi di Pura Yeh Gangga dalam bidang sosial yaitu sebagai media pemersatu masyarakat Desa Perean, bidang budaya sebagai bukti adanya akulturasi budaya antara Jawa Timur dan Bali serta sebagai suatu kebanggan bagi masyarakat Desa Perean, bidang religi sebagai media komunikasi anatara masyarakat Desa Perean dengan roh leluhur dan dewa-dewi.
Anonim, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Cakrawan, Cok Rai. 1998. “Arca-Arca Perwujudan Di Beberapa Pura Di Desa Saba Blahbatuh Gianyar”. Skripsi. Denpasar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Libert, Gosta. 1976. Iconography Dictionary of Indian Religion Hinduism-Buddhism-Jainsm. Leiden: E.J Brill.
Sukadana, I Wayan. 2001. Lingga Pada Beberapa Pura di Desa Adat Getasan Carang Sari Kebupaten Badung. Skripsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
152
Discussion and feedback