ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 17.3 Desember 2016: 49 - 57

Geguritan Singandalang: Analisis Struktur Dan Nilai

I Kadek Wirayasa1*, I Nyoman Supatra2, I Nyoman Duana Sutika3 123Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[ikadekwirayasa@yahoo.co.id] 2[nyomansupatra17@gmail.com]

3

3[duana_sutika@yahoo.com]

*

Corresponding Author

Abstract

Geguritan Singandalang is a Bali literary work which contains about loyalty I Singandalang to Ni Layonsari who meet the exam when you just got married.

Research on Geguritan Singandalang analyzed using structural theory. Geguritan building structures, namely forma structure and narrative structure. Analysis of the structure will also be equipped with an analysis of the value that can be used as guidelines in this life. This research was carried out over several stages, namely: (1) step of providing data using a method of reading, which is supported by engineering transliteration, translation techniques and recording techniques, (2) the stage of data analysis using qualitative methods are supported using the technique of descriptive analytic, (3) the stage of presentation of the results of data analysis using informal methods that are supported by engineering deductive and inductive techniques.

Geguritan Singandalang structural analysis include: (1) the structure forma: code language and literature, style, language diversity. Geguritan Singandalang use only one type pupuh, namely pupuh panglipur using a variety of language Bali kepara. (2) the structure of the narrative include: incident, plot, setting, character and characterization, theme and mandate. There are eleven incidents in Geguritan Singandalang. Using a straight furrow. Background includes background place, time setting and background ambience. Figure consists of the main characters, secondary characters and complementary figures. Penokohannya views analytically and dramatic with character terms of three dimensions: the physiological, psychological and sociological. The theme used, which is about loyalty. Analysis of the value in Geguritan Singandalang include religious values (philosophy, decency, ceremonial), the value of loyalty, educational value, social value and aesthetic value.

Keywords: geguritan, structure, and value.

  • 1.    Latar Belakang

Bali sangat terkenal dengan kekayaan budaya, alam, tradisi serta karya-karya sastranya. Geguritan merupakan salah satu karya sastra yang masih terjaga keberadaannya baik dalam bentuk lontar maupun yang sudah dalam bentuk buku. Keberadaan geguritan sangat penting untuk dilestarikan karena merupakan warisan 49

budaya yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang sangat berguna bagi kehidupan serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berprilaku dan bersikap.

Menurut Agastia (1980: 17), geguritan merupakan karya sastra Bali purwa yang disusun menggunakan pupuh dengan persyaratan yang lazim disebut dengan padalingsa, yaitu banyaknya baris dalam tiap-tiap bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik), dan bunyi akhir tiap-tiap baris. Seorang pengarang biasanya sangatlah serius dalam mengatur penggunaan pupuh pada karyanya, karena pupuh mempunyai watak tersendiri untuk melukiskan peristiwa yang digambarkan. Karya sastra geguritan memiliki aturan yang mengikatnya, yaitu di dalamnya terdapat pupuh, padalingsa, guru wilangan, dan guru dingdong. Pupuh juga disebut dengan macepat atau disebut juga sekar alit. Di Bali pada umumnya terdapat sepuluh pupuh yang dipakai dalam sebuah geguritan, yaitu pupuh durma, dangdang, mijil, maskumambang, pangkur, pucung, ginada, ginanti, semarandana, dan sinom. Berbeda dengan Geguritan Singandalang hanya menggunakan pupuh panglipur yang sangat jarang digunakan dalam sebuah geguritan.

Karya sastra geguritan memiliki isi sebagai satu-kesatuan sastra dengan nilai-nilai artistik tersendiri dan nilai-nilai spiritual kemanusiaan atau kebenaran yang universal dan hakiki (Agastia, 1980: 2). Alasan yang menjadi pertimbangan diangkatnya Geguritan Singandalang sebagai bahan kajian dalam penelitian ini, yaitu (1) geguritan ini sangat menarik karena berisi kisah kesetiaan I Singandalang kepada Ni Layonsari yang perlu kita lakukan kepada pasangan hidup, (2) geguritan ini memuat tentang bagaimana menjalani hubungan pernikahan yang tidak akan selalu bahagia dan akan menemui ujian, (3) di dalam geguritan ini berisi tentang firasat sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, karena di Bali sendiri firasat sebuah mimpi masih dipercayai, (4) di dalam geguritan ini menggunakan pupuh panglipur yang memilki padalingsa, yaitu (8i, 8a, 8u, 8a, 8i, 8u, 12a) serta sangat jarang digunakan dalam pembuatan karya sastra geguritan, (5) Geguritan Singandalang memiliki isi yang sangat sarat akan nilai-nilai kehidupan, sehingga dari pertimbangan di atas maka penelitian struktur dan nilai dalam geguritan ini sangat perlu untuk dilakukan.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • (1)    Bagaimanakah struktur yang membangun Geguritan Singandalang ?

  • (2)    Nilai-nilai apa sajakah yang terkandung dalam Geguritan Singandalang ?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • (1)    Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan pembaca karya sastra Bali khususnya karya sastra geguritan. Di dalam geguritan mengandung nilai yang berguna sebagai pedoman hidup. Dengan adanya penelitian ini diharapkan karya sastra Bali tetap terjaga kelestarian dan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang ada di Bali.

  • (2)    Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui isi dari Geguritan Singandalang, sehingga dapat diketahui struktur forma dan struktur naratif yang membangun geguritan ini. Selain itu juga untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat dalam Geguritan Singandalang.

  • 4.    Metode Penelitian

Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut ini: (1) Tahap Penyediaan Data, (2) Tahap Analisis Data, (3) Tahap Penyajian Hasil Analisis Data.

  • (1)    Tahap Penyediaan Data

Tahap penyediaan data menggunakan metode membaca, yaitu dengan membaca objek secara berulang-ulang. Menurut Teeuw (1983: 12) membaca adalah proses,

membaca juga merupakan proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Penggunaan metode tersebut didukung dengan teknik transliterasi, terjemahan dan teknik pencatatan. Teknik transliterasi digunakan dalam mentransliterasi objek penelitian yang di tulis menggunakan aksara Bali ke dalam aksara Latin. Setelah proses transliterasi dilanjutkan dengan teknik penerjemahan yang dilakukan secara harfiah dan idiomatis. Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata dengan tidak ada perubahan bentuk, sedangkan untuk mengetahui makna biasanya menggunakan terjemahan idiomatis. Terjemahan idiomatis adalah menyampaikan pesan sumber seperti aslinya, terjemahan ini mengutamakan penyampaian pesan bahasa sumber dan bahasa sasaran lebih mendekati sehingga lebih 51

mudah dipahami (Larson, 1991: 16). Teknik terjemahan sangat perlu dilakukan karena bahasa yang dipakai dalam penulisan geguritan ini bukan bahasa Indonesia. Selain itu juga diperlukan teknik pencatatan yang berguna untuk mencatatat semua data yang telah diperoleh.

  • (2)    Tahap Analisis Data

Tahap analisis data menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang memberikan perhatian utama pada makna dan pesan yang terkandung di dalam data atau objek itu sendiri. Penggunaan metode kualitatif pada tahap ini didukung dengan menggunakan teknik deskriptif analitik, yaitu teknik yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian disusul dengan analisis melalui pemahaman maupun penjelasan yang secukupnya (Ratna, 2009: 53).

  • (3)    Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Tahap terakhir dalam sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap ini metode yang digunakan adalah metode formal dan metode informal. Metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda dan lambang, sedangkan metode informal yakni cara penyajian melalui kata-kata biasa (Sudaryanto dalam Ratna, 2004: 50). Tahap ini juga didukung dengan teknik induktif dan teknik deduktif. Menurut Sudaryanto (1982: 4), teknik deduktif adalah cara penyajian dengan menggunakan hal-hal yang bersifat umum kemudian dikemukakan hal-hal khusus sebagai penjelas, sedangkan teknik induktif, adalah penyajian dengan menggunakan hal-hal yang bersifat khusus kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat umum.

  • (4)    Hasil dan Pembahasan

Struktur Geguritan Singandalang meliputi struktur forma dan struktur naratif.

  • a.    Struktur Forma Geguritan Singandalang

Secara etimologis forma berasal dari bahasa latin yang berarti bentuk atau wujud (Ratna, 2009: 49). Pembahasan mengenai struktur forma pada Geguritan Singandalang meliputi: (1) kode bahasa dan sastra, yakni berisi kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap suara pematut dan wilangan kecap dari konvensi pupuh panglipur yang terdapat dalam Geguritan Singandalang, (2) gaya bahasa, yakni terdiri dari gaya bahasa perbandingan: perumpamaan, antitesis, pleonasme, gaya bahasa pertautan: antonomasia, 52

gaya bahasa pertentangan: litotes (3) ragam bahasa, yakni ragam bahasa Bali Kepara yang terdiri dari bahasa Bali Alus, bahasa Bali Madya, bahasa Bali Kasar.

  • b.    Struktur Naratif Geguritan Singandalang

Struktur naratif Geguritan Singandalang meliputi: insiden, alur, latar, tokoh dan penokohan, tema dan amanat.

  • (1)    Insiden

Insiden ialah kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam dalam cerita, besar atau kecil. Secara keseluruhan insiden-insiden ini menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita (Sukada, 1987: 58). Geguritan Singandalang memiliki sebelas insiden yang terjadi dari awal sampai akhir cerita. Keseluruhan insiden-insiden menjadi satu kesatuan yang membangun cerita dalam Geguritan Singandalang.

  • (2)    Alur

Alur merupakan urutan peristiwa di dalam cerita rekaan yang secara sadar disusun secara selogis mungkin, sehingga urutan tersebut merupakan rangkaian sebab-akibat (Teeuw, 1984: 120). Alur pada Geguritan Singandalang menggunakan alur lurus peristiwa yang disusun dari awal, tengah dan akhir. Tahapan plot pada alur/plot utama ini terbagi menjadi lima tahapan yaitu (1) tahap Situation, (2) tahap Generating Circumstances, (3) tahap Rising Action, (4) tahap Climax, dan (5) tahap Denouement (Tasrif dalam Nurgiyantoro, 2007: 149).

  • (3)    Latar

Latar dapat diartikan sebagai salah satu unsur sastra yang berhubungan dengan tempat, keadaan dan waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita (Hutagalung, 1967: 103). Latar pada Geguritan Singandalang terdiri atas tiga unsur latar yaitu latar tempat (di rumah, di jalan, di taman, di sanggah, di dalam kamar, di sungai, di pinggir jurang, di tengah hutan, di pemandian, di kediaman Jro Dukuh Kakyang), latar waktu (secara umum terjadi pada pagi, siang, sore dan malam hari serta beberapa latar waktu yang tidak jelas disebutkan), latar suasana (suasana senang, khawatir, sedih, tegang).

  • (4)    Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan pelaku-pelaku yang melahirkan peristiwa atau penyebab terjadinya peristiwa. Tokoh-tokoh dihadirkan dengan maksud menghidupkan cerita, sedangkan segala cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh disebut penokohan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa antara tokoh dan penokohan sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda (Saad, 1967:11). Tokoh dalam Geguritan Singandalang terbagi atas tiga yaitu tokoh utama, tokoh sekunder, tokoh komplementer (pelengkap). Tokoh utama dalam Geguritan Singandalang yaitu Ni Layonsari dan I Singandalang. Tokoh sekundernya yaitu Ni Pranandulu, Ni Ruksahati, I Batugahing dan I Batugunung. Tokoh komplementer yaitu Dukuh Istri, Jero Dukuh Lanang, Jero Dukuh Kakung, Ni Wayan Laba, dan ibu. Perwatakannya digambarkan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Sementara itu penokohannya dilihat secara analitik dan dramatik.

  • (5)    Tema

Tema merupakan pokok pikiran ataupun dasar cerita yang dipercakapkan atau dipakai dasar mengarang. Tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (Tarigan, 1984: 125).Secara umum dapat disimpulkan bahwa tema dari Geguritan Singandalang yaitu “kesetiaan”.

  • (6)    Amanat

Amanat merupakan bagian keseluruhan dialog dan pokok cerita. Amanat akan berkaitan/menyeluruh hati nurani pembaca, untuk menyadari atau menolaknya. Kesan-kesan yang diberikan oleh pembaca berbeda-beda, tergantung pada tiga faktor, yaitu: (1) intuisi, (2) persepsi pembaca, (3) sikap batin pembaca yang menunjukkan pandangan hidupnya. Amanat dapat berwujud kata-kata mutiara, nasehat, firman tuhan, sebagai petunjuk untuk memberikan nasehat (Sukada, 1983: 22). Pada intinya pesan yang terkandung dalam Geguritan Singandalang adalah mengenai sebuah kesetiaan terhadap pasangan hidup, hal tersebut dapat dilihat saat Tokoh I Singandalang tanpa henti mencari Ni Layonsari ke tengah hutan tanpa melihat waktu dan tempat yang ia lalui. Sikap I Singandalang tersebut dapat dijadikan sebagai contoh kita dalam

menjalani hidup saat berumah tangga agar terciptanya keutuhan rumah tangga. Selain itu juga terselip pembelajaran bahwa hal yang baik dan buruk itu tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan ini.

  • (5)    Nilai-Nilai Dalam Geguritan Singandalang

Nilai adalah suatu hal yang berisikan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal penting, berharga dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: 32). Nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Singandalang dapat dibagi menjadi lima, yaitu nilai keagamaan (tattwa, susila, upacara), nilai kesetiaan, nilai pendidikan, nilai sosial dan nilai estetika.

Nilai keagamaan yang terdapat dalam Geguritan Singandalang sesuai dengan ajaran agama Hindu. Tattwa (filsafat) yang terlihat lebih kepada kepercayaan terhadap Tuhan Hyang Maha Esa dan kepercayaan adanya atma, Susila dalam Geguritan Singandalang lebih kepada bagaimana bertingkah laku yang baik terhadap orang lain, selain itu juga tingkah laku yang buruk juga dapat dijadikan pembelajaran sebagai pedoman bahwa hal tersebut tidak boleh kita lakukan dalam hidup ini. Upacara (ritual) lebih kepada prosesi upacara manusa yadnya yaitu pernikahan antara I Singandalang dan Ni Layonsari.

Nilai kesetiaan yang tampak terlihat yaitu setia pada perbuatan atau tindakan (satya laksana) yang terlihat saat I Singandalang siang malam mencari Ni Layonsari tanpa menghiraukan dirinya sendiri serta waktu dan tempat yang ia lewati.

Nilai pendidikan yang terdapat dalam Geguritan Singandalang yaitu ketika Jero Dukuh Kakung memberikan nasehat tentang ajaran dharma kepada Ni Layonsari dan I Singandalang beserta orang-orang yang datang yang membuat orang yang mendengarkan merasa sangat terkagum-kagum.

Nilai sosial dalam Geguritan Singandalang terlihat pada beberapa kejadian dimana terjadi interaksi yang dialami oleh antar tokoh seperti saat terjadinya hubungan yang baik antara Ni Layonsari dengan para pedagang yang ditemuinya di jalan, banyaknya orang yang di undang dalam pernikahan Ni Layonsari dan I Singandalang, dan kepedulian para tetangga dan warga saat Ni Layonsari di tangkap. Interaksi sosial yang baik dapat menambah teman serta menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama.

Nilai estetika terlihat pada beberapa hal, yaitu: penggambaran tokoh Ni Layonsari yang begitu cantik, penggambaran bermacam-macam bunga yang ada di taman, serta keindahan I Singandalang dalam menyanyikan kidung dengan sangat merdu.

  • (6)    Simpulan

Geguritan Singandalang berisi kisah kesetiaan I Singandalang terhadap Ni Layonsari. Kajian struktur forma meliputi kode bahasa dan sastra, gaya bahasa dan ragam bahasa. Kode bahasa dan sastra berisi kesesuaian dan ketidaksesuaian suara pematut dan wilangan kecap dari konvensi pupuh panglipur, terdapat tiga gaya bahasa yang digunakan yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertautan dan gaya bahasa pertentangan, dengan menggunakan ragam bahasa Bali kepara. Strukur naratif meliputi insiden, alur, latar, tokoh dan penokohan, tema dan amanat. Terdapat sebelas insiden dan menggunakan alur lurus terbagi atas 5 tahap yaitu: situation, generating circumstances, rising action, tahap climax, dan denouement. Latar yang digunakan yaitu latar tempat, latar waktu dan latar suasana. Tokoh terbagi menjadi tiga, yaitu tokoh utama, tokoh sekunder dan tokoh komplementer. Perwatakannya dilihat dari tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis dan psikologis, sementara itu penokohannya dilihat secara analitik dan dramatik. Tema yang digunakan, yaitu kesetiaan dan memiliki amanat, yaitu kesetiaan terhadap pasangan hidup yang dapat dijadikan contoh dalam menjalani rumah tangga agar tetap terciptanya keutuhan rumah tangga. Terdapat lima nilai dalam Geguritan Singandalang, yaitu nilai keagamaan (tattwa, susila, upacara), nilai kesetiaan, nilai pendidikan, nilai sosial, dan nilai estetika.

(7)Daftar Pustaka

Agastia, Ida Bagus Gede. 1980. “Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”. Denpasar: Makalah dalam Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali II.

Hutagalung, M.S. 1967. Djalan Tak Ada Udjung Mochtar Lubis. Jakarta: PT Gunung Agung.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Larson, Milfred L. 1991. Penerjemah Berdasarkan Makna, Pedoman Untuk

Pemadanan Antar Bahasa. Jakarta: Arcan.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

.  2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saad, M. Saleh. 1967. Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan Dalam Lukman Ali (Ed). Bahasa Dan Kesusastraan Sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Sudaryanto. 1982. Metode Penelitian Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sukada, I Made. 1983. Unsur Insiden Dan Perwatakan dalam Fiksi. Majalah Widya Pustaka. Th. I. No. 2. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayumas Dan Yayasan Ilmu Dan Seni Lesibia.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia

. 1984.Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta: Pustaka Jaya.

57