ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 20.1 Agustus 2017: 153-161

Kanyouku dalam Novel Tobe! Senbazuru Karya Teshima Yuusuke dan Padanannya dalam Bahasa Bali

Ni Made Terry Andikayani1*, Ni Putu Luhur Wedayanti2 [12]Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya 1[email: [email protected]] 2 [email: [email protected]] *

Corresponding Author

Abstract

This research is titled “Idiom in Tobe! Senbazuru Novel by Teshima Yuusuke and the equivalent of the meaning in Balinese language”. The aim of this research are understanding the meaning of Japanese idiom and these equivalent meaning in Balinese. This research used the classification of idiom based on part of speech theory by Yutaka (1990), meaning theory by Muneo (1992), and description of meaning idiom relations by Momiyama (in Sutedi, 2008:160). The results of this research are the 33 idiom in Tobe! Senbazuru Novel by Teshima Yuusuke of which 32 idiom formed by verb, 1 idiom formed by adjective, and noun of idiom not founded. Based on meaning, it is divided into : 1) idiom that show feeling and emotion, 2) idiom that show body, character, and attitude, 3) idiom that show conduct, movement, and action, 4) idiom that show condition, grade, and value, 5) idiom that show society, culture, and life. Description of the relation between meaning in idiom are metaphor, metonymy, and synecdoche. Idiom in Tobe! Senbazuru Novel by Yuusuke (2015), based on idiom of formation is dominantly formed by verb. Japanese language idiom can be paired with more than one idiom in Balinese language because the way of disclosure of idiom is different, but the meaning has the same purpose.

Key words : idiom, the meaning of idiom, Balinese language idiom

  • 1.    Latar Belakang

Kanyouku adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal (Chaer, 2014:296). Makna kanyouku tidak dapat dipahami dengan mudah meskipun mengetahui makna setiap kata yang membentuk frasa tersebut (Sutedi, 2009:96). Seperti contoh 鼻が高い hana ga takai memiliki makna leksikal ‘hidung tinggi’ namun makna idiomnya adalah ‘terlalu bangga, sombong’.

Kanyouku terkadang dapat dipadankan dengan bahasa lain seperti kanyouku dalam bahasa Jepang 腹が立つ hara ga tatsu secara leksikal berarti ‘perut berdiri’ namun secara idiom berarti ‘marah’ memiliki padanan makna dalam bahasa Bali yaitu basang bawak yang secara leksikal berarti ‘perut pendek’ dan secara idiom berarti ‘marah’. Kedua kanyouku     tersebut     sama-sama

menggunakan kata perut untuk mengungkapkan kemarahan.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, adapun rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah penggunaan kanyouku berdasarkan klasifikasi kelas kata, makna, dan hubungan antar makna kanyouku dengan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Tobe! Senbazuru karya Teshima Yuusuke?

  • 2.    Bagaimanakah padanan makna kanyouku bahasa Jepang dalam novel Tobe! Senbazuru karya  Teshima

Yuusuke dalam bahasa Bali?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami kanyouku yang terdapat pada novel dan menambah penelitian dalam bidang semantik. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan kanyouku dilihat berdasarkan kelas kata, berdasarkan makna, hubungan antar makna kanyouku serta padanan makna kanyouku bahasa Jepang dalam bahasa Bali.

  • 4.    Metode Penelitian

Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan teknik catat menurut Mahsun

(2013:92), metode kuesioner setengah tertutup menurut Fathoni (2006:110-111) dan teknik sampling purposive menurut Sugiyono (2014:156). Pada tahap analisis data digunakan metode deskriptif menurut Sudaryanto (1993:62) dan penyajian hasil analisis digunakan metode informal menurut Sudaryanto (1993:145). Penelitian ini menggunakan teori klasifikasi kanyouku berdasarkan kelas kata menurut Yutaka (1990), berdasarkan makna menurut Muneo (1992), dan hubungan antar makna dalam kanyouku menurut Momiyama (dalam Sutedi, 2008:160). Kanyouku bahasa Jepang diperoleh dari novel Tobe! Senbazuru karya Teshima Yuusuke dan dalam memadankan maknanya ke dalam bahasa Bali menggunakan kuesioner.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

Klasifikasi kanyouku berdasarkan makna dibagi menjadi 5 dan kanyouku yang diklasifikasikan berdasarkan kelas kata, dilihat dari kelas kata yang ada di belakang.

  • 5.1    Kanyouku yang menunjukkan perasaan dan emosi (kankaku, kanjou wo arawasu kanyouku)

Alwi (2005:932) menyatakan perasaan adalah tanggapan indra

terhadap rangsangan saraf, tanggapan hati terhadap sesuatu, hasil atau perbuatan merasakan dengan panca indra. (1) Aru toki, byouin ni kita okaasan wa, [atama ga itai] to itte mainichi no tsukare kara, hojo beddo de nemutteshimatta.

‘Waktu itu Ibu datang ke rumah sakit mengatakan kepalanya pusing, dan ketiduran di tempat tidur yang tersedia karena merasa kelelahan setiap hari’

(Tobe! Senbazuru, 2015:158)

Kanyouku 頭が痛い atama ga itai merupakan keiyoushi kanyouku ‘idiom kata sifat’ karena dibentuk oleh kata atama ‘kepala’ yang tergolong meishi ‘kata benda’ dan itai ‘sakit’ yang tergolong keiyoushi ‘kata sifat’ serta dihubungkan oleh kakujoushi ‘partikel’ ga yang merupakan kata bantu penegas subjek. Jadi secara leksikal, atama ga itai memiliki arti ‘kepala sakit’. Muneo (1992:48) menyatakan bahwa atama ga itai memiliki makna idiom sebagai berikut.

Shinpai goto ya mikaiketsu no mondai nado wo kakaete komatteiru.

‘Sulit menanggung kekhawatiran dan masalah yang belum terpecahkan’

Kanyouku data (1) yaitu atama ga itai mempunyai dua makna di antaranya secara leksikal bermakna ‘kepala sakit’ dan secara idiom bermakna ‘pusing’. Alwi (2005:911) menyatakan bahwa

pusing berarti kondisi yang tidak nyaman sehingga dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam kanyouku atama ga itai merupakan perluasan makna yang terjadi secara metafora karena mempunyai kesamaan yaitu bagian kepala digunakan sebagai objek yang merasakan rasa sakit apabila seseorang merasa pusing. Atama ga itai ‘pusing’ memiliki kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu baat sirahe. Hal tersebut tercermin dari 17 orang responden yang menjawab baat sirahe dan 8 orang responden yang menjawab peteng kenehe. a) Baat sirahe, secara idiom, baat sirahe memiliki makna ‘sakit kepala’. Seseorang merasa sakit kepala karena keadaan keseimbangan terganggu, pening, tidak dapat berpikir sehingga menimbulkan rasa pusing. b) Peteng kenehe, dilihat dari makna leksikal peteng berarti ‘gelap’ dan kenehe berarti ‘hatinya’ sehingga memiliki makna ‘gelap hatinya’. Namun, secara idiom peteng kenehe memiliki makna ‘bingung’ (Warna, 1990:521).

  • 5.2    Kanyouku yang menunjukkan keadaan tubuh, sifat, dan tingkah laku (karada, seikaku, taido wo arawasu kanyouku)

Alwi (2005:1062) menyatakan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, ciri khas yang ada pada sesuatu (untuk membedakan dari yang lain).

  • (2)    Netsuppoi Kawamoto san no hanashi buri ni, Nomura sensei wa, kokoro wo ugokasareta.

‘Guru   Nomura terguncang

hatinya terhadap cara bicara Kawamoto yang menggebu-gebu’

(Tobe! Senbazuru, 2015:186)

Kanyouku心を動かされた kokoro wo ugokasareta bentuk dasarnya adalah kokoro wo ugokasu merupakan doushi kanyouku ‘idiom kata kerja’ karena dibentuk oleh kata kokoro ‘hati’ yang tergolong meishi ‘kata benda’ dan ugokasu ‘bergerak’ yang tergolong doushi ‘kata kerja’ serta dihubungkan oleh kakujoushi ‘partikel’ wo yang merupakan kata bantu untuk menunjukkan objek. Jadi secara leksikal, kokoro wo ugokasu memiliki arti ‘menggerakkan hati’. Muneo (1992:173) menyatakan bahwa kokoro wo ugokasu memiliki makna idiom sebagai berikut. Kimochi ya kangaekata ni henka wo shoujiru. Aru monogoto ni kyoumi wo daitari, kandou shitari, douyou shitarisuru.

‘Terjadi perubahan pada perasaan dan cara berpikir. Mendekap perhatian, terharu, merasakan perasaan yang terguncang atau terombang-ambing terhadap sesuatu’

Kanyouku data (2) yaitu kokoro wo ugokasu diartikan ‘terguncang hatinya’ atau terombang-ambing. Alwi (2005:375) menyatakan bahwa kondisi yang terguncang berarti adanya gangguan keseimbangan pada hati, bimbang atau khawatir. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam kanyouku kokoro wo ugokasu merupakan perluasan makna yang terjadi secara metonimi yang menyatakan sebagian dari keseluruhan. Kokoro wo ugokasu ‘terguncang hatinya’ memiliki kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu kenehne onyah. Hal tersebut tercermin dari 12 orang responden yang menjawab kenehne onyah, 8 orang responden yang menjawab nengkulak anyud, 4 orang responden yang menjawab obah ngaba keneh, dan 1 orang responden menambahkan jawaban lain yaitu kambang batise matindakan. a) Kenehne onyah, dilihat dari makna leksikal kenehne berarti ‘hatinya’ dan onyah berarti ‘tidak tenang’ sehingga memiliki makna ‘pikirannya tidak teguh’ (Warna, 1990:478). Jika seseorang berada dalam situasi pikiran yang tidak teguh, dapat dikatakan jika sedang dalam mengkhawatirkan sesuatu. b) Nengkulak

anyud, secara leksikal nengkulak berarti ‘batok kelapa dibelah dua yang masih bersabut’ dan anyud berarti ‘hanyut’. Secara idiom memiliki makna ‘terlunta-lunta’. c) Obah ngaba keneh memiliki makna ‘goyah pendirian’. Pendirian yang goyah disebabkan karena perasaan yang tidak keruan sehingga dapat membuat hati terguncang. d) Kambang batise matindakan, mempunyai arti ‘mengambang     kakinya     dalam

melangkah’. Hal tersebut sama halnya dengan tidak ada sesuatu yang dijalankan dengan pasti.

  • 5.3 Kanyouku yang menunjukkan kelakuan, gerak, dan tindakan (koui, dousa, koudou wo arawasu kanyouku)

Alwi (2005:1195) menyatakan tindakan adalah gerak-gerik, ulah atau perbuatan yang dilakukan seseorang yang dalam keadaan diam hingga melakukan suatu tindakan.

  • (3)    Kusunda aoi suutsu ni, kichinto shimerareta nekutai. Midashinami no ii sensei da. Megane ga hikatte sensei ga kuchi wo hiraita.

‘Guru Nomura berpakaian rapi, pada setelan biru yang kusam dasi diikatkan dengan rapi dan dengan kaca matanya yang bersinar lalu berbicara

(Tobe! Senbazuru, 2015:7)

Kanyouku 口を開いた kuchi wo hiraita bentuk dasarnya adalah kuchi wo hiraku merupakan doushi kanyouku ‘idiom kata kerja’ karena dibentuk oleh kata kuchi ‘mulut’ yang tergolong meishi ‘kata benda’ dan hiraku ‘membuka’ yang tergolong doushi ‘kata kerja’ serta dihubungkan oleh kakujoushi ‘partikel’ wo yang merupakan kata bantu untuk menunjukkan objek dari suatu perbuatan. Jadi secara leksikal, kuchi wo hiraku memiliki arti ‘membuka mulut’. Muneo (1992:209) menyatakan bahwa kuchi wo hiraku memiliki makna idiom sebagai berikut.

Damatteita hito ga hanashi hajimeru. ‘Orang yang berdiam diri mulai berbicara’

Kanyouku data (3) yaitu kuchi wo hiraku diartikan ‘berbicara’. Alwi (2005:148) menyatakan bahwa berbicara berarti berkata, bercakap, dan merundingkan berbagai persoalan dengan lawan bicara. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam kanyouku kuchi wo hiraku merupakan perluasan makna yang terjadi secara metonimi karena mempunyai keterkaitan secara ruang. Ketika seseorang ingin menyampaikan sesuatu maka otomatis ia membuka mulutnya sehingga mulut digunakan untuk mewakili sebagian dari

keseluruhan yaitu ‘berbicara’. Kuchi wo hiraku ‘berbicara’ memiliki kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu muaban. Hal tersebut tercermin dari 21 orang responden yang menjawab muaban, 3 orang responden yang menjawab ngruntuhang wecana, dan 1 orang responden yang menjawab keles cadike. a) Muaban, secara idiom memiliki makna ‘berbicara’ (Warna, 1990:759). Kanyouku bahasa Jepang sama halnya dengan kanyouku bahasa Bali yang apabila seseorang berbicara pasti membuka mulutnya. b) Ngruntuhang wecana, dilihat dari makna leksikal ngruntuhang berarti ‘menjatuhkan’ dan wecana berarti ‘kata’ sehingga memiliki makna ‘menjatuhkan kata’. Namun, secara idiom ngruntuhang wecana memiliki makna ‘mengucapkan kata-kata’ (Warna, 1990:589). ‘Mengucapkan kata-kata’ berarti sama dengan ‘berbicara’. c) Keles cadike juga memiliki makna berbicara namun arti berbicara dalam hal ini lebih cenderung terlalu banyak bicara sehingga dapat diungkapkan dengan keles cadike ‘lelah berbicara’ (Warna, 1990:48).

  • 5.4 Kanyouku yang menunjukkan kondisi, tingkatan, dan nilai

(joutai, teido, kachi wo arawasu kanyouku)

Alwi (2005:586) menyatakan kondisi merupakan suatu keadaan yang dirasakan seseorang.

  • (4)    Ukiukishita Sadako no yousu made, me ni mieru you da.

‘Sampai kegembiraan Sadako seperti terlihat dengan jelas’ (Tobe! Senbazuru, 2015:32)

Kanyouku 目に見える me ni mieru merupakan doushi kanyouku ‘idiom kata kerja’ karena dibentuk oleh kata me ‘mata’ yang tergolong meishi ‘kata benda’ dan mieru ‘terlihat’ yang tergolong doushi ‘kata kerja’ serta dihubungkan oleh kakujoushi ‘partikel’ ni untuk menunjukkan objek yang dipengaruhi. Jadi secara leksikal, me ni mieru memiliki arti ‘terlihat oleh mata’. Muneo (1992:317) menyatakan bahwa me ni mieru memiliki makna idiom sebagai berikut.

Hakkiri mieru youni. Ichidan to kiwadatte.

‘Agar terlihat dengan jelas. Lebih lanjut dan lebih menonjol’

Kanyouku data (4) yaitu me ni mieru diartikan ‘terlihat dengan jelas’ karena sesuatu yang terlihat oleh mata kebenarannya sangat jelas. Alwi (2005:981) menyatakan bahwa melihat secara saksama berarti melihat dengan

teliti, cermat, dan tepat. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam kanyouku me ni mieru merupakan perluasan makna yang terjadi secara metafora yang menunjukkan adanya kesamaan yaitu sesuatu yang terlihat oleh mata kebenarannya sudah jelas. Me ni mieru ‘terlihat dengan jelas’ memiliki kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu celang paningalanne. Hal tersebut tercermin dari 20 orang responden yang menjawab celang paningalanne, 2 orang responden yang menjawab paningalan cureng, 1 orang responden yang menjawab paliatne mrengang, dan 2 orang responden menambahkan jawaban lain yaitu matiuk talenan dan matane care clepuk. a) Celang paningalanne, dilihat dari makna leksikal celang berarti ‘tajam indranya’ dan paningalanne berarti ‘penglihatannya’. Warna (1990:126) menyatakan bahwa secara idiom, celang paningalanne berarti ‘tajam penglihatannya’. Penglihatan yang tajam berarti melihat dengan saksama dan jelas terlihat di depan mata. b) Paningalan cureng, memiliki makna ‘pandang terus menerus dengan mata tajam dan membelalak’ (Warna, 1990:146). c) Paliatne mrengang, memiliki makna

‘penglihatannya liar’ (Warna, 1990:450). Penglihatannya dikatakan liar karena sesuatu apapun yang terlintas di depan mata dilihat dengan saksama. d) Matiuk talenan termasuk ke dalam bentuk beblabadan ‘metafora’ yang memiliki makna nlektek ‘memandangi dengan mata tajam’. e) Matane care clepuk, secara leksikal berarti ‘matanya seperti burung hantu’. Penglihatan burung hantu sangat tajam pada malam hari, maka dari itu diungkapkan dengan matane care clepuk walaupun dalam keadaan yang gelap namun dapat melihat dengan jelas.

  • 5.5 Kanyouku yang menunjukkan masyarakat,  kebudayaan, dan

kehidupan    (shakai, bunka,

seikatsu wo arawasu kanyouku)

Alwi (2005:170) menyatakan bahwa kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.

  • (5)    Sorekara hantoshi hodo de, Kuboyama san wa, iki wo hikitotta. ‘Kemudian kira-kira pertengahan tahun,               Kuboyama

menghembuskan napas yang terakhir

(Tobe! Senbazuru, 2015:43)

Kanyouku 息を引き取った iki wo hikitotta bentuk dasarnya adalah iki wo hikitoru merupakan doushi kanyouku

‘idiom kata kerja’ karena dibentuk oleh kata iki ‘napas’ yang tergolong meishi ‘kata benda’ dan hikitoru ‘mengambil’ yang tergolong doushi ‘kata kerja’ serta dihubungkan oleh kakujoushi ‘partikel’ wo untuk menunjukkan objek. Jadi secara leksikal, iki wo hikitoru memiliki arti ‘mengambil napas’. Muneo (1992:482) menyatakan bahwa iki wo hikitoru memiliki makna idiom sebagai berikut.

Kokyuu ga tomaru. Shinu. ‘Berhenti bernapas. Meninggal’

Kanyouku data (5) yaitu iki wo hikitoru diartikan ‘menghembuskan napas yang terakhir’ atau meninggal dunia, berhenti bernapas. Alwi (2005:396) menyatakan bahwa keadaan berhenti bernapas berarti keadaan tanpa gerak dan tidak meneruskan suatu kegiatan bernapas. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam kanyouku iki wo hikitoru merupakan perluasan makna yang terjadi secara metonimi yang menunjukkan sebagian dari keseluruhan. Napas adalah bagian dari kehidupan manusia sehingga ‘meninggal dunia’ digunakan untuk menyatakan secara keseluruhan. Iki wo hikitoru ‘menghembuskan napas yang terakhir atau meninggal’ memiliki

kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu pegat angkihanne. Hal tersebut tercermin dari 17 orang responden yang menjawab pegat angkihanne, dan 8 orang responden yang menjawab mewali tanah wayah. a) Pegat angkihanne, dilihat dari makna leksikal pegat berarti ‘putus’ dan angkihanne berarti ‘napasnya’ sehingga dilihat dari kata pembentukannya memiliki makna ‘putus napasnya’. Warna (1990:508) menyatakan bahwa secara idiom, pegat angkihanne memiliki makna ‘meninggal’. b) Mewali tanah wayah, dilihat dari makna leksikal tanah berarti ‘tanah’ dan wayah berarti ‘tua’ sehingga memiliki makna ‘tanah tua’. Secara idiom, tanah wayah memiliki makna kuburan (Warna, 1990:692). Kuburan berkaitan dengan orang yang telah meninggal.

  • 6.    Simpulan

Kanyouku lebih dominan dibentuk oleh doushi ‘kata kerja’ dan menggunakan gaya bahasa metonimi dalam menghubungkan makna suatu kanyouku dengan gaya bahasa. Kanyouku bahasa Jepang dapat dipadankan lebih dari satu kanyouku ke dalam bahasa Bali dan tidak semua kanyouku bahasa Jepang dapat

dipadankan dengan kanyouku dalam bahasa Bali.

  • 7.    Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mahsun, Prof. Dr. 2013. Metode Penelitian Bahasa:   Tahapan

Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers.

Muneo, Inoue. 1992. Kanyouku Jiten. Jepang: Sotakushashuppan.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik     Analisis     Bahasa.

Yogyakarta:    Duta Wacana

University Press.

Sugiyono. 2014.  Metode Penelitian

Manajemen. Bandung: Alfabeta.

Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa    Jepang.

Bandung: Humaniora.

Sutedi, Dedi. 2009. Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang (Panduan bagi Guru dan Calon Guru dalam Meneliti Bahasa Jepang dan Pengajarannya). Bandung: Humaniora.

Warna, I Wayan dkk. 1990. Kamus Bali – Indonesia. Bali:    Dinas

Pendidikan Dasar Provinsi Bali.

Yutaka, Miyaji. 1990. Kanyouku no Imi to Youhou. Jepang: Meiji Shoin.

Yuusuke, Teshima. 2015. Tobe!

Senbazuru. Tokyo: Koudansha.

161