ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 20.1 Agustus 2017: 124-130

Seetan : Sistem Pengendalian Sosial Masyarakat Desa Pakraman Susut Kelod, Bangli

Made Andika Hadiputra Evaganna1*, Putu Sukardja2, Ketut Darmana3 [123]Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud 1[email:[email protected]]2[email: [email protected]]3[email: [email protected]]

  • *Corresponding Author

Abstract

Social control is needed to overcome the deviant behavior of an individual or group in society. Susut Kelod village has uniqueness to overcome the problem with seetan as a tool of absenteeism in social activities , it perceived that it could create a social order. The implications of a tool of absence its covering a various aspects of the community life. It cause sanctions of shame , fear and also faith in the ancestors , even the establishment of awig - awig is an implied goal that achieved through out the tool itself.

Keywords: Seetan, Social Control, Bali Mula Community

  • 1.    Pendahuluan

Manusia memiliki sistem budaya sebagai pedoman orientasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem budaya merupakan wujud yang paling abstrak dari adat-istiadat suatu masyarakat. Pada dasarnya, adat-istiadat merupakan suatu tata kelakuan untuk mengatur kemungkinan adanya perilaku menyimpang dari individu maupun kelompok (deviants). Permasalahan terkait adanya deviants, diperlukan suatu sistem pengendalian sosial (social

control) guna mencapai integrasi (Koentjaraningrat, 2014: 77).

Bertitik tolak dari pembahasan diatas, terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan kehidupan masyarakat Desa Susut Kelod. Desa Susut Kelod merupakan salah satu desa yang termasuk Desa Bali Mula atau Bali asli. Sisi historis yang berbeda dengan desa di Bali Dataran, memungkinkan desa ini memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Salah satunya adalah seetan

yang berfungsi sebagai alat absensi tradisional dalam kegiatan adat dan keagamaan. Seetan berbentuk balok kayu persegi panjang yang ditancapkan paku kayu dengan pola linear. Barisan paku kayu mengikuti struktur organisasi lokal yang ada pada bidang adat dan agama.

Desa Susut Kelod memiliki empat buah seetan. Masing-masing seetan digunakan pada bidang yang berbeda namun tetap memiliki fungsi sebagai absensi yang sekaligus memberikan sanksi. Dalam bidang adat, seetan digunakan Ulu Apad pada saat paruman (rapat) dan setiap kegiatan adat. Pada bidang keagaaman, seetan digunakan oleh organisasi keagamaan lokal (pangempon pura) Desa Susut Kelod dalam setiap pelaksanaan upacara agama maupun ngayah (kewajiban tulus ikhlas dalam kegiatan keagamaan).

Mengacu pada sistem budaya, seetan merupakan alat frekuensi kehadiran seseorang pada setiap kegiatan. Keaktifan, ketaatan dan kepatuhan warga dalam berbagai kegiatan akan terlihat dalam seetan dalam bentuk paku-paku yang berisi ikatan. Ketaatan dalam kegiatan adat dan keagamaan merupakan sebuah nilai

dalam masyarakat Bali khususnya Desa Susut Kelod. Jika masyarakat melanggar nilai dan aturan (awig-awig) akan dikenakan sanksi. Menurut Ihromi (2000  :  61) sanksi adalah tindakan

hukum yang diberikan kepada seseorang yang melanggar hukum. Sanksi dapat berupa reward (positif) dan punishment (negatif). Pemberian sanksi dalam seetan pada masyarakat Desa Susut Kelod yakni berupa dedosan atau denda yang diberikan berasal dari banyaknya jumlah ikatan pada seetan. Pemberian sanksi pada masyarakat tidak dilihat secara materi (dedosan) tetapi berimplikasi pada sanksi sosial yang muncul dari banyaknya jumlah ikatan pada paku seetan.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • 1.    Bagaimana aplikasi seetan di masyarakat Desa Susut Kelod ?

  • 2.    Apa implikasi seetan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Desa Susut Kelod ?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • 1.    Untuk mengkaji, memahami dan mendeskripsikan aplikasi seetan di masyarakat Desa Susut Kelod.

  • 2.    Untuk mengkaji, memahami dan menganalisis implikasi seetan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Susut Kelod.

  • 4.    Metode Penelitian

Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Pakraman Susut Kelod, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Bali. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang menggunakan metode etnografi dengan teknik pengumpulan data melalui teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Aplikasi Seetan Di Masyarakat Desa Susut Kelod

Desa Susut Kelod memiliki empat macam seetan yang digunakan oleh masyarakat, khususnya krama desa Susut Kelod. Keempat pembagian seetan itu berdasarkan pengelompokkan sistem makrama desa yang ada, yaitu seetan desa gede yang digunakan oleh krama desa gede atau ulu apad, seetan puseh yang digunakan oleh krama atau pangempon pura puseh, seetan dalem yang digunakan oleh krama atau pangempon pura dalem, dan seetan

desa sami yang digunakan oleh krama desa sami.

Seetan Desa Gede merupakan sebutan secara spontan yang dilontarkan dari krama desa, karena seetan ini digunakan di pura utama dalam lingkup kahyangan tiga yakni Pura Desa Bale Agung. Oleh sebab itu, keberadaannya di pura utama, maka seetan Desa Gede juga dianggap sebagai seetan utama atau seetan yang menjadi pedoman dan acuan bagi seetan lainnya. Pedoman atau acuan yang dimaksud adalah dari sistem penggunaannya serta perubahan-perubahan yang terjadi pada seetan yang wajib diikuti dan diterapkan pada seetan lainnya dari keempat seetan yang ada di Desa Susut Kelod. Ulu apad dengan jumlah sebanyak 22 orang, sekaligus juga merangkap sebagai pangempon pura Bale Agung dengan tugas dan kegiatan yang dijalankan antara lain melaksanakan paruman (rapat), melakukan kegiatan ngayah di pura, dan menjalankan piodalan. Uraian berikut di bawah ini menjelaskan pengaplikasian seetan sebagai absensi dalam setiap kegiatan

  • 1.    Penggunaan seetan lebih dominan pada saat paruman. Rapat adat atau paruman

diadakan saat tilem yang jatuh sebulan sekali, kecuali ingkel wong, taliwangke dan pasah, serta saat adanya kematian. Pantangan hari tersebut merupakan hari yang tidak baik untuk melaksanakan rapat menurut kalender Hindu. Seetan dalam paruman digunakan sebagaimana alat absen pada umumnya. Namun, memiliki ketentuan yang berbeda yakni bagi warga yang tidak hadir tanpa keterangan (nosa) akan dikenakan lima ikatan pada paku yang mewakili posisinya, sakit atau izin (ngidih) dikenakan 3 ikatan, sedangkan terlambat (sep) dikenakan 1 ikatan. Satu ikatan bernilai Rp, 200,-. Dalam hal ini berarti denda (dedosan) akan dikalikan sebanyak jumlah ikatan pada paku kayu masing-masing warga. Seetan juga memiliki sarana upakara berupan banten cane dan malang yang dihaturkan kepada leluhur oleh Jro Kebayan Mucuk sebelum memulai paruman dengan maksud memohon kelancaran kegiatan. Adapun

bahan-bahan yang disiapkan yakni: kapur sirih, kapur merah, daun sirih, buah pinang (untuk membuat banten cane), dan nasi putih, kelapa yang sudah di parut, telor dan garam (untuk membuat malang). Selain dikenakan kepada krama desa yang tidak hadir, nosa juga diberikan kepada kasinoman apabila terjadi kesalahan dalam pembuatan banten cane dan malang.

  • 2.    Seetan juga digunakan pada saat ngayah atau pekerjaan dengan tulus ikhlas yang dilakukan untuk kepentingan bersama. Ngayah ada dua jenis yaitu, ngayah untuk upacara agama dan ngayah untuk kegiatan kerja bakti. Dalam kegiatan upacara, ngayah yang dilakukan yakni membuat segala persiapan upacara atau membuat banten, mengadakan kegiatan makemit atau berjaga di pura, serta pada saat puncak pelaksanaan upacara hingga akhir pelaksanaannya, krama desa wajib datang untuk ngayah. Dalam kegiatan kerja bakti, masyarakat Susut Kelod

memiliki sebutan khusus yaitu karang    ngudud.    Kedua

kegiatan    tersebut    berlaku

ketentuan denda yang sama. Namun, tdak menggunakan sarana upakara. Sarana upakara hanya digunakan saat paruman. Seetan yang kedua adalah seetan puseh. Seetan ini digunakan di Pura Puseh bagi pangempon pura puseh. Perbedaan yang signifikan terletak pada jumlah paku kayu, karena jumlah anggota yang berbeda yaitu sebanyak 29 orang. Pada seetan ini juga memiliki sarana upakara yang berbeda yakni dengan tambahan tuak atau arak pada saat pelaksanaan paruman bagi krama desa puseh. Paruman dilaksanakan pada hari selasa atau rahina anggara kasih menurut kalender Hindu. Tidak mengenal pantangan hari pelaksanaan paruman, halangan hanya pada saat adanya kematian.

Seetan yang ketiga, merupakan seetan dengan aplikasinya yang tergolong sederhana. Seetan dalem hanya digunakan pada saat adanya piodalan dan ngayah di Pura Dalem bagi pangempon pura dalem sebanyak 30 orang. Karena, tidak mengadakan paruman, seetan dalem tidak

menggunakan sarana upakara pada saat digunakan. Namun, masyarakat tetap menganggap kesakralan alat tersebut. Piodalan atau upacara yang dilaksanakan yaitu piodalan ageng dan piodalan alit yang jatuh enam bulan sekali. Sedangkan, ngayah turut dilakukan sebagai rangkaian dari piodalan tersebut.

Seetan yang keempat adalah seetan dalem yang paling berbeda antara seetan lainnya. Dikatakan berbeda, karena digunakan oleh krama desa sami atau perwakilan penglingsir dari masing-masing rumah yang berjumlah 30 orang. Krama desa sami dikatakan sebagai fungsionaris hukum desa adat, karena tugasnya melakukan persidangan terkait pelanggaran awig-awig. Apabila terjadi suatu kasus di dalam desa, krama desa sami akan mengadakan paruman untuk membahas kasus tersebut. Pada saat paruman itulah seetan desa sami digunakan dengan ketentuan yang sama. Penggunaannya pun sangat sederhana, tanpa adanya sarana upakara dan pedoman waktu untuk memulai paruman yang ditentukan oleh Jro Bendesa.

  • 5.2    Implikasi Seetan Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Masyarakat Desa Susut Kelod

Implikasi dapat diartikan sebagai melibat atau merangkum, yaitu sesuatu yang dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta-fakta atau keadaan nyata itu sendiri (Keraf dalam Beratha, 2016:82). Seetan berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Susut Kelod. Banyak nilai-nilai positif yang muncul, walaupun ketatnya sistem seetan dirasakan sangat mengekang tindakan masyarakat. Dengan sanksinya, seetan dapat memunculkan rasa malu dan rasa takut bagi krama desa ketika tidak menghadiri kegiatan adat dan agama. Sebagaimana masyarakat Bali pada umumnya yang lebih takut dan malu terhadap dampak yang ditimbulkan setelah adanya sanksi (Soethama, 2014:207-209). Hal tersebut memang diakui oleh warga, khususnya bagi mereka yang memiliki kesibukan di luar desa. Beberapa krama desa yang sering tidak hadir merasa malu akibat dari tebalnya ikatan tali pada seetan. Disamping itu, apabila ketidakhadiran terjadi secara berturut-turut sebanyak 3 kali, pejabat adat akan mengambil

tindakan berupa teguran langsung kepada warga yang melanggar tersebut. Secara langsung hal ini akan mengembangkan rasa takut si pelanggar.

Seetan juga mampu mempertebal keyakinan masyarakat kepada leluhurnya. Implikasi seetan dalam aspek religi ditunjukkan untuk memperkokoh kepercayaan dinamisme yang didasarkan pada keyakinan akan adanya kekuatan gaib pada benda-benda tertentu, yang terdiri dari berbagai kegiatan keagamaan yang berpedoman pada kepercayaan tersebut (Koentjaraningrat, 2005:212). Keyakinan bahwa seetan merupakan wahyu dari leluhur dapat mewujudkan suatu bakti dan kecintaan terhadap leluhur mereka. Oleh karena itu, masyarakat percaya apabila suatu kegiatan tanpa disertai dengan seetan akan menimbulkan petaka. Sedangkan, jika seetan digunakan dengan baik akan memperoleh kelancaran kegiatan tesebut.

Selain itu, seetan dirasa mampu menegakkan awig-awig, akibat dari ketaatan dan kepatuhan yang dilaksanakan melalui kebiasaan dan kegiatan yang menggunakan seetan.

Tegaknya awig-awig secara tidak langsung didasari akibat adanya sanksi-sanksi dari penggunaan seetan. Kebiasaan untuk mentaati aturan yang ada pada seetan secara tidak langsung berpengaruh terhadap ketaatan kepada nilai dan norma yang berlaku khususnya awig-awig desa adat.

  • 6.    Simpulan

Sampai saat ini seetan masih digunakan, yang berpedoman kepada nilai-nilai budaya masyarakatnya. Jumlah dedosan (denda) yang dihasilkan lebih dominan berasal dari banyaknya upacara yang diselenggarakan selama satu periode (galungan). Ketentuan penggunaannya yakni lima ikatan jika tanpa keterangan (nosa), tiga ikatan bagi yang sakit atau izin (ngidih), dan satu ikatan bagi yang terlambat (sep). Selain itu, denda juga berlaku bagi kesalahan dalam membuat banten.

jumlah denda (dedosan), seetan bersifat fleksibel. Tidak menutup kemungkinan untuk penambahan jumlah denda tergantung       kepada      kondisi

perekonomian masyarakat. Hal itu akan diputuskan melalui rapat besar atau paruman ageng.

  • 7.    Daftar Pustaka

Beratha, Ni Luh Sutjiati, I Wayan Ardika & I Nyoman Dhana.

2016. Ideologi Di Balik Marginalisasi Bahasa Bali Dan Implikasinya.         Denpasar:

Udayana University Press.

Ihromi, T.O. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.

---------------------.   2014. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.

Soethama, Gde Aryantha. 2014. Basa Basi Bali. Denpasar:   Arti

Foundation

Dengan adanya sanksi pada seetan dirasakan dapat mengontrol perilaku masyarakat. Nilai-nilai pada seetan memberi pengaruh yang baik terhadap aspek kehidupan masyarakat, sehingga mampu menegakkan aturan dan norma yang ada. Terkait penentuan

130