DINAMIKA EJAAN AKSARA BALI

DAN PENGGUNAAN BENTUK-BENTUK BERSAING

Putu Eka Guna Yasa

Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana

Abstrak

The study "Dynamics Spelling Balinese and Use Forms Compete" aimed to determine the existence of the reality of the issues and challenges in today's Balinese script, and describes the factors underlying the occurrence of competing forms in several domains using Balinese script. The theory used in this study are phonological theory and the theory of sosiolingistik.

The method used in this study through three stages, namely the stage of the supply of data, data analysis, and presentation of analysis results. Spelling Balinese script is now inherited by the people of Bali have undergone several dynamics. Spelling is used to first prototype dresta spelling or pairs, then in 1931 set spelling Schwartz, and the results of the Great Mother Bali The Assembly decided in 1957 to continue using prototype pairs dresta with some changes. Despite efforts to improve spelling Balinese script is done on a continuous basis but is still found in competing forms domains using Balinese script. The factors that cause these competing forms can be classified into two: internal and external factors. Internal factors caused by the level of knowledge of the science of linguistics, especially phonology and etymology of the word is not optimal. While external factors due to the onslaught of the Latin alphabet, Balinese script regeneration stagnation in the realm of the family, and a portrait of the Balinese language learning in there almof education is not optimal.

Keywords: Balinese, Phonology, and Dynamics Spelling

  • (1)    Latar Belakang

Aksara Bali adalah mahkota dalam kebudayaan Bali. Aksara secara etimogis berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata a 'tidak' dan ksara 'termusnahkan'. Jadi, aksara adalah sesuatu yang tidak termusnahkan/kekal/langgeng, selain disebut juga huruf. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal, karena peranan aksara dalam mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam bentuk tulis. Melalui aksara yang ditatah di atas batu hingga ditulis di atas daun lontar dan lempeng tembaga, kesuraman dan kejayaan masa lalu dapat di jamah kembali dengan bukti-bukti literal.

Melalui sistem lambang grafis itulah manusia mencatatkan perkembangan peradabannya. Dengan demikian aksara menjadi bagian penting dalam kebudayaan (cultural) dan peradaban (civilitation). Karena melalui perjalanan aksara yang menembus ruang dan waktu, eksistensi masyarakat masa lampau diungkap dan seolah-olah dihadirkan kembali di masa kini. Yang pada gilirannya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa aksara, seluruh keagungan khasanah kultural yang mampu diciptakan manusia Bali di masa lampau akan hilang dan lenyap dimakan sang waktu.

Sebagai sebuah simbol, aksara akan bermakna penuh ketika menjadi kata, kalimat dan wacana dalam komunikasi litteral. Dengan demikian, ejaan memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kesempurnaan komunikasi tulis. Ejaan aksara Bali, lebih populer dalam masyarakat Bali disebut dengan pasang aksara Bali. Pasang aksara Bali telah mengalami berbagai dinamika sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mulai dari pasang purwa dresta sebelum 1957 yang ditandai sebuah buku pedoman ejaan karya Mas niti Sastro dan Ida Ketoet Djelantik (1918) dan ejaan Shwartz (1931) hingga pasang purwa dresta hasil Pesamuhan Agung Basa Bali tahun 1957 dan Pesamuhan Agung Basa Bali tahun 1963. Kendatipun upaya untuk membenahi tatanan ejaan atau pasang aksara Bali terus dilakukan, akan tetapi secara aktual masih menyisakan beberapa permasalahan yang menyebabkan aksara Bali menjadi kurang fungsional dalam kehidupan masyarakat.

Realitas dan tantangan yang dihadapi aksara Bali kini salah satunya adalah kemunculan bentuk-bentuk bersaing dalam penulisan aksara Bali. Bentuk-bentuk bersaing ini merupakan femonena terjadinya keanekargaman penulisan aksara Bali. Kemunculan bentuk-bentuk bersaing merupakan salah satu representasi tingkat pengetahuan masyarakat Bali dalam pnguasaan ejaan masih terbilang rendah. Bentuk bersaing yang dimaksud contohnya untuk menuliskan kata desa 'desa/wilayah' ditemukan tiga bentuk bersaing dalam penulisan tapal batas ed ], ed s, ed [ ,. Sedangkan untuk menulis kata arti 'makna' dijumpai tiga bersaing dalam teks-teks buku pelajaran Á( qi , h( tø , h( qi , . Di sisi lain, kata laksana 'perbuatan' ada bentuk bersaing l k× x, l k× n , . Dan untuk menuliskan kata gadang 'hijau' juga ditemukan dua bentuk bersaing dalam penulisannya yaitu g Œ*¾,g d*¾, . Masih terjadinya masalah ini dalam penulisan aksara Bali adalah faktor pendorong bahwa penelitian ini sangat penting dilaksanakan.

  • (2)    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut.

  • 1.2.1    Bagaimanakah eksistensi bentuk-bentuk bersaing dalam dinamika ejaan aksara Bali?

  • 1.2.3    Faktor-faktor apakah yang meyebabkan terjadinya bentuk-bentuk bersaing dalam ejaan aksara Bali ?

  • (3)    Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan penelitian ini adalah sebagai upaya untuk ikut berpartisipasi dalam rangka pengembangan, pembinaan, serta pelesatarian aksara Bali sebagai warisan budaya Bali. Serta memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya linguistik bahasa Bali dalam pengkajian aksara Bali. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dinamika ejaan aksara Bali dan penggunaan bentuk-bentuk bersaing, serta mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya bentuk-bentuk bersaing dalam penulisan aksara Bali. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian

ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu bahasa, khususnya bahasa Bali dalam bidang pengkajian aksara Bali yang belum banyak dilakukan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam rangka pelestarian, pengembangan, dan aksara Bali sebagai salah satu pilar penyangga kebudayaan dan peradaban Bali. Penelitian ini secara praktis sekaligus akan bermanfaat dalam mempersiapkan strategi demi pemertahanan aksara Bali di masa depan.

  • (4)    Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode dan teknik yang digunakan dibagi atas tiga tahapan. Di setiap tahapan tersebut menerapkan metode dan tekniknya sendiri-sendiri namun masih memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tahapan motode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1). metode dan teknik penyediaan data, 2). metode dan teknik analisis data, 3). metode dan teknik penyajian hasil analisis data. Pada tahap penyediaan data dipergunakan metode (1) studi pustaka, (2) simak/observasi, dan (3) wawancara. Pada tahap analisis data, dilakukan pemeriksaan keabsahan, yang diikuti dengan pengungkapan dan penafsiran makna-makna yang terkadung dalam setiap peristiwa dan data yang telah didapatkan. Pada tahap penyajian hasil analisis akan digunakan metode formal dan informal.

  • (5)    Hasil Penelitian

Setelah melakukan pengkajian terhadap dinamika ejaan aksara Bali, maka didapatkan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian ini terkait dengan dinamika ejaan aksara Bali dan penggunaan bentuk-bentuk bersaing serta faktor-fakktor-faktor yang melatarbelakanginya. Berikut ini akan disajikan hasil penelitian sebagai berikut.

  • (5.1)    Dinamika Ejaan Aksara Bali dan Penggunaan Bentuk-Bentuk Bersaing

Aksara Bali adalah tanda atau lambang yang dipergunakan oleh masyarakat Bali untuk menuliskan bahasa Bali dan kebudayaan Bali. Dalam kaitannya dengan ejaan aksara Bali atau yang lebih dikenal dengan sebutan pasang aksara Bali, sesungguhnya dapat dilihat adanya upaya yang tanpa henti

untuk selalu merevitalisasi dan mereadaptasi aksara ini sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini terefleksikan dari dinamika ejaan aksara Bali dari masa ke masa. Ejaan yang pernah dipergunakan di Bali sesungguhnya hanya dua yaitu ejaan Purwa Dresta dan ejaan Schwartz, karena sampai saat ini ejaan yang dipergunakan masih ejaan Purwa Dresta yang mengalami penyempurnaan-penyempurnaan.

(5.1.1) Dinamika Ejaan Aksara Bali

Aksara Bali adalah mahkota kebudayaan Bali. Ejaan aksara Bali populer di masyarakat Bali dengan sebutan pasang aksara Bali. Pasang aksara Bali telah mengalami dinamika, perubahan dan penyempurnaan setiap periodenya. Penyempurnaan tersebut disebabkan oleh adanya masalah-masalah dan perkembangan ilmu pengetahuan maupun kebutuhan masyarakat Bali sendiri. Sebelum Pesamuhan Agung Basa Bali tahun 1957 ejaannya dikenal dengan sebutan pasang Purwadresta. Hukum-hukum Pasang Purwadresta yang memadai sampai saat ini memang belum ditemukan. Sehingga Pasang Purwadresta diidentikkan dengan pasang aksara Bali yang dipergunakan dalam naskah lontar pada masa tersebut.

Adapun identifikasi sistem pasang Purwadresta yang ditulis pada naskah-naskah lontar tersebut banyak ditemukan ketidakkonsistenan. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa pasang Purwadresta dalam penulisannya menerapkan: (1) aksara wreastra dan swalalita; (2) rangkapan aksara wianjana sesuai dengan daerah artikulasi; (3) pasang pageh dan pada-padaning suara bina arti; (4) bentuk penulisan jajar sambung. Pasang Purwadresta pada kenyataannya menimbulkan permasalahan. Setiap individu menerapkan sistem penulisan yang tidak sama. Tidak seragamnya sistem penulisan yang dijadikan pedoman oleh setiap penulis secara langsung menyebabkan kesulitan untuk menulis aksara Bali. Beberapa buku yang mencoba merumuskan ejaan pasang aksara Bali dan cara menulisnya adalah Balinese Schriftaal.

Kemudian Schwartz (1931) mencoba mengatasi kekacauan sistem penulisan ini dengan menerbitkan buku Oeger-Oeger Aksara saha Pasang

Sasoeratan Basa Bali Kepara. Usaha Schwartz ini belum mampu mengatasi masalah yang sebenarnya karena banyak menyederhanakan dan menghilangkan aksara Bali yang berlaku konvensional sebelumnya. Ejaan yang biasa disebut ejaan Schwartz ini ditetapkan pada tanggal 24 Februari 1931 oleh direktur Onderwijs dan Eredienst dengan beslit nomor 7014/D (Agastia, 2005: 240-241; Suasta, 2004: 50). Ejaan ini secara umum menguraikan tentang ejaan bahasa Bali dengan aksara Bali. Sedangkan ejaan bahasa Bali dengan aksara Latin, hanya membicarakan sistem penulisan kata dasar, nasal dan kata penegas. Ejaan Schwartz berisikan perubahan yang menghilangkan aksara murdha, maha prana, dantya maha prana, dan suara dirgha. Perubahan ini dalam sistem penulisan aksara Bali membawa dampak yang sangat mendasar. Perbedaannya dengan sistem ejaan pasang Purwadresta yang berlaku sebelumnya, menyebabkan ejaan ini dianggap sebagai salah satu penyebab kekacauan dalam penulisan pasang aksara Bali. Ejaan Schwartz memang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat Bali pada masa itu.

Di satu sisi, terjadi penolakan karena dianggap sebagai akar penyebab kekacauan penulisan aksara Bali. Akan tetapi, di satu sisi ada pula yang beranggapan bahwa jika ejaan ini dikembangkan dapat dijadikan modal untuk mempermudah pembelajaran aksara Bali, yang pada pasang Purwadresta ditemukan banyak ketidakkonsistenan dan aturan yang sulit. Ada suatu pertimbangan mendasar yang menyebabkan penghilangan beberapa warga aksara pada ejaan Schwarts. Selain karena tujuannya untuk menyederhanakan pembelajaran di sekolah rakyat pada masa itu, pada kenyataannya secara fonetis masyarakat Bali memang tidak mampu untuk mengucapkan warga aksara yang dihilangkan tersebut, sehingga muncul keinginan untuk menyederhanakannya.

Terjadinya kontroversi ini pada akhirnya menyebabkan Pemerintah Daerah I Bali mengadakan Pesamuhan Agung Bahasa Bali tanggal 23 - 26 Oktober 1957 di Denpasar. Selanjutnya diikuti dengan Pesamuhan Agung Alit Bahasa Bali pada tahun 1963 untuk meninjau hasil pesamuhan tahun sebelumnya di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Pesamuhan Agung Basa Bali merupakan wahana untuk mendiskusikan dan menentukan arah pengembangan kebijakan

tentang bahasa, aksara dan sastra Bali. Setelah dilaksanakannya Pesamuhan Agung tahun 1957 dan 1963 tersebut barulah bermunculan beberapa buku terkait dengan aksara Bali. Diantaranya Ejaan bahasa Bali dengan Huruf Bali dan Latin (Ranuh dan Sukrata, 1957), Pasang Aksara Bali (Simpen, 1973), dan Pedoman Perobahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali (Tinggen, 1979). Serta yang terakhir di keluarkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali yaitu Buku Pedoman Pasang Aksara Bali (2002).

Kendatipun upaya yang dilakukan untuk penyempurnaan ejaan aksara Bali sudah cukup optimal, akan tetapi masih menyisakan beberapa permasalahan. Dari hasil penelitian yang bersumber pada buku-buku pelajaran yang dipergunakan dalam pendidikan formal, mulai dari ranah SD, SMP, maupun SMA dan ranah awig-awig ditemukan kecenderungan bentuk-bentuk bersaing dalam ejaan aksara Bali. Kemunculan bentuk-bentuk bersaing dalam penulisan aksara Bali merupakan salah satu akar permasalahan dalam ejaan aksara Bali. Bentuk-bentuk bersaing tersebut terjadi pada kata-kata yang merupakan serapan dari bahasa Jawa Kuna/Sanskerta.

Contoh Bentuk-Bentuk Bersaing dalam Ranah Penulisan Awig-Awig

dhasar

Œ s(¾,

(Pedoman Pasang Aksara Bali, 2002: 47-48)

Œ s(¾¾,

(Wredhi Sastra V, 2010: 21; ; Kusuma Sari, 2004: 7)

d ](¾,

(Awig-Awig Sekaa Truna Sunya Mandala giri, 2007)

mũrddha

mU( dÒ ,

(Awig-Awig Sekaa Truna Sunya Mandala Giri, 2007)

mU(¾ d,

(Awig-Awig Sekaa Truna Eka Murti Dharma Guna, 2012)

wãşţa

Wÿ [Õ,

(Pedoman Pasang Aksara Bali, 2002: 15)

w sÓ,

(Awig-Awig Sekaa Truna Sunya Mandala Giri, 2007)

dreşţa

dÊ [Õ,

(Pedoman Pasang Aksara Bali, 2002: 15; Awig-Awig Sekaa Truna Eka Murti Dharma Guna, 2012)

dÊ sÕ,

(Awig-Awig Sekaa Truna Sunia Mandala Giri, 2007)

sukşuk

su k×uk/ ,

(Pedoman Pasang Aksara Bali, 2002: 15)

su k¾Suk/ ,

(Awig-Awig Sekaa Truna Sunia Mandala Giri, 2007)

  • (5.2)    Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Bentuk-Bentuk Bersaing dalam Penulisan Aksara Bali

Kemunculan bentuk-bentuk bersaing ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih berkaitan kepada ejaan aksara Bali itu sendiri. Beberapa faktor internal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk bersaing dalam dinamika ejaan aksara Bali adalah rendahnya pengetahuan kebahasaan masyarakat Bali terutama pada ilmu fonologi dan pengetahuan tentang etimologi kata. Ilmu fonologi sangat penting dalam mempelajari aksara Bali, karena hakikat aksara sesungguhnya adalah transformasi bunyi-bunyi bahasa ke dalam bentuk lambang-lambang grafis. Ilmu fonologi memberikan pengetahuan mendasar tentang hukum-hukum/aturan-aturan dalam penulisan aksara Bali. Sementara itu melalaui pengetahuan tentang etimologi kata, beberapa aturan penulisan aksara Bali yang disebabkan oleh penulisan bahasa serapan terutama bahasa yang berasal dari bahasa Jawa Kuna dan Sanskerta dapat diketahui secara optimal.

Faktor eksternal yang menyebabkan munculnya bentuk-bentuk bersaing dalam dinamika ejaan aksara Bali diantaranya adalah faktor mendominasinya pemakaian huruf Latin, sehingga masyarakat Bali khususnya generasi muda tidak terbiasa dengan aksaranya sendiri. Selain itu, faktor eksternal yang juga berpengaruh dalam hal ini adalah potret pendidikan khususnya mengenai pelajaran bahasa Bali. Teks-teks yang terdapat dalam buku-buku pelajaran aksara Bali masih banyak ditemukan bentuk-bentuk bersaing. Di sisi lain pendidikan diharapkan menjadi ujung tombak dalam menjawab tantangan dan eksistensi aksara Bali di era globalisasi sekarang ini. Dan ranah adat serta agama masih diharapkan tetap menjadi pengayom eksistensi aksara Bali sebagai mahkota dalam kebudayaan Bali.

(6) Simpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ejaan aksara Bali mengalami dinamika yang panjang mulai dari pasang purwa dresta sebelum tahun 1957 dan setelah tahun 1957. Pada pasang purwa dresta sebelum tahun 1957 ditandai dengan adanya pasang purwa dresta hasil rumusan Mas Niti Sastro (1918) dan Ejaan Schawrtz (1931). Terjadi penolakan terhadap ejaan Schwartz, sehingga menyebabkan pemerintah daerah provinsi Bali mengadakan Pesamuhan Agung Basa Bali pada tahun 1957 dan diikuti dengan peninjauan kembali pada Pesamuhan Agung Alit Basa Bali tahun 1963. Kendatipun sudah dilakukan upaya yang terus menerus untuk memperbaiki tatanan sistem ejaan aksara Bali, pada kenyataannya masih ditemukan bentuk-bentuk bersaing dalam penulisan aksara Bali. Bentuk-bentuk bersaing yang ditemukan mulai dari ranah penulisan papan nama, awig-awig, dan buku-buku pelajaran dari tingkat SD hingga SMA. Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya penulisan bentuk-bentuk bersaing ini dalam penulisan aksara Bali, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal menunjukkan rendahnya pengetahuan masyarakat terkait dengan penguasaan ejaan aksara Bali dalam perspektif imu bahasa. Sedangkan faktor eksternalnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu gempuran huruf Latin, kemandegan pengajaran aksara Bali dalam keluarga, dan potret pendidikan pengajaran aksara Bali yang belum maksimal.

Daftar Pustaka

Ananda Murti, Shrii Shrii. 2008. Tantra Jalan Pembebesan. India: Ananda Marga

Anadas Ra. Pranawa Om. 2008: Paramita: Surabaya.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali, suatu Kajian Antropologi (Pidato Pengukuhan Guru Besar). Denpasar: Universitas Udayana

Bandana, Soken I Gde Wayan. 2012. Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam Wacana Seremonial Kematian. Denpasar: Cakra Press

Budiono Herusatoto. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita

Granoka, Ida Wayan. Reinkarnasi Budaya. 2007. Maha Bajra Sandi dan Universitas Udayana

Harimurti Kridalaksana. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama

Kaler, I Nyoman. Krakah Modre II. Denpasar: Percetakan dan Toko Buku Ria Kridalaksana, Harimurti. 2005. Aksara dan Ejaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Kutha Ratna, I Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik, Penelitian Sastra.

Denpasar: Pustaka Pelajar

Medera, dkk. Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali

Menaka, Made. 1975. Geguritan Dharma Stiti Dharma Sunyata. Singaraja: Indra jaya

Mertha, I Made. 1988. Kajian Sejarah Ejaan Aksara Bali (skripsi sarjana). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana

.1993. Pelik-Pelik Pasang Aksara Bali (Laporan Penelitian). Denpasar: fakultas Sastra Universiats Udayana.

10