ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 19.1 Mei 2017:110-115

Perlawanan Masyarakat Hindu Bali Terhadap Reklamasi di Denpasar 1990-2014

Ris Buhan1*, Anak Agung Bagus Wirawan2, Sulandjari3 123Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana 1[email: [email protected]] 2[email : [email protected]], 3[email : [email protected]]

*

Corresponding Author

Abstract

Denpasar City is one of the tourist destinations in the province of Bali. The rapid development of tourism in the city of Denpasar making development policy goes so fast in the 90s. Development is so fast to make the appearance of the symbols of modernity, namely the reclamation and the reclamation Serangan Padanggalak Beach. But the government's development policies are not in line with the aspirations of the Hindu society Denpasar which makes their resistance against the reclamation.

Factors that cause people to fight against the background by a variety of factors. These factors, among others, social factors, economic factors of society, environmental factors, cultural factors, and factors of policy set by the government of Denpasar.

Resistance to the symbols of modernity implications to the public, governments, and investors. Implications arising covering various aspects ranging from social, economic, cultural, and environmental.

Keywords: modernity, reclamation, Serangan, Padang Galak, resistance, tourism, culture, Hinduism.

  • 1.    Latar Belakang

Bali adalah salah satu destinasi wisata yang populer di tingkat nasional maupun internasional. Denpasar adalah salah satu kota di Bali yang menjadi destinasi wisata populer bagi wisatawan. Sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang populer, membuat banyak investor yang ingin menanamkan modalnya di Bali. Hal tersebut membuat pembangunan pariwisata di Bali berjalan sangat pesat. Perkembangan pariwisata di Bali yang begitu cepat membuat arus modernisasi pariwisata juga berkembang pesat. Arus modernisasi pariwisata di Bali yang begitu cepat membuat munculnya simbol-simbol modernitas di Bali. Bentuk simbol-simbol modernitas itu berupa, pembangunan lapangan bandar udara, pembangunan hotel bertingkat, atau pembukaan lahan dengan cara mengurug wilayah pantai (reklamasi). Bentuk dari

simbol-simbol modernitas di atas dapat memberikan dampak positif dan juga negatif bagi masyarakat. Simbol-simbol modernitas ini akan didukung bila memberikan dampak positif bagi masyarakat, namun akan mendapat perlawanan dari masyarakat bila memberikan dampak negatif bagi masyarakat.

Dimulai dari tahun 1990-an ketika pemerintah Bali berencana mereklamasi Pulau Serangan, salah satu bentuk simbol modernitas yang asing bagi masyarakat Bali. Awalnya, pulau ini akan dibuat sebagai (tempat pemberhentian pertama) one stop place untuk informasi pariwisata. Kabarnya tempat ini akan dibangun casino-casino model di Christmas Island. Akan tetapi itu merupakan suatu rencana awal, rencana tersebut belum bisa terealisasi, menyusul kejatuhan kepemimpinan presiden Soeharto .

Reklamasi Pulau Serangan dianggap akan menimbulkan abrasi baru. Reklamasi berlebihan dengan material bukan dari laut akan berdampak buruk pada kelestarian biota laut. Oleh karena itu, langkah untuk mereklamasi pulau Serangan perlu ditinjau ulang karena tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan melainkan juga kerusakan sosial budaya masyarakat Serangan. Dampak itu seperti hilangnya sepuluh mata pencarian penduduk Serangan. Hal tersebut di atas yang menjadi dasar penolakan masyarakat Pulau Serangan dan masyarakat Bali.

Proyek reklamasi Pulau Serangan dianggap mengganggu komponen budaya di Pulau Serangan. Komponen budaya tersebut seperti tempat suci (Pura), kawasan suci (tempat Melasti) dan kawasan cagar budaya. Di Pulau Serangan ada 12 tempat suci. Salah satunya adalah Pura Dhang Kahyangan adalah Pura Sakenan. Reklamasi Pulau Serangan telah melanggar batas minimum pembangunan gedung disekitar areal yang dianggap suci. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan penolakan proyek reklamasi Pulau Serangan. Sehingga simbol modernitas tersebut dilawan oleh masyarakat Serangan.

Selanjutnya, kebijakan pembangunan pemerintah Bali kembali dianggap tidak sejalan dengan keinginan masyarakat Bali. Pembangunan di sektor pariwisata kembali menuai perlawanan dari masyarakat. Kebijakan Pemerintah dianggap hanya mementingkan kepentingan investor tanpa melihat kemauan atau aspirasi masyarakat Bali. Simbol-simbol modernitas selanjutnya yang menemui banyak perlawanan adalah reklamasi Pantai Padanggalak.

Proyek reklamasi Pantai Padanggalak rencananya akan mengurug areal sekitar tepi Pantai Padanggalak. Peristiwanya bermula pada tahun 1997 ketika aset Pemerintah Daerah (Pemda) Bali berupa tanah diwilayah Padanggalak, Sanur setiap tahunnya mengalami abrasi. Oleh karena itu perlu adanya sebuah tindakan untuk mengurangi terjadinya proses abrasi tersebut.

Berdasarkan peristiwa diatas pemerintah Bali membuat suatu langkah kebijakan untuk memanfaatkan lahan yang kritis tersebut. Melalui Badan Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Pemda Bali memberikan hak pengelolaan tanah seluas 17,05 hektar sesuai dengan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Pemda Bali yang berlokasi disebelah selatan Sungai Ayung. Pemanfaatan lahan milik Pemda Bali dibagi 8,98 hektar kepada perusahaan daerah dan 8,10 hektar diberikan kepada KPN Praja. Luas tanah tersebut didasarkan pada hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 1990 . Sesuai dengan surat Gubernur Bali No. 593/8399/perwat tanggal 1 Mei 1991 dan Surat DPRD Bali no. 06/KPTS/DPRD/199/tanggal 26 Agustus 1991 tentang izin pemanfaatan lahan milik Pemda Bali.

Pemerintah Bali pada masa itu menilai dengan diterbitkannya surat di atas maka sudah sesuai dengan dengan keinginan masyarakat Bali, karena tidak berdampak buruk pada lingkungan sosial dan budaya di wilayah Padanggalak. Pemerintah menilai reklamasi Pantai Padanggalak tidak berdampak negatif, namun masyarakat Bali masih menolak rencana tersebut.

Reklamasi Pantai Padanggalak mengakibatkan hilangnya upacara Melasti yang sering dilakukan di tempat tersebut. Selain itu, dengan direklamasinya Pantai Padanggalak, maka akan mengubah daerah yang suci menjadi daerah yang hedonis dan sekuler. Reklamasi Pantai Padanggalak adalah proyek yang melanggar adat istiadat dan cita-cita masyarakat Bali. Pantai merupakan tempat yang suci dan tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Bali khususnya masyarakat Hindu. Selain dari para pemuka adat, para akademisi juga menolak dan melawan adanya proyek reklamasi Pantai Padanggalak.

  • 2.    PokokPermasalahan

  • a.    Bagaimana proses perlawanan masyarakat Hindu terhadap reklamasi di Denpasar?

  • b.    Mengapa masyarakat Hindu Bali di Denpasar melakukan perlawanan terhadap reklamasi?

  • c.    Apa implikasi dari perlawanan terhadap reklamasi di Denpasar?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • a.    Mengetahui proses perlawanan masyarakat Hindu terhadap reklamasi di Denpasar.

  • b.    Mengetahui faktor penyebab masyarakat Hindu Bali di Denpasar melakukan perlawanan terhadap reklamasi.

  • c.    Mengetahui implikasi dari perlawanan terhadap reklamasi di Denpasar.

  • 4.    Metode Penelitian

Metodologi yang digunakan adalah metodologi sejarah sosial. Almarhum Kuntowijoyo seorang sejarawan mengatakan, tema lain yang dapat digarap oleh sejarah sosial adalah tentang pristiwa-pristiwa sejarah.

Metotodologi menyangkut pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fenomena penelitian. Selanjutnya, di dalam Ilmu Sejarah terdapat tiga pendekatan yaitu pertama pendekatan genetis, sejarah yang menekankan pada kesinambungan dan perubahan. Kedua pendekatan paralelisme, yaitu kesejajaran antara masa kini dengan masa lalu. Ketiga adalah pendekatan sejarah perbandingan. Untuk penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan sejarah perbandingan.

  • 5.    Hasil Pembahasan

Bali merupakan salah satu tempat wisata yang populer, baik di nasional maupun di internasional. Keberadaan Kota Denpasar sebagai ibu kota daerah Provinsi Bali membuat pariwisata di Denpasar berjalan sangat pesat. Pesatnya sektor pariwisata menuntut Pemerintah Kota Denpasar melakukan modernisasi pariwisata. Modernisasi sektor pariwisata membuat munculnya simbol modernitas, salah satunya adalah reklamasi. Pada awalnya proyek reklamasi tersebut dilaksanakan guna meningkatkan laju sektor pariwisata. Namun dalam pelaksanaannya proyek tersebut banyak dilawan oleh masyarakat Hindu Denpasar karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Reklamasi yang terjadi pada tahun 1990-an di Denpasar tersebut adalah reklamasi Pulau Serangan dan reklamasi Pantai Padanggalak. Reklamasi tersebut banyak menyita aspirasi masyarakat Denpasar, tidak hanya aksi dukungan namun juga muncul aksi

perlawanan karena tidak sesuainya dua proyek tersebut dengan aspirasi masyarakat Denpasar.

Perlawanan tersebut terjadi dilatar belakangi oleh berbagai faktor. Faktor sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi menjadi faktor dominan adanya perlawanan tersebut. Seperti adanya pelanggaran hak asasi manusia, kesenjangan sosial, hilangnya mata pencahariaan sebagian penduduk, terganggunya kegiatan ibadah seperti melasti, ngaturing bhakti, ngaben, piodalan, dll, melanggar bhisama masyarakat Hindu Bali, rusaknya terumbu karang, menimbulkan abrasi di tempat lain, terganggunya siklus alam, dan berubahnya alih fungsi lahan.

Dalam proses perlawanan terhadap pembangunan sarana pariwisata, masyarakat melakukan berbagai aksi perlawanan. Perlawanan dilakukan dalam berbagai bentuk mulai dari aksi demonstrasi sampai kecaman oleh berbagai kalangan masyarakat Denpasar. Aksi seperti demonstrasi di berbagai tempat untuk menolak pembangunan proyek reklamasi yang dilakukan oleh masyarakat Denpasar. Berbagai tokoh masyarakat Denpasar juga banyak menyuarakan menolak adanya proyek tersebut. Adanya aksi long mars oleh masyarakat Denpasar. Selain itu penolakan juga disuarakan oleh paruman masyarakat Denpasar.

Pembanguan sarana pariwisata memberikan implikasi di berbagai aspek yaitu aspek sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi. Dari aspek sosial, adanya pembangunan sarana pariwisata berimplikasi pada masyarakat berupa adanya pelanggaran hak asasi manusia saat pembasan lahan, adanya kesenjangan sosial yang semakin tinggi antara para pemilik modal dengan masyarakat, bertambah tingginya mobilitas masyarakat, dan kelembagaan masyarakat Denpasar yang makin membaik. Selain itu, perlawanan terhadap reklamasi juga berimplikasi kepada pemerintah dan juga kepada investor.

  • 6.    Simpulan

Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Denpasar dikarenakan proyek reklamasi tersebut tidak sesuai dengan cita-cita dan aspirasi masyarakat Hindu Denpasar. Proyek pariwisata akan terus dilawan oleh masyarakat Hindu Denpasar bila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Hindu di Denpasar.

DaftarPustaka

  • -    Dokumen

Monografi Kelurahan Serangan 1998

Profil Desa Serangan Tahun 2012

Monografi Kelurahan Serangan Tahun 2002

Profil Desa Kesiman Denpasar Timur 2012

  • -    Buku

Agung, A.A. Gde Putra. 1986. Sejarah Kota Denpasar 1945-1979, Jakarta : Depdikbud.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah, Edisi Kedua. 2003. Yogyakarta: TiaraWacana.

Wijaya, Nyoman. 2012. Menerobos Badai Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah

Bagus, Denpasar:Tri Sadanha Putra.

  • -    Majalah dan Surat Kabar

Sidemen, Ida Bagus, “Lima masalah pokok dalam teori sejarah”, dalam Majalah Widya Pustaka, tahun VIII. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, Januari 1991.

  • -    Skripsi, Thesis, Makalah

Lisa Woinarski, 2002, “Pulau Serangan : Dampak pada Lingkungan dan Masyarakat”, Skripsi yang telah dipublikasikan Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

115