ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 18.2 Pebruari 2017: 226-233

Kakawin Dharma Sawita: Analisis Semiotik

I Putu Wiyasa1*, Anak Agung Gede Bawa2,I Nyoman Suarka3 [123]Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

Corresponding Author

ABSTRACT

Kakawin Dharma Sawita have appeal in terms of the content of the story, which tells of dialogue between two characters, namely between a teacher and a student. As the content of the conversation in outline, discuss the process sense, namely process flavour that can be perceived by the tongue, called sadrasa, and culltivate an inner sense or feeling.

The purpose of this study was to examine the structure of Kakawin Dharma Sawita, both from the formal structure and narrative structure. In addition, this study aims to assess the meaning contained in Kakawin Dharma Sawita.

The methods used in data collection is a method of reading the script. At this stage of data analysis, the data obtained were processed using descriptive analytic methods and data are then analyzed according to the principles and workings of semiotic theory as the primary basis. Semiotic approach is actually a continuation of the approach of structuralism.

This research resulted in a review of the formal and narrative structures Kakawin Dharma Sawita. Kakawin Dharma Sawita formal structure includes: guru-laghu, wreta, matra, gana, canda, carik, pada, pupuh, and Alamkara. Kakawin Dharma Sawita narrative structure includes manggala, corpus, epilogue and units as well as the narrative device of narrative continuity unit Kakawin Dharma Sawita. The Analysis meaning of Kakawin Dharma Sawita first performed through matrix analysis and models. The matrix of Kakawin Dharma Sawita is sense, while the model sadrasa. As for the meaning of Kakawin Dharma Sawita that is the link between spice (bumbu) to the language (bahasa) in the Kakawin Dharma Sawita, sadrasa as a reflection self, and sadrasa journey toward Dharma Sawita.

Keywords: kakawin,structure, semiotic, rasa

  • 1.    Latar Belakang

Karya-karya sastra Jawa Kuno, begitu diminati oleh sebagian besar masyarakat

Bali, lebih-lebih di hati masyarakat pecinta sastra. Ini terbukti dari begitu banyaknya terbentuk kelompok-kelompok mabĕbasan di berbagai desa pekraman di Bali. Istilah

mabĕbasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau sekelompok orang, salah satu ada yang membaca dengan menyanyikan atau menembangkan syair kakawin dan mengartikan, kadang-kadang ada yang mengulas berupa komentar (Sukartha, 2015 : 2-3). Menurut Medera (1982 : 11-12) Kakawin ialah karya sastra berbentuk puisi Jawa Kuno. Kakawin merupakan syair Jawa Kuno yang dibangun dalam bentuk wirama dan diikat oleh aturan guru- laghu.

Perkembangan studi bahasa dan sastra Jawa Kuno khususnya dalam bentuk karya sastra kakawin mengalami perkembangan. Begitu banyak para sarjana Indonesia maupun sarjana asing yang telah mengkaji sastra Jawa Kuno secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena karya sastra Jawa Kuno memliki nilai-nilai budaya adiluhung yang patut diketahui relevansinya dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu pada kesempatan ini akan dikaji sebuah kakawin yaitu Kakawin Dharma Sawita.

Kakawin Dharma Sawita menceritakan tentang percakapan antara seorang guru yang bernama Mpu Sura Rasa dengan muridnya yang bernama Sang Sadrasa. Adapun isi dari percakapannya secara garis besar membahas tentang tujuh belas macam bumbu makanan, dan delapan belas ajaran dharma. Adapun yang menarik dari kakawin ini adalah terletak pada isi percakapan dari kedua tokoh tersebut, yang membahas prihal bumbu dan delapan belas ajaran Dharma. Apakah kaitan antara bumbu dan ajaran Dharma tersebut, siapakah sesungguhnya Sang Sadrasa ?. Hal tersebut akan dapat kita temukan, setelah karya ini dimaknai sebagai sebuah rangkaian sistem tanda yang bermakna. Sehingga Kakawin Dharma Sawita sangat menarik untuk dikaji secara semiotik.

  • 2.    Pokok Permasalahan

  • 1.    Bagaimana struktur Kakawin Dharma Sawita ?

  • 2.    Bagimanakah pemaknaan Kakawin Dharma Sawita ?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • (1)    Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan ikut menyelamatkan, melestarikan, membina, dan mengembangkan karya-karya sastra Jawa Kuno sebagai warisan budaya bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan karya sastra Jawa Kuno, salah

satunya adalah karya sastra kakawin. Disamping itu penlitian ini bertujuan untuk menunjang penyediaan bahan studi dalam penelitian sastra tradisional khsusnya sastra Jawa Kuno dan diharapkan bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi penikmat karya sastra.

  • (2)    Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur Kakawin Dharma Sawita, baik dari struktur formal maupun struktur naratif. Di samping itu, penelitian ini bertujuan memahami makna yang terkandung di dalam Kakawin Dharma Sawita.

  • 4.    Metode Penelitian

Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut ini: (1) Tahap Penyediaan Data, (2) Tahap Analisis Data, (3) Tahap Penyajian Hasil Analisis.

  • (1)    Tahap Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Pengumpulan data dengan studi kepustakaan, menggunakan teknik membaca berulang-ulang yang disertai dengan menerjemahkan objek penelitian dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Teknik lain yang membantu adalah teknik catat. Teknik catat digunakan untuk menulis atau mencatat hal-hal penting yang ditemukan dalam penelitian (Ratna, 2009 :39).

  • (2)    Tahap Analisis Data

Pada saat analisis data, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Secara etimologis deskriptif dan analitik berarti menguraikan ( Ratna, 2009:53). Proses analisis data dibantu dengan teknik pemilahan (seleksi) data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan objek kajian. Metode deskriptif

merupakan metode yang digunakan untuk mengadakan kajian yang bersifat kualitatif. Metode deskriptif analitik diterapkan pada tahap pengolahan data dibantu dengan pola pikir deduktif dan induktif. Pola pikir deduktif adalah membuat suatu interpretasi yang bersifat khusus dengan dilandasi pada masalah yang bersifat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan cara pola pikir induktif adalah pola pikir yang bersifat nyata dan digunakan untuk menginterpretasikan masalah yang bersifat umum (Hadi, 1977: 46-49).

Metode deskriptif analitik dalam penelitian ini diterapkan dengan cara mendeskripsikan data terlebih dahulu untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis dengan menggunakan teori struktur dan teori semiotik.

  • (3)    Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Tahap penyajian analisis data merupakan tahap terakhir di dalam sebuah penelitian. Dari seluruh data yang diolah secara maksimal, maka tahapan dilanjutkan pada penyajian hasil analisis dengan metode formal dan informal. Metode formal, yaitu perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Sedangkan metode informal adalah cara penyajian melalui kata-kata biasa (Ratna, 2009:50).

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

  • (1)    Struktur Formal Kakawin Dharma Sawita

Unsur Guru dan Laghu merupakan unsur yang esensial dalam satuan formal Kakawin Dharma Sawita. Guru dan Laghu terkomposisi atas tiga-tiga kelompok menjadi satu satuan yang disebut gana. Satuan gana kemudian disusun menjadi matra. Jumlah suku kata (wreta) dan matra membentuk canda. Dari komposisi canda tersebut kemudian dimasukan kata-kata dalam bahasa Jawa Kuno membentuk Kakawin Dharma Sawita. Larik-larik (carik) membentuk bait (pada) dalam Kakawin Dharma Sawita.

Hubungan antar larik dalam Kakawin Dharma Sawita ditandai dengan perhubungan nada dasar lagu (purwakanti). Bait-bait (pada) dalam metrum yang sama membentuk pupuh. Kakawin Dharma Sawita terdiri atas 23 pupuh dan 199 bait (pada).

Dalam Kakawin Dharma Sawita metrum-metrum panjang seperti Mrědhukomala, Jagaddhita, Śardhulawikridhita, Mandamalon, Śikarini, dan Śardhula lalita mendominasi pemakaian metrum dalam Kakawin Dharma Sawita yang rata-rata melebihi 5 bait (pada) setiap pupuhnya. Ada kemungkinan pemakaian metrum panjang dalam Kakawin Dharma Sawita untuk memudahkan pengarang dalam menyusun katakata dalam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pengarang untuk mengisi canda.

Berbeda dengan sargah, pupuh ditandai oleh metrum yang sama. Pergantian metrum menandakan pergantian pupuh. Kakawin Dharma Sawita menggunakan 11 jenis metrum, yaitu: Mrědukomala, Jagaddhita, Basantatilaka, Śardhulawikridhita, Prěthwitala, Mandamalon, Wiralalita, Malini, Śikariṇī, Nardaka, Sardhula lalita. Dari ke 11 metrum di atas, hanya metrum Śikariṇī, Sardhula lalita, Wiralalita, Malini, Prtiwi tala, Mredhukomala, mandamalon, dan Nardaka yang digunakan satu kali sedangkan metrum-metrum lainnya digunakan lebih dari satu kali.

Daya estetika Kakawin Dharma Sawita bertambah dengan adanya Alamkara. Jenis alamkara yang digunakan antara lain: sabdhālamkara “hiasan atau permainan kata atau bunyi” beberapa repetisi morfemik dan kombinasi repetisi fonemik dan morfemik. Sedangkan arthālamkara “hiasan permainan kata” berupa rupaka.

  • (2)    Struktur Naratif

Komposisi naratif KDS terdiri atas tiga bagian yaitu manggala, corpus, dan epilog. Satuan-satuan naratif dalam KDS diikat oleh Sandhi, yaitu (1) mukha

pembukaan’ : pembukaan atau benih plot; (2) pratimuka ‘pembukaan kembali’ atau ‘kontra pembukaan’: perkembangan awal dari benih plot, yang ditandai oleh keraguan akan keberhasilan atau kegagalan; (3) garbha ‘embrio’: perkembangan lanjut dari benih plot, yang ditandai oleh pencarian dan pencapaian upaya, yang menentukan keberhasilan atau kegagalan. Sedangkan gerak maju satuan-satuan naratif ditandai oleh piranti-piranti kesinambungan, seperti introduksi tokoh, penanda waktu, penanda tempat, tindakan, peringkasan, penggantian atau pelanjutan cerita. piranti-piranti kesinambungan satuan-satuan naratif tersebut merupakan penanda struktur naratif dengan potensinya untuk menunjukkan batas-batas satuan naratif dan memperlihatkan modus kesinambungan satuan-satuan naratif.

  • 1) . Matriks dan Model

Pemaknaan yang terkandung di dalam Kakawin Dharma Sawita didahului melalui matriks dan model. Identifikasi matriks dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi model sebagai aktualisasi pertama dari matriks. Matriks Kakawin Dharma Sawita yaitu “rasa”. Model yang diaktualisasikan oleh matriks rasa adaalah Sadrasa. Sadrasa adalah enam rasa yang terdapat dalam suatu makanan, yakni rasa yang dikecap oleh lidah bila orang menyantap sesuatu. Rasa dalam arti selera ini disebut pula rasa bhoga, yaitu rasa makanan. Ada enam jenis rasa bhoga yang disebut dengan sadrasa yaitu, Lawana artinya asin, amla artinya asam, katuka artinya pedas, kasaya artinya sepat, madhura artinya manis, dan tikta artinya pahit (Sukayasa, 2007: 4 ). Cara mengolah Keenam rasa inilah yang diajarkan oleh Sang Sura Rasa kepada muridnya.

Kata Sadrasa dalam Kakawin Dharma Sawita, digunakan sebagai nama murid dari Sang Sura Rasa. Tokoh Sadrasa dalam Kakawin Dharma Sawita, merupakan repsentasi dari manusia itu sendiri (Mikrokosmos). Karena manusia dapat merasakan rasa dari keenam rasa itu dan hanya manusialah yang dapat mengutarakan rasa yang mereka rasakan. Selain dapat merasakan keenam rasa ini, manusia juga diberikan

anugrah perasaan (rasa batin), yang dapat digunakan untuk merasakan rasa baik maupun rasa buruk, seperti kegembiraan dan kesedihan.

Berdasarkan matriks dan model itu, makna (significance) dapat dipahami, merangkum teks sebagai satu kesatuan semantik di balik aneka ragam penyajian yang secara informasional mempunyai arti (meaning) masing-masing (Riffaterre, 1978:2-3). Berdasarkan matriks dan model di atas sebagai produksi teks, maka makna Kakawin Dharma Sawita dapat ditemukan.

  • 2) . Makna

Makna Kakawin Dharma Sawita dapat ditemukan sebagai akibat relasi total unsur-unsur yang ada dalam Kakawin Dharma Sawita sebagai sebuah sistem. secara struktural, matriks “rasa” tampak memiliki fungsi dominan. Sehingga disekitar makna pusat (matriks), ada sejumlah presuposisi dan sistem deskriptif yang tampak mempertegas dan memperjelas makna pusat tersebut sebagai berikut:

  • 1)    Kaitan Antara Basa ( Bumbu) dengan Basa ( Bahasa) dalam kakawin Dharma Sawita

  • 2)    Sang Sadrasa Sebagai Cerminan Diri

  • 3)    Perjalanan Sang Sadrasa Menuju Dharma Sawita

  • 6.    Simpulan

Kakawin Dharma Sawita disusun oleh struktur formal dan struktur naratif. Struktur formal terdiri dari guru-laghu, wrětta, mātra, gana, canda, komposisi hubungan antarlarik bait dan pupuh, serta alamkara . Sedangkan struktur naratif terdiri dari , manggala, korpus, piranti kesinambungan satuan naratif kakawin dharma sawita, dan Epilog. Dalam menentukan makna Kakawin Dharma Sawita, didahului dengan menentukan matriks dan model sebagai produksi teks. Dalam Kakawin Dharma Sawita, rasa merupakan matriks atau pusat makna. Matriks rasa tersebut kemudian diderivasikan melalui model Sadrasa. Matriks dan model tersebut membentuk kesatuan cerita Kakawin Dharma Sawita yang utuh. Matriks sebagai pusat makna atau faktor yang dominan di dalam Kakawin Dharma Sawita menyebabkan adanya sejumlah

presuposisi dan sistem deskriptif yang tampak mempertegas dan memperjelas makna pusat tersebut sebagai berikut:

  • 1)    Kaitan Antara Basa ( Bumbu) dengan Basa ( Bahasa) dalam kakawin Dharma Sawita

  • 2)    Sang Sadrasa Sebagai Cerminan Diri

  • 3)    Perjalanan Sang Sadrasa Menuju Dharma Sawita

  • 7.    Daftar Pustaka

Hadi, Sutrisno. 1997. Metodologi Research. Yogyakarta : Yayasan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Medera, I Nengah. 1996. “Kakawin dan Mabebasan di Bali”. Denpasar : Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics Of Poetry. Bloomington and London : Indiana Universty Press.

Sukartha, I Nyoman. 2015. Kelisanan dalam Tradisi Mabebasan di Bali. (Disertasi S3, Universitas Udayana, Denpasar).

Suka Yasa, I Wayan. 2007. Teori Rasa : Memahami Taksu, Ekspresi dan Metodenya. Denpasar. Widya Dharma.

233