WACANA TUTUR DALAM KIDUNG COWAK: ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA
on
ISSN: 2302-920X
E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud
Vol 15.2 Mei 2016: 166-171
WACANA TUTUR DALAM KIDUNG COWAK: ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA
Ni Nyoman Arsani email: saniarsani.sa@gmail.com
Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Abstract
Kidung Cowak contains values that high philosophy and also full of meaning, as well as the mandate. There are a lot of advice given in the form of criticism of the things that have been commonplace in society, but not in accordance with the teachings of Agama. Teori literature used in this research is the theory of structural and semiotic theory. The analysis in this paper examines the structure of the unit forms that include diction, imagery, style, Ritma and rhymes; unit contents include themes, taste, tone, and mandate. While the author examines the semiotic analysis of the element symbols, because the element symbol is more dominant than the index elements and icons. Symbol element is then searched its meaning. Methods and techniques used include three stages, namely stages providing data, data analysis stage, and the stage presentation of the results of the data analysis. Results of this research is to know the structure of Kidung Cowak, and can know the meaning contained in it, meaning that obtained in the "Discourse Said in kidung Cowak Text: Analysis of Structure and Meaning" on kasuñatan (emptiness), mind, karma phala, heaven, moksha and jagadhita, rwa bhineda and other meanings are grouped into text form, which includes the form of ideas, a form of behavior and form of artifacts.
Keywords : kidung, cowak, meaning
-
1. Latar Belakang
Kidung termasuk ke dalam Sekar Madya yang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi lebih umum digunakan sebagai pengantar dalam upacara yadnya (Tinggen, 1982: 35). Kidung pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/cerita panji atau malat, dan tidak terikat oleh guru lagu maupun padalingsa. Kidung juga mengandung nilai-nilai keindahan yang sejajar dengan karya-karya sastra terkenal lainnya. Pada sisi lain Kidung mengandung nilai-nilai filsafat yang tinggi dan juga sarat akan makna.
Naskah Kidung yang akan dijadikan objek penelitian di sini adalah Kidung Cowak.. Teks KC memakai bahasa Bali lumrah (kepara) yang dalam pemakaiannya banyak menggunakan bahasa kiasan sehingga setiap bait pupuhnya mengandung suatu makna yang padat. Teks KC memakai bahasa Bali yang tidak baku (Bali dialek). Padanan katanya susah ditemukan dalam kamus. Sehingga susah memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu (1) struktur yang membentuk Kidung Cowak? (2) makna teks Kidung Cowak?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan secara lebih luas mengenai struktur yang membentuk karya sastra tradisional Bali khususnya Kidung Cowak agar dapat diketahui secara luas oleh masyarakat pecinta dan penikmat karya sastra tradisional Bali. Selain itu tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni untuk mengetahui struktur dan makna dari Kidung Cowak.
Metode dan teknik dalam penelitian ini terbagi atas tiga, yaitu (1) metode dan teknik pengumpulan data berupa teknik terjemahan, yaitu penyalinan dari suatu bahasa sumber ke bahasa sasaran; (2) metode dan teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif analisis; serta (3) metode dan teknik yang digunakan untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode induktif-deduktif.
-
5. Hasil dan Pembahasan
Teori struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan dengan cermat keterkaitan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Diksi (diction), adalah pilihan kata (Bagus, 1990: 30). pengarang Kidung Cowak, begitu cermatnya memilih kata-kata dan kalimatnya. Pengarang lebih banyak menggunakan kata-kata yang berasal dari kosakata bahasa Bali, khususnya bahasa Bali kepara. Secara keseluruhan teks KC menggunakan bahasa Bali kepara, Akan tetapi terdapat beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna maupun bahasa Bali Kawi,
Imaji atau imagery adalah daya bayang. Jalinan pilihan kata (diksi) yang dibuat pengarang akan menggambarkan kemampuan melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang ingin dilukiskan pengarang secara fantasi (Bagus, 1990: 31). Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak digunakan secara terpisah-pisah oleh pengarang, melainkan digunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya. Dalam Kidung Cowak citraan penglihatan adalah jenis yang paling sering digunakan oleh pengarang dibandingkan dengan citraan yang lain.
Gaya bahasa (figurative language) atau sering disebut majas merupakan katakata indah seorang pengarang untuk membangkitkan daya bayangnya (Bagus, 1990: 32). Jenis-jenis majas yang terdapat dalam KC, yaitu: (1) majas perumpamaan (simile), (2) Majas ironi merupakan majas yang menyatakan makna yang berlawanan atau bertentangan, dengan maksud menyindir. (3) Majas litotes merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan memperkecil atau memperhalus keadaan.
Ritma (irama) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi atau cepat lambatnya bunyi secara teratur (Bagus, 1990: 32). Sedangkan rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Dalam Kidung Cowak terdapat rima
aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
Satuan isi merupakan tataran hubungan antara bagian-bagian karya sastra yang dijalin menjadi satu kesatuan yang utuh, yang diuraikan melalui unsur-unsur yang membangun karya sastra berupa isinya (Sudjiman, 1984: 41).
(1)Tema
Menurut Bagus (1990: 27), tema adalah pokok persoalan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya, dengan kata lain pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca tentang pengalaman-pengalaman yang pernah dialaminya. Tema yang diangkat dalam Kidung Cowak adalah tema “pikiran sebagai sumber segala hawa nafsu”.
Nada (tone), adalah sikap pengarang terhadap pembacanya (Bagus, 1990: 28). Dalam Kidung Cowak nada yang ditampilkan pengarang adalah nada sinis, penuh dengan sindiran-sindiran, tetapi lebih cenderung memberikan nasehat. Pengarang yang notabene merupakan seorang pendeta bermaksud mengungkapkan sebuah penomena sosial budaya masyarakat Bali pada saat karya sastra tersebut diciptakan.
Rasa (feeling), yaitu sikap pengarang terhadap persoalan (subject matter) yang ingin disampaikan pengarang (Bagus, 1990: 28). Rasa yang ditimbulkan oleh pengarang dalam KC adalah perasaan yang sinis atau merasa kurang puas terhadap sesuatu yang dianggapnya keliru. Pemikiran yang dianggap menyimpang dari ajaran sastra.
Amanat, pesan, nasihat, atau tujuan (intention) merupakan kesan yang ditangkap pembaca (Waluyo, 2003: 40). Dengan gayanya yang sinis, pengarang berusaha menyampaikan amanat-amanat tersebut melalui puh-puh yang membangun KC. Pengarang berusaha menyampaikan kepada masyarakat secara luas bahwa pikiran merupakan sumber dari segala hawa nafsu. Kepintaran akan berbalik menjadi penyebab kebodohan jika tidak mampu mengendalikan pikiran, sehingga menyebabkan
kebingungan dalam menentukan arah tujuan hidup. Orang yang pintar dalam ilmu pengetahuan belum tentu pintar dalam ilmu kerohanian sejati.
Kidung Cowak memiliki sebuah makna tunggal yang mencakup keseluruhan makna yang akan diuraikan selanjutnya. Kata “cowak” memiliki makna kasunyatan (kekosongan). Kata sunya berarti kosong, maka sunyata berarti kekosongan. Sunya merupakan kedamaian yang tidak diakibatkan oleh pemikiran dan intelektualitas. Sunya mengubah hidup yang melekat pada hal-hal duniawi. Orang yang telah memahami realita sunya akan menjalani hidup dengan segala suka dukanya, dengan hati yang tenang dan jiwa yang damai. Melalui makna tunggal inilah, maka makna-makna yang terdapat dalam KC akan dikelompokkan ke dalam wujud teks , yaitu mencakup wujud ide/gagasan, wujud perilaku dan wujud artefak.
Makna KC yang masuk ke dalam wujud ide (gagasan) antara lain: (1) makna pikiran, (2) makna ajaran karma phala, (3) makna hakekat sorga, moksa dan jagadhita, dan (4) makna ajaran rwa bhineda. Makna yang masuk ke dalam wujud perilaku (aktivitas) antara lain: (1) pikiran, perkataan, dan perbuatan sebagai wujud kebebasan jiwa dan (2) makna simbolik kuntul anglayang. Makna yang terdapat dalam wujud artefak, yaitu: (1) makna padma/bunga teratai sebagai lambang jiwa manusia, (2) emas permata sebagai lambang kekayaan, (3) pohon talas, madu lebah, prayascita, bunga melati, dan pohon canging sebagai perwujudan sifat manusia, dan (4) burung sebagai perwujudan sifat manusia.
Kidung Cowak dikaji menggunakan metode puisi, dalam hal ini dikaji melalui unsur dan hakikat puisi. Unsur diksi (diction) secara keseluruhan Kidung Cowak menggunakan kosakata bahasa Bali, khususnya bahasa Bali kepara, akan tetapi terdapat beberapa kosakata bahasa Jawa Kuna. Imaji/citraan (imagery) yang paling banyak digunakan, yaitu citraan penglihatan (visual imagery). Gaya bahasa/majas (figurative language) terdapat majas perumpamaan, ironi, dan litotes. Pada unsur ritma dan rima terdapat rima aliterasi dan rima mutlak. Tema yang terdapat dalam Kidung Cowak adalah tema “pikiran sebagai sumber segala hawa nafsu”. Rasa (feeling) yang
ditimbulkan pengarang adalah rasa sinis atau merasa kurang puas terhadap sesuatu yang dianggapnya keliru dari ajaran sastra Agama. Nada (tone) yang ditampilkan pengarang adalah nada sinis, penuh dengan sindiran-sindiran, tetapi lebih cenderung memberikan nasihat. Amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah bijaksanalah dalam mengendalikan pikiran, jika belum mampu menguasai pikiran janganlah menyombongkan diri dan mengharapkan kehidupan yang sempurna. Kidung Cowak memiliki makna tunggal yang mencakup keseluruhan makna yang terdapat di dalamnya, makna tersebut adalah makna kesuñatan (kekosongan). Dari makna kesunyatan (kekosongan) ini diuraikan beberapa makna lagi yang dikelompokkan melalui wujud teks (wujud ide, perilaku, dan artefak).
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Pengkajian Sastra Sebuah Pengantar. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Udayana.
Tinggen, I Nengah. 1982. Aneka Sari Gending-Gending Bali. Singaraja Rhika Dewata.
Waluyo, Herman.J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Erlangga : Surabaya.
171
Discussion and feedback