ISSN: 2302-920X

E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud

Vol 14.1 Januari 2016: 9-16

PEMAKNAAN LINGGA-YONI DALAM MASYARAKAT JAWA-HINDU

DI KABUPATEN BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR:

STUDI ETNOARKEOLOGI

Bayu Ari Wibowo email: [email protected]

Program Studi Arkeologi, FSB, Universitas Udayana

Abstract

Archaeological relics in Banyuwangi are very diverse ranging from artifacts, sites, and locus and can be classified into regional cultural heritage which is tangible. The artifacts can be sacred or profane. Archaeological relic which served as the research object of this thesis is a lingga-yoni. Hinduism sees a lingga-yoni as an ultimate embodiment of truth or ultimate embodiment of beauty and at the same time a depiction of religious and philosophical truth in the form of an icon. The icon has a certain form, which as a whole or part by part is representing certain meanings. The aim of this study is to reveal the variety of forms of lingga-yoni exists in Banyuwangi and the meaning of lingga-yoni in Javanese-Hinduism society in Banyuwangi.

The research used several data collection and data analysis methods, to reveal the problem of the research. The methods being used in this research were covering the stages of data collection, i.e. by way of observation, interview, and literature study. The next stage was data processing by way of qualitative analysis, ethno-archaeological, and artifactual analysis.

The result of research shows that lingga-yoni which exists in Banyuwangi Regency generally has half oval, oval, pseudo, cylindrical, and ractangular forms. Lingga-yoni by Javanese-Hinduism society is understood as a symbolization of Sang Hyang Widhi which is manifested as Siwa Sakti, the ancestor, and Dhanyang, thereby they can feel close with Him and always making contact through meditation or by meditating.

Keywords: Lingga-Yoni, Javanese-Hinduism, Ethno-archaelogical.

  • 1.    Latar Belakang

Banyuwangi merupakan salah satu wilayah Majapahit yang terletak di ujung timur Pulau Jawa yang dulu lebih dikenal dengan nama Wirabhumi atau Blambangan dan diperintah oleh Bhre Wirabhumi, dia merupakan anak Hayam Wuruk dari selir (rabihaji) atau saudara tiri Ratu Suhita. Banyuwangi menyimpan tinggalan sejarah periode abad ke-13 Masehi hingga paruh kedua abad ke-18 Masehi (Boechari dkk, 2012 : 108; Margana dkk, 2012: 1; Munandar, 2013b: 21).

Majapahit mengalami kemerosotan ketika Hayam Wuruk turun tahta dan Wirabhumi berdiri sebagai salah satu kerajaan Hindu di Jawa. Asumsi ini dilandasi oleh temuan bukti-bukti arkeologis Hindu-Buddha di daerah Banyuwangi yang menunjukkan bahwa apa yang digambarkan sebagai kebudayaan tersebut sebagian besar adalah hasil kebudayaan Hindu-Buddha yang tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan masa kejayaan hingga surutnya kerajaan Majapahit.

Sejarah Banyuwangi belum banyak diungkapkan berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang memadai. Publikasi kepurbakalaan Hindu-Buddha di Banyuwangi, sebagian besar masih berupa laporan dan ada sejumlah kecil tentang litografi tentang bangunan Candi Macan Putih yang dibuat oleh Belanda.

Tinggalan arkeologi di Banyuwangi sangat beragam mulai dari artefak, situs, maupun lokus dan dapat dikategorikan ke dalam warisan budaya daerah yang bersifat tangible, yaitu yang dapat disentuh, berupa benda konkret, pada umumnya benda yang merupakan hasil buatan manusia dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kebutuhan tersebut dapat bersifat sakral maupun profan. Tinggalan arkeologi yang dijadikan sebagai objek penelitian skripsi ini adalah lingga-yoni.

Lingga-yoni merupakan penggambaran wujud visual, dengan bentuk yang bervariasi sesuai dengan landasan konsepsinya, namun pada hakikatnya merupakan sebuah simbol. Simbol atau lambang adalah tanda-tanda yang dibuat oleh manusia dipergunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sejalan dengan pengertian tersebut, Soebadio mengungkapkan bahwa lingga-yoni merupakan simbol dari Siwa (Berata, 1994: 25).

Sebuah simbol memiliki kapasitas mengekspresikan secara langsung beberapa makna yang kontinuitasnya tidak nyata terlihat secara langsung. Berbagai makna tersebut bersifat multivalentif secara vertikal maupun horizontal, serta saling berhubungan antar semua tingkatannya. Suatu simbol tidaklah bermakna secara terpisah tetapi harus dimaknai secara berkaitan dengan simbol-simbol lainnya Perwujudan sebuah lingga-yoni dapat disebutkan memuat sinkretisasi dari berbagai simbol. Hal ini mengingat sedemikian banyaknya simbol

yang dipergunakan untuk memvisualisasikan suatu makna dan konsepsi keagamaan kepada umatnya. Simbol-simbol yang terdapat dalam suatu wujud lingga-yoni tidaklah optimal apabila hanya dimaknai secara visual dan spasial. Simbol-simbol pada lingga-yoni akan dapat dimaknai lebih mendalam, apabila dikaitkan dengan mitos atau sistem kepercayaan sebagai ekspresi verbalnya, ritual sebagai ekspresi gerak-isyaratnya, dan doktrin keagamaan sebagai ekspresi konseptualnya (Paramadhyaksa, 2010 : 164).

Agama Hindu melihat lingga-yoni sebagai perwujudan kebenaran ataupun perwujudan keindahan tertinggi dan sekaligus suatu penggambaran kebenaran agama dan filsafat dalam bentuk ikon. Ikon mempunyai bentuk tertentu, yang secara keseluruhan atau bagian demi bagian mewakili pengertian-pengertian tertentu (Sedyawati, 1994 : 24).

  • 2.    Pokok Permasalahan

Bertumpu pada uraian di atas maka ada beberapa pokok permasalahan yang coba peneliti utarakan dalam penelitian ini yaitu :

  • a.    Bagaimana ragam bentuk lingga-yoni yang ada di Kabupaten Banyuwangi?

  • b.    Apa makna lingga-yoni bagi masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi sekarang?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap (1) ragam bentuk lingga-yoni yang ada di Banyuwangi; (2) makna lingga-yoni dalam masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi.

  • 4.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data, untuk mengungkapkan permasalahan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menyakup tahap pengumpulan data, yaitu dengan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang berhasil dilakukan oleh peneliti di lapangan dapat diketahui, bahwa tidak semua tempat yang terdapat lingga-yoni merupakan

sebuah situs melainkan pura dan petilasan atau petilasan yang kemudian dijadikan sebagai sebuah pura dan disimpan museum. Begitu juga dengan lingga-yoni yang ada di lokasi, tidak semua artefak tersebut sesuai dengan kaidah ikonografi sebagaimana dipahami dari negara asal yakni India.

Berkaitan dengan hal tersebut, Abdullah Ciptoprawiro menyebutnya dengan istilah mosaikisme. Konsep mosaikisme ini bagi pemahaman masyarakat Jawa-Hindu tentang lingga-yoni memiliki pola yang tetap, namun unsur-unsur atau batu-batunya akan berubah. Mereka tidak menerima mentah-mentah kebudayaan Hindu atau lebih tepatnya masyarakat Jawa menganut agama Hindu, kemudian mengolahnya menjadi kebudayaannya sendiri. Pengolahan ini antara lain dengan memberikan intepretasi terhadap agama Hindu berdasarkan konteks kebudayaannya untuk kemudian merepresentasikannya ke dalam kehidupan keagamaannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh peninggalan arkeologinya (Magetsari, 2011 : 253; Miswanto, 2009 : 3).

Fenomena tersebut dapat ditemukan di hampir sebagian masyarakat Jawa, Ron Hatley membenarkannya dengan menyatakan bahwa akan selalu ada Jawa yang lain di luar Keraton Yogyakarta dan Solo. Di daerah ini, agama, adat, seni, dan karakter yang diturunkan oleh leluhur Jawa masih dipegang teguh oleh penduduknya, daerah-daerah tersebut pada dasarnya adalah di dalamnya terdapat peninggalan kerajaan Hindu-Buddha yang sporadis menyebar di pegunungan, pesisir, dan sebagainya. Banyuwangi merupakan salah satu di antara dari daerah-daerah tersebut mengingat wilayah ini terletak di sekitar kaki Gunung Raung. Masyarakat Jawa-Hindu di daerah ini merupakan masyarakat yang memegang teguh warisan leluhur Jawa. Hal ini diakui oleh Andrew Beatty ketika mengadakan penelitian di wilayah Banyuwangi (Miswanto, 2009 : 3-4).

Arkeologi sangat berperan dalam pembangunan dan penguatan karakter tersebut, karena dasar-dasar dari karakter ini bertumbuh di masa lampau, sebagai nilai-nilai kehidupan yang diturunkan dari satu ke generasi berikutnya. Dengan demikian, membangun masyarakat Jawa-Hindu yang berkarakter atau yang berkepribadian kuat tidak cukup dari perspektif kekinian, tetapi yang lebih

mendasar, dari perspektif arkeologi lewat penelusuran nilai-nilai budaya yang mewarnai perjalanan kehidupannya yang sangat panjang.

Karakter, kepribadian, dan jatidiri merupakan istilah-istilah sinonim yang sering digunakan ketika berbicara tentang pembangunan karakter (character building). Karakter itu, dalam arkeologi mengkait erat dengan apa yang disebut sebagai local genius, istilah yang pertama kali diungkapkan oleh Quartich Wales untuk menyebut: the sum of the cultural charakteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences is early life dan terjemahan yang diusulkan oleh Haryati Subadio sebagai kepribadian budaya bangsa. Berkaitan dengan itu pula, keberadaan local genius sebagai budaya asli masyarakat Jawa-Hindu yang menurut Edi Sedyawati mencakup nilai, konsep, teknologi, dan kemampuan mengolah pengaruh asing, menjadi sangat penting untuk dasar pembentukan dan pertahanan masyarakat Jawa yang berkarakter di masa sekarang dan masa datang (Simanjuntak, 2012 : 7-9).

Meskipun dari segi bentuk atau ikonografi berubah namun lingga-yoni oleh masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Kabupaten Banyuwangi tetap difungsikan sebagai media pemujaan kepada Hyang Widhi atau Dewa Siwa bersama saktinya, leluhur, dan danyang (Wawancara Sukajianto dan Untung, 29 Juni 2014). Brahma Sutra menyebutkan bahwa Brahman bagaikan sinar menggunakan bentuk demikian dalam hubungannya dengan upadhi, yang membantu untuk tujuan upasana atau meditasi (Viresvarananda, 2004 : 33).

Berkaitan dengan itu, peneliti telah mengunjungi lima tempat yang sesuai dengan informasi dari masyarakat terdapat lingga-yoni dan apabila diperinci sebagai berikut.

Tabel 5.1 Frekuensi Lingga-Yoni di Kabupaten Banyuwangi

No.

Desa/Blok

Lokasi Penempatan

Jumlah

1.

Sembulung

Pura

1

2.

Karangdoro

Pura/Petilasan

3

3.

Ketapang

Situs/Petilasan

1

4.

Gumuk Payung

Situs

1

5.

Banyuwangi

Museum

4

Jumlah Total

10

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lingga-yoni yang masih difungsikan sampai sekarang oleh masyarakat Jawa-Hindu sebagai media pemujaan kepada Siwa dan saktinya atau Tuhan Yang Maha Esa berjumlah enam buah yang distribusinya berada di Desa Sembulung, Karangdoro, Ketapang, dan Gumuk Payung. Sementara itu, lingga-yoni yang sudah tidak difungsikan lagi berjumlah empat buah dan sekarang disimpan di Museum Blambangan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa lingga-yoni selain sebagai artefak juga oleh masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Kabupaten Banyuwangi difungsikan sebagai media pemujaan terhadap Dewa Siwa dan saktinya, leluhur, dan dhanyang. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan kerangka teoretik ataupun tekstual karena pengamalan dari kitab yang diwujudkan dalam bentuk sikap, tindakan, dan perilaku sehari-hari lebih mendominasi kerangka pemikiran atau pandangan hidup mereka.

Masyarakat Jawa-Hindu selalu berusaha untuk menjadi jawa baik secara lahir maupun batin, bagi mereka benda yang berasal dari masa lalu adalah suatu saksi budaya yang harus diperlakukan dengan penuh hormat karena material tersebut merupakan bukti peradaban (Miswanto, 2009 : 68; Supardi, 2012 : 129) yang membentuk dan melahirkan mereka yang sekarang.

Lingga-yoni oleh masyarakat Jawa-Hindu di Banyuwangi bagaimanapun bentuknya sangat dikultuskan yaitu mengakui ranah sakral yang dekat dengan pengalaman pribadi atau yang bersifat spiritual dan memberi nuansa kontinuitas. Berkaitan dengan hal itu, masyarakat meletakkan lingga-yoni di samping Padmasana dan memposisikannya sebagai panglurah yaitu tempat para Dhanyang. Keberadaan Dhanyang tersebut akan memudahkannya dalam berbhakti kepada Tuhan dan juga dapat memohon bantuan kepada para Dhanyang tersebut untuk tujuan tertentu seperti mengobati orang sakit dan memohon doa restu (wawancara Untung, 29 Juni 2014).

Miswanto (2009 : 98) mengatakan bahwa kata Dhanyang ini bukan menjurus pada sesuatu yang negatif, justru sebaliknya kata tersebut lebih

menjurus kepada Dhanghyang yang merupakan sebutan untuk dewa/dewata atau orang yang sangat dihormati dan melindungi atau mbahureksa suatu wilayah.

Dewata/dewa di dalam Weda digunakan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, kata ini memiliki arti cahaya, berkilauan, dan sinar gemerlapan yang semuanya itu ditujukan kepada manifestasi-Nya. Dalam Kitab Nirukta VII.4 dan VII.15 disebutkan bahwa dewa adalah yang memberikan sesuatu kepada manusia, oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari dewata yang merupakan jiwa alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian. Para dewa, hanyalah bagian dan/atau manifestasi-Nya. Para dewa tampil dengan berbagai wujud karena aktivitas-Nya (Titib, 2003 : 73-75). Dalam hal ini, lingga-yoni sebagai representasi dari aktivitas Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur yang tunggal.

  • 6.    Simpulan

Berdasarkan ulasan sebagaimana telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

Lingga-yoni yang ada di Kabupaten Banyuwangi masih dijaga, dirawat, dan digunakan oleh masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Kabupaten Banyuwangi secara umum distribusinya ada di Sembulung, Karangdoro, Ketapang, Gumuk Payung, dan Banyuwangi. Sedangkan lingga-yoni yang dalam kategori dead monument dan bentuknya sesuai dengan kaidah ikonografi saat ini tersimpan di Museum Blambangan.

Lingga-yoni oleh masyarakat Jawa-Hindu dimaknai sebagai simbolisasi dari Sang Hyang Widhi yang bermanifestasi sebagai Siwa-Sakti, leluhur, dan Dhanyang, dengan begitu mereka dapat merasa dekat dengan-Nya dan selalu berhubungan melalui jalan meditasi atau bersamadhi.

Daftar Pustaka

Berata, I Made. 1994. “Lingga dengan Tiga Buah Relief Arca di Pura Puseh Kangin Canangsari Badung”. Skripsi. Denpasar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Boechari. 2012. “A Preliminary Note on the Study of the Old-Javanese Civil Administration”, dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari. Hlm. 103-113. Jakarta: KPG- FIB UI-EFEO.

Margana, Sri, dkk 2012. Laporan Survei dan Pemetaan Tinggalan Kraton Blambangan di Macan Putih, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi. Tidak diterbitkan.Yogyakarta: FIB UGM.

Munandar, Agus Aris. 2013b. “Istana dan Kaum Agamawan dalam Masa Majapahit”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mengungkap Kebesaran Majapahit. Pekan Budaya dan HUT 32 Fakultas Sastra dan Budaya. Denpasar. 11 Oktober 2013.

Paramadhyaksa, I Nyoman Widya. 2010. “Tafsiran Kesetaraan Makna Ornamen Karang Bhoma Pada Bangunan Suci Tradisional Bali dengan Ornanen Kala Pada Arsitektrur Candi”, dalam Mutiara Warisan Budaya, Sebuah Bunga Rampai Arkeologis. Hlm. 163-178. Denpasar: Arkeologi, Fakultas Sastra-Program Studi Magister-Program Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana.

Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari, Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI-RUL.

Magetsari, Noerhadi. 2011. “Agama di Majapahit”, Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I (PATI I), Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur, 2008. Hlm. 246-255. Depok: FIB-UI.

Miswanto. 2009. Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

Simanjuntak, Truman. 2012. “Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa”, dalam Arkeologi untuk Publik. Hlm. 7-14. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Supardi, Nunus. 2012. “Arkeologi untuk Masyarakat-Masyarakat untuk Arkeologi, Catatan Kecil seorang Pemerhati untuk IAAI”, dalam Arkeologi untuk Publik. Hlm. 125-134. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Titib, I Made. 2003. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.

16