BENTUK DAN FUNGSI AKSARA BALI PADA UPACARA DEWA YADNYA DI BALI
on
1
BENTUK DAN FUNGSI AKSARA BALI
PADA UPACARA DEWA YADNYA DI BALI
Oleh:
Ni Putu Ayu Yuni Swari
Program Studi Sastra Bali
Abstract
Balinese script is one of the cultural heritage that has been handed down from generation to generation therefore it is very important for the research. This research, aims to understand the form and function of the Balinese in dewa yadnya ceremony. In addition, this research intend to inventory of the Balinese culture, especially in the form of holy script in Bali.
The basic theory in this research is the theory of phonology and culture linguistic theory. Methods and techniques in this study is divide into three stages, which are methods and techniques of providing data are using conversation and listen method, accompani by record and photograph technique; methods and data analysis techniques using qualitative methods with which combined with the techniques of descriptive analitis; and methods and techniques of presenting the results of the data analysis are using formal and informal methods, with inductive and deductive techniqu.
The results obtain in this research is a script that is used in ceremonies of dewa yadnya are holy script bijaksara/wijaksara and modre script. The forms of the sacred letters, contain in Nasarin ceremony, Mendem pedagingan, Mlaspas, and Ngenteg Linggih. The functions contain in dewa yadnya ceremony are metalingual functions. Metalinguial function is translated into 5 functions, which are : ( 1 ) as a cultural identity; ( 2 ) as a symbol of divinity; ( 3 ) as a magical symbol; ( 4 ) as a symbol of purification; ( 5 ) as a symbol of strength.
Keywords : form, function, ceremony
Abstrak
Aksara Bali merupakan salah satu warisan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan. Penelitian mengenai fungsi aksara Bali pada upacara Dewa Yadnya di Bali ini, bertujuan untuk memahami bentuk dan fungsi dari aksara Bali pada upacara Dewa Yadnya. Selain itu juga, untuk menginventarisasi kebudayaan khususnya aksara Bali sebagai aksara suci di Bali.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fonologi, dan linguistik kebudayaan. Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu, metode dan teknik penyediaan data mempergunakan metode simak dan metode cakap disertai teknik rekam atau foto; metode dan teknik analisis data menggunakan metode metode kualitatif dikombinasikan dengan teknik deskriptif analitis; serta metode dan teknik penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal, disertai teknik induktif dan deduktif.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah aksara yang digunakan dalam upacara dewa yadnya yaitu aksara suci bijaksara/ wijaksara dan aksara modre yang berasal dari aksara swalalita. Bentuk-bentuk aksara suci tersebut, terdapat pada
upacara Nasarin, Mendem Padagingan, Mlaspas, dan Ngenteg Linggih. Fungsi-fungsi yang terkandung di dalam upacara dewa yadnya yaitu fungsi metalingual. Fungsi metalingual tersebut dijabarkan dalam 5 fungsi, yakni: (1) sebagai identitas budaya Bali; (2) sebagai simbol Tuhan Yang Mahaesa; (3) sebagai simbol magis/mistis; (4) sebagai simbol penyucian ; (5) sebagai simbol kekuatan.
Kata kunci: bentuk, fungsi, upacara.
Menurut jenis aksara, aksara Bali dimasukkan pada aksara yang menggunakan sistem silabis (suku kata) namun bukan silabis murni karena bercampur dengan sistem fonemis/ alfabetis (Antara, 2008:181, Sulibra, 2013:116, Tim Penyusun, 1998:12). Sebagai sebuah sistem, aksara Bali juga memiliki aturan menulis, urutan abjad, cara melafalkan abjad, struktur karakter dan sebagainya, yang disebut dengan Pasang Aksara Bali.
Bagus (1980: 9) berdasarkan pada bentuk dan fungsi aksara Bali membagi aksara tersebut ke dalam dua jenis aksara yaitu: (1) aksara biasa dan (2) aksara suci. Aksara yang termasuk dalam jenis pertama yaitu aksara biasa adalah aksara wreastra dan juga aksara swalalita. Sedangkan, jenis yang kedua ialah aksara suci. Aksara yang termasuk dalam aksara suci ialah aksara modre dan aksara wijaksara. Penggunaan aksara Bali juga terdapat dalam pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat Hindu diwujudkan ke dalam lima pengorbanan suci yang disebut Panca Yadnya, salah satunya upacara Dewa Yadnya. Dewa Yadnya ialah persembahan suci ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai dewa-dewa.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam studi ini, antara lain: aksara Bali dan fungsi apa sajakah dari Aksara Bali yang berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya? Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui aksara Bali serta fungsi-fungsi dari aksara Bali yang berkaitan dengan Upacara Dewa Yadnya di Bali.
Teori yang melandasi studi ini ialah teori fonologi digunakan karena aksara Bali memiliki sistem yang unik dan rumit utamanya pada aksara suci. Selain itu, teori linguistik kebudayaan digunakan untuk mengetahui hubungan antara aksara Bali, masyarakat dan juga kebudayaan yang dimilikinya. Metode dan teknik yang
digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu, tahap penyediaan data menggunakan metode simak dan metode cakap disertai teknik cakap semuka, teknik rekam atau foto; tahap analisis data, menggunakan metode kualitatif dikombinasikan dengan teknik deskriptif analitis; tahap penyajian hasil analisis data digunakan metode formal dan informal, disertai teknik induktif dan deduktif.
Aksara suci yang dibagi ke dalam dua jenis aksara, yaitu Aksara wijaksara dan aksara modre.
Pada upacara peletakan batu pertama yang disebut juga upacara Nasarin terdapat beberapa aksara yang dipergunakan dalam upacara Nasarin, yaitu:
-
a. Aksara Bali pada Batu Bata I
Aksara Bali pada batu bata ini berbentuk simbol aksara suci /ang/ (o). Aksara suci /ang/ ( o ) tersebut berasal dari aksara suara (vokal) swalalita yaitu /a/ ( A ) yang dibubuhi dengan tanda nasalisasi yakni ulu candra ( z).
-
b. Aksara Bali pada Batu Bata II
Dasa aksara merupakan aksara yang terdiri atas 10 aksara suci atau wijaksara antara lain, sang, /bang/, /tang/, /ang/, /ing/, /nang/, /mang/, /sing/, /wang/, /yang/ (s° ,4b1, 4t°, 40 ,4÷1, 4n°, 4½, i 'μ , w°, 1 y°). Dasa aksara ini berasal dari delapan buah aksara Wianjana (/sa/, /ba/, /ta/, /na/, /ma/, /si/, /wa/, /ya/ ( s, i b, i t, i n, m 4 si 4 w 4 y 4)) dan dua buah aksara Suara /a/ (A) dan /i/ (÷)) dari aksara Swalalita yang mendapat imbuhan tanda nasalisasi yakni, ulu candra ( J.
-
c. Aksara Bali pada Batu Bulitan
Aksara yang dituliskan pada batu bulitan ini ialah aksara o (ang kara), u
(Ung kara), ½ i(Mang kara) yang berasal dari aksara Swalalita yang mendapatkan tambahan tanda nasal yang berupa ulu candra yang berbunyi /ng/. d. Aksara Bali pada Bungkak Nyuh Gading
Pada bungkak nyuh gading ini aksara yang digunakan ialah eka aksara yaitu aksara suci ong kara (ý) atau yang di sebut juga aksara pranawa. Ong kara disusun oleh nada („ ), windu (ˆ ) , ardhacandra (‚ ) , dan aksara O kara (O) .
Mendem padagingan berfungsi untuk menyucikan bangunan palinggih agar para dewa berkenan untuk bersinggasana. aksara suci terdapat pada:
-
a. Pada Pripih Tembaga
Pripih tembaga terdapat aksara suci wijaksara ang kara (ö ¿), terbentuk dari aksara suara swalalita /a/ (Á) yang dibubuhi dengan ulu candra.
-
b. Pada Pripih Besi
Pada pripih ini terdapat aksara suci /ung / merupakan penyatuan antara aksara swalalita /u/ ( ú) dengan pangangge suara ulu candra.
-
c. Pada Pripih Perak
Pripih perak Aksara /mang/ tersebut berakar dari aksara swalalita /ma/ ( m), yang kemudian memperoleh tambahan tanda nasal berupa ulu candra (ž).
-
d. Pada Pripih Emas
Aksara ong kara (ý ) merupakan aksara yang dibentuk dari aksara swalalita /o/ ( O) yang dibubuhi pangangge suara ulu candra.
Pada upacara Mlaspas dilaksanakan, ditempelkan secarik kain beraksara yang disebut dengan ulap-ulap. Terdapat berbagai macam jenis ulap-ulap yang dibedakan dalam dua kelompok yakni ulap-ulap yakni ulap-ulap pada bangunan suci dan ulap-ulap pada bangunan perumahan, yaitu:
-
1) Ulap-Ulap Padmasana
Bentuk ulap-ulap yang digunakan dalam padmasana ini adalah dasa aksara (sº ¿b¸ ¿tº ¿ö ¿÷¸ ¿nº ¿½ ¿ s‰ ¿ wº ¿ yº), Sang Hyang Tunggal, padma, cakra, dan gada.
-
2) Ulap-Ulap Padma Anglayang
Bentuk ulap-ulap dari padma anglayang ini terdiri dari Sang Hyang Tunggal, cakra, gada, dan juga dasa aksara (sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang (s° ^b1 4t° 40 4÷1 4∏° 4½ 4 s‰ 4 w° 4 y°)).
-
1) Bale Daja/ Meten
Salah satu bentuk ulap-ulap pada bangunan bale meten/ daja, ialah ulap-ulap yang terbentuk dari Ong kara ngadeg (y 4), dan beberapa aksara modre, serta lukisan senjata padma, cakra, dupa.
-
2) Bale Dangin
Terdapat beberapa versi dari ulap-ulap bale dangin yang ditemukan salah
satunya, yaitu Ong kara adu muka - - ■ , Ong kara mertha (Y 4) dan
aksara dasa bayu (y, 4÷1, 40, k×ι, ½, r°, 4 ∣U1, 4 w°, 4 y°, 40, 4u), serta dirajah senjata padma, bajra, dan trisula.
Pada upacara Ngenteg Linggih, rerajahan difungsikan dalam beberapa sarana upacara. Sarana-sarana yang dirajah dalam upacara tersebut, yaitu:
-
a. Rajah gebeh Pangenteg Linggih
Pada gebeh, dirajah aksara modre yang rumit, tri aksara (ang ung mang (0 4u 4½ 4), aksara dasa bayu (y, 4÷1, 40, k×ι, ½, r°, 4 ∣U1, 4 w°, 4 y°, 40, 4u) serta ong kara pasah.
-
b. Rajah mandung
Aksara yang tulis pada mandung ini yaitu hanya aksara modre saja.
Fungsi aksara tersebut akan difokuskan pada fungsi-fungsi yang menonjol, diangkat dari salah satu fungsi yang dijabarkan oleh Roman Jakobson yakni fungsi metalingual. Metalingual atau metabahasa merupakan bahasa atau seperangkat lambang yang dipakai untuk menguraikan bahasa. Istilah fungsi tersebut telah mengalami proses interpretasi. Oleh karena itu, fungsi aksara Bali dalam upacara Dewa Yadnya dijabarkan menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
Menurut sudiartha (2005: 201) nilai budaya merupakan gugusan nilai-nilai dan ide-ide luhur yang mendasari alam pikiran dan tingkah laku manusia baik sebagai mahluk pribadi maupun mahluk sosial dalam memahami dan menghayati dunia dan lingkungannya. Fungsi aksara dalam keberlangsungan budaya sebagai alat dalam pelestarian pustaka suci yang mengandung filsafat kerohanian, sastra, politik dan juga kebudayaan dapat dilatarbelakangi oleh nilai-nilai dan ide yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, aksara Bali utamanya aksara suci, mempunyai peranan dalam kaitannya dengan kebudayaan Bali, selain sebagai pengungkap budaya Bali juga merupakan akar dari budaya Bali.
Menurut pandangan masyarakat umum aksara suci bijaksara tersebut ialah lambang dari perwujudan manifestasi dari Tuhan. Aksara suci yaitu Ong kara (pranawa) merupakan aksara paling utama yang dianggap oleh masyarakat luas sebagai simbol satu yang utama yaitu Tuhan. Aksara tersebut dikatakan perwujudan dan kemahakuasaan dari Tuhan yang Maha Esa yakni sebagai simbol pengharapan umat Hindu agar dapat memiliki emosi religi atau untuk merasakan lebih dekat kepada Tuhan. Berdasarkan analisis tersebut, aksara dapat dikatakan sebagai aksara Bali dalam Dewa Yadnya sebagai simbol Ketuhanan, tak dapat dipisahkan dari kepercayaan umat Hindu, masyarakat Bali khususnya.
Fungsi magis memiliki arti yaitu dua buah kekuatan yang berbeda yakni berfungsi untuk mendatangkan atau menarik kekuatan yang positif dari alam semesta dan menghilangkan kekuatan yang negatif yang ada disekitar tempat upacara tersebut, atau dapat diasumsikan sebagai penetralisir kekuatan negatif seperti bhutakala serta menjadi penangkal atau penolak bala (marabahaya). Fungsi magis (mistis) dalam aksara pada ulap-ulap terlihat pada perlambangan Tuhan dan manifestasi-Nya dan tempat/ sthana Tuhan. Berdasarkan dari uraian itu, dapat dikatakan bahwa aksara dalam upacara Dewa Yadnya memiliki nilai-nilai religius yang sangat tinggi yang terkandung kekuatan magis yang dianggap sebagai perlambang dari keberadaan Tuhan yang Mahaesa dan manifestasi-Nya.
-
2.2.4 Fungsi sebagai Simbol Penyucian
Upacara Dewa Yadnya yaitu mlaspas khususnya ulap-ulap merupakan sebuah simbol penyucian. Mlaspas sebagai salah satu bentuk upacara Dewa Yadnya memeliki pengertian yakni melakukan pekerjaan untuk membersihkan atau menyucikan (Wikarman, 1998: 3). Benda yang disucikan pada upacara ini, yaitu bahan dan alat bangunan yang kemungkinan ada kotoran-kotoran yang perlu dibersihkan. Aksara pada ulap-ulap menjadi simbol bahwa bangunan tempat tinggal ataupun bangunan suci t telah disucikan sehingga layak untuk ditempati. Oleh sebab itu, simbol penyucian tidak hanya pada upacara Mlaspas, namun juga pada aksara suci yang terlukis dalam bentuk ulap-ulap.
Terdapat cukup banyak penggunaan aksara dasa bayu pada upacara Dewa Yadnya, salah satunya yaitu pada upacara Ngenteg Linggih. Aksara dasa bayu sering pula dikaitkan dengan dasa prana, dasa bayu merupakan sepuluh kekuatan bayu, energi, prana atau angin (Nala,2006: 115). Oleh sebab itu, dapat disebutkan bahwa dasa bayu sebagai sebuah energi atau kekuatan yang mempengaruhi keberadaan dan kekokohan dari bangunan suci itu sendiri. Selain itu, memberikan jiwa pada bangunan suci/ palinggih yang nantinya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa aksara suci memiliki fungsi sebagai simbol kekuatan. Kekuatan yang dimaksudkan ialah kekuatan dari alam semesta dan Tuhan.
Berdasarkan analisis yang telah dilaksanakan mengenai aksara Bali dalam upacara Dewa Yadnya dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
-
1. Bentuk-bentuk aksara Bali yang digunakan dalam Upacara Dewa Yadnya adalah aksara suci yang dibagi dua, yaitu: aksara bijaksara (wijaksara) yang kedua, yaitu aksara modre yang berasal dari aksara swalalita. Aksara-aksara suci tersebut, digunakan pada upacara Nasarin, Mendem Padagingan, Mlaspas, dan juga Ngenteg Linggih.
-
2. Fungsi Aksara Bali dalam Dewa Yadnya
Terdapat lima fungsi aksara Bali dalam upacara Dewa Yadnya yang merupakan penjabaran dari bagian fungsi metalingual, yakni: (1) sebagai
identitas budaya; (2) sebagai simbol ketuhanan; (3) sebagai simbol magis; (4) sebagai simbol penyucian; (5) sebagai simbol kekuatan.
Bagus, I Gst. Ngurah. 1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali: suatu Kajian Antropologi. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya pada Fakultas Sastra Universitas Udayana).
Beratha, Ni Luh Sutjiati. 1998. "Materi Kajian Linguistik Kebudayaan" dalam Linguistika. Tahun V Edisi IX. Denpasar: Program Magister Linguistik Unud.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti, d.k.k. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.
Nyoka. 1994. Krakah Modre II. Denpasar: RIA.
Suastika, I Made dkk. 2005. Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa “Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis”. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tim Penyusun. 1998. Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tk. I Bali.
Watra, I Wayan, dkk. 2008. Ulap-ulap dan Rerajahan dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Wikarman, I Nyoman Singgin. 1998. Mlaspas dan Ngenteg Linggih Maksud dan Tujuannya. Surabaya: paramita.
Discussion and feedback