GAYA NGURAH PARSUA MENGUNGKAPKANKRITIKLINGKUNGAN MELALUI SAJAK“POTRET POHON AIR MATA”
on
1
GAYA NGURAH PARSUA MENGUNGKAPKANKRITIKLINGKUNGAN MELALUI SAJAK“POTRET POHON AIR MATA”
Gede Dody Satrya Wirandika
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Unud
Abstract
Ngurah Parsua is a poet who care about the environment. Ideas, views, and criticisms of the environment conveyed through poetry. As well as rhyme “Potret Pohon Air Mata” contained criticisms of the destruction of the environment today. Diction in his poem can be said to have high aesthetic value, because it uses poetic language which contains a figure of speech. Ngurah Parsua also uses diction sad like the word ‘tear’ that can be found in each poem. Through word ‘tears’ he depicts the sufferings of this present environment.
Keywords: criticism, environment, diction
Manusia seharusnya memanfaatkan sumber daya alam dengan selaras dan selalu menghargai makhluk hidup lain. Lingkungan tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan oleh semua organisme. Manusia hidup dari hasil pemanfaatan bahan-bahan yang terdapat di lingkungan sekitar. Lingkungan khususnya pepohonan juga menghasilkan oksigen yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Namun, dewasa ini manusia sering lupa batapa besarnya manfaat yang diberikan oleh lingkungan sekitar. Manusia seharusnya dapat mengapresiasi dengan cara menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan agar ekosistem kehidupan tetap terjaga dengan baik. Oleh karena terganggunya salah satu komponen kehidupan akan berdampak kepada manusia itu sendiri yang sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dapat dikategorikan sebagai sebuah kekerasan. Kekerasan tidak hanya melulu diartikan perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain, tetapi juga perilaku seperti menebang pohon secara sembarangan, pembunuhan satwa di hutan lindung, pembalakan liar, pembuangan limbah pabrik ke sungai, pembuangan sampah secara sembarangan, dan pencemaran udara juga
merupakan sebuah kekerasan. Kekerasan seperti ini merupakan tindakan yang benar-benar mengancam keselamatan manusia kedepannya. Hal ini juga tidak luput dari perhatian Ngurah Parsua yang disampaikannya melalui puisi.
Ngurah Parsua adalah seorang penyair Bali yang masih aktif menulis puisi sampai saat ini. Ada ribuan sajak yang telah ditulis oleh Ngurah Parsua di dalam antologi-antologi puisinya. Salah satu antologi puisi yang sudah terbit, yaitu Potret Pohon Air Mata (2012).
Secara umum antologi puisi Potret Pohon Air Mata berlandaskan konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan hidup manusia(Wirawan, 2011:23). Menurut Ngurah Parsua (Parsua, hasil wawancara), kesejahteraan manusia akan terwujud apabila hubungan tiga sektor kehidupan, yaitu alam, manusia, dan Tuhan berlangsung harmonis. Manusia sebagai subjek, pemegang inisiatif, harus mampu membangun hubungan harmonis antar sesamanya, alam sekitar, dan dengan Tuhan.
Setiap penyair memiliki ciri khas tersendiri di dalam proses menciptakan puisi yang berkualitas. Ciri khas seperti itu merupakan ciri-ciri yang berkaitan dengan gaya atau stilistika. Stilistika merupakan sarana yang dipakai pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika merupakan cara untuk mengungkapkan pikiran, jiwa, dan kepribadian pengarang dengan cara yang khasnya (Fananie, 2001:25). Gaya seorang pengarang dalam menuangkan isi pikirannya dapat dipengaruhi oleh aspek bahasa, lingkungan sosial, ekspresi, aliran, dan ideologi.
Stilistika yang ditonjolkan oleh pengarang memang umumnya tidak lepas dari gaya bahasa. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa aspek gaya bahasa dalam menonjolkan style pengarang tidak mungkin dapat dilepaskan. Gaya bahasa yang lazim digunakan adalah gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, gaya bahasa retoris, dan gaya bahasa kiasan.Gaya bahasa kiasan digunakan untuk menyatakan ungkapan yang berisi persamaan, pertentangan, sindiran, dan penegasan. Ngurah Parsua sendiri tidak luput untuk memakai ungkapan-ungkapan
yang mengandung salah satu gaya bahasa, yaitu majas. Untuk mengetahui bagaimana Ngurah Parsua menyampaikan kritik lingkungannya, maka analisis ini bertumpu pada kajian gaya bahasa atau stilistika.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gaya Ngurah Parsua dalam menggambarkan kritik mengenai lingkungan melalui sajak “Potret Pohon Air Mata”?
Setiap karya ilmiah memiliki tujuan yang hendak dicapai. Begitu juga dengan penelitian sajak“Potret Pohon Air Mata” karya Ngurah Parsua yang bertujuanmengetahui serta memahami gaya Ngurah Parsua dalam menggambarkan kritik mengenai lingkungan di dalam sajaktersebut.
Metode adalah strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk mencapai sebab akibat berikutnya, dan seterusnya (Ratna, 2009:34). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan didukung oleh metode kuantitatif. Metode kualitatif adalah metode dengan cara menafsirkan dan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Selanjutnya, metode kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya.
“Potret Pohon Air Mata” adalah sajak yang terdapat dalam antologi puisi Potret Pohon Air Mata karya Ngurah Parsua yang terbit pada 2012. Untuk mengatahui keindahan isi dari sajak “Potret Pohon Air Mata” dapat dilakukan dengan menganalisis diksi dan majas. Diksi dan majas berkaitan satu dengan yang lain. Agar pilihan kata menjadi menarik dan membangkitkan imajinasi dipergunakan bahasa kias yang disebut dengan majas. Kedua unsur ini dipakai untuk menganalisis sajak “Potret Pohon Air Mata”.
Puisi sebagai sebuah karya sastra bukan merupakan deretan kata-kata, tetapi tiap kata adalah hasil dari ekspresi jiwa, imajinasi, dan pengalaman jiwa yang diungkapkan secara matang oleh penyair. Kata dalam sebuah puisi memiliki peranan penting, di samping unsur-unsur yang lain. Setiap kata yang dikombinasikan mampu menimbulkan makna baru yang berbeda dari makna asalnya.
Dalam sajaknya, Ngurah Parsua menggunakan dan memasangkan katakata yang dipilih secara teliti, sehingga tiap kata dapat menggambarkan ekspresinya. Kata-kata yang dipilih mengandung konotasi yang dapat dikatakan sebagai sebuah majas. Hal ini dapat dilihat pada sajak berikut.
Potret Pohon Air Mata
Potret pohon di gunung air mata menyayat sedunya
setiap hari mengalir
mengguncang lembah merambah duka belukar
Lagu pohon air mata; ratap orang pinggiran tanpa nama; meratapi kezaliman pembunuhan taring bengis; terjaring senyum kelembutan potret pohon air mata kehidupan
Diam pemetik gitar mencipta lagu
menyusun nada zaman; belajar melukis potret diri
puas warna sesaat: kebaruan memikat
isi dan bentuk guna tarian dan hiburan
tanpa haru kesadaran hidup bersama
Kemakmuran lapar
tak tercela busung lapar, ruang puisi mati; apakah arti sebuah puisi
Setiap pagi nyanyi padang sabana haru lagu
di mana pun berada saat ini; pada saat ini; sudah jadi kejadian timur dan barat mengalir, mengukir pohon air mata
Pulang bakar potret pohon
di manakah disimpan abu pohon perdamaian itu? (Parsua, 2012:1)
Dalam puisi di atas, dapat dilihat jika Ngurah Parsua lebih mementingkan isi daripada bentuk. Setiap bait dalam puisi tersebut sajaknya tidak beraturan, begitu juga dengan barisnya. Pada bait pertama, jumlah barisnya, yaitu tiga, bait kedua jumlah barisnya yaitu empat, bait ketiga jumlah barisnya, yaitu lima, dan bait terakhir jumlah baris dalam puisi tersebut, yaitu tujuh baris.
Puisi di atas menggunakan diksi yang memiliki arti konotasi. Hal ini dapat dilihat dari bait pertama baris pertama, yaitu /Potret pohon di gunung air mata menyayat sedunya/ Pada baris tersebut penyair ingin melukiskan gambaran sebuah gunung dengan pohon-pohon yang terdapat di dalamnya, diibaratkan seperti manusia yang mempunyai air mata dan kesedihan yang begitu mendalam. Hal ini dipertegas dengan baris ketiga, yaitu /mengguncang lembah merambah duka belukar/.
Pada bait kedua, suasana kontradiksi terdapat dalam bait ini. Dapat dilihat dari baris satu, dua, dan tiga, yatu /lagu pohon air mata; ratap orang pinggiran/, /tanpa nama; meratapi kezaliman pembunuhan/, dan /taring bengis; terjaring senyum kelembutan/ Kata taring bengis dapat menggambarkan suasana yang mencekam namun dipadukan dengan frasa yang bertentangan yaitu senyum kelembutan yang mengandung suasana yang damai dan tentram. Bait ketigapun menggambarkan suasana kontradiksi, yaitu /Diam pemetik gitar mencipta lagu/ seorang yang tidak memetik gitarnya namun dapat menciptakan lagu.
Bait terakhir dalam puisi tersebut diawali dengan baris yang menggunakan unsur personifikasi, yaitu /kemakmuran lapar/ Kata kemakmuran merupakan kata benda diibaratkan seperti manusia yang memiliki rasa lapar. Penyair banyak menggunakan kata yang terdapat unsur personifikasinya
Selain itu, dalam sajak ini Ngurah Parsua juga menggunakan diksi sedih, yaitu air mata. Terdafat lima frasa yang menggunakan kata ‘air mata’, yakni /Potret pohon air mata menyayat sedunya/, /Lagu pohon air mata; ratap orang pinggiran/, /Potret pohon air mata kehidupan/, dan /Timur dan barat mengalir, mengukir pohon air mata/.Air mata memiliki makna yang sangat dalam. Air mata dapat diartikan sebagai sebuah kesedihan, karena air mata identik dengan kesedihan, dan dapat pula dikatakan sebagai luapan emosi yang kuat.
Majas adalah pemanfaatan kekayaan bahasa dan pemakaian ragam bahasa dengan cara yang khas untuk memperoleh efek-efek tertentu, baik secara lisan
maupan tertulis. Terdapat empat jenis majas, yaitu majas perbandingan, majas sindiran, majas penegasan, majas pertentangan.
Berikut akan dipaparkan melalui tabel, mengenai majas yang terdapat dalam sajak “Potret Pohon Air Mata”karya Ngurah Parsua.
Tabel Analisis Majas Sajak “Potret Pohon Air Mata”
No |
Majas |
Ungkapan |
Pembahasan |
1. |
Totum pro parte |
- Timur dan barat mengalir, mengukir pohon air mata |
- Manusia yang hidup di dunia bagian timur diwakili dengan menyebutkan kata ‘timur’ dan manusia yang hidup di dunia bagian barat diwakili dengan menyebutkan kata ‘barat’. Kedua bagian dunia tersebut dengan masing-masing perkembangannya sama-sama merusak ekosistem alam. Meskipun tidak semua bagian tersebut merusak ekosistem alam. |
2 |
Personifi kasi |
|
|
3. |
Paradoks |
- Taring bengis; terjaring senyum kelembutan |
- Frase taring bengis menggambarkan suasana yang mencekam namun dipadukan dengan hal yang bertentangan yaitu senyum kelembutan yang mengandung suasana yang damai dan tentram. |
Tabel di atas menunjukkan penggunaan majas dalam sajak “Potret Pohon Air Mata” karya Ngurah Parsua. Dalam hal ini terdapat tiga majas pada sajak tersebut, yaitu: totum pro parte, personifikasi, dan paradoks.
Majas totum pro parte adalah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian (Mihardja, 2012:31). Majas ini terkandung dalam
bait terakhir baris kelima, yaitu /timur dan barat mengalir, mengukir pohon air mata/. Manusia yang hidup di dunia bagian timur diwakili dengan menyebutkan kata ‘timur’ dan manusia yang hidup di dunia bagian barat diwakili dengan menyebutkan kata ‘barat’. Kedua bagian dunia tersebut dengan masing-masing perkembangannya sama-sama merusak ekosistem alam. Padahal tidak semua daerah bagian timur dan barat tersebut merusak ekosistem alam, tetapi dikatakan secara keseluruhan, sehingga majas tersebut dapat digolongkan ke dalam majas totum pro parte.
Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang menunjukkan kiasan untuk memperlakukan benda-benda mati seolah-olah seperti mempunyai sifat-sifat yang ada pada manusia (Fananie, 2001:38). Dalam hal ini terdapat empat frasa yang mengandung majas personifikasi. Majas-majas tersebut dapat dilihat dalam baitbait berikut.
Potret pohon di gunung air mata menyayat sedunya
setiap hari mengalir
mengguncang lembah merambah duka belukar
Lagu pohon air mata; ratap orang pinggiran tanpa nama; meratapi kezaliman pembunuhan taring bengis; terjaring senyum kelembutan potret pohon air mata kehidupan (Parsua, 2012:1)
Pada bait pertama, ‘pohon’ diibaratkan seperti manusia yang mempunyai air mata dan kesedihan. Suasana menderita yang dialami oleh pohon-pohon tampak jelas dengan diksi menderita, yaitu frasa ‘menyayat sedunya’. Penderitaan itu dirasakan tiada henti. Hal itu dapat dilihat dari baris selanjutnya, yaitu /setiap hari mengalir/. Kata mengalir berkaitan dengan air dan dalam hal ini yaitu air mata. Pada bait kedua, ‘air mata’ dimiliki oleh sebuah pohon. Penyair melukiskan dari sesuatu yang luas, yaitu gunung dan diteruskan dengan sesuatu yang lebih sempit, yaitu pohon. Pohon diibaratkan seperti manusia yang memilik air mata. Begitu juga pada baris keempat yang terdapat frasa ‘pohon air mata’. Selain itu, pada bait terakhir juga terdapat frasa yang mengandung majas personifikasi, yaitu ‘kemakmuran lapar’. Kata ‘makmur’ merupakan kata benda yang diibaratkan
seperti manusia yang memiliki rasa lapar. Frasa ini juga mengandung majas paradoks.
Majas paradoks adalah gaya bahasa yang berupa ungkapan yang mengandung pernyataan yang bersifat kontradiksi (Fananie, 2001:37). Majas paradoks terdapat dalam bait kedua baris ketiga, yaitu /taring bengis; terjaring senyum kelembutan/. Frasa ‘taring bengis’ menggambarkan suasana marah, buas, dan mencekam,tetapi dipadukan dengan hal yang bertentangan yaitu senyum kelembutan yang mengandung suasana damai dan tentram, sehingga hal tersebut dapat menggambarkan seorang manusia yang terlihat baik padahal sesungguhnya menyimpan perilaku yang buruk.
Dari tabel dan analisis di atas diketahui majas-majas yang terdapat dalam sajak “Potret Pohon Air Mata”.Majas personifikasi mendominasi dalam sajak ini. Hal ini disebabkan karena penyair ingin melukiskan, menggambarkan, dan menyampaikan bahwa seperti inilah kehidupan lingkungan kita dewasa ini. Maka diandaikan lingkungan tersebut memiliki sifat-sifat seperti layaknya manusia. Lingkungan dapat mengekspresikan rasa senang, bahagia, haru, marah, kecewa, sedih, dan menderita. Hanya dengan majas personifikasilah penyair mampu memberikan gambaran sehingga pembaca mampu merenungkan tentang penderitaan yang dialami oleh lingkungan sekitar.
Berdasarkan analisis yang bertumpu pada stilistika di atas, dapat diketahui gaya seorang Ngurah Parsua dalam menyampaikan kritik lingkunganya dalam sajak “Potret Pohon Air Mata”, yaitu melalui kekuatan pilihan kata dan majasnya.
Pilihan kata yang dominan dipakai oleh penyair adalah pilihan kata sedih, yaitu kata‘air mata’ yang melambangkan penderitaan. Pilihan kata ini dikaitkan dengan lingkungan sehingga mengandung majas personifikasi. Majas personifikasi digunakan oleh penyair karena melalui majas personifikasi penyair mampu memberikan gambaran yang jelas sehingga pembaca mampu berimajinasi serta dapat merenungkan tentang penderitaan yang dialami oleh lingkungan.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta : Muhamadiyah University Press.
Mihardja, Ratih. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta : Laskar Aksara.
Parsua, Ngurah. 2012. Potret Pohon Air Mata. Denpasar : Udayana University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Redaksi immortal. 2012. Kamus Pintar Pantun Puisi dan Majas. Yogyakarta: Immortal Publisher
Suroso dan Puji Santosa. 2009. Estetika Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta : Pararaton Publishing.
Tingkat, I Nyoman. 2013. Sastra di Mata Guru. Denpasar : Pustaka Larasan.
Wirawan, I Made Adi Wirawan. 2011. Tri Hita Karana Kajian Teologi, Sosiologi dan Ekologi Menurut Veda.
Discussion and feedback