KARAKTERISTIK BUDAYA KOMUNITAS ISLAM PEGAYAMANBULELENG, BALI
on
1
KARAKTERISTIK BUDAYA KOMUNITAS ISLAM PEGAYAMAN-
BULELENG, BALI
Gede Budarsa
Program Studi Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Abstract
Ethnicity in Bali is not dominated by Hinduism. Pegayaman is a kind of Islam community that lived in Bali. Interaction with Balinese culture made them used Balinese culture in their life.
In this research was founded that Islam Pegayaman community was formed on Buleleng Kingdom. They were formed by three ethnic such as Javanese ethnic from Mataram Kingdom, Balinese ethnic (Balinese girl) and Bugis from North Sulawesi . The cultural characteristic of Islam Pegayaman community is dominated by Balinese culture like Balinese language, subak system, sekaa, Balinese culinary, Balinese named system and so on.
Key Words: Islam Community, Balinese Culture, Ethnic
Bali merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di deretan Kepulauan Nusa Tenggara yang mendapat julukan Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Pulau Surga dan sebagainya. Julukan ini muncul akibat gencarnya industri pariwisata yang dikembangkan. Modal dalam menggerakkan industri pariwisata di Bali tidak hanya bertumpu pada keelokan dan kecantikan alam seperti pantai, air terjun, perbukitan dan sebagainya. Kekayaan budaya juga menjadi komoditas yang dapat menarik perhatian para wisatawan. Budaya Bali dengan karakteristik yang unik, eksotik dan menarik menjadi sajian utama bagi para wisatawan.
Kebudayaan Bali yang menjadi menu dalam industri pariwisata tidak terlepas dari keberadaan masyarakatnya. Masyarakat Bali dengan identitas suku bangsa Balinya memiliki karakteristik budaya Bali yang dijiwa oleh agama Hindu (Agung, 2003:6). Agama Hindu yang berkembang di Bali memiliki corak khas yang membedakannya dengan komunitas Hindu di tempat lain bahkan di tempat kelahirannya di India, sehingga banyak tokoh yang menggunakan istilah Hindu-Bali untuk menyebutkan identitas orang Bali dalam hal keagamaan (Bagus,
2007:301). Kesadaran akan kesatuan etnis Bali diperkuat oleh adanya kesatuan bahasa yakni Bahasa Bali.
Mobilitas manusia menyebabkan pulau seluas 5.808,8 Km ini tidak hanya dihuni oleh etnis Bali sendiri. Keberadaan etnis lain seperti Jawa, Bugis, Madura, China dan sebagainya pada akhirnya akan membentuk masyarakat Bali sebagai masyarakat yang plural. Kedatangan etnis-etnis ini tidak terjadi pada era industri pariwisata saat ini melainkan jauh sebelum itu. Pada masa kerajaan sempat terjadi migrasi etnis lain ke Bali dengan misi tertentu yang membawa keyakinan Islam yang saat ini menempati Kampung Islam Gelgel (Klungkung), Kepaon (Badung), Loloan (Jembrana) (Ardhana, 2011:1). Kedatangan etnis –etnis ini kemudian dihadapkan pada kebudayaan dominan yakni budaya Bali.
Salah satu komunitas Islam yang datang ke Buleleng pada masa Kerajaan Ki Barak Panji Sakti adalah kelompok Islam Pegayaman. Kelompok Islam ini datang pada tahun 1587 yang merupakan hadiah dari Raja Mataram atas jasa Ki Barak Panji Sakti karena telah membantu dalam menggempur Kerajaan Mataram. Kedatangan kelompok Islam ini kemudian dihadapkan pada budaya Bali sebagai budaya dominan. Saat ini kelompok Islam ini menempati Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.
Interaksi yang intensif kelompok Islam ini dengan budaya Bali membuat mereka lambat laun menyerap unsur-unsur budaya Bali dalam kehidupan kesehariannya. Penyerapan unsur budaya Bali dapat dilihat dari penggunaan Bahasa Bali oleh komunitas Islam Pegayaman sebagai bahasa ibu. Selain itu unsur budaya Bali lain juga turut diserap seperti penamaan anak seperti Wayan untuk anak pertama, Made untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat. Unsur Budaya Bali seperti organisasi sosial, peralatan hidup, rangkaian kegiatan keagamaan dan sebagainya juga diserap oleh komunitas Islam ini. Meski demikian semua unsur budaya yang diserap kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam sebagai landasan hidup mereka.
Fenomena penyerapan unsur budaya Bali oleh komunitas Islam ini menjadi menarik untuk dikaji mengingat budaya Bali dijiwai oleh agama Hindu sementara komunitas ini pemeluk ajaran Islam. Untuk itulah perlu dilakukan studi mengenai bagaimana proses kesejarahan terbentuknya komunitas Islam Pegayaman yang
telah menyerap budaya Bali serta karakteristik budaya komunitas ini yang menggunakan budaya Bali versi umat Islam.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka kajian ini akan difokuskan pada karakteristik kebudayaan pada komunitas Islam Desa Pegayaman. Permasalahan tersebut akan coba difahami dengan menjawab pertanyaan yang diformulasikan sebagai berikut:
-
1. Bagaimana sejarah terbentuknya komunitas Islam Pegayaman sebagai salah satu etnis yang mendiami pulau Bali?
-
2. Bagaimana ciri-ciri kebudayaan masyarakat Islam Pegayaman?
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut;
-
1. Untuk memahami sejarah terbentuknya komunitas Islam Pegayaman sebagai salah satu etnis yang mendiami Pulau Bali.
-
2. Untuk mengidentifikasi karakteristik kebudayaan pada komunitas Islam Pegayaman.
Sesuai dengan topik yang dikaji, penelitian ini dilakukan di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Penelitian ini bersifat etnografi sehingga jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yakni data berupa tulisan yang menggambarkan fenomena budaya yang berkaitan dengan fenomena budaya yang terjadi pada komunitas Islam Pegayaman. Data yang diperoleh dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi partisipasi dan kepustakaan. Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada informan dengan bertatap muka secara langsung. Teknik observasi merupakan upaya peneliti untuk menghayati dan mendalami kehidupan masyarakat Pegayaman dengan menceburkan diri ke dalam kehidupan keseharian masyarakat. Teknik kepustakaan yakni teknik pengumpulan data melalui
tinggalan berupa tulisan-tulisan yang termasuk juga buku, artikel, arsip yang berisi deskripsi mengenai topik permasalahan maupun teori, konsep, pendapat dari para tokoh atau ahli. Data yang terkumpul dianalisis dengan pendekatan deskriptif interpretatif yakni penjelasan mendalam dengan penafsiran atau pemaknaan terhadap gejala yang diteliti.
Berdasarkan beberapa catatan para ahli seperti Soegianto Sastrodiwiryo, Putu Setia dan I Gusti Ngurah Panji dijelaskan bahwa awal mula terbentuknya komunitas Islam Pegayaman erat kaitannya dengan Raja Ki Barak Panji Sakti yang memerintah Kerajaan Buleleng (1619-1680). Pada tahun 1648, Ki Barak Panji Sakti menawarkan bantuan kepada pasukan Mataram untuk menyerang Blambangan. Tawaran ini diterima oleh Tumenggung Danupaya karena sebagian pasukan harus bersiaga di Kerajaan Mataram akibat konflik internal di Kerajaan Mataram (Panji, 2010: 21). Persekutuan dua kerajaan ini berhasil menguasai Blambangan. Atas jasanya, Ki Barak Panji Sakti diberikan hadiah berupa 100 orang prajurit dan seekor gajah yang akan mengiringi pasukan Buleleng menuju tanah Denbukit. Keseratus prajurit ini merupakan kelompok Islam pertama yang datang ke Bali Utara.
Prajurit yang beragama Islam ini kemudian ditempatkan di sisi utara Puri Singaraja dengan tugas membantu mempertahankan kedaulatan raja yang saat ini disebut Banjar Jawa. Salah seorang prajurit bertugas sebagai pawang gajah. Atas jasa dalam pengabdiannya di Kerajaan Buleleng, mereka kemudian diberikan hadiah berupa tanah di perbatasan selatan Kerajaan Buleleng. Mereka dibebaskan membuka lahan seluas-luasnya wilayah yang dikenal sebagai Alas Gatep (Inocarfus Fagifer). Mereka kemudian mengemban tugas baru sebagai tameng Kerajaan Buleleng dari sisi selatan. Mereka kemudian membentuk pemukiman baru yang kini dikenal sebagai Desa Pegayaman.
Selain kelompok Islam Jawa, komunitas Islam di Pegayaman juga berasal dari etnis Bugis. Pada tahun 1850, kapal dari Kerajaan Bone, Sulawesi terdampar di perairan Buleleng. kelompok etnis Bugis ini kemudian menghadap raja dan
diterima dengan baik. Raja kemudian menawarkan untuk bergabung dengan komunitas Islam di Pegayaman karena kesamaan keyakinan atau mendirikan perkampungan sendiri di pesisir pantai Buleleng. Sebagian memilih bergabung dengan kelompok Islam Pegayaman dan sebagian menetap di pesisir yang saat ini dikenal dengan nama Kampung Bugis.
Intensitas interaksi yang terjadi antara kelompok Islam Pegayaman selama berada di pusat pemerintahan Kerajaan Buleleng, menyebabkan terjadinya perkawinan lintas etnis antara orang Islam dengan gadis Bali. Para prajurit Jawa banyak mempersunting gadis Bali yang kemudian mengkonversi agama dari Hindu menjadi Islam (Mualaf). Bahkan salah seorang keturunan dari Ki Barak Panji Sakti juga dipersunting oleh pasukan Islam ini. Dengan demikian komunitas Islam Pegayaman terbentuk dari tiga etnis yakni Jawa, Bugis dan Bali.
Intraksi yang terjadi antara komunitas Islam Pegayaman dengan budaya Bali menyebabkan lambat laun mereka menyerap dan menggunakan beberapa unsur budaya Bali. Perkawinan lintas etnis antara orang Islam dengan gadis Bali memberikan ruang terjadinya persilangan budaya. Sampai saat ini budaya yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian komunitas Islam Pegayaman lebih dominan simbol-simbol budaya Bali. Hal ini dapat ditelusuri melalui tujuh unsur budaya universal yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, kesenian dan sistem religi (Koentjaraningrat, 2000: 204).
Bahasa Bali merupakan bahasa ibu dalam komunitas Islam Pegayaman. Dalam berkomunikasi, mereka dengan fasih menggunkan Bahasa Bali. Bahasa Bali yang berkembang dalam komunitas Islam Pegayaman juga hampir sama dengan Bahasa Bali yang berkembang pada masyarakat Bali umumnya. Mereka mengenal anggah-ungguhin Basa Bali yakni basa Bali alus, madya dan kesamen. Dalam komunitas Islam Pegayaman tidak mengenal pelapisan masyarakat berdasarkan keturunan (Received Status) layaknya pada masyarakat Bali. Penggunaan anggah ungguhin basa Bali hanya sebatas pada lawan bicara. Basa Bali alus digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang dihormati seperti
penglingsir, tokoh adat dan agama, atasan, pejabat desa dan sebagainya. Basa Bali madya digunakan dalam kehidupan keseharian kepada orang yang dituakan seperti orang tua, paman, orang baru dikenal dan sebagainya. Sementara basa Bali kesamen digunakan dalam kehidupan pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya ataupun dalam keadaan marah.
Dalam sistem peralatan dan teknologi juga terlihat adanya penyerapan unsur budaya Bali. Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan peralatan hidup orang Bali dalam kehidupan komunitas Islam Pegayaman seperti penarek, saab, tenggala, dulang, lesung, alu, kuliner Bali dan sebagainya. Sistem mata pencaharian disesuaikan dengan kondisi geografis Desa Pegayaman yakni dengan bertani (padi) dan perkebunan cengkeh. Dalam sistem organisasi sosial ditemukan beberapa unsur budaya Bali yang diadopsi oleh komunitas Islam Pegayaman. Dalam penamaan anak, mereka menggunakan sistem penamaan dalam budaya Bali seperti penyematan Wayan untuk anak pertama, Made atau Nengah untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat dan seterusnya. Sistem perkawinan dalam komunitas ini juga memiliki kesamaan dengan budaya Bali seperti adanya prosesi ngidih dan bebas. Organisasi sosial dalam komunitas ini juga mengikuti sistem organisasi dalam budaya Bali seperti adanya sekaa bordah, sekaa hadrah, subak, sekaa tibaan dan seterusnya.
Sistem pengetahuan komunitas Islam Pegayaman dapat dilihat melalui pemanfaatan alam dalam menunjang kehidupan keseharian mereka. Alam dimanfaatkan warga sebagai mata pencaharian, untuk lauk, obat-obatan dan sebagainya. Kesenian yang berkembang dalam komunitas Islam Pegayaman tidak sekompleks dalam budaya Bali. Hal ini berkaitan dengan ajaran Islam yang mengharamkan penyimbolan Tuhan dalam bentuk apapun sehingga seni patung tidak berkembang. Kesenian yang berkembang di Pegayaman hanya berupa tarian dan nyanyian yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Kesenian khas Pegayaman adalah seni hadrah dan bordah. Seni hadrah berupa tarian sekelompok prajurit yang diiringi dengan nyanyian yang diambil dari kitab Al Berzanji. Sementara seni bordah adalah seni vokal yang melantunkan ayat-ayat Al Berzanji yang diiringi dengan borde yakni rebana dengan ukuran cukup besar. Uniknya adalah
para pemain menggunakan pakaian khas Bali seperti lancingan dan udeng layaknya orang Bali yang hendak ke Pura.
Komunitas Islam Pegayaman merupakan penganut Islam yang taat. Meskipun demikian, dalam beberapa praktek religi ditemukan pula penyerapan unsur budaya Bali. Hal ini dapat dilihat dalam rangkaian kegiatan dalam menyambut hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Mereka mengenal istilah penapean (membuat tape), penyajaan (membuat jajan), penampahan (menyembelih hewan) dan manis (sehari setelah hari raya). Rangkaian kegiatannya hampir sama dengan budaya Bali. Dalam perayaan kegiatan Maulid Nabi, mereka meyakini sebagai hari otonan Nabi Muhammad sehingga perayaan berlangsung cukup meriah dengan membuat sokok base dan sokok taluh. Keyakinan adanya sosok Tuan Keramat turut mempengaruhi dinamika religi masyarakat Pegayaman. Mereka meyakini bahwa sosok Tuan Keramat sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Sosok Jin Kyai ini bersemayam di tempat yang dikenal sebagai Keramat. Tempat ini saat ini digunakan untuk kegiatan tirakatan. Meski demikian, mereka meyakini bahwa semuanya terjadi karena kehendak Tuhan yakni Allah bukan yang lain.
Jock Young (dalam Arsana, 2006:41-42) dalam teori pertukaran budaya (cultural exchange) menjelaskan bahwa dalam suatu pertemuan budaya melalui interaksi lintas etnis cenderung menimbulkan tiga ruang segmen yakni ruang segmen yang mengedepankan absolutisme budaya, ruang segmen yang memungkinkan terjadinya percampuran budaya dan persilangan nilai, dan ruang segmen yang memungkinkan terjadinya pertukaran budaya namun tidak melebur sampai batas budaya esensial. Ruang segmen yang mengutamakan budaya absolut dalam komunitas Islam Pegayaman ditunjukkan dalam sistem religi mereka yakni agama Islam. Ruang segmen percampuran budaya lebih banyak ditemukan dalam komunitas Islam ini seperti unsur teknologi dan peralatan hidup, pengetahuan, organisasi sosial, bahasa dan kesenian. Ruang budaya yang bercampur namun tidak melebur pada batas esensial dapat dilihat dari kuliner mereka yakni sajian lawar. Mereka tidak menggunakan daging babi dan darah layaknya dalam budaya Bali karena bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah terbentuknya komunitas Islam Pegayaman terjadi pada masa Kerajaan Buleleng. Komunitas Islam Pegayaman terbentuk dari tiga etnis yakni Jawa, Bali dan Bugis. Etnis Jawa berasal dari Kerajaan Mataram, etnis Bali berasal dari gadis Bali yang dipersunting oleh prajurit Islam Jawa dan etnis Bugis berasal dari Kerajaan Bone Sulawesi Selatan. Ketiga etnis ini kemudian membentuk komunitas Islam yang memliki karakteristik budaya tersendiri yang tinggal di Desa Pegayaman. Secara umum karakteristik budaya komunitas Islam Pegayaman didominasi oleh simbol-simbol budaya Bali. Hal ini dapat dilihat dari ketujuh unsur budaya yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian mereka.
Agung, A A Gde Putra, dkk. 2003. Bali, Obyek dan Daya Tarik Wisata. Denpasar: Dinas Pariwisata Provinsi Bali
Ardhana, I Ketut, dkk. 2011. Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi. Denpasar: Pustaka Larasan
Arsana, I Gusti Ketut Gde.2006. Segresi Sosial dan Pola Adaptasi Budaya dalam Kehidupan Pluralisme Agama di Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Udayana
Bagus, I Gusti Ngurah. 2007. “Kebudayaan Bali”, dalam Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat (ed). Jakarta: Djambatan
Jayadi, Ketut Raji. Tanpa Tahun. Desa Pegayaman: Kota Santri di Pulau Bali Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Panji, I Gusti Ngurah. 2010. Sejarah Buleleng. Singaraja: Pemerintah Kabupaten
Buleleng UPTD Gedong Kirtya
Profil Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng Tahun 2011 Sastrodiwiryo, Soegianto. 2011. I Gusti Anglurah Panji Sakti, Raja Buleleng
1599-1680. Denpasar: Pustaka Bali Post
Setia, Putu. 2014. Bali Menggugat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Discussion and feedback