PERANAN RELIGI DALAM PEMERINTAHAN RAJA JAYAPANGUS (Berdasarkan Data Prasasti)
on
1
PERANAN RELIGI DALAM PEMERINTAHAN RAJA JAYAPANGUS (Berdasarkan Data Prasasti)
Ni Luh Gede Ayu Febriyanthi Program Studi Arkeologi
Abstrak
Most of the inscriptions issued by the kings of ancient Bali during one of which contains data related to King Jayapangus belief systems knew as religion. In the reign of King Jayapangus religious cultivation of spiritual values seems so pervasive strong in the joints of the social life of ancient Balinese culture, so it was able survive to the present day. The issues that discussed in this study is what of religious aspects contained in the inscription of the reign of King Jayapangus and role of religious related to the government bureaucracy also the role of religion on social and cultural life of society during the reign of King Jayapangus.
This research used a descriptive qualitative analysis of the data collection methods such as literature review, observation and documentation. The theory are used as the basis of religious theory and research is to determine the role of structural functionalism religion in the reign of King Jayapangus. The results that the role of religion in the reign of King Jayapangus was in an effort legitimation of power and abaut as a guide in making policy and role in social life.
Keywords: Roles, Religion, King Jayapangus
Prasasti adalah suatu putusan resmi, tertulis di atas batu atau logam, dirumuskan menurut kaidah-kaidah tertentu, yang memuat keterangan berupa anugerah dan hak yang dikaruniakan dengan beberapa upacara (Bakker, 1972: 10). Keterangan yang termuat pada prasasti merupakan informasi paling autentik, digunakan sebagai data sejarah untuk mengungkap aspek sosial budaya yang terjadi pada masyarakat masa lampau. Prasasti yang dikeluarkan pada masa Bali Kuno menyebutkan beberapa nama raja, salah satunya yaitu Raja Jayapangus. Hasil penelitian para ahli mengungkap hingga saat ini tidak kurang dari 44 cakep prasasti yang dikeluarkan dan diperkirakan dikeluarkan oleh Raja Jayapangus (Wiguna et al., 2004: 8). Nama Raja Jayapangus tidak hanya dikenal dalam
prasasti, namun juga dalam catatan sejarah lokal. Nama beliaupun tetap dihormati oleh masyarakat Bali masa kini. Nampaknya penanaman nilai spiritual religius yang dilakukan Raja Jayapangus meresap kuat pada sendi-sendi kehidupan sosial budaya masyarakat Bali Kuno sehingga mampu bertahan hingga masa kini.
Alasan dari permasalahan religi yang diteliti oleh penulis berawal dari ditemukannya beberapa aspek religi dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus, seperti upacara keagamaan, penyebutan nama dewa serta pejabat keagamaan yang menduduki posisi penting pada birokrasi pemerintahan. Keterangan terkait data religi yang selalu termuat pada prasasti Raja Jayapangus mencerminkan bahwa religi merupakan salah satu aspek penting pada pemerintahan masa itu. Pentingnya aspek religi dalam sebuah pemerintahan disebabkan adanya peranan serta manfaat yang dirasakan dari aspek tesebut terhadap jalannya roda pemerintahan. Pada penelitian ini salah satu peranan religi yang dibahas yaitu dalam hal mempengaruhi kebijakan politik yang diputuskan raja.
Mengacu pada latar belakang penelitian, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu :
-
a. Bagaimana peranan religi dalam legitimasi kekuasaan Raja Jayapangus?
-
b. Bagaimana peranan religi sebagai dasar dari kebijakan politik Raja Jayapangus?
Pada penelitian ini terdapat dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk memahami serta merekonstruksi kehidupan religi masyarakat, menyusun cara-cara hidup beragama di masyarakat, serta memahami proses perubahan budaya dalam segi religi yang berlangsung di masyarakat selama masa pemerintahan Raja Jayapangus. Sedangkan, tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk menjawab dua permasalahan yang telah dirumuskan yakni bagaimana peranan religi dalam
legitimasi kekuasaan Raja Jayapangus?, serta bagaimana peranan religi sebagai dasar dari kebijakan politik Raja Jayapangus?.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan riset yang dilakukan bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data dapat berupa tulisan ataupun lisan dari objek yang diamati (Maryaeni, 2005: 60).
Data kualitatif pada penelitian ini berupa beberapa pustaka yang memuat tentang hasil penelitian dari Raja Jayapangus. Data kualitatif yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah pustaka Himpunan Prasasti-Prasasti Bali Masa Pemerintahan Raja Jayapangus yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun 2004. Sedangkan sumber data sekunder berupa jurnal, laporan penelitian, makalah, buku, artikel, laporan penelitian, serta hasil wawancara.
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu studi pustaka, wawancara serta observasi. Data yang terkumpul kemudian dikembangkan dengan menggunakan dua teori yaitu teori religi dan fungsionalisme struktural. Penggunaan teori dalam pengembangan data juga dilakukan berdasarkan analisis kualitatif, komparatif dan kontekstual sehingga memudahkan penulis dalam mengkaji serta memecahkan permasalahan penelitian.
Suatu negara pada pemerintahan tradisional dianggap bersifat kosmis dengan religi yang difungsikan sebagai tuntunan atau pedoman dalam menyusun birokrasi pemerintahan. Suatu kerajaan yang dianggap sebagai jagat kecil (mikrokosmos), menempatkan pejabat-pejabat pemerintahan dan para penguasa daerah seperti dewa-dewa lokapala, sehingga keseimbangan (equilibrium) antara makrokosmos dan mikrokosmos dapat tercapai. Religi juga difungsikan sebagai sarana legitimasi oleh para penguasa. Upaya pelegitimasian pada dasarnya dilakukan untuk sebuah kekuasaan agar dapat menggerakkan orang lain. Salah
satu sumber kekuasaan yaitu legitimasi (legitimate power). Legitimate berarti pengangkatan, jadi legitimate power dapat diartikan sebagai kekuasaan yang diperoleh melalui pengangkatan. Pada pemerintahan tradisional, kekuasaan yang langsung diperoleh melalui pengangkatan adalah penobatan putra mahkota (pangeran) menjadi raja di suatu kerajaan (Syafiie, 1992: 55). Raja Jayapangus kemungkinan besar mengalami proses penobatan agar kekuasaanya dapat diakui oleh masyarakat Bali Kuno.
Bali Kuno sebagai sebuah kerajaan dikenal mengalami beberapa kali pergantian penguasa. Para raja yang bergelar Warmmadewa atau merupakan keturunan dari dinasti Warmmadewa yang memerintah selama beberapa abad di Bali. Kemunculan nama Raja Jayapangus menimbulkan dugaan bahwa beliau bukan berasal dari wangsa Warmmadewa jika dilihat dari abhiseka namanya. Oleh karena itu, terdapat dugaan bahwa Raja Jayapangus berasal dari wangsa lain. Jika hal tersebut benar, maka upaya pelegitimasian merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkuat kedudukannya.
Raja Jayapangus memuat kata ‘Jaya’ di dalam namanya. Data prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa terdapat beberapa raja menggunakan kata 'Jaya' pada penyebutan nama raja yang memerintah pada masa Bali Kuno awal abad 12-13 Masehi. Dua raja diantaranya diketahui memerintah sebelum Jayapangus. Adapun nama raja-raja tersebut jika diurutkan secara kronologis yaitu:
-
1. Jayaçakti (1055-1072 Saka)
-
2. Rāgajāya (1077 Saka)
-
3. Jayapangus (1099-1103 Saka)
-
4. Ekajayalańcana beserta ibunya Arjārya Dengjaya (1122 Saka)
Angka-angka tahun pemerintahan raja-raja tersebut diketahui berada dalam jaman berkembangnya kerajaan Kediri di Jawa Timur (kira-kira 1045-1222 Masehi) (Astra, 1977: 64). Hal tersebut memang menjadi sebuah hipotesis tersendiri terkait kewangsaan Raja Jayapangus yang belum jelas secara genealogi. Terlepas dari hal tersebut penulis menemukan beberapa unsur religi yang digunakan oleh Raja Jayapangus sebagai upaya pelegitimasian untuk memperkuat kedudukannya sebagai seorang raja yaitu:
-
1) Penggunaan gelar Arkajacihna atau Arkajalancana merupakan simbolisasi cara melegitimasi diri bagaikan Dewa Surya yang memancarkan sinarnya. Konsep dewaraja memang kental pada masa Bali Kuno. Kitab hukum Manavadharmasastra yang menjadi pedoman Raja Jayapangus juga mencantumkan bahwa seorang raja harus memiliki sifat-sifat kedewataan, salah satunya yaitu Dewa Surya. Sifat Dewa Surya dalam kepemimpinan Hindu yang harus diteladani adalah memberikan sinar kehidupan bagi seluruh rakyatnya tanpa kecuali. Salah satu sifat raja adalah menghisap pajak dari rakyat, tetapi diharapkan agar tidak sampai menyakiti rakyat. Analoginya yaitu sinar matahari yang menyinari/memanasi air laut, menyerap uap air ke udara, menjadi awan, awan menjadi hujan, dan air hujan yang jatuh dipegunungan kembali ke laut. Laut tidak merasa matahari memanasinya, semua berlaku seperti proses alam, simbiosis mutualisme. Oleh karena itu, hubungan antara seorang pemimpin dengan yang dipimpin diharapkan berjalan harmonis.
-
2) Pada prasasti Bugbug No. 630 b, Raja Jayapangus membuat aturan kepada rakyatnya agar tetap melaksanakan upacara pada bangunan suci Banu Wka. Banu Wka diperkirakan sebagai pedharmaan Raja Udayana Warmmadewa, perintah itu dilakukan mungkin dengan maksud agar rakyat percaya bahwa raja yang memimpinnya sekarang sangat menghormati leluhur. Bentuk penghormatan tersebut juga berfungsi untuk menarik simpati masyarakat yang fanatik terhadap kewangsaan seorang raja. Selain itu, mungkin Raja Jayapangus juga memberi kesan bahwa beliau adalah keturunan dari Raja Udayana atau masih ada hubungan kekeluargaan dengan Raja Udayana.
Keterangan-keterangan tersebut jelas menggambarkan upaya pelegitimasian Raja Jayapangus dengan mempergunakan aspek-aspek religi. Pentingnya peran religi sebagai sarana legitimasi kekuasaan nampak cukup jelas pada masa Bali Kuno, salah satunya yaitu pada masa pemerintahan Raja Jayapangus. Legitimasi kekuasaan mampu memberikan kharisma tersendiri bagi seorang raja yang patut dihormati dan didewakan oleh bawahan serta rakyatnya.
Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus juga selalu menyebutkan adanya pengunaan kitab suci sebagai pedoman ajaran yang dianut oleh raja. Hal tersebut dilakukan mungkin karena Raja Jayapangus menyadari beratnya tugas sebagai seorang raja dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, Raja Jayapangus menggunakan beberapa kitab hukum Hindu sebagai pedoman pelaksanaan pemerintahan, yang harus dipatuhi oleh segenap pejabat pemerintahannya. Kitab hukum yang sering disebut-sebut di dalam prasasti antara lain yaitu kitab hukum Manawakamandaka, Manawakamandaka Dharmasastra dan Manawaśasanadharma. Disamping itu diterapkan pula ajaran-ajaran tentang dasaśila dan panśasiksā (Tara Wiguna, 2004: 32).
Prasasti Raja Jayapangus sebagian besar memuat permasalahan terkait penyelewengan pajak oleh petugas pemungut pajak. Oleh karena itu, dalam tiap prasastinya Raja Jayapangus juga dikatakan menggunakan kitab keagamaan dalam memutuskan kebijakan demi kesejahteraan rakyatnya. Kitab keagamaan yang digunakan oleh raja tentu tidak begitu saja digunakan, karena tokoh keagamaan sebagai seorang ahli religi juga berperan penting dalam menafsirkan kitab tersebut.
Pendeta Śiwa-Sogata merupakan tokoh keagamaan sekaligus pejabat tinggi kerajaan yang menjadi saksi diturunkannya anugrah raja berupa prasasti kepada masyarakat di suatu desa tertentu. Oleh karena itu, dalam kapasitasnya sebagai kelompok penguasa di tingkat pusat, terdapat dua kewenangan yang dimiliki tokoh agama. Pertama, hadir dalam persidangan Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan pada tahap pembahasan suatu masalah sampai dengan pengambilan keputusan. Kedua, hadir sebagai saksi dalam rangka penganugerahan prasasti kepada wakil-wakil desa bersangkutan. Kehadiran tokoh agama saat pembahasan suatu masalah merupakan nilai yang sangat strategis bagi pengambilan kebijakan pemerintah oleh raja. Pada saat tersebut, tokoh agama yang ahli dalam kitab-kitab sastra, baik sastra keagamaan maupun hukum ketatanegaraan, sangat diharapkan mampu memberikan saran serta pertimbangan demi tepatnya keputusan yang diambil oleh raja (Astra, 1997: 286).
Tokoh keagamaan dan kitab sastra keagamaan merupakan dua unsur religi yang saling berhubungan erat serta sangat dibutuhkan oleh raja dalam mempertimbangkan serta mengambil keputusan. Hal tersebut memang lazim terjadi pada zaman klasik kuno dimana kekuatan raja didukung oleh para brahmana (tokoh keagamaan). Raja merupakan golongan ksatriya yang ahli dalam pemerintahan serta ahli peperangan, sedangkan golongan brahmana merupakan tokoh agama (orang suci) yang ahli pada bidang keagamaan serta dianggap mampu berkomunikasi dengan dewa dan mampu menjadi penghubung antara dewa dengan para manusia. Kedua golongan tersebut menempati kasta/wangsa tertinggi dalam sebuah kepercayaan India kuno, sehingga kasta-kasta dibawah itu tidak akan berani menentang setiap keputusan yang telah diambil karena takut akan hukuman baik hukuman dari pihak kerajaan maupun hukuman dari para dewa.
Religi berperan dalam upaya pelegitimasian kekuasaan Raja Jayapangus mengingat belum ditemukan keterangan yang jelas terkait kewangsaan Raja Jayapangus sendiri. Upaya pelegitimasian tersebut menggunakan aspek religi berupa mempengaruhi kepercayaan masyarakat dengan cara menggunakan konsep dewaraja yang dipercayai oleh masyarakat Bali Kuno. Penggunaan nama atau gelar ‘Arkajacihna’ dan ‘Arkajalancana’ yang merupakan simbolisasi cara melegitimasi diri bagaikan Dewa Surya yang memancarkan sinar. Kitab hukum Manavadharmasastra merupakan sumber pedoman Raja Jayapangus yang memuat ajaran bahwa seorang raja harus memiliki sifat-sifat kedewataan, salah satunya yaitu Dewa Surya. Selain itu, Raja Jayapangus membuat aturan kepada rakyatnya agar tetap melaksanakan upacara pada bangunan suci Banu Wka. Bentuk penghormatan tersebut juga berfungsi untuk menarik simpati masyarakat yang juga memberi kesan bahwa beliau adalah keturunan dari Raja Udayana atau masih ada hubungan kekeluargaan dengan Raja Udayana.
Peranan religi sebagai dasar kebijakan politik raja Jayapangus dilihat dari adanya data prasasti yang selalu memuat permasalahan terkait masalah perpajakan. Oleh karena itu, dalam tiap prasastinya Raja Jayapangus dikatakan
menggunakan kitab keagamaan sebagai pedoman dan tokoh agama sebagai pejabat tinggi yang turut membantu memutuskan kebijakan demi kesejahteraan rakyatnya.
Astra, I G.S., 1977. “Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali (1178-1181 M.)”. Lembaran Pengkajian Budaya Jilid I. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Bakker, S.J.W.M. 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.
Maryaeni, 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Syafiie, I.K., 1952. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Eresco.
Wiguna, I.G.N.T., et al. 2004. Himpunan Prasasti-Prasasti Bali Masa Pemerintahan Raja Jayapangus. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Discussion and feedback