Ketidakadilan Gender Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel 9 Matahari karangan Adenita: Sebuah Kajian Feminisme
on

HUMANIS
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022
Vol 27.4. Nopember 2023: 451-464
Ketidakadilan Gender Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel 9 Matahari karangan Adenita: Sebuah Kajian Feminisme
Gender Injustice Against Femail Characters in the Novel 9 Matahari by Adenita: a Study of Feminism
Elsita Lisnawati Guntar1, Ni Ketut Veri Kusumaningrum2, Yuliana Jetia Moon3 1Sekolah Tinggi Bisnis Runata, Denpasar, Bali, Indonesia
2
2Politeknik Internasional Bali, Tabanan, Bali, Indonesia
3
3Universitas Katolik St. Paulus Ruteng, Manggarai, NTT, Indonesia
Email Korespondensi: elsitaguntar@gmail.com, veri.ninggrum@yahoo.co.id, yulianajetiamoon@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 16 Oktober 2023
Revisi: 8 Nopember 2023
Diterima: 20 Nopember 2023
Terbit: 30 Nopember 2023
Keywords: Gender; Injustice;
Novel; 9 Matahari; Study;
Feminism
Kata kunci: Ketidakadilan;
Gender; Novel; 9 Matahari;
Kajian; Feminisme
Corresponding Author:
Elsita Lisnawati Guntar email: elsitaguntar@gmail.com
DOI:
Abstract
This research is motivated by the assumption that women only play a role in the domestic field and do not have the rights and freedoms to study, act, and associate. This research aims to determine the forms of gender injustice towards female characters in the novel 9 Matahari by Adenita and the rebellion efforts made by female characters against this injustice. The theory used is feminist theory. This research uses qualitative data in the form of documents. Data collection in this research used the library method (library research), namely library sources in the form of books, articles, journals and other literature. Based on the results of the analysis, it was found that this novel tells the role of the main character, who is female, and all the life around her. This main character not only fights for education but also a decent life for women. This novel contains an idea as well as a rebellion that women must get a proper education to improve their future, and the main character in this novel is able to make it happen.
Abstrak
Kajian ini dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa wanita hanya berperan dalam bidang domestik dan tidak mempunyai hak serta kebebasan dalam menuntut ilmu, berbuat, dan bergaul. Tujuan dikajinya novel ini ialah untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap tokoh wanita dalam novel 9 Matahari karya Adenita dan upaya pemberontakan yang dilakukan tokoh perempuan atas ketidakadilan tersebut. Teori yang digunakan adalah teori feminis. Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif berupa dokumen. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research) yaitu sumber-sumber pustaka berupa buku, artikel, jurnal, dan literatur lain. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa novel ini menceritakan peran tokoh utama yang berjenis klamin wanita, dan segala kehidupan yang berada di sekitarnya. Tokoh
utama ini tidak hanya memperjuangkan pendidikan tetapi juga kehidupan yang layak bagi kaum wanita. Novel ini memuat sebuah pemikiran sekaligus pemberontakan bahwa wanita harus mendapatkan pendidikan yang layak untuk memperbaiki masa depannya, dan tokoh utama dalam novel ini mampu mewujudkannya.
PENDAHULUAN
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati dan dipahami oleh pembacanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Melati et al., (2019) bahwa setiap jenis karya sastra tentu memiliki unsur keindahan di dalamnya. Ismayani (2017) mendefinisikan sastra ialah sebuah teks dengan ciri khasnya yang asli, penuh seni, dan mengandung daya imajinatif. Karena itu Purwati et al. (2018) menilai bahwa setiap karya sastra tentu memrlukan proses kreatif.
Melalui karya sastra, pengarang dapat menyampaikan banyak tema berbeda, antara lain kesedihan, kesusahan, kesenangan, kecemasan, dan berbagai situasi lainnya. Salah satu gejala sosial yang ditemukan dan didiskusikan dalam karya sastra ialah munculnya ketimpangan gender dan penolakan terhadap sistem yang menganggap perempuan sebagai subordinat. M. Lips dalam (Botifar & Friantary, 2021) mendefinisikan gender sebagai ekspektasi budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, bila ditinjau dari sudut pandang sosial, gender sangat berkaitan dengan arti jenis kelamin.
Munculnya tema ketidakadilan gender salah satunya disampaikan oleh (Kurniawati et al., 2018) yang meneliti tentang kajian feminisme dalam novel Cantik Itu Luka karangan Eka Kurniawan. Dalam novel tersebut ditampilkan secara detail oleh pengarang tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender, kekerasan seksual, dan
perjuangan tokoh utama bernama Dewi Ayu untuk melawan ketertindasan wanita atas diri pria pada pasca-kolonial.
Contoh lain munculnya tema peranan wanita dalam upaya mencapai persamaan haknya dengan laki-laki ialah dalam kajian Tyas (2021) dalam judul Kajian Feminisme dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel ini banyak dibahas aspek-aspek sosial yang sangat rumit, mulai dari perbedaan sosial antara masyarakat pribumi dan masyarakat Belanda hingga persoalan pendominasian terhadap wanita oleh masyarakat dan budaya saat ini. Feminisme dalam novel Bumi Manusia merupakan wujud kemajuan cara pandang perempuan yang berusaha berjuang mempertahankan masa depan.
Kisah yang ditampilkan dalam novelnovel tersebut memposisikan wanita sebagai tokoh utama. Kemunculan tokoh wanita dalam karya sastra merupakan alasan yang kuat lahirnya kritik sastra feminis. Orang yang menganut paham feminisme dikenal dengan sebutan feminis (Suharto & Sugihastusi, 2010). Kritik sastra feminis adalah kritik sastra yang mengarahkan analisisnya terhadap perempuan. Kritik sastra feminis berpendapat bahwa pembaca dan kritikus perempuan membawa pandangan, pengetahuan, dan asumsi yang berbeda terhadap pengalaman membaca karya sastra. Djajanegara (2000) berpendapat bahwa kritik sastra feminis jenis ini pada hakikatnya adalah jenis kajian sastra yang berlandaskan perspektif feminis yang manakeadilan ditegakkan dari perspektif eksistensi perempuan.
Karya sastra yang kerap dianalisis dengan kritik sastra feminis salah satunya ialah novel. Novel menyajikan realita terjadinya peristiwa dan perilaku yang dialami manusia (tokoh). Menurut Guntar (2021) novel adalah jenis prosa yang kehidupan tokohnya diceritakan melalui serangkaian peristiwa yang terpisah, luas, dan detail, serta melibatkan persoalan yang lebih rumit. Hal yang sama juga didefinisikan Nurgiyantoro (2015) bahwa novel merupakan suatu prosa yang memuat cerita panjang dan menyajikan kisah hidup masyarakat sekitar dengan mengungkapkan kepribadian dan sifat masing-masing pelaku dalam perannya masing-masing.
Novel 9 Matahari ini mengisahkan perjuangan Mentari, seorang wanita yang menjadi tokoh utama novel. Mentari memiliki sifat yang pantang menyerah, ia memiliki tekad yang kuat dalam menggapai mimpinya yaitu ingin menjadi sarjana. Dalam perjalanan menggapai impiannya ia mengalami pergolakan batin yang luar biasa, ia bekerja untuk menanggung biaya hidup keluarga karena sang ayah tidak lagi bekerja, namun ia juga mengejar mimpinya untuk menjadi seorang sarjana. Meskipun didukung oleh kakaknya yang bernama Hera, namun ayah Mentari tidak mendukung niat Mentari.
Anggapan bahwa wanita tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi, wanita hanya akan menjadi istri dan mengurus anak-anak, menjadi alasan kuat bagi sang ayah untuk melarang Tari mengenyam pendidikan tinggi. Sikap sang Bapak dalam novel ini juga menjadi pandangan umum bahwa ketidakadilan gender adalah hal yang biasa dan lazim dan dan seolah-olah hal itu wajar dan perlu diterima oleh masyarakat (Handayani dan Sugiarti, 2008).
Adenita melalui novel ini memberikan pencerahan dan
membuktikan bahwa setiap orang, termasuk wanita, yang berkeinginan kuat menempuh pendidikan tinggi adalah cerminan mulai dihapusnya ketidakadilan gender dan pembentukan kelas-kelas sosial. Wanita tidak lagi tertindas secara sosial dan pendidikan. Wanita layak mendapatkan tempat yang baik di mata masyarakat. Dalam noveli ini perjuangan Mentari untuk menolak ketidakadilan gender itu dibuktikan dengan ia bisa meraih gelar sarjana dan menjalani hidup sebagai wanita karir.
Berdasarkan uraian tersebut novel 9 Matahari karangan Adenita dipandang layak untuk dikaji lebih dalam, dan upaya ini diharapkan dapat membuka wawasan berpikir masyarakat (pembaca) tentang kesetaraan gender. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan pengayaan di dunia pendidikan, yang dapat dipakai guru dalam kegiatan pembelajaran.
METODE DAN TEORI
Kajian ini berjenis kualitatif. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk mengkaji kehidupan yang ada di masyarakat, sejarah, perilaku, fungsi organisasi, program sosial, atau hubungan kekerabatan. Dengan mengkajinya secara kualitatif diharapkan mendapatkan pemahaman yang dalam terkait persoalan-persoalan manusia dan masyarakat, tidah saja hanya melihat bagian permukaan dari sebuah realitas (Gunawan, 2013).
Dalam kajian ini, data yang dipakai ialah kutipan-kutipan isi novel berupa kata, kalimat, dan ungkapan yang termuat dalam novel 9 Matahari dan diperkirakan memuat unsur feminisme. Data dalam Novel 9 Matahari ini dikumpulkan dan dianalisis menggunakan studi dokumen.
Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer merupakan sumber data utama untuk penelitian (Ratna,
2010). Sumber data utama dalam penelitian ini adalah novel berjudul 9 Matahari karya Adenita. Novel memiliki jumlah halaman 359 dan pertama kali diterbitkan oleh penerbit anggota IKAPI PT Grasindo. Cover novel ini berwarna oranye serta terdapat ilustrasi gambar matahari yang sinarnya berjumlah sembilan. Pada cover belakang terdapat beberapa pendapat tentang novel 9 Matahari.
Data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan untuk menuntaskan permasalahan yang ada. Dalam suatu penelitian, sumber data sekunder ialah berupa dokumen, artikel, majalah, dan website yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode library research (kepustakaan).Adapun teknik analisis data dalam kajian ini ialah menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode deskripsi kualitatif adalah metode yang bila diperlukan akan diuraikan dengan kata-kata atau gambar, bukan dengan angka-angkan(Endraswara, 2013). Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif ini diharapkan dapat memperoleh analisis deskriptif objektif tentang peranan wanita dalam menghadapi isu kesetaraan gender menurut teori feminisme.
Teori yang digunakan dalam menganalisis novel 9 Matahari ini ialah teori feminis. Teori ini bertujuan untuk mengetahui peranan dan perjuangan kaum wanita dalam berbagai bidang untuk mencapai kesetaraan gender.
Pendekatan karya sastra berbasis genre, khususnya studi sastra feminis, merupakan disiplin sastra yang muncul sebagai respon terhadap perkembangan feminisme. Feminisme ini ditemukan oleh kritikus sastra Amerika Elaine Showalter dalam Towards a Feminist Poetry (1979) (Gamble, 2010). Showalter mendeskripsikan suatu bentuk kritik feminis yang mengkaji cara-cara
perempuan direpresentasikan atau diabaikan dalam teks tertulis.
Kajian sastra feminis digunakan untuk menganalisis masalah prasangka gender, peran dan kedudukan wanita serta emansipasi wanita yang terdapat pada karya sastra. Tujuan dari kajian sastra feminis ini diantaranya, untuk menguatkan studi tulisan- tulisan yang dipusatkan pada wanita dan untuk mengeksplorasi konstruksi- konstruksi kultural dari gender dan identitas. Upaya pemahaman perlu dilakukan untuk menggali ketimpangan antar jenis kelamin dalam karya sastra, seperti yang terlihat dalam realitas masyarakat sehari-hari. Konteks sosial pendidikan perempuan, pekerjaan mereka, peran mereka dalam masyarakat dan status perempuan merupakan bagian integral dari struktur sosial dan akan menjadi bagian dari kritik feminis. Kritik sastra feminis juga meyakini bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat berpartisipasi dalam semua aktivitas kehidupan.
Teori feminis berpendapat bahwa banyak aspek kehidupan, di luar seks biologis, juga dapat dipahami dalam kaitannya dengan kualitas gender, termasuk bahasa, pekerjaan, peran keluarga, pendidikan, dan interaksi sosial. Teori feminis bertujuan untuk menghapuskan kekuasaan dan batasan distribusinya. Gerakan feminisme merupakan perjuangan untuk mengubah sistem dan struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil bagi perempuan dan laki-laki (Fakih, 2013). Goefe menyebutkan yang dikutip oleh Suharto & Sugihastusi (2010) feminisme berarti teori kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial atau dalam kegiatan terorganisir yang memperjuangkan hak dan kepentingan perempuan. Feminisme menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat modern lumpuh secara
struktural akibat budaya patriarki yang sangat kuat. Ketimpangan ini terjadi di berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan pekerjaan.
Feminisme hadir untuk menyumbang pikiran bahwa pengaruh kekuasaan dalam mengkonstruksi hubungan sosial antara laki-laki dan wanita tidak boleh diabaikan begitu saja. Feminisme juga diartikan sebagai sebuah upaya wanita yang menuntut emansipasi atau kesetaraan hak dengan laki-laki. Feminisme merupakan suatu gagasan yang mendeskripsikan tentang kesetaraan antara kaum wanita dan laki-laki dalam bidang sosial, pendidikan, politik, dan ekonomi. Feminisme mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan wanita serta upaya untuk memeroleh hak-hak sebagai wanita. Feminisme tumbuh subur, dipicu oleh munculnya perempuan modern yang mulai melakukan intervensi dalam segala aspek kehidupan, mulai dari partisipasinya dalam aktivitas ekonomi hingga aktivitas militer. Feminisme bertujuan untuk mendapatkan perlakuan lebih baik dari laki-laki (Prabasmoro, 2018). Selain itu, feminisme juga bertujuan untuk mendorong emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak p erempuan dengan laki-laki. Cara kerja teori feminis ini yaitu dengan menganalisis petikan-petikan kalimat pada novel kemudian dijabarkan kembali dengan mengaitkan hubungan antara teori feminis dan isi yang terkandung dalam petikan-petikan kalimat tersebut. Selain itu, dengan teori feminis ini, juga akan dianalisis tokoh-tokoh wanita dalam novel 9 Matahari dengan tujuan untuk mengetahui kedudukan wanita, bentuk ketidakadilan, dan perjuangan tokoh wanita untuk mendapatkan hak-haknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis ditemukan tiga hal yang berkaitan dengan ketidakadilan gender dalam novel 9
Matahari, yaitu 1) ketidakadilan dalam urusan rumah tangga, 2) ketidakadilan dalam pendidikan, dan 3) ketidakadilan dalam pembuatan keputusan.
Ketidakadilan dalam Urusan Rumah Tangga
Peran dan kedudukan wanita dalam keluarga bisa dilihat pada bagaimana posisi wanita dalam keluarga. Peran wanita dalam keluarga masih lebih banyak dalam wilayah domestik. Inilah stereotipe yang dianggap kodrat perempuan yang menciptakan ketidakadilan gender bagi wanita dan laki-laki. Laki-laki mendapatkan peran yang lebih menguntungkan daripada wanita. Barker (2016) mengemukakan bahwa jantan dan betina adalah bentuk identifikasi diri yang dipercayai sebagai atribut badan, bahwa secara genetis prilaku laki-laku secara umum diyakini lebih mendominasi, berpangkat lebih tinggi, dan senang akan kekuasaan; sedangkan wanita dipandang sebagai pemelihara, mengurus anak, dan cenderung domestik.
Peran wanita dalam keluarga bisa dilihat dalam upaya wanita mengatur keluarganya, mendidik anak, dan memajukan kehidupan keluarga agar menjadi lebih baik. Wanita harus mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus keluarga. Banyak bidang pekerjaan yang mampu dikerjakan oleh wanita sekarang ini, mulai dari pekerjaan di dapur sampai pekerjaan yang biasanya dikerjakan laki-laki. Seorang wanita dituntut bersikap yang lembut sementara laki-laki boleh bersikap kasar dan blak-blakan. Seperti pada kutipan berikut:
"Tutur katanya halus dan bila hendak menyampaikan sesuatu penuh dengan santun, kontras sekali dengan budaya Bapak yang blak-blakan. Ibu rajin sekali mengurus rumah dan membuat kue-kue tradisional. Ketimus, kue pisang, kue bugis, bolu
kukus, klepon, dan masih banyak lagi. Dan, ibu juga mengurus semua keperluan kedua anaknya sendiri." (hlm. 12)
Laki-laki cendrung egois dalam rumah tangga, kesetaraan antara laki-laki dan wanita dirasakan sangat diskriminatif. Hal ini desebabkan karena adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan wanita. Perbedaan itu tidak hanya terbatas pada kreteria biologis, melainkan juga sampai pada kreteria sosial dan budaya. Perbedaan itu diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin dan gender. Hal ini sesuai dengan pandangan (Astuti et al. (2018) bahwa ketidakadilan atau diskriminasi gender terwujud dalam berbagai bentuk, dalam hal ini terwujud dalam subordinasi, marginalisasi, stereotip, kekerasan dan beban kerja. Bentuk ketidakadilan yang diakibatkan oleh adanya pengucilan gender kerapkali terjadi di masyarakat.
Dalam novel 9 Matahari sangat jelas terlihat adanya perbedaan jenis kelamin dan gender tersebut. Anggapan bahwa kaum wanita memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum wanita.
Dalam keluarga Matahari, beban yang sangat berat ini harus menjadi tanggung jawab Ibu sendiri. Posisi wanita dalam kutipan tersebut selalu tersubordinasi. Wanita dianggap memiliki status lebih rendah sekaligus otoritas lebih sedikit karena peranannya hanya berhubungan dengan arena domestik, sedangkan peran laki-laki yaitu Bapak terlihat lebih mendominasi.
Ketidakadilan dalam Pendidikan
Hal lainnnya yang kerapkali terjadi di masyarakat ialah adanya kesenjangan
dalam pendidikan. Hal tersebut dideskripsikan dalam keluarga Mentari seperti pada kutipan berikut ini.
"Goblok kalian semua! Selama ini hidup kalian dari mana? Baru bisa mencari uang rokok untuk bapaknya saja, sudah berani menginjak kepalaku! Tai-lah sekolah kalian itu. Susah memang bicara dengan orang bodoh macam kamu. Wanita bodoh yang bersekolah rendah macam kamu, bisa apa? Cari uang sana, biar tahu susahnya menghidupi orang-orang tak tahu diri macam kalian. Bisanya hanya mewek… Memalukan!!!." (hlm. 56)
Pada kutipan di atas peran dan posisi wanita dianggap lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan “wanita bodoh” dan “goblok kalian semua!”. Dalam novel tersebut tampak sang bapak memandang istrinya sebagai wanita yang tidak berpendidikan, wanita lemah, yang hanya tahu menangis (mewek) bila ada masalah.
Peranan wanita dalam bidang pendidikan dianggap masih sangat minim. Wanita dalam novel ini dianggap memiliki posisi yang marjinal, inferior, dan hanya pelengkap. Kaum wanita dianggap lebih rendah daripada kaum laki-laki dan hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik. Bapak yang menganggap wanita tidak harus menuntut ilmu tinggi-tinggi merupakan suatu hambatan bagi perjuangan Matahari. Seperti tampak pada kutipan berikut.
"Dugaanku benar. Pertanyaan tentang kuliahku tadi ternyata hanyalah sebuah awal untuk kembali menghentikan langkahku. Tak bisakah ia melihat semangatku yang begitu besar untuk terus belajar? Bahkan, sampai aku rela berutang sana-sini atas nama diriku." (hlm. 133).
Laki-laki sering bersikap tidak adil terhadap wanita dalam hal pendidikan, Hal ini di pertegas oleh kutipan berikut
"Dugaanku benar. Pertanyaan tentang kuliahku tadi ternyata hanyalah sebuah awal untuk kembali menghentikan langkahku."
Laki-laki yang menganggap wanita tidak perlu berpendidikan tinggi sebenarnya tanpa disadari mereka sebagai kaum laki-laki telah merendahkan martabat wanita. Dalam hal ini sudah terjadi pengurangan hak wanita dalam bidang pendidikan. Tari sebagai tokoh wanita diposisikan subordinat dan dinomorduakan kepentingannya, hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan novel berikut.
"Kenapa Bapak nggak pernah memperjuangkan aku untuk terus sekolah?" (hlm. 175).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa laki-laki melakukan prilaku yang sewenang-wenang terhadap wanita.
Ketidakadilan dalam Pembuatan Keputusan
Dalam rumah tangga, laki-laki memiliki kedudukan yang begitu tinggi. Semua peraturan dan kebijakan rumah tangga dirancang oleh kaum laki-laki dan kaum wanita diwajibkan patuh terhadap peraturan tersebut. Hal tersebut dideskripsikan pada kutipan kalimat berikut.
"Kak Hera meneleponku. Ia banyak bercerita tentang Bapak yang menurutnya selalu merendahkan dirinya. Bapak yang tidak pernah mau menuruti apa kata anaknya. Bapak yang selalu membuat suasana rumah begitu panas dan kacau. Bapak yang dalam tiap kali berbicara dengan intonasi dan volume tinggi. Bapak yang tiap kali bicara mengalir kalimat- kalimat pedas yang bikin
telinga memerah dan hati berdarah. Bapak yang kami sayangi, tapi sepertinya menolak kasih sayang itu." ( hlm. 109)
Sosok laki-laki digambarkan selalu bersikap mandiri dan mempunyai kuasa untuk mengatur segala sesuatu dalam rumah tangga. Sementara itu, wanita digambarkan sebagai sosok yang direndahkan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai perampasan hak. Perampasan bukan hanya hak milik atas barang-barang, tetapi juga hak untuk mengambil segala keputusan dalam hidup. Pada waktu yang sama, terjadilah perampasan hak wanita dalam pengambilan keputusan (Setyorini, 2017).
Dalam kutipan novel di atas tokoh Bapak cendrung mengabaikan anaknya, bahkan sering berkata kasar. Disini telah terjadi ketidakadilan terhadap anak wanita. Menurut Wollstonecraft dalam Gamble (2010:20) seharusnya wanita lebih bersifat rasional sehingga wanita bisa melakukan perlawanan terhadap tindakan tidak adil laki-laki, tetapi dalam kutipan novel di atas, Kak Hera terpaksa tidak melakukan perlawanan terhadap Bapak karena posisi Kak Hera hanya sebagai anak. Dalam realitas sosialnya posisi wanita sepeti kurang beruntung dari pada laki-laki.
Dari cuplikan berbagai kutipan di atas, ditemukan bahwa wanita selalu dikaitkan dengan pekerjaan domestik dan melayani laki-laki dengan baik. Wanita juga identik dengan perasaan yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Laki-laki adalah penguasa yang tidak bisa dikekang kebebasannya seperti para wanita. Laki-laki bisa berbuat apa pun tanpa harus memikirkan bagaimana perasaan wanita. Seperti yang disampaikan Sunardi (2002) bahwa ini tergolong dalam feminisme radikal, yang memandang kepentingan laki-laki maupun wanita pada dasarnya tidak
berbeda, menganggap dikontrol kaum wanita oleh laki-laki sebagai wujud historis paling krusial dari pembagian sosial maupun sebagai bentuk penindasan. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap wanita adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Tentu gerakan ini sesuai namanya yang radikal, aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap wanita terjadi akibat sistem patriarki.
Perjuangan Tokoh Wanita Pada Novel 9 Matahari Karya Adenita dalam Memeroleh Hak Hidupnya
Novel 9 Matahari tidak hanya menampilkan isu-isu gender, namun juga menampilkan perjuangan yang dihadapi tokoh wanita dalam novel sebagai bentuk pemberontakannya terhadap ketidakadilan peran. Adapun perjuangan yang ditampilkan dalam novel ini ialah perjuangan tokoh wanita dalam bidang pendidikan dan bidang pekerjaan/karir.
Perjuangan Tokoh Wanita dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia karena melalui pendidikan mutu hidup manusia dapat ditingkatkan. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Wanita yang dibekali dengan pendidikan yang baik akan mampu bersaing di dalam dunia kerja. Dengan bekerja dan berpendidikan akan meminimalkan diskriminasi yang dilakukan laki-laki terhadap wanita. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat sudah mulai menyadari bahwa seorang wanita juga memerlukan pendidikan yang lebih tinggi supaya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Tokoh wanita pada novel 9 Matahari karya Adenita menghadirkan aksi yang kuat dari karakter yang ditampilkan dengan keyakina bisa menyetarakan posisi dalam semua bidang dengan laki-
laki. Mentari, yang biasa dipanggil Tari, sebagai tokoh utama dalam novel tersebut ingin menunjukkan kepada banyak orang bahwa ia bukanlah sosok wanita yang tidak berdaya. Selain itu, Mentari juga menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan pendidikan yang baik supaya nantinya juga bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam novel ini Tari sudah menyadari akan pentingnya pendidikan bagi wanita. Seperti dalam kutipan berikut.
"Kenapa hanya tentang makanku yang dipikirkan? Pernah kebayang bagaimana keinginan besar aku untuk kuliah, ingin punya mimpi yang sama dengan orang lain? Punya cita-cita besar? Aku ingin sekali belajar, Kak. Aku ingin sekali jadi sarjana. Aku ingin sekolah tinggi. Aku yakin kita bukan tidak mampu, tapi saat ini hanya belum…belum mampu. 'Kan bisa sambil jalan, kita harus optimis. Aku yakin sekali, keadaan seperti ini nggak akan berjalan lama." (hlm. 3).
Berdasarkan kutipan novel di atas Tari sudah memperlihatkan adanya usaha untuk menjadi yang lebih baik. Tari melihat bahwa perempuan bisa memimpin laki-laki dan tidak ingin terus-menerus dinomorduakan oleh laki-laki. Hal ini sudah berlangsung lama sehingga mereka menginginkan kemerdekaan dan kesetaraan. Dari situlah lahir gerakan feminisme yang memperjuangkan eksistensi perempuan.
Tari tidak ingin di posisikan marjinal dan tersubordinasi lagi. Tari tidak ingin menjadi wanita yang bodoh dan tidak berpendidikan, seperti tampak pada kutipan berikut.
"Di kepalaku tidak ada yang lain selain melanjutkan sekolah. Rasanya masih banyak keadaan yang lebih parah dariku, tapi mereka bisa melakukannya dan bertahan." (hlm. 6).
Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa keinginan Tari memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah kehidupannya. Tari ingin mengubah prasangka gender yang sangat merugikan wanita. Tari ingin melepaskan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang selalu dianggap rendah dan ingin berkembang untuk lebih maju. Diskriminasi yang dilakukan oleh ayahnya menimbulkan munculnya gerakan Tari untuk menentang ketimpangan sosial tersebut. Tari terus berusaha untuk tetap kuliah karena Tari sadar pendidikan sangat membantu dalam menentukan kehidupan selanjutnya.
Sebagai seorang wanita semangat Tari untuk mengakhiri diskriminasi terhadap wanita dalam bidang pendidikan sangatlah keras. Hal ini sesuai dengan kutipan novel berikut ini:
"Sementara , aku tiba-tiba seperti akan berangkat ke sebuah negeri. Entah negeri apa namanya, yang jelas negeri ini bisa mempertemukan aku dengan impianku. Impian yang membuat aku bisa menggenggam dunia karena ilmuku. Ilmu yang aku yakini akan menjadi harta dan harkat hidupku." (hlm.9).
Berdasarkan kutipan tersebut Tari ingin terus berkembang dan meraih masa depan yang lebih cerah. Keyakinan Tari bahwa pendidikan akan mampu mengubah posisi pwanita sangat kuat. Tari juga terinspirasi dengan kakaknya yang selalu tekun. Wanita-wanita ini terus berjuang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Seperti pada kutipan novel berikut ini:
"Kak Hera, begitu aku memanggilnya.
Usia kami berjarak 4 tahun. Aku kagum padanya karena ia adalah seorang yang tekun dan pintar. Cara menghafalnya cepat sekali, dan sungguh ia kebanggaan Ibu karena rajin sekali menabung." (hlm. 12).
Tari ingin sekali hidup mandiri, dia merasa mampu menjalani hidup sendiri meskipun dia adalah wanita. Disini sudah jelas terlihat bahwa Tari mulai menunjukkan perjuangannya untuk menjadi lebih baik. Perjuangan Tari dibuktikan dengan keputusannya mengambil kuliah program diploma Jurusan Sistem Informasi Bisnis. Hal ini terdapat pada kutipan novel berikut:
"Aku mengambil program diploma Jurusan Sistem Informasi Bisnis. Strategiku, tak apa masuk program Diploma 1 sambil aku belajar dan mencari peluang baru, serta menyusun strategi untuk menanti tahun ajaran mendatang." (hlm. 16).
"Kuliah… sarjana… dua kata itu terus bermain-main dalam kepalaku." (hlm. 35).
Berdasarkan kutipan di atas inti dari gerakan feminis sudah berkembang dengan baik, Tari sebagai wanita sudah bisa memposisikan diri untuk menentukan dan memilih apa yang menurut ia baik. Seperti yang tergambar pada kutipan berikut
"Aku mengambil program diploma
Jurusan Sistem Informasi Bisnis."
Karena derajat laki-laki dan wanita sama, wanita harus meningkatkan kualitas dirinya agar dapat mengimbangi kemampuan laki-laki. Caranya yaitu dengan berpendidikan. Hal ini juga dideskripsikan pada kutipan berikut.
"Itulah awal episode merajut impianku dimulai. Perjuanganku untuk meyakinkan Kak Hera untuk melanjutkan kuliah, berhasil." (hlm. 35)
Berdasarkan beberapa kutipan di atas perjuangan Tari untuk mencapai pendidikan sudah mulai menemukan titik terang. Tari mulai berhasil membujuk Kak Hera untuk melanjutkan kuliah. Hal ini sejalan dengan pendapat Mary Wollstonecraft yang menekankan
pentingnya hari-hari sekolah untuk meningkatkan relasi (Gamble, 2010).
Tari sebagai wanita juga menekankan bahwa wanita harus bisa berpikir rasional supaya nalar wanita menjadi lebih terdididik.
Dalam pembangunan lingkungan sosial, hal terpenting yang harus dilakukan adalah mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam novel ini Tari juga melakukan perjuangan yang lain, yaitu berusaha bekerja untuk dapat membantu biaya kuliah. Hal ini tergambar pada kutipan berikut
"Kuliah sambil bekerja adalah sebuah pilihan menu terbaik untuk kondisi saat itu." (hlm. 91)
Dalam masyarakat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki menyiratkan kesetaraan status dalam pendidikan. Mentari telah menunjukkan persamaan hak dan kemampuan laki-laki dengan perempuan melalui pendidikan. Menurut Mary Wollstonecraft penanaman moral dan intelektual sejak dini sangat mempengaruhi wanita dalam berbagai hal. Upaya untuk meningkatkan akhlak dan kepandaian membuat mereka menjadi penduduk yang lebih rasional dipandang sangatlah penting (Gamble, 2010). Sejalan dengan pendapatnya Mary Wollstonecraft, Tari menganggap bahwa dengan berpendidikan maka nanti nasibnya akan menjadi lebih baik. Tari ingin menjadi sarjana yang mampu bersaing didunia kerja dan memilik kualitas yang dapat diandalkan. Modal terbesar untuk memperbaiki diri bagi Tari adalah pendidikan.
Dukungan dari Bapak Rektor pun membuat Tari semakin bersemangat. Tari sangat yakin pendidikan dapat mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Untuk menyetarakan posisi dengan laki-laki tidak hanya diperlukan pendidikan tetapi juga keterampilan yang baik, tampak pada kutipan berikut..
"Idealnya, kalau kamu mau mengasah soft skills, seorang mahasiswa harus punya kehidupan yang seimbang antara aktivitas akademik dan di luar akademik. Jadi nanti ketika lulus, bukan Cuma punya gelar saja… tapi juga kualitas diri. Kualitas itu yang akan menjadi daya saing pas ketemu dunia kerja". (hlm. 94).
"Aku takjub. Tiba-tiba ada semangat yang menjalari tubuhku. Soft skills, kualitas diri, daya saing…kata-kata itu memenuhi kepalaku." (hlm. 94).
Berdasarkan kutipan di atas Tari sangat sadar bahwa menjadi wanita harus mempunyai keahlian untuk bersaing di dunia kerja. Dengan bermodal gelar sarjana dan mempunyai keahlian yang baik maka peningkatan kualitas hidup wanita akan mudah terwujud.
Disamping tokoh Tari ada juga tokoh lain yang mendukung peranan Tari sebagai tokoh yang mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas wanita. Tokoh tersebut adalah Shinta, bersama Shinta tari mampu menjelajahi kota Bandung. Walaupun mereka wanita mereka sudah menunjukkan bahwa wanita juga bisa memimpin suatu kegiatan. Mereka bisa memimpin kegiatan amal dengan baik selayaknya laki-laki. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
"Tapi, bersama-sama Shinta-lah aku menjelajahi kota Bandung. Dengan Shinta, aku seperti mendapat kekuatan bahwa tidak ada yang boleh menghina jurusan kami. Karenanya, suatu hari, kami mengerahkan teman- teman untuk mengadakan satu kegiatan amal. Buka puasa bersama anak-anak jalanan di Bandung. Acara yang tidak pernah diadakan sebelumnya oleh anak-anak program diploma 1." (hlm. 17).
Peranan wanita dalam novel 9 Matahari karya Adenita ini mulai terlihat
dalam berbagai hal. Wanita mulai berani menunjukkan bahwa dirinya mampu mengatasi masalah sendiri tanpa
bantuan laki-laki. Mereka
mengganggap jika melibatkan laki-laki hanya akan menambah masalah.
Wanita seperti tokoh Tari juga mampu bekerja dengan baik dan bisa melakukan apa yang dilakukan laki-laki. Menjadi wanita yang diperlukan pendapatnya adalah suatu hal yang menunjukkan bahwa wanita itu diakui kedudukannya.
"Hari ini ada agenda rapat dengan Pak Gambang. Aku sudah di-SMS Mas Medi dan Arga untuk datang mendampingi mereka. Alasannya, karena tidak ada wanita." (hlm. 234)
Pada kutipan di atas pendapat wanita pun sudah mulai didengarkan oleh laki-laki. Di sini peran wanita dan laki-tampak mulai setara. Sejajar. Pada kutipan novel di atas diketahui bahwa wanita tidak hanya menjadi objek. Berdasarkan beberapa kutipan di atas terlihat bahwa posisi wanita sudah mulai diperhitungkan.
Tari seorang wanita yang hebat dia mampu memperjuangkan hak hidupnya, dia juga mampu mensejajarkan diri dengan laki-laki. Dia berhasil
mencapai sarjana dan mampu
meluluhkan hati Bapak yang dahulu bersikap kurang baik padanya. Seperti yang tergambar pada kutipan berikut. "Tiba-tiba aku melihat Bapak
berlinangan air mata. Aku kaget luar biasa. Tapi, ia tidak berkata sepatah
katapun. Ia tidak menatapku, tapi aku
merasakan hatinya sedang menatapku tajam. Aku meraih tangan Ibu,
menciumnya dan sungkem pada ibuku." (hlm. 329).
Berdasarkan kutipan di atas tampak jelas bahwa sebuah perjuangan tentu membuahkan hasil, Walaupun Tari berasal dari keluarga sederhana ia mampu belajar dan menyelesaikan
pendidikan sarjana dengan baik. Tari selalu optimis dengan keyakinannya bahwa pendidikan dapat mengubah seorang wanita menjadi lebih baik.
Perjuangan Tokoh Wanita Dalam Bidang Pekerjaan (Karir)
Perjuangan wanita pada novel 9 matahari tidak saja ditemukan dalam ruang lingkup pendidikan, namun juga ditemukan dalam ruang lingkup pekerjaan. Dalam novel ini diceritakan Tari mencoba bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun Tari hanya mempunyai sedikit pengetahuan dalam berkarir tetapi Tari tetap berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Tari memutuskan bekerja untuk mengembangkan intelektualitasnya. Seperti yang terdapat pada kutipan novel berikut ini:
"Sejak itu aku memutar otakku untuk bekerja. Meski minim pengetahuan tentang bekerja, aku coba melamar pekerjaan menjadi karyawan restaurant fastfood McDonald's. Aku dipanggil tapi sebelumnya harus melewati satu minggu training." (hlm. 29)
Pekerjaan akan menciptakan lebih banyak peran bagi perempuan namun di balik itu, akan membuka peluang bagi mereka untuk membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ibu rumah tangga. Pekerjaan memungkinkan perempuan menemukan kembali transendensi mereka dan menetapkan status mereka sebagai agen aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri. Perempuan bisa membuktikan bahwa mereka bisa menjadi pencari nafkah. Mereka dapat membagi tugasnya sebagai istri, ibu, dan individu. Dari pengalaman pahit yang dialami Tari ternyata membuat dirinya bangkit dan dari sinilah pikiran emansipasi wanita mulai berkembang. Tari menyadari jika
dia tidak berusaha maka dia tidak akan bisa merubah nasibnya.
Tari rela bekerja supaya bisa kuliah, Tari merupakan contoh wanita yang mempunyai keinginan kuat untuk maju. Tari ingin melakukan usaha melepaskan diri dari tekanan yang dilakukan oleh laki-laki. Seperti dalam kutipan berikut.
"Mereka juga sempat menanyakan motivasiku bekerja di tempat itu. Aku bilang saja motivasiku adalah untuk mengumpulkan uang buat kuliah." (hlm. 32).
Dalam kutipan di atas Tari sudah menunjukkan keinginannya untuk memperbaiki kehidupannya. Tari rela bekerja untuk membiayai kuliahnya. Tari merupakan orang yang mandiri dan mempunyai tekad yang kuat. Begitu juga dengan Kak Hera, meskipun dia rela mengorbankan pendidikannya tetapi dia mampu bekerja dengan baik. Dengan umur Tari yang masih sangat muda, Tari sudah mampu belajar hidup mandiri. Kemauan Tari untuk memperbaiki kehidupannya sangat besar. Perjuangan Tari untuk menjadi lebih baik tidak hanya itu saja, masih banyak perjuangan Tari yang lain, tampak dalam kutipan berikut.
"Tapi yang pasti, aku tidak mau jadi buruh pabrik seperti bapakku. Atau… kalau aku menjadi seorang ibu, aku bisa menjadi ibu yang punya banyak keahlian. Entah itu seorang ibu yang pintar berbisnis, mengajar, menulis, dan aktivitas lainnya yang tetap bisa memberdayakan diriku menjadi seorang wanita yang berguna bagi orang-orang di sekelilingku. Aku ingin menjadi seseorang. Aku ingin dunia melihat bahwa aku ada! Dengan impianku…ya, kuliah, aku pasti bisa melihat dunia atau bahkan menjadi dunia bagi orang lain." (hlm. 39).
Berdasarkan kutipan di atas Tari sudah melakukan gerakan yang bersifat feminis. Tari tidak mau menjadi seperti
Bapaknya, Tari mempunyai keinginan untuk menjadi lebih maju. Tari belajar mandiri dengan menjalani hidupnya. Tari mulai menghadapi berbagai masalah dan pergolakan internal, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam dirinya terkadang muncul penilaian negatif terhadap makna hidup. Dari berbagai fenomena yang dialami Tari, muncullah kekuatan spiritual dan pengetahuan baru dalam memaknai kehidupan.
Gerakan feminis yang ditampilkan dalam novel 9 Matahari dipandang cukup sukses. Sisi feminisme dalam novel ini sangat kuat karena novel ini bercerita tentang tokoh utama seorang perempuan dan seluruh kehidupan disekitarnya. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Adenita tidak hanya memperjuangkan pendidikan namun juga kehidupan yang bermartabat bagi perempuan. Adenita bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa wanita juga harus mendapatkan pendidikan yang layak untuk memperbaiki masa depannya.
Tari sebagai pelaku utama yang mewakili beberapa tokoh wanita lainnya dalam novel ini tampil kuat dalam menghadapi berbagai fenomena kehidupan, meski melibatkan banyak konflik. Di sisi lain, melalui tokoh-tokoh dalam novel, penulis ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca tentang pentingnya pendidikan dan keterampilan yang baik untuk memperbaiki masa depan. Tari ingin membuktikan kepada semua orang bahwa dirinya bukanlah wanita yang lemah. Selain itu, juga ingin membuktikan bahwa perempuan tidak lebih buruk dari laki-laki. Pada akhirnya Tari bisa mewujudkan kesetaraan antara wanita dan laki- laki.
SIMPULAN
Dari hasil kajian terhadap novel 9 Matahari karya Adenita, dapat disimpulkan
bahwa novel ini mengemukakan kisah ketimpangan gender. Ketimpangan tersebut meliputi 1) ketimpangan peran dalam mengurus keluarga, 2) ketimpangan peran dalam pendidikan, dan 3) ketimpangan peran dalam membuat keputusan.
Peran wanita dalam keluarga bisa dilihat dalam upaya wanita mengatur keluarganya, mendidik anak, dan memajukan kehidupan keluarga agar menjadi lebih baik. Peran wanita dalam keluarga masih lebih banyak dalam wilayah domestik. Inilah stereotipe yang dianggap kodrat perempuan yang melahirkan ketidakadilan gender bagi wanita dan laki- laki.
Ketimpangan peran tidak saja dalam mengurus rumah tangga, ketimpangan ditemukan juga dalam bidang pendidikan. Peran wanita dalam bidang pendidikan dianggap masih sangat minim. Wanita dalam novel ini dianggap memiliki posisi yang marjinal, inferior, dan hanya pelengkap.
Ketimpangan peran dalam mengambil keputusan juga ditemukan kerapkali menciptakan stereotip di mata masyarakat. Peran laki-laki sebagai kepala keluarga cenderung berdampak pada peraturan dan kebijakan yang dirancang oleh kaum laki-laki. Wanita digambarkan sebagai sosok lemah yang tidak punya andil dalam perancangan dan pembuatan keputusan.
Tokoh wanita pada novel 9 Matahari karya Adenita menampilkan karakter yang kuat dari dalam dirinya untuk berjuang, dengan keinginan supaya bisa menyetarakan posisi dalam semua bidang dengan laki-laki, salah satunya dalam bidang pendidikan. Tokoh wanita dalam novel ini mempunyai pandangan yang sejalan dengan seorang feminis Mary Wollstonecraf yang secara khusus ingin meningkatkan pendidikan wanita, dan menunjukkan kepada mereka bahwa pendidikan itu penting dan inilah saatnya mengembalikan martabat wanita yang hilang dan membuat mereka sebagai bagian dari spesies manusia, bekerja mengubah dirinya sendiri untuk mengubah dunia.
Tari berjuang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun Tari hanya mempunyai sedikit pengetahuan dalam berkarir tetapi Tari tetap berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan
akan menciptakan lebih banyak peran bagi perempuan namun akan membuka peluang bagi mereka untuk membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ibu rumah tangga.
Dalam novel ini gerakan feminis dianggap cukup sukses karena novel ini berkisah tentang tokoh utama seorang wanita dan seluruh kehidupan disekitarnya. Wanita-wanita yang digambarkan oleh Adenita tidak hanya memperjuangkan pendidikan tetapi juga memperjuangkan kehidupan yang layak untuk kaum wanita. Adenita bahkan menawarkan sebuah penolakan dengan sebuah pemikiran, bahwa wanita juga harus mendapatkan pendidikan yang layak untuk memperbaiki masa depannya.
Adapun rekomendasi untuk kajian selanjutnya ialah novel 9 Matahari ini kaya akan tema kesetaraan gender. Karena itu perlu diteliti lebih dalam dengan menggunakan teori-teori feminisme lainnya seperti aliran feminisme radikal dan sosialis. Harapannya, kajian ini dapat membuka wawasan berpikir masyarakat tentang kesetraan gender terutama dalam lingkup keluarga. Selain itu, diharapkan juga bahwa kajian ini dapat digunakan dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru dapat mengunakan novel 9 Matahari ini sebagai sarana untuk memotivasi siswa, karena dalam novel ini sangat banyak nilai-nilai perjuangan yang perlu dicontoh oleh siswa untuk terus belajar dan meraih cita-cita. Sukses tidak ditentukan oleh orang lain, sukses adalah milik setiap orang.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, P., Mulawarman, W. G., &
Rokhmansyah, A. (2018).
Ketidakadilan Gender terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki: Kajian Kritik Sastra Feminisme. Ilmu Budaya (Jurnal Bahasa, Sastra, Seni Dan Budaya), 2(2), 105–114. https://e-
journals.unmul.ac.id/index.php/JBS SB/article/view/1046
Barker, C. (2016). Cultural Studies. Kreasi Wacana.
Botifar, M., & Friantary, H. (2021).
Refleksi Ketidakadilan Gender
dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban: Persfektif Gender dan
Feminisme. Disastra: Jurnal
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 3(1), 45.
https://doi.org/10.29300/disastra.v3 i1.3559
Djajanegara, S. (2000). Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, S. (2013). Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Ombak.
Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar.
Gamble, S. (2010). Feminisme & Postfeminisme. Jalasutra.
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Bumi Aksara.
Guntar, E. L. (2021). Promosi Pariwisata Budaya Kabupaten Malaka-NTT dalam Novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” Karangan Robertus Fahik. Majalah Ilmiah Widyacakra, 1(1), 26–41.
Handayani dan Sugiarti. (2008). Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press.
Ismayani, R. M. (2017). Kreativitas Dalam Pembelajaran Literasi Teks Sastra. Semantik, 2(2), 67–86.
https://doi.org/10.22460/semantik.v 2i2.p67-86
Kurniawati, A., Liana, L., Asharina, N. P., & Permana, I. (2018). Kajian Feminisme dalam Novel “Cantik Itu Luka” Karya Eka Kurniawan. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), 1(2), 195– 206.
http://dx.doi.org/10.22460/p.v1i2p %25p.213%0Ahttps://journal.ikipsi liwangi.ac.id/index.php/parole/artic le/view/213/pdf
Melati, T. S., Warisma, P., Ismayani, M., & Siliwangi, I. (2019). Analisi Konflik Tokoh Dalam Novel Rindu
Karya Tere Liye Berdasarkan Pendekatan Psikologi Sastra. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), 2(2), 229– 238.
Nurgiyantoro, B. (2015). Teori Pengkajian Fiksi (IX). Gajah Mada University Press.
Prabasmoro, A. P. (2018). Kajian budaya feminis: tubuh, sastra dan budaya pop. Jalasutra.
Purwati, Rosdiani, R., Lestari, R. D., & Firmansyah, D. (2018).
Menganalisis Gaya Bahasa Metafora dalam Novel “Laskar Pelangi” Karya Andrea Hirata. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), 1(3), 291– 302.
Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian. Pustaka Pelajar.
Setyorini, R. (2017). Diskriminasi Gender dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Kajian Feminisme. Jurnal Desain, 4(03), 291.
https://doi.org/10.30998/jurnaldesai n.v4i03.1866
Suharto & Sugihastusi. (2010). Kritik Sastra Feminis: Teori dan
Aplikasinya. Pustaka Pelajar.
Sunardi. (2002). Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Populer Culture). Pustaka Pelajar.
Tyas, A. A. (2021). Kajian Feminisme dalam Novel “Bumi Manusia” Karya Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Simki Pedagogia, 4(2), 159– 168.
Discussion and feedback