SAKURA VOL. 5. No. 1, Februari 2023

DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2023.v05.i01.p10

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Pemetaan Restoran Jepang dan Kuliner Milenial di Surabaya

Eva Amalijah1), Mochammad Fredy2)

1,2Japanese Department at University of 17 Agustus 1945 Surabaya Email: [email protected]

Mapping of The Japanese Restaurants and The Millennial Culinary in Surabaya

Abstract

The food that a person consumes has an influence in determining identity, existence, and legitimacy. As something that is important and influential for humans, food generally has characteristics to distinguish it from other foods. In this context, Japan has uniquely Japanese food that distinguishes it from food from other countries. Therefore, Japan as one of the countries that utilizes popular culture as its export commodity uses food as a tool of cultural diplomacy. This study examines the relationship between culinary choices among millennials and gender at Japanese restaurants in Surabaya. Through an interpretative quantitative method of studying Japanese culinary culture, the data will be mapped, interpreted, and then studied in depth the relationship between culinary choices among millennials and gender in Japanese restaurants in Surabaya. The results of the study read with the concepts of Japanese pop culture, especially about shoku bunka (culinary culture) and gender. So that the output is in the form of knowledge about the existence of gender that enters the realm of food and influences the choices of young millennials in determining the food menu at Japanese restaurants in the city of Surabaya.

Keywords: Mapping Japanese Restaurant; Shoku Bunka; Millennial Culinary;

Surabaya

Abstrak

Makanan yang dikonsumsi seseorang memiliki pengaruh dalam menentukan identitas, eksistensi, maupun legitimasi. Sebagai sesuatu yang penting dan berpengaruh bagi manusia, pada umumnya makanan memiliki ciri khas untuk membedakannya dengan makanan lainnya. Pada konteks ini, Jepang memiliki makanan yang khas Jepang yang membedakan dengan makanan dari negara lainnya. Oleh karenanya, Jepang sebagai salah satu negara yang memanfaatkan budaya populer sebagai komoditas ekspornya menggunakan makanan sebagai salah satu alat diplomasi budaya. Pada penelitian ini akan dikaji keterkaitan pilihan kuliner di kalangan milenials dengan gender pada restoran Jepang di Surabaya. Melalui metode kuantitatif intepretatif kajian budaya kuliner Jepang, data akan dipetakan, diintepretasikan, kemudian dikaji secara mendalam hubungan pilihan kuliner di kalangan milenials dengan gender pada restoran Jepang di Surabaya. Hasil kajian tersebut dibaca dengan konsep-konsep japanese pop culture, khususnya tentang shoku bunka (budaya kuliner) dan gender. Sehingga luarannya berupa pengetahuan tentang adanya gender yang masuk ke ranah makanan dan berpengaruh terhadap

pilihan anak muda milenials dalam menentukan menu makanan di restoran Jepang di kota Surabaya.

Kata Kunci: Pemetaan Restoran Jepang; Shoku Bunka; Kuliner Milenial; Surabaya

  • 1.    Pendahuluan

Pada masyarakat Jepang, makan melampaui makanan dan memakannya. Masakan tradisional diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini juga berfungsi sebagai ekspresi identitas budaya. Para imigran membawa makanan negara mereka ke mana pun mereka pergi dan memasak makanan tradisional adalah cara melestarikan budaya mereka ketika mereka pindah ke tempat baru. Begitu pula yang terjadi di Jepang. Identifikasi hidangan masakan Jepang “tradisional” yang khas tidak menyiratkan sejarah stasis, melainkan terus berkembang. Beragam proses dan kombinasi yang menyertai budaya kuliner di Jepang tersebut dan tentunya meningkatnya popularitas makanan Jepang yang berasal dari kesadaran kesehatan tentang gizi seimbang serta mengapresiasinya sebagai gaya hidup. Oleh karenanya, banyak restoran Jepang di buka di seluruh kota-kota besar di dunia, salah satunya berada di Kota Surabaya.

Berdasarkan data Apkrindo, secara umum pertumbuhan kafe dan restoran di Jatim tahun 2019 sekitar 20%. Khusus restoran yang menghadirkan menu masakan Jepang masih sekitar 10% - 15%. Data Apkrindo pada 2019 tersebut menyatakan banyak pemain restoran Jepang masuk ke Surabaya, baik itu segmen menengah ke bawah maupun segmen atas. Adanya perubahan gaya hidup masyarakat kota yang memiliki pengalaman pernah tinggal atau mengunjungi Jepang, menjadi salah satu penyebab kemunculan restoran Jepang di Surabaya1 . Selain itu potensi pasar Surabaya dalam konteks pertumbuhan restoran Jepang sangat besar karena menjadi kota besar kedua setelah Jakarta bahkan selalu menjadi tujuan wisata domestik dari berbagai daerah untuk melakukan wisata maupun berbisnis. Hal ini juga didukung dengan data BPS tahun 20202 tentang banyaknya konsumen yang datang untuk menikmati restoran yang dipilih untuk dikonsumsi di tempat secara on the spot berdasarkan kategori tempat tinggalnya menunjukkan banyak yang berasal dari luar wilayah Surabaya.

Melihat pertumbuhan restoran yang ada di Surabaya menunjukkan bahwa kuliner Jepang telah menyebar dan go internasional, yang pada konteks ini telah dikenal oleh masyarakat dunia dengan image yang kuat. Sushi, takoyaki, sukiyaki, tempura, udon, ramen, dan sebagainya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di kota-kota besar terutama di Surabaya, dan mereka dapat dengan mudah menikmatinya di manapun. Kuliner Jepang pada konteks ini dapat disebut sebagai media diplomasi negara Jepang di kancah internasional. Kesungguhan masyarakat Jepang mempertahankan tradisi kulinernya ternyata memberikan sumbangan besar untuk negara Jepang dalam hal menjaga identitas diri dan pelestarian budaya. Tantangan era globalisasi tidak ditafsirkan sempit sebagai era untuk berlomba menyesuaikan diri dengan pihak luar agar dapat bertahan, tetapi diartikan lebih luas lagi sebagai masa untuk memperkuat karakter bangsa dan menjadikannya unggul dengan apa yang dimilikinya, salah satunya adalah melalui makanan dan budaya kulinernya. Namun, Bagaimanakah makanan Jepang mempengaruhi gaya hidup milenials kota Surabaya dalam memilih restoran dengan menu masakan Jepang? atau bahkan malah menentukan identitas para milenials tersebut dalam membangun kelas sosialnya? Hal yang demikian memerlukan kajian budaya untuk melihatnya secara komprehensif dengan melihat penelitian terdahulu.

Pembacaan penelitian terdahulu juga tidak banyak menyoal gender pada makanan yang dikaitkan dengan gaya anak muda milenial perkotaan. Seperti pada artikel berjudul “Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan pada remaja di Surabaya” yang menunjukkan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan terhadap remaja di Surabaya, yaitu keakraban, kenyamanan, dan kenikmatan; kandungan gizi; daya pikat makanan; nilai uang terhadap makanan; dan pantangan Makanan (Janeta dan Santoso, 2018). Penelitian Janeta tersebut juga cenderung hanya mendeskripsikan data berdasarkan sebaran kuosioner sehingga tidak dikaji secara mendalam baik secara konteks maupun budayanya. Suhardini (2020), juga membahas tentang faktor latar belakang dan kecenderungan kaum muda Surabaya dalam memilih makanan Jepang pada restoran Marugame Udon dan Yoshinoya yang ada pada pusat perbelanjaan (mal) di Surabaya. Pada artikelnya, Suhardini mendeskripsikan data berdasarkan observasi dan wawancara terkait penelitiannya yang menunjukkan alasan para informan yang diwakili 25 orang. Kaum muda memilih makanan Jepang di Surabaya berdasarkan faktor ekonomi, faktor religiusitas, faktor sosial-budaya, dan

faktor lingkungan. Selain itu, beberapa hal yang dipertimbangkan saat membeli makanan Jepang adalah rasa, porsi, harga, dan halal atau tidaknya makanan. Pada kedua artikel tersebut belum menyinggung tentang gender dalam makanan yang dikaitkan dengan gaya anak muda milenial di kota Surabaya. Oleh karenanya penting untuk dikaji secara mendalam menggunakan konsep-konsep japanese pop culture, khususnya tentang shoku bunka (budaya kuliner) untuk menunjukkan pemahaman tentang pemetaan kuliner Jepang berdasarkan pilihan milenials dari sudut pandang kajian budaya yang berdampak pada perkembangan bisnis restoran Jepang di kota Surabaya.

Berangkat dari latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji Sejauh manakah makanan Jepang mempengaruhi gaya hidup milenials kota Surabaya dalam prespektif gender?. Kuliner Jepang pada konteks ini dapat disebut sebagai media membangun identitas gender dalam memilih dan menentukan makanan yang di sajikan di restoran Jepang. Selain itu, kuliner Jepang juga merupakan bisnis di bidang restoran dan waralaba yang berkembang di wilayah perkotaan seperti di Kota Surabaya. Sehingga, hal ini memunculkan budaya kuliner yang berkaitan dengan lifestyle (gaya hidup) dan prestise budaya keJepangan di kalangan milenials kota Surabaya.

  • 2.    Metode dan Teori

    2.1    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kuantitatif intepretatif, data akan diidentifikasi, dipetakan, diintepretasikan, kemudian dikaji secara mendalam terkait hubungan pilihan kuliner dengan identitas gender pada restoran di kalangan milenials kota Surabaya. Lokasi penelitian berada di Kota Surabaya yang meliputi Mall (pusat perbelanjaan), Restoran Jepang, dan Kuliner Kaki Lima dengan menu Jepang.

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan natural setting (kondisi yang alamiah), yakni mendatangi lokasi restoran Jepang di mall (pusat perbelanjaan) lalu membagikan kuesioner disertai menyapa responden dengan wawancara (in depth interview). Selanjutnya data yang diperoleh dari kuesioner yang telah diisi oleh responden, peneliti gunakan untuk memetakan restoran Jepang berdasarkan penikmat milenial kuliner Jepang yang semakin tumbuh dan bergeliat pada sektor kuliner di Kota Surabaya.

Sedangkan teori yang digunakan pada penelitian ini yakni konsep-konsep japanese pop culture, khususnya tentang shoku bunka (budaya kuliner) dan gender hanya pengetahuan untuk mendukung hasil responden penikmat milenial kuniler Jepang di Surabaya.

  • 2.2    Teori

    2.2.1 . Kajian Gender

Istilah gender didefinisikan secara beragam oleh banyak peneliti. Di antaranya adalah Kessler dan McKenna (1978) yang menjelaskan gender sebagai “psychological, social, and cultural aspects of maleness and femaleness.” (hal. 7) Gender dipandang sebagai kumpulan sifat atau disposisi perilaku yang dimiliki orang berdasarkan tugas mereka pada kategori jenis kelamin tertentu. Dengan kata lain, itu mewakili karakteristik yang diambil oleh laki-laki dan perempuan saat mereka menghadapi kehidupan sosial dan budaya melalui sosialisasi. Sementara penetapan kategori jenis kelamin terjadi pertama kali saat lahir, orang terus melakukan kategorisasi sebagai laki-laki atau perempuan, satu sama lain, sepanjang hidup. Proses kategorisasi yang berkelanjutan atau atribusi ini adalah cara di mana perbedaan gender muncul dan direproduksi.

Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Kessler dan McKenna, Fakih (2008) dalam Puspitawati (2013, hal. 1) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultur. Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Senada dengan apa yang dinyatakan Fakih, Bell dan Blaeure dalam Sari (2010, hal. 174) mendefinisikan gender sebagai harapan masyarakat mengenai pria dan wanita yang telah dikonstruksikan. Selain itu Butler (1998) dalam Perdana (2014, hal. 123) juga menyebutkan bahwa gender sengaja dibangun disesuaikan dengan budaya yang ada, bukan terjadi secara alamiah.

Istilah ini dikaitkan dengan pembedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya

yang disosialisasikan sejak kecil kepada dua jenis kelamin tersebut. Perbedaan yang terdapat pada laki-laki dan perempuan menyangkut alat kelamin atau reproduksi dari hasil ciptaan Tuhan pada masing-masing jenis kelamin merupakan sesuatu yang bersifat kodrati. Sedangkan perbedaan karakter, sifat, atribut yang dilekatkan pada masing-masing kelamin yang dipengaruhi oleh budaya tertentu bukanlah merupakan sifat kodrati. Sifat yang bukan merupakan sifat kodrati inilah yang oleh banyak peneliti didefinisikan sebagai gender. Dengan demikian gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis, dan pembahasan tentang gender selalu terkait dengan pembedaan antara ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat non kodrati (gender) yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil bentukan dari kebudayaan setempat, misalnya pembagian peran dan tanggung jawab yang dikenakan kepada laki-laki dan perempuan. Menurut Puspitawati (2013: hal.2) gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman.

Gender sebagai perwujudan konstruksi sosial, mewujud melalui kategori peran atau perilaku orang secara kolektif, baik laki-laki maupun perempuan, yang dibentuk oleh nilai budaya dan proses yang dibangun secara sosial. Peran dan perilaku normatif tersebut berkaitan erat dengan stereotip, yang didefinisikan oleh Lindsey (2016) sebagai konsepsi yang terlalu disederhanakan bahwa orang-orang yang menempati kelompok status yang sama memiliki kesamaan sifat tertentu yang mereka miliki. Meskipun stereotip dapat mencakup sifat-sifat positif, seringkali stereotip terdiri dari sifat-sifat negatif yang kemudian digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap anggota kelompok tertentu.

Laki-laki dan perempuan sering distereotipkan menurut ciri-ciri yang dianggap mereka miliki berdasarkan susunan biologis mereka. Penetapan stereotipe negatif dapat mengakibatkan seksisme, yaitu keyakinan bahwa status perempuan lebih rendah dari status laki-laki. Misalnya, perempuan distereotipkan sebagai orang yang bertingkah dan

tidak dapat diandalkan karena mereka memiliki hormon amukan yang tidak terkendali yang memicu ledakan emosi yang tidak dapat diprediksi. Meskipun laki-laki tidak kebal terhadap konsekuensi negatif seksisme, tetapi perempuan lebih mungkin mengalaminya karena status yang mereka tempati lebih distigmatisasi daripada yang ditempati oleh laki-laki. Dibandingkan dengan pria, misalnya, perempuan lebih cenderung menempati status di dalam dan di luar rumah mereka yang dikaitkan dengan kekuasaan yang lebih rendah, prestise yang lebih rendah, atau gaji yang lebih rendah. Keyakinan tentang inferioritas karena biologi diperkuat dan kemudian digunakan untuk membenarkan diskriminasi yang ditujukan kepada perempuan. Ketika interaksi sosial lintas gender terjadi, seperti di tempat kerja, laki-laki dan perempuan cenderung tidak memiliki status dengan tingkat kekuasaan dan prestise yang sama.

Wharton menjelaskan bahwa gender mengatur identitas dan konsep diri manusia, menyusun interaksinya, dan merupakan salah satu dasar di mana kekuasaan dan sumber daya dialokasikan. Alokasi kekuasaan yang lebih dominan pada salah satu kategorisasi gender membuat kategorisasi gender tidak bersifat setara, sehingga relasi antar gender sebenarnya bersifat relasi kekuasaan karena yang satu lebih berkuasa dari pada yang lainnya. Begitu gender dikonstruksi secara sosial sebagai sesuatu yang berbeda, akan lebih mudah bagi mereka yang memiliki kekuasaan lebih (laki-laki) untuk membenarkan ketidaksetaraan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan lebih kecil (perempuan). Perbedaan sosial dibangun menjadi hak istimewa sosial (Fenstermaker dan West, 2002).

Stereotip gender memang hadir di hampir semua keseharian hidup kita. Mulai dari cara berpakaian, selera musik, bahkan hingga makanan. Ada banyak stereotip yang beredar mengenai gender dan makanan. Misalnya, teh lebih identik dengan perempuan sedangkan kopi hitam lebih identik dengan laki-laki. Atau ada juga yang menyebutkan bahwa perempuan lebih gemar mengonsumsi makanan pedas dibandingkan laki-laki. Namun, adakah kebenaran di balik stereotip ini? Benarkah makanan memiliki “jenis kelamin”?

Makanan adalah budaya dan segala sesuatunya termasuk gender dipengaruhi oleh budaya. Ia menunjukkan salah satu contoh dari relasi antara budaya makan dengan gender adalah adanya tuntutan bagi perempuan untuk selalu terlihat cantik dan langsing. Akibatnya, perempuan diharapkan untuk selalu menjaga tubuhnya dengan porsi makan

yang kecil dan jenis makanan yang terbatas pada sayur-sayuran. Makanan tak seharusnya memiliki jenis kelamin. Sekilas, mungkin stereotip gender dalam makanan ini tidak terlihat berbahaya atau memiliki dampak signifikan. Tetapi, ia bisa digunakan sebagai alat untuk menormalisasi perilaku yang seksis dan diskriminatif.

  • 2.2.2    Shoku Bunka dan Identitas Gender

Jepang memulai program kuliner shoku bunka kenkyū suishin kondankai pada tahun 2005. Mereka (Shoku-Bunka) adalah sebuah Komite yang secara khusus untuk meneliti budaya kuliner yang bertujuan untuk mempromosikan makanan sebagai bagian dari produk budaya Jepang. Nantinya kelanjutan dari komite ini menghasilkan kampanye melalui kuliner tradisional (washoku).

Washoku sendiri secara sederhana adalah istilah dari berbagai jenis makanan tradisional Jepang. Berkat program tersebut, saat ini Sushi menjadi salah satu makanan yang populer di dunia. Berdasarkan Facebook Poll yang dilakukan oleh CNN tahun 2015 tentang destinasi kuliner favorit para pelancong, masakan Jepang berada pada posisi ke-5 dengan jumlah voters sebanyak 453 orang3 . Washoku menjadi langkah pemerintah jepang dalam upaya meningkatkan promosi akan makanan Jepang ke dunia internasional tidak terkecuali ke Indonesia. Selain itu, adanya nation branding juga merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam upaya peningkatan pariwisata.

Pada konteks mendiskusikan washoku sebagai makanan tradisional khas dari Jepang, tentu sangat berguna bagi manusia. Namun, makanan juga merupakan indikator budaya konsumsi mengenai sebuah masyarakat, komunitas, atau individu. Oleh karenanya, makanan adalah budaya pada saat makanan tersebut diproduksi, disajikan, dan dimakan. Pada saat makanan diproduksi disebut bagian dari budaya. Begitu juga ketika makanan diolah, tentu nilai-nilai budaya masuk dalam proses mengolah makanan tersebut. Selanjutnya, saat makanan tersebut dihidangkan, nilai budaya pun turut menyertai bahkan mempengaruhi gaya penyajian makanan tersebut.

Makan tidak dipandang lagi sebagai kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar, tetapi sebagai pelengkap gaya hidup. Sudut pandang ini mulai dipilih oleh Masyarakat Jepang dalam memilih makanan yang enak dan hanya memakan yang diinginkan saja.

Atmosfir seperti ini terus berlangsung seiring dengan pertumbuhan ekonomi Jepang yang semakin pesat. Banyak kajian yang telah membahas tentang budaya kuliner diantaranya adalah shoku bunka sebagai wujud budaya yang diimlementasikan melalui pemilihan bahan dasar makanan yang berkualitas, mengolahnya dengan baik untuk tetap mempertahankan gizi yang dimiliki bahan dasarnya, serta penyajiannya yang menjaga tradisi dari waktu ke waktu menjadikan makanan Jepang memiliki jati diri yang kuat di dunia kuliner internasional (Rosliana, 2017). Senada dengan Rosliana, tumbuhnya popularitas makanan Jepang berasal dari kesadaran kesehatan yang lebih besar, dan peningkatan apresiasi masakan Jepang yang sehat (Kumakura, 2022). Tidak hanya pada pilihan makanan yang menyehatkan, melainkan isu budaya kuliner juga dijadikan medium dalam mempromosikan masakan Jepang di luar negeri, menempatkan inisiatif semacam itu dalam konteks kebijakan luar negeri Jepang yang lebih luas, dan menginisiasi dari segi ciri khas rasa sebagai cara untuk memproyeksikan praktik kuliner Jepang yang dinamis dan inklusif (Pokarier, 2018). Bahkan melalui makanan dan budaya makan juga membentuk identitas (Bestor, 2011). Oleh karenanya, budaya kuliner Jepang menunjukkan semakin mengakar dalam budaya lain; yang pada konteks ini membutuhkan kajian yang lebih komprehensif untuk memikirkan kembali budaya makanan Jepang (shoku bunka) dari perspektif gaya hidup dalam memilih restoran Jepang.

Jika melihat makanan Jepang sebagai produk budaya, kemunculan bisnis kuliner makanan Jepang membuktikan bahwa makanan Jepang telah diterima baik oleh seluruh segmen di masyarakat. Tidak hanya dewasa, anak mudanya pun mengenal dan mencicipi makanan Jepang yang menjadi tren kekinian. Adanya ragam pilihan makanan Jepang yang ditawarkan, mengakibatkan selera yang didahulukan yang mendasari para konsumen dalam memilih makanan dari variasi restoran Jepang yang tersedia. Pada konteks ini, masyarakat yang berada di luar Jepang, seperti di Indonesia akan mulai memiliki gambaran tentang produk kuliner Jepang seperti sushi, ramen, takoyaki, udon, dan makanan khas Jepang lainnya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Jetro, makanan Jepang merupakan yang difavoritkan oleh masyarakat di dunia dengan tagline washoku is number one4.

Pada salah satu artikel online milik tirto.id berjudul Makanan Jepang Menyerbu Indonesia5 juga mengungkapkan tentang kuliner makanan Jepang bertumbuh menjadi bisnis restoran di luar Jepang, yakni di Indonesia. Pada artikel tersebut juga menjelaskan tentang kategori waktu dimana restoran Jepang pertama kali buka di Indonesia seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 1.

JEPANG MENYERBU INDONESIA

Makanan Jepang Menyerbu Indonesia

Pada gambar 1 adalah ilustrasi bagaimana restoran dengan menu makanan Jepang mulai berbisnis di Indonesia. Peluang bisnis restoran dengan menu makanan Jepang juga menyebar di seluruh kota-kota besar di Indonesia, termasuk kota Surabaya. Jumlah restoran Jepang di Surabaya mulai meningkan sekitar tahun 2012 yang ditandai dengan munculnya beragam tipe penjualan makanan Jepang, mulai kaki lima hingga restoran bintang lima. Persebaran restoran dengan menu makanan Jepang yang berada di Surabaya sangat mudah dijumpai terutama di pusat perbelanjaan seperti mall. Restoran Jepang yang masih eksis hingga saat ini ada dua tipe yakni otentik, restoran yang menyediakan makanan Jepang yang chef atau juru masaknya adalah orang Jepang. Berikutnya adalah restoran Jepang yang mengalami lokalisasi dimana restoran tersebut menggunakan juru masak dan karyawan lokal, memakai bahan lokal bahkan rasanya mengikuti selera lokal. Konteks lokal ini selaras dengan pendapat James Farrer (2017) melalui jurnalnya yang berjudul Japanese Culinary Mobilities Research: The

Globalization of the Japanese Restaurant. Melalui pendekatan mobilitas penyebaran masakan Jepang, James Farrer ingin mengatakan tentang banyak makanan Jepang telah mengalami lokalisasi yang mana bisnis restoran dengan menu makanan Jepang juga dijalankan oleh orang-orang lokal. Bahan makannya pun menggunakan bahan lokal yang kadang tidak lazim di temui di Jepang. Hal ini menjadikan masyarakat lokal mulai menggemari karena rasanya sudah disesuaikan dengan selera lokal sehingga pertumbuhan dan penyebaran bisnis restoran Jepang di kota-kota besar di Indonesia terus meningkat. Terlebih dengan adanya budaya makan sambil nongkrong yang khas anak muda perkotaan.

Menyebarnya kehadiran cafe dan restoran dengan menu Jepang di berbagai daerah perkotaan di Indonesia saat ini, didorong oleh perkembangan budaya eating out atau makan diluar 6 . Budaya ini merupakan bagian dari youth culture yang kini tengah digandrungi oleh anak muda gaul perkotaan. Eating out ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah “nongki cantik” atau “nongkrong.” Anak Muda tersebut menentukan pilihan cafe maupun restoran dengan menu Jepang selain eksplorasi rasa, juga biasanya menjadi “kebutuhan konten” yang diabadikan melalui foto maupun teks pendek disertai dengan caption dan teks yang nantinya akan diunggah dan dibagikan melalui media sosial pribadi. Kegiatan nongki cantik disertai dengan eksplorasi rasa semacam ini menunjukkan bahwa Milenial kota pada umumnya memiliki karakter yang senang diperhatikan, dan ini dapat dimaknai sebagai salah satu kebutuhan diri untuk mengekspresikan identitasnya di ruang sosial yang tengah bergeser ke sistem yang serba digital. Ruang digital dalam media sosial bergeser fungsinya, dari yang awalnya difungsikan sebagai wahana untuk berjejaring kini menjadi portal pameran virtual kebahagiaan yang direpresentasikan secara simbolik melalui konsumsi yang diabadikan lewat foto atau video salah satunya di restoran dengan menu Jepang.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pemetaan Kuliner Jepang di Surabaya

Kota Surabaya mempunyai prospek yang cukup bagus dalam industri kuliner khususnya restoran. Melihat bahwa masyarakat modern menjadikan restoran bukan hanya untuk tempat menikmati makan dan minum, melainkan sebagai tempat untuk bersantai,

berkumpul, dan bersosialisasi yang akan menjadi suatu kebutuhan tersendiri dari konsumen. Perkembangan pertumbuhan restoran yang semakin meningkat dapat mempengaruhi perilaku konsumen lebih selektif dalam memilih restoran. Salah satu kuliner yang disukai oleh masyarakat adalah menu masakan Jepang.

Pertumbuhan restoran Jepang di Indonesia, terus berkembang hingga saat ini. Pilihan konsep yang ditawarkan pun beragam, dari mulai jenis makanan cepat saji, buffet, restoran, kedai, dan lain sebagainnya. Jenis makanan yang ditawarkan juga banyak variasinya mulai dari sushi, sashimi, teriyaki, yakiniku, sabu-sabu, tepanyaki, okonomiyaki, takoyaki, ramen, dan udon (varian mie khas Jepang). Menurut data BPS tahun 2020 terdapat sekitar 357 restoran Jepang yang ada di Indonesia, yang diantaranya terdapat 57 restoran berada di Surabaya. Jumlah ini mengalami pasang surut terutama pada saat pandemi covid 19. Banyak pelaku usaha yang akhirnya terpaksa menutup usahanya atau mengurangi jumlah outlet, tapi banyak juga usaha kuliner yang bermunculan dengan inovasi dan kreativitas baru. Saat ini pengusaha yang tergabung di Apkrindo sudah 80 - 90 persen telah menggunakan aplikasi PeduliLindungi sesuai dengan anjuran pemerintah. Ini pun akan ikut mendorong pertumbuhan industri ke depan7.

Terlepas dari pandemi covid 19, salah satu hal yang memicu pertumbuhan restoran Jepang di Indonesia terutama yang ada di Surabaya adalah makin banyaknya masyarakat yang mulai menggemari cita rasa masakan Jepang. Potensi pasar tersebut yang kemudian dilirik oleh para pengusaha untuk membangun bisnis restoran Jepang di Surabaya. Mulai dari berbagai variasi jenis dan jumlah restoran Jepang, ada sebagian yang memang dihadirkan langsung dari Jepang sebagai produk franchise (waralaba), ada juga yang menghadirkan chef (juru masak) orang Jepang, dan ada pula yang dikembangkan dari awal oleh orang Indonesia. Restoran yang dirintis oleh orang Indonesia juga memiliki berbagai macam latar belakang yang salah satunya adalah pernah bekerja atau tinggal di Jepang yang budaya kulinernya dibawa ke Indonesia untuk dikembangkan menjadi peluang bisnis restoran. Biasanya restoran dengan tipe seperti ini akan memodifikasi cita rasa aslinya untuk disesuaikan dengan cita rasa masyarakat lokal.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan ketika akan memilih strategi pencakupan pasar berdasarkan peluang yang muncul dan tren yang beredar di masyarakat. Pendapat konsumen yang baik juga tergantung pada produk menu masakan Jepang yang ditawarkan. Banyak diantara kita melihat bahwa setiap restoran memiliki ciri khas tersendiri dengan berbagai macam variasi menu masakan Jepang dengan harga terjangkau untuk menarik konsumen. Dengan memahami faktor-faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli menu masakan Jepang yang sesuai dengan segmen di masyarakat. Oleh karena itu, para pelaku usaha restoran Jepang dapat mempengaruhi dan mempertahankan pelanggannya, sehingga restoran yang bersangkutan dapat terus bertahan di antara situasi krisis dan persaingan usaha.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini mencoba untuk memetakan kuliner Jepang di Surabaya. Adapun kriteria pemetaanya berdasarkan kuesioner sebanyak 369 yang telah mendapatkan respon dari masyarakat khususnya anak muda milenials kota Surabaya baik secara langsung mengisi maupun melalui google form adalah sebagai berikut.

  • A.    Kriteria Usia

Rata-rata usia anak muda milenial Kota Surabaya yang menyukai masakan Jepang

adalah 18~21 tahun dengan prosentase 35,7% sesuai dengan diagram batang berikut:

  • B.    Kriteria Gender

Rata-rata anak muda milenials yang menyukai masakan Jepang adalah laki-laki dengan prosentase 55,2% sesuai dengan diagaram bola berikut:


  • C.    Kriteria Pilihan Restoran

Rata-rata anak muda milenials mengetahui dan memilih restoran Jepang tiga

teratas adalah Yoshinoya dengan prosentase sebanyak 38,5%, kemudian Marugame Udon dengan prosentase sebesar 22,4%, dan Ichiban Sushi dengan prosentase sebanyak 17,5%. hal ini dibuktikan dengan diagram bola berikut:

  • 2.    Sebutkan restoran Jepang di Surabaya yang Anda ketahui? 143 responses


• Ichiban Sushi

• Yoshinoya

* Marugame

• Hanamasa

• Semua di atas tai kecuali marugame

• Sushi tomoko

# Hoka Hoka Bento

* gak tau

1/3 ▼

  • D. Kriteria Menu Utama yang sering dipesan

Rata-rata anak muda milenials Kota Surabaya memilih menu di restoran Jepang yaitu ramen dengan prosentase sebesar 42%. Kemudian menu sushi dengan prosentase sebanyak 31,5 %. Lalu ada udon dengan prosentase sebesar 16,8%. Ketiga urutan menu utama yang sering dipesan tersebut merupakan urutan tiga teratas, seperti diagram bola berikut:

  • 3.    Menurut anda, menu utama atau paling sering dipesan di restoran Jepang adalah? 143 responses


Φ Sushi

• Ramen

S Udon

S Tempura

  • • Gatau dan gapernah makan disana

9 Yakiniku beef

B yatai

9 yakimeshi

1/2 ▼

Hal ini senada dengan menu makanan Jepang Favorit anak-anak muda milenials Kota Surabaya yang mengidolakan ramen dengan prosentase sebanyak 41,3%. Kemudian ada menu sushi dengan prosentase sebesar 21,7%. Lalu menu Katsu dengan prosentase sebanyak 15,4%. Menu Tempura juga menjadi menu favorit anak-anak muda milenials dengan prosentase sebanyak 7%. Hal ini dibuktikan melalui diagaram bola berikut ini:

  • 8.    Apakah menu favorit anda jika makan di restoran Jepang? 143 responses


( Sushi

• Ramen

t Tempura

9 Unagi

• Katsu # takoyaki

• Gatau dan gapernah makan disana

• Yakiniku beef

1/3 ▼

  • 3.2.    Sudut Pandang Milenials terhadap Restoran Jepang di Surabaya

Generasi milenial yang juga dikenal sebagai Generasi Y. Muda-mudi Generasi Y dikenal demikian karena sifatnya yang mempertanyakan perilaku atau tindakan yang dilakukan orang tua maupun institusi pemerintahan yang mengatur dan mengontrol mereka (Sheahan, 2011; Rabbani, 2015). Selain itu, Taylor et al (2010) menyatakan bahwa generasi Y mendominasi teknologi digital dan media sosial sebagai pengguna dibandingkan dengan generasi lainnya. Para pengguna dari Generasi Y dikenal mampu melakukan multi-task dengan berbagai gadget dalam berbagai situasi.

Muda-mudi Milenial Y hidup di dunia gadget digital. Menurut Rabbani (2015), mereka terobsesi dengan budaya populer yang ditampilkan pada media digital sehingga

mendominasi sudut pandang, sikap, dan prilaku mereka. Pada konteks dominasi sudut pandang adalah kemudahan para anak muda generasi milenial Y tersebut mengakses komik Jepang. Komik Jepang seperti manga, sangat populer di kalangan anak muda Generasi Y dan selanjutnya, disusul dengan animasi Jepang yang disebut anime. Hidayat & Hidayat (2020) menemukan bahwa Generasi Y dan Z di Indonesia dipengaruhi oleh akulturasi dalam komunikasi antarbudaya seperti bahasa, fashion, masakan, dan nilai-nilai Jepang dari manga dan anime. Hal yang demikian juga selaras dengan paparan Basaran & Sünnetçioğlu (2021) yang menemukan bahwa anime berkontribusi besar pada refleksi budaya melalui masakan Jepang. Sementara anime bertema kuliner memungkinkan pemirsa untuk mencoba makanan Jepang, hal itu juga mendorong mereka untuk membeli produk kuliner Jepang dan memasaknya di rumah. Dengan demikian, anime menyebabkan hampir setengah dari peserta penasaran dengan masakan Jepang dan mempengaruhi mereka untuk mencoba menikmatinya.

Melalui konteks yang dipaparkan melalui temuan-temuan akademisi tersebut, Mereka mencoba merefleksikan diri mereka melalui eksplorasi budaya yang diperoleh dari beragam konten media digital yang salah satunya adalah anime tentang kuliner Jepang untuk membentuk pengalaman yang akan jalani. Hal ini sesuai dengan temuan dilapangan terkait latar belakang pendidikan sehingga mereka memilih makanan Jepang berdasarkan angket yang telah disebar secara langsung (mengisi angket dengan wawancara) dan google form (secara online) di beberapa pusat perbelanjaan (mal) di Surabaya. Dari 369 responden tersebut ditunjukkan melalui diagram batang dibawah ini:

Alasan mengapa latar belakang pendidikan menunjukkan prosentase tertinggi yakni 47,69% atau sekitar 176 muda-mudi milenial generasi Y yang memilih untuk eksplorasi budaya anime dengan merasakan kuliner Jepang.

Adapun faktor pendukung adanya sudut pandang kuliner milenial di Surabaya memilih restoran Jepang selain karena adanya keterkaitan dengan proses pengalaman dalam menempuh pendidikan yang dinyatakan 25,74% atau sekitar 95 responden. Alasan lainnya adalah karena mengikuti tren keJepangan sekitar 74,79% atau sekitar 276 responden. Faktor pendukung lainnya adalah didominasi oleh harga menu makanan Jepang sekitar 35,23% sekitar 130 responden, tampilan yang menarik yang dikenal dengan istilah kawaii (cute) dan porsi yang pas sekitar 28,72%, dan rasa sekitar 23,30% atau 86 responden sesuai dengan diagram dibawah ini:

Rasa Aroma Tampilan Tekstur Harga

Di kota besar seperti Surabaya yang multiagama, suku, ras, dan budaya, asimilasi budaya selalu terjadi melalui makanan dan pertemuan. Kramsch (1993) mendefinisikan budaya sebagai “partisipasi pada sebuah masyarakat yang saling berbagi sistem kriteria bersama untuk memahami, percaya, menilai, dan bertindak” (hal. 127). Ini karena seseorang akan memahami dan percaya apa pun yang harus dilakukannya untuk beraktivitas dengan cara yang dapat diterima oleh anggota masyarakat lainnya melalui pembelajaran budaya. Bahkan, informasi budaya dan perilaku yang tepat dipelajari melalui interaksi sosial. Akibatnya, budaya terkadang didefinisikan sebagai keterlibatan yang tepat dalam kelompok sosial, yang mencakup cara hidup, seperangkat praktik sosial, seperangkat kepercayaan, dan sejarah umum atau kumpulan pengalaman (Yassine, 2006). Salah satu contoh asimilasi budaya melalui makanan dan interaksi sosial adalah muda-mudi ngumpul bareng di restoran Jepang, di mana ada makanan dari Jepang yang telah disesuaikan dengan lidah lokal dan interaksi sosial.

  • 4.    Simpulan

Penelitian ini merespon wujud budaya yang dimiliki oleh masyarakat dapat saja berupa bahasa, pakaian adat, rumah adat, kesenian, dan dapat pula berupa makanan.

Makanan merupakan bagian dari budaya yang memiliki kombinasi dari perspektif, praktik, dan produk. Asimilasi budaya dapat melalui tiga tahap makanan sebagai produk budaya yang dilakukan melalui komunikasi dan interaksi sosial. Isu gaya hidup yang masuk ke ranah makanan dan berpengaruh terhadap pilihan anak muda milenials di kota Surabaya adalah bagian dari strategi budaya. Sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses eksplorasi budaya melalui anime dan digital media.

Responden menunjukkan kompleksitas seputar gaya hidup dan identitas, khususnya dalam kaitannya dengan budaya makan, merupakan adanya proses yang dimediasi oleh globalisasi. Pengaruh media terhadap pembentukan identitas cenderung beroperasi pada tataran yang lebih umum dan tidak langsung. Konsumsi makanan Jepang merupakan salah satu konsekuensi dari paparan media yang memberikan ide, ilustrasi, dan berbagai praktik budaya dari seluruh dunia kepada masyarakat. Alih-alih merangkul imperialisme atau homogenisasi budaya Jepang, berbagai gagasan dan praktik yang hadir melalui saluran media ini berinteraksi dengan pengaruh budaya lokal, menciptakan budaya yang beragam. Hal ini juga tidak lepas dari proses pendidikan yang pada lembaga sekolah maupun institusi perguruan tinggi yang mempelajari bahasa asing. Pada penelitian ini responden menunjukkan rata-rata muda-mudi generasi milenial Kota Surabaya yang memilih menu makanan Jepang didominasi oleh pelajar yang mempelajari Bahasa Jepang.

Adapun alasan memilih restoran dan menyukai makanan Jepang dikarenakan harga yang sesuai dengan kantong pelajar dan mengikuti tren keJepangan. Restoran waralaba Jepang yang berada di Surabaya rupanya mampu merespon peluang tersebut dengan mengkolaborasikan dengan bahan lokal dengan rasa yang pas untuk lidah lokal yang yang disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Pun demikian dengan muda-mudi generasi milenial Surabaya juga mampu bernegosiasi dengan budaya Jepang dengan menerapkan strategi secara konseptual dan praktis, sehingga melahirkan budaya makan hybrid. Makanan Jepang yang disajikan melalui menu di restoran merupakan hasil dari proses akomodasi nilai-nilai lokal yang ada melalui kesepakatan bersama “adaptasi” sebagai syarat makanan Jepang harus selaras dengan selera masyarakat Surabaya. Pencampuran, pencocokan atau persilangan yang ada dalam dunia makanan bukan hanya campuran yang tidak bermakna, tetapi dapat diamati sebagai perjuangan

untuk negosiasi berkelanjutan dari ide, gagasan dan praktik budaya dengan mengekspresikan yang lokal dan global dalam ruang bersama.

Terakhir, tulisan ini berupaya memberikan pemahaman tentang bagaimana isu gaya hidup memiliki strategi dalam memaknai sekaligus memberikan referensi membentuk identitas milenial terkait budaya kuliner Jepang pada restoran di Surabaya. Sehingga memunculkan identitas budaya di masyarakat khususnya anak muda millenialls yang sedang berubah akibat kemajuan teknologi dan digitalisasi dalam konteks budaya kuliner. Budaya kuliner yang identik dengan bisnis restoran yang tumbuh berkembang di kota urban seperti Surabaya merupakan wujud kontestasi dalam konteks sumber daya dan ekonomi yang secara tidak langung berkaitan dengan eksistensi anak muda milleniallsnya.

  • 5.    Daftar Pustaka

Azrimaidaliza dan Purnakarya, Idral. Analisis pemilihan Manakan pada Remaja di Kota Padang, Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No.            1,            Agustus            (2011).            diakses

https://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/114/115

Basaran, G., & Sunnetcioglu, S. (2021). Turkish anime viewer’s approach to Japanese cuisine culture. Journal of Ethnic Foods (2021)  8:8. Retrieved from

http://doi.org/10.1186/s42779-021-00085-5

Bestor, Theodore C. dan Bestor, Victoria Lyon. Cuisine and Identity in Contemporary Japan. Journal of Association For Asian Studies, Volume 16:3 Food, Culture, and Asia (2011).

Farrer, J., Wang, C., de Carvalho, M. R., Vyletalova, L., & Hess, C. (2017). Japanese Culinary Mobilities Research: The Globalization of the Japanese Restaurant. Foods & Food Ingredients Journal Japan, 222(3), 257–66. diakses melalui https://www.academia.edu/34468960/Japanese_Culinary_Mobilities_Research _The_Globalization_of_the_Japanese_Restaurant

Janeta, A., & Santoso, S. O. (2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan pada remaja di Surabaya. Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa, 6(1). Diakases melalui https://publication.petra.ac.id/index.php/manajemen-perhotelan/article/view/6399/5818

Lusiana, Y., Laksono, P. M., and Hariri, T. (2020). Self-Styling, Popular Culture, and the Construction of Global-Local Identity among Japanese Food Lovers in Purwokerto. I-Pop: International Journal of Indonesian Popular Culture and Communication, 1(1), 21-40. http://doi.org/10.36782/i-pop.v1i1.33

Kostikova, L. P., Prishvina, V. V., Ilyushina, A. V., Fedotova, O. S., & Belogurov, A. Y. (2018, March). Culture in teaching English as a foreign language. In 2nd International Conference on Culture, Education and Economic Development of Modern Society (ICCESE 2018) (pp. 13-17). Atlantis Press. https://www.atlantis-press.com/proceedings/iccese-18/25893858

Kramsch, C. (2013). Culture in foreign language teaching. Iranian Journal of Language Teaching Research, 1(1), 57-78. https://eric.ed.gov/?id=EJ1127430

Kumakura, Isao. The Globalization of Japanese Food Culture. diakses melalui https://www.kikkoman.co.jp/kiifc/foodculture/pdf_01/e_006_007.pdf pada 1 Juli 2022.

Melvin de Kuyper (2014). The Taste of Japan: Connections between local dishes and travel in the Contemporary Food Culture of Japan diakses melalui https://studenttheses.universiteitleiden.nl/access/item%3A2658871/view

Suhardini, I.R. (2020). Faktor Latar Belakang dan Kecenderungan kaum Muda Surabaya dalam Memilih makanan Jepang Antara Restoran marugame Udon dan Yoshinoya. Jurnal Japanology, Vol.8, No.2 Maret-Agustus 2020:206 – 219.                                      Diakses                   melalui

https://journaljapanologyunair.com/index.php/japanesestudies/article/download/31 /21

188