SAKURA VOL. 5. No. 2, Agustus 2023

DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2023.v05.i02.p02

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Representasi Budaya Jepang dalam Ryokan pada Anime Hanasaku Iroha

San San1), Ni Luh Putu Ari Sulatri2), Ni Putu Luhur Wedayanti 3) 1,2,3)Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Jl. Pulau Nias No.13 Sanglah, Denpasar Timur, Denpasar, Indonesia Pos-el: 1 [sansann214@gmail.com], 2[ari_sulatri@unud.ac.id], 3[luhur_wedayanti@unud.ac.id]

Japanese Cultural Representation in Ryokan in The Anime Hanasaku Iroha

Abstract

This research is titled "Representation of Japanese Culture on Ryokan in the Hanasaku Iroha anime". This study aims to determine the characteristics of the ryokan depicted in the Hanasaku Iroha anime and the representation of Japanese culture in the ryokan. The data was collected using the observation method, analyzing the data using the descriptive method, and presenting the data analysis using the informal method. The theory used is the Theory of Anthropology and the Semiotic Theory of Roland Barthes. Based on the research results, it is known that the depiction of the ryokan in the Hanasaku Iroha anime is divided into the location of the ryokan and the food facilities in the ryokan. Most of the ryokan are built near the onsen with the aim of allowing guests to enjoy the onsen with the natural heat of the mountains, but it is possible that ryokan are also built in urban areas. The food facilities in the ryokan are kaiseki ryori as Japanese specialties which are one of the attractions for guests to stay. In the cultural representation of the ryokan, there are three cultural concepts found in the data. The first is the concept of uchi-soto which is seen from the genkan area with guests as soto and staff as uchi so that when entering the ryokan, guests have entered the uchi area of the ryokan. Second, the representation of the wabi-sabi concept can be seen from the ryokan garden focuses on imperfection and simplicity. Finally, the embodiment of the wa and ma concepts is depicted from the washitsu room which emphasizes harmony and empty space.

Keywords: anthropology, semiotics, ryokan, Japanese culture

Abstrak

Penelitian ini berjudul ”Representasi Budaya Jepang dalam Ryokan pada anime Hanasaku Iroha”. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik ryokan yang digambarkan dalam anime Hanasaku Iroha serta representasi budaya Jepang dalam ryokan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, analisis data menggunakan metode deskriptif, dan penyajian analisis data menggunakan metode informal. Teori yang digunakan yaitu Teori Antropologi Sastra dan Teori Semiotika Roland Barthes. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggambaran ryokan dalam anime Hanasaku Iroha terbagi atas lokasi ryokan dan fasilitas makanan dalam ryokan. Kebanyakan dari ryokan dibangun di dekat onsen dengan tujuan agar tamu dapat menikmati onsen dengan panas yang alami dari pegunungan, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ryokan dibangun juga di perkotaan. Fasilitas makanan dalam ryokan merupakan kaiseki ryori sebagai masakan khas Jepang yang menjadi salah satu daya tarik bagi tamu untuk menginap. Dalam representasi budaya pada ryokan, terdapat tiga konsep budaya yang ditemukan dalam data. Pertama adalah konsep uchi-soto yang terlihat dari area genkan dengan tamu sebagai soto dan staf sebagai uchi sehingga saat memasuki

ryokan, tamu sudah memasuki area uchi dari ryokan. Kedua, representasi konsep wabi-sabi terlihat dari taman ryokan yang berfokus pada ketidaksempurnaan dan kesederhanaan. Terakhir, perwujudan konsep wa dan ma digambarkan dari ruangan washitsu yang menekankan pada harmoni dan ruang kosong.

Kata kunci: antropologi sastra, semiotika, ryokan, budaya Jepang

  • 1.    Pendahuluan

Ryokan merupakan penginapan tradisional Jepang yang umumnya memiliki spesialisasi di bidang makanan, pemandian air panas, dan juga pelayanan. Asal usul ryokan dapat ditelusuri kembali dengan adanya fuseya dari Zaman Nara (710-784). Fuseya yang merupakan rumah peristirahatan gratis, dianggap telah menjadi fasilitas pertama di Jepang untuk para penjelajah yang menginap semalam. Fuseya ini dikelola oleh biksu Buddha dengan tujuan membantu orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Pada masa itu, dengan fasilitas transportasi dan infrastruktur yang belum berkembang, perjalanan menjadi berbahaya karena orang-orang tidak punya pilihan selain tidur di tempat terbuka. Kemudian, pada tahun 1950-an ketika Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, orang Jepang mulai menikmati perjalanan untuk berwisata dan sejak saat itu, ryokan mulai dibangun untuk kepentingan wisata (Japan Ryokan and Hotel Association, 2010).

Ryokan sendiri memiliki fasilitas tradisional Jepang baik interior maupun eksteriornya. Hal ini dibuktikan dari penggunaan tatami ’semacam tikar yang terbuat dari jerami’, shoji ‘pintu geser’, futon ‘tempat tidur tradisional Jepang’ dan lainnya. Dari segi eksterior dapat dilihat dari bangunannya yang bergaya arsitektur khas Jepang (Simandalahi, 2017). Sampai saat ini ryokan masih menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat Jepang maupun wisatawan asing sebagai tempat menginap. Ryokan pada umumnya memiliki berbagai macam fasilitas yang ditawarkan, mula dari penyediaan makanan sesuai dengan musim di Jepang yang disajikan secara langsung oleh koki ryokan, pemandian air panas atau onsen, dan juga pelayanan-pelayanan lainnya seperti pelayanan kebersihan kamar, penyediaan keperluan pengunjung, dan berbagai pelayanan lainnya.

Konsep budaya uchi-soto dalam masyarakat Jepang menjadi salah satu budaya yang terdapat dalam interaksi sosial antar hubungan manusia, tetapi juga dapat dilihat representasinya dalam bangunan-bangunan yang ada pada ryokan.

Anime Hanasaku Iroha menggambarkan dengan baik ciri khas ryokan sebagai penginapan tradisional Jepang yang tidak akan ditemukan di penginapan biasa. Artikel ini akan meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana karakteristik yang terdapat pada ryokan dan representasi budaya Jepang yang diterapkan dalam ryokan pada anime Hanasaku Iroha.

  • 2.    Metode dan Teori

    2.1    Metode Penelitian

Penelitian pada artikel ini menggunakan metode kualitatif karena data yang dihasilkan berupa data deskriptif dan bukan merupakan statistik. Dalam proses analisis digunakan metode simak dan catat. Anime Hanasaku Iroha yang terbagi atas 26 episode akan diunduh dan ditonton secara berulang kali untuk memperdalam penelitian dengan menggunakan metode simak, kemudian akan dicatat bagian-bagian penting yang mendukung rumusan masalah dengan teknik catat.

Data-data tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dalam anime Hanasaku Iroha akan ditemukan potongan gambar dan juga subtitle yang menunjukkan dialog antar tokoh, data dalam anime tersebut akan dianalisis berdasarkan rumusan yang ada. Penyajian hasil analisis dalam artikel ini menggunakan teknik informal. Teknik informal merupakan teknik penyajian hasil data yang menggunakan kata-kata untuk menjabarkan analisis.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah anime Hanasaku Iroha. Anime ini diproduksi oleh P.A Works yang disutradarai oleh Masahiro Ando dan Mari Okada sebagai penulis naskahnya. Anime ini tayang pada tahun 2011 dengan total 26 episode (Kiriina, 2020).

  • 2.2    Teori

Dalam artikel ini, menggunakan teori antropologi sastra dan semiotika. Teori tersebut digunakan untuk mendukung data dan memaksimalkan dalam menganalisis data. Teori antropologi sastra digunakan untuk menganalisis unsur-unsur budaya pada ryokan yang digambarkan dalam anime Hanasaku Iroha sehingga dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang terkait dengan ryokan, sedangkan teori semiotika digunakan untuk menganalisis representasi budaya Jepang dalam ryokan.

Endraswara (2011:4) mengemukakan bahwa antropologi sastra adalah penelitian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra dan kebudayaan. Oleh karena itu, antropologi sastra meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Dalam penelitian ini, antropologi sastra digunakan untuk menganalisis budaya dalam ryokan yang akan menjabarkan secara keseluruhan karakteristik ryokan digambarkan pada anime Hanasaku Iroha.

Dalam menganalisis mengenai ryokan, artikel ini menggunakan teori semiotika oleh Barthes. Semiotika Roland Barthes (2017) mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan makna lugas atau literal yang artinya menjelaskan sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan konotasi makna kiasan yang dalam artian makna ganda yang lahir dari pengalaman personal atau kultural (Barthes, 2017:128). Artikel ini akan menggunakan teori semiotika untuk menganalisis mengenai tanda-tanda dalam representasi budaya yang terdapat dalam anime Hanasaku Iroha.

  • 3.    Kajian Pustaka

Artikel ini menggunakan beberapa referensi penelitian terdahulu yang akan dijadikan acuan yang berkaitan dengan artikel ini. Penelitian oleh Dewi (2008) yang berjudul “Genkan dalam Tata Ruang Rumah Jepang”, menganalisis pengertian genkan, strukturnya dalam rumah Jepang, dan kaitannya dengan konsep uchi-soto. Penelitian Dewi menarik kesimpulan bahwa genkan memiliki fungsi sebagai pembatas antara bagian dalam dan luar dan juga sebagai pemisah antara orang dalam (uchi) dan orang luar (soto). Konsep uchi-soto dalam genkan inilah yang akan dijadikan acuan bagi artikel ini dalam menganalisis mengenai representasi budaya Jepang khususnya konsep uchi-soto yang dapat dilihat penggunaanya dalam ryokan.

Penelitian selanjutnya, yaitu penelitian Puteri (2012) yang berjudul “Chashitsu Bergaya Soan sebagai Cerminan Konsep Wabi Sabi dalam Konsep Naturalisme Jepang”. Penelitian Puteri mengambil kesimpulan bahwa chashitsu merepresentasikan konsep wabi-sabi yang diambil dari keindahan dan juga ketidaksempurnaan. Wabi merepresentasikan keindahan dalam kemelaratan, kesedihan, kemiskinan, kekecewaan, ketidaksempurnaan, kesederhanaan, dan apresiasi dari proses penuaan, sedangkan sabi merepresentasikan keindahan dalam sesuatu yang pudar, dingin, sepi, terlantar, dan

berkarat. Konsep wabi-sabi ini yang membantu artikel ini dalam analisis penggunaan budaya wabi-sabi dalam ryokan yang direpresentasikan dalam anime Hanasaku Iroha.

Adapun referensi lainnya, yaitu penelitian Simandalahi (2017) yang berjudul “Fasilitas di Ryokan”. Penelitian Simandalahi menjabarkan fasilitas apa saja yang terdapat pada ryokan dan juga jenis-jenis ryokan. Hasil analisis atau kesimpulan yang dijabarkan, yaitu terdapat lima jenis ryokan, ryokan standar, modern, tradisional, mewah, dan hotel. Fasilitas yang dijabarkan adalah adanya pelayanan ryokan, onsen, penyajian makanan, yukata, dan futon. Penelitian Simandalahi mengenai fasilitas ryokan akan membantu dalam menganalisis ryokan yang digambarkan dalam anime Hanasaku Iroha.

  • 4.    Hasil dan Pembbahasan

    • 4.1    Ryokan yang Digambarkan dalam Anime Hanasaku Iroha

      • 4.1.1    Lokasi Ryokan

Ryokan dalam anime Hanasaku Iroha bernama Kissuisou yang terletak di Yunosagi. Lokasi ini merupakan daerah fiksi yang diciptakan oleh penulis yang didasarkan pada Yuwaku Onsen di kota Kanazawa (Donko, 2017). Berikut merupakan penampakan jalanan di kota Kanazawa yang dijadikan inspirasi penulis dalam menggambarkan area jalanan dalam anime Hanasaku Iroha sesuai dengan yang disampaikan oleh Donko (2017).

Gambar 1                        Gambar 2


Jalan di kota Kanazawa

Sumber: Crunchyroll


Jalanan dalam anime Hanasaku Iroha

Sumber: Hanasaku Iroha EP2 menit 00:41

Dalam data gambar 1 terlihat bahwa adanya penampakan jalanan di kota

Kanazawa. Beberapa adegan dalam anime digambarkan mirip dengan penampakan yang

ada di daerah tersebut. Seperti yang terlihat dalam data dibawah ini merupakan salah satu adegan dalam anime Hanasaku Iroha.

Pada data gambar 2 terlihat bahwa tokoh Minko dan Ohana sedang berlari menuju ke sekolah dari Ryokan Kissuisou. Penggambaran jalanan dalam anime ini memiliki persamaan dengan jalanan di kota Kanazawa. Yuwaku Onsen merupakan salah satu onsen yang mudah diakses di kota Kanazawa, prefektur Ishikawa (Donko, 2017).

Di Jepang, ryokan juga dapat ditemukan di kota besar seperti Tokyo dan Kyoto. Karena ryokan-ryokan ini tidak mungkin terletak di dekat onsen alami, banyak dari mereka yang menawarkan pengalaman mandi dalam ruangan tradisional yang dialiri oleh sumber air biasa (Japan Rail Pass, 2022). Berdasarkan hasil survey dari kementerian kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan Jepang pada bulan maret 2014, jumlah ryokan terbanyak berada di prefektur Shizuoka mencapai 2.968 ryokan, kemudian pada prefektur Nagano sebanyak 2.487, dilanjutkan oleh prefektur Hokkaido, Niigata, Mie, dan lainnya. Adapun Tokyo yang berada pada urutan ke-9 (Higashide, 2022). Hal ini membuktikan bahwa kebanyakan ryokan dibangun pada prefektur yang memiliki keindahan, serta dekat dengan alam, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ryokan juga dapat ditemukan di perkotaan.

  • 4.1.2    Fasilitas Ryokan

Dalam ryokan terdapat beberapa fasilitas yang ditawarkan, salah satunya adalah fasilitas makanan. Fasilitas ini merupakan faktor penting bagi tamu saat memilih ryokan untuk menginap. Hal ini dikarenakan tamu ingin mempunyai pengalaman unik saat menginap di ryokan, salah satunya adalah dengan mencicipi makanan khas Jepang yang disajikan. Sebagian besar ryokan tidak menawarkan untuk menginap tanpa adanya makanan yang disajikan. Hal ini dikarenakan mereka telah mempekerjakan koki terbaik walaupun hanya untuk melayani beberapa tamu saja dalam satu malam (Seki dan Rob, 2017:12). Berikut merupakan gambaran penyajian makanan di ryokan pada anime Hanasaku Iroha.

Gambar 3

Kaiseki ryori

Sumber: Hanasaku Iroha EP13 menit 12:15

Pada anime, digambarkan bahwa pelayan sedang menyajikan makanan kepada salah satu tamu. Saat itu, tamu yang berkunjung merupakan Ibu dari Ohana. Makanan yang disajikan sesuai dengan makanan yang disukai oleh Ibu Ohana. Makanan tersebut merupakan kaiseki ryori.

Sebagaimana yang juga digambarkan dalam anime, kaiseki ryori pada umumnya terdiri dari sakizuke ‘makanan pembuka’, hassun ‘hidangan kecil dengan bahan lokal musiman’, mukozuke ‘ikan mentah’, takiawase ‘kombinasi dari sayuran dengan daging’, futamono ‘sup yang jernih dengan rasa yang ringan’, yakimono ‘lauk yang dibakar atau panggang’, sukazana ‘sayuran dengan cuka’. Menjelang akhir, tamu akan disajikan dengan gohan ‘nasi yang didampingi oleh sayuran atau hidangan laut’, konomono ‘acar’, tomewan ‘sup miso’, dan yang terakhir adalah mizumono ‘hidangan penutup’ (Seki dan Rob, 2017:10-11).

Pada ryokan, penyajian makanan dapat dilakukan di satu ruangan besar. Namun, kaiseki ryori juga dapat disajikan di kamar tamu secara langsung. Penyajian yang dilakukan di ruangan besar biasanya diperuntukkan untuk tamu rombongan, sedangkan jika tamu datang bersama keluarga akan disajikan di kamar tamu tersebut. Seperti pada data dibawah ini, penyajian makanan dilakukan pada ruangan besar.

Gambar 4

Penyajian makanan di ruangan besar

Sumber: Hanasaku Iroha EP4 menit 17:47

Dalam data gambar 4 terlihat bahwa adanya meja yang dijajarkan dalam ruangan besar. Ruangan ini akan dipakai makan bersama oleh sekelompok tamu yang menginap. Ryokan pada saat ini menjadi sedikit lebih fleksibel dengan waktu dan penyajian makanan. Banyak ryokan yang memungkinkan para tamu untuk menentukan waktu makan malam, dan makanan dapat diambil di ruang makan yang terpisah. Beberapa ryokan juga memungkinkan para tamu untuk memilih makan malam di restoran lokal (Seki dan Elizabeth, 2012).

  • 4.2    Nilai-Nilai Budaya Jepang dalam Ryokan pada Anime Hanasaku Iroha

    4.2.1    Konsep Nilai Uchi-Soto

Konsep uchi-soto telah berpengaruh kepada kehidupan masyarakat Jepang terutama dalam hubungan sosial antar masyarakat. Pemisahan antara uchi dan soto digambarkan secara dinamis dan dapat berubah sesuai dengan situasi yang terjadi. Jika ditinjau kembali, konsep uchi-soto juga berpengaruh kepada bangunan-bangunan yang ada di Jepang.

Tabel 1

Pemaknaan terhadap tanda genkan

Gambar 5

Denotasi:

  • -    Genkan  sebagai  area  untuk

meletakkan  alas  kaki   yang

digunakan dari luar.

  • -    Genkan   sebagai   area   yang

menghubungkan  bagian  luar

dengan bagian dalam bangunan.

Konotasi:

Penggambaran genkan dalam anime

Sumber: Hanasaku Iroha EP8 menit 15:50


- Genkan sebagai pembatas antara area uchi dan soto.

Pada ryokan, terdapat beberapa penerapan konsep uchi-soto yang dapat dilihat

dari bangunan atau arsitektur yang ada. Bangunan tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa adanya pemisahan antara uchi dan soto. Hal ini dapat dilihat dari adanya area genkan, kantor, dan lainnya. Berikut merupakan penggambaran area genkan dalam anime Hanasaku Iroha.

Dalam gambar 5 terlihat adanya penggambaran area genkan dalam anime Hanasaku Iroha. Secara denotasi, genkan memiliki fungsi sebagai tempat untuk menaruh alas kaki yang telah digunakan di luar dan berganti menjadi alas kaki yang telah disediakan di ryokan. Fungsi ini juga terdapat dalam rumah Jepang. Genkan merupakan sebuah area yang pertama kali dimasuki saat mengunjungi ryokan atau rumah. Maka dari itu, genkan sebagai area yang menghubungkan bagian luar dan bagian dalam dari suatu bangunan.

Makna konotasi yang terkandung adalah genkan sebagai area yang memiliki konsep uchi-soto di dalamnya. Salah satu fungsi tamu mengganti alas kakinya di genkan adalah karena ingin menghindari kotoran dan debu yang akan masuk ke dalam ryokan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebersihan di dalam ryokan. Menurut pendapat Dewi (2008) genkan sebagai pembatas antara luar dan dalam menjadi hal yang wajib dalam rumah Jepang untuk menjaga lingkungan uchi dari penyakit yang mungkin terbawa dari luar. Sepatu yang dilepas di genkan merupakan situasi yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang berasal dari soto harus berada di genkan dan tidak boleh melawati batasan ke dalam uchi. Hal ini juga kemudian memiliki makna yang sama dengan yang diterapkan

dalam ryokan. Tamu dengan sepatu yang dilepas di area genkan memiliki arti meninggalkan hal-hal yang berasal dari luar.

Jika dilihat dari genkan pada rumah Jepang, uchi merupakan bagian dalam rumah yang terdiri dari tempat istirahat atau ruang untuk tidur, sedangkan soto merupakan roji ‘bagian luar rumah’. Hal yang termasuk dalam roji adalah halaman atau pekarangan rumah untuk menuju pintu genkan. Jika orang Jepang sudah mempersilahkan tamu naik dari genkan ke dalam rumah sampai ke ruang tamu, berarti orang tersebut sudah menerima tamu tersebut. Saat tamu melepaskan sepatu mereka di genkan dan memasuki area rumah disebut sebagai agaru (i^ 5) atau naik ke dalam rumah (Dewi, 2008). Hal ini juga terjadi dalam ryokan, tamu ryokan sebagai soto dan orang-orang dalam ryokan sebagai uchi. Saat tamu sudah melewati genkan dengan melepaskan sepatu mereka dan berganti menjadi alas kaki yang telah disediakan, memiliki arti bahwa mereka sudah memasuki area uchi dalam ryokan.

  • 4.2.2    Konsep Nilai Wabi-Sabi

Konsep wabi-sabi yang fokus kepada keindahan, kesederhanaan, dan ketenangan yang dibangun secara alami. Pada data di bawah ini merupakan representasi konsep wabi-sabi yang terlihat dari taman ryokan.

Tabel 2

Tanda yang terdapat dalam taman ryokan

Denotasi:

Gambar 6


  • -    Penggambaran taman dalam ryokan.

  • -    Taman      ryokan      yang

menggunakan gaya karesansui.

Konotasi:

  • -    Batu yang diletakkan secara tidak beraturan    merepresentasikan

konsep wabi.

  • -    Semak-semak dan tanaman liar yang merepresentasikan konsep sabi.

Taman ryokan

Sumber: Hanasaku Iroha EP18 menit 06:40

Jika dilihat secara denotasi, terlihat penggambaran taman yang merupakan bagian dari ryokan. Taman ryokan merupakan taman dengan gaya karesansui yang terlihat dari penggunaan bebatuan dan wilayah disekitarnya yang kering. Taman bergaya karesansui ini terinspirasi dari aliran Buddha Zen yang dulunya mempengaruhi sastra dan seni musik serta arsitektur. Perubahan terbesar yang ditimbulkannya dari gaya taman yang sebelumnya adalah berupa penggantian penggunaan material utama yaitu air, dengan pasir atau kerikil yang dianggap mampu mengabstraksikan air. Perubahan ini merupakan kontribusi terbesar Buddha Zen dalam seni pertamanan di Jepang, yang dinyatakan sudah berhasil menghadirkan taman bergaya abstrak yang disebut karesansui (Ishikawa, 1986:175).

Secara konotasi, taman ryokan merupakan salah satu perwujudan konsep wabi-sabi. Taman dengan batu yang diletakkan secara acak dengan bentuk yang asimetri diusahakan mengikuti apa yang ada di alam, semak-semak yang berada di antara bebatuan, dan beberapa tanaman liar dibiarkan secara alami. Hal ini memberikan ketenangan dan kesederhanaan yang dapat dirasakan oleh tamu yang berkunjung.

Di taman, wabi-sabi mungkin muncul melalui pohon tua yang berlumut, pohon berbatu yang bertatahkan lumut, pagar kayu yang lapuk, gerbang logam yang teroksidasi dengan baik. Ini merupakan gagasan bahwa elemen-elemen seperti itu telah mendapatkan tempat mereka di taman, menua pada waktunya sendiri. Tanaman yang dibiarkan tumbuh dan menua secara alami, dengan sedikit campur tangan manusia. Terkadang pagar atau pohon tua itu menginspirasi bagaimana mereka telah bertahan bertahun-tahun dalam kesulitan untuk tetap menjalankan fungsinya, dan masih memancarkan keindahan (Gilchrist, 2020).

Taman karesansui merupakan taman kering yang berkembang pesat dibawah pengaruh aliran Buddha Zen, oleh karena itu taman bergaya karesansui memiliki ajaran-ajaran Zen di dalamnya, salah satunya adalah kesederhanaan. Taman karesansui terdiri dari unsur-unsur seperti batu, pasir, dan sedikit lumut. Kesederhanaan dari taman karesansui itu menciptakan kesan kosong pada taman, tetapi justru menampilkan keindahan, yaitu keindahan wabi (Azhar, 2008).

  • 4.2.3    Konsep Nilai Wa dan Ma

Konsep wa dapat ditemukan dalam banyak aspek kehidupan di Jepang, misalnya dalam interaksi dengan sesama, orang Jepang menghindari konflik dan mementingkan ketenangan. Konsep wa mempercayai bahwa harmoni bersumber dari kealamian. Adapun konsep ma yang menekankan pada ketenangan dalam ruang kosong.

Konsep ini dapat dilihat dalam arsitektur Jepang yang juga terdapat dalam ryokan. Konsep wa dan ma dalam washitsu, konsep ma dalam penggunaan shoji, dan koridor ryokan, serta konsep wa yang direpresentasikan dari penggunaan material kayu. Berikut merupakan penggambaran representasi konsep wa dan ma dalam washitsu pada anime Hanasaku Iroha.

Tabel 3

Pemaknaan


tanda washitsu


Gambar 7


Washitsu dalam ryokan

Sumber: Hanasaku Iroha EP9 menit 17:04


Denotasi:

  • -    Ruangan washitsu dalam ryokan.

  • -    Adanya perabotan yang menunjang washitsu.

Konotasi:

  • -    Adanya harmoni yang tergambarkan        dari

perabotan dalam washitsu.

  • -    Perabotan yang diletakkan seminimal mungkin yang mendukung konsep ma.

  • -    Adanya penggunaan shoji yang merepresentasikan konsep ma.

Dalam data gambar 7 terlihat adanya pelayan dan tamu yang berada dalam washitsu. Dalam anime, pelayan sedang membawakan makanan kemudian menjelaskannya kepada tamu ryokan. Jika dilihat dari makna denotasinya ruangan yang digambarkan tersebut adalah ruangan washitsu. Hal ini terbukti dari penggunaan tatami dan juga perabotan-perabotan yang menunjang. Washitsu dapat digunakan sebagai ruangan belajar, bekerja, makan, hingga ruang tidur. Dalam data gambar 7, washitsu sedang difungsikan sebagai ruang makan.

Pada makna konotasi, ruangan washitsu merupakan representasi dari konsep wa yang menunjukkan bahwa adanya harmoni yang tergambarkan dari perabotan yang ada

di dalamnya. Penggunaan bahan-bahan yang alami menonjolkan harmoni antara satu perabotan dengan perabotan lainnya. Hal ini didukung oleh pendapat Reynolds (2009) bahwa interior tradisional Jepang menggunakan bahan alami yang tersedia ataupun bahan daur ulang dan suatu hal yang berlebihan bertentangan dengan konsep wa. Misalnya dalam penggunaan tatami yang terbuat dari alang-alang sisa panen. Selain itu, material kayu yang digunakan dalam arsitektur juga merupakan representasi dari konsep wa. Dalam data di atas penggunaan zaisu dan chabudai yang terbuat dari kayu memberikan kesan alami sehingga perabotan yang ada dalam washitsu ini menyatu satu sama lain.

Selain konsep wa, terdapat juga konsep ma dalam washitsu. Hal ini direpresentasikan melalui perabotan yang diletakkan dengan sangat minimalis. Hanya terdapat zaisu, chabudai, tokonama, dan mungkin beberapa lukisan sebagai dekorasi. Selain itu, perabotan ini juga diletakkan di tengah-tengah untuk memungkinkan adanya ruang kosong dalam washitsu. Adapun perabotan seperti futon yang tersimpan rapi dengan tujuan terwujudnya konsep ini. Hal ini memberikan lebih banyak ruang dan akses sehingga akan terciptanya rasa tenang bagi tamu yang menginap di ryokan. Tidak hanya perabotan seperti yang telah disebutkan di atas, penggunaan shoji dalam washitsu juga memiliki konsep ma.

Menurut pendapat Belfiore (2012), arsitektur ruangan Jepang yang menggunakan shoji menggambarkan bahwa adanya ruang kosong yang tercipta. Berbeda dengan bangunan barat yang menggunakan tembok tebal sebagai partisi, Jepang menggunakan shoji yang tipis dan juga ringan. Penggunaan shoji ini memberikan lebih banyak akses lagi pada suatu bangunan sehingga konsep ma dapat terwujudkan.

Selain diartikan sebagai ruang kosong, ma juga dapat dipahami sebagai jeda. Hal ini dapat dilihat pada bagian dari eksterior ataupun interior yang sengaja dibiarkan kosong atau tanpa ada apapun sehingga dapat melegakan orang yang ada di tempat tersebut. Konsep ma juga dapat berupa interior yang tidak terlalu ramai, sehingga dapat memberikan ketenangan dan keindahan yang tidak mengintimidasi.

  • 5.    Simpulan

Ryokan memiliki karakteristik tersendiri berbeda jenis dengan penginapan-penginapan lainnya, seperti hotel dan villa dengan konsep arsitektur modern. Hal ini dapat terlihat dari pemilihan lokasi yang sebagian besar berdekatan dengan sumber air panas

onsen yang berada di alam. Selain lokasi adapun fasilitas dalam ryokan yang merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk memilih ryokan sebagai tempat menginap. Hal ini dapat dilihat dari penyajian kaiseki ryori sebagai makanan yang sangat merepresentasikan budaya Jepang di dalamnya.

Ryokan juga merepresentasikan budaya Jepang khususnya pada konsep uchi-soto, wabi-sabi, serta konsep wa dan ma. Konsep uchi-soto direpresentasikan dari penggunaan genkan sebagai pembatas antara area uchi dan soto. Hal ini dilihat dari tamu dengan sepatu yang mereka lepas di area genkan, memiliki arti meninggalkan hal-hal yang berasal dari luar dan memasuki area uchi dalam ryokan. Konsep wabi-sabi sebagai konsep yang menekankan ketidaksempurnaan dapat dilihat dari taman ryokan, batu yang diletakkan secara acak dengan bentuk yang asimetri, semak-semak yang berada di antara bebatuan, dan beberapa tanaman liar dibiarkan secara alami merepresentasikan konsep ini. Terakhir, terdapat konsep wa dan ma yang diwujudkan dari ruangan washitsu ryokan. Dalam washitsu, konsep wa terlihat dari penggunaan bahan-bahan yang alami menonjolkan harmoni antara satu perabotan dengan perabotan lainnya. Konsep ma yang direpresentasikan melalui perabotan yang diletakkan dengan sangat minimalis, serta penggunaan shoji yang memberikan lebih banyak akses lagi pada suatu bangunan.

  • 6.    Daftar Pustaka

Azhar, Elita Fitri. (2008). Nilai-nilai Estetika pada Taman Jepang Khususnya Pada Taman Karesansui. Skripsi. Universitas Indonesia.

Barthes, Roland. (2017). Elemen-Elemen Semiologi diterjemahkan oleh M. Ardiansyah dari judul asli Elements of Semiology. Yogyakarta: Basabasi.

Belfiore, Matteo. (2012). Japanese Spatial Layering. Tokyo: Tokyo University.

Dewi, Widya Purnama. (2008). Genkan dalam Tata Ruang Rumah Jepang. Skripsi. Universitas Indonesia.

Donko, Wilhelm. (2017). “Hanasaku Iroha" Bonbori Festival Report - A Fictional Event Becomes Real Life Tradition. (Di akses pada 3 Maret 2022 dari alamat https://www.crunchyroll.com/anime-feature/2017/10/28-1/hanasaku-iroha-bonbori-festival-report-a-fictional-event-becomes-real-life-tradition)

Endraswara, Suwardi. (2011). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Gilchrist, Dan. (2020). The Wabi-Sabi Garden. (Di akses pada 18 Juni 2022 dari alamat https://www.swansonsnursery.com/blog/the-wabi-sabi-garden)

Higashide. (2022). Hoteru Ryokan Okinawaken. (Di akses pada 17 Maret 2022 dari alamat https://uub.jp/pdr/47/_p_pdr.cgi?D=ss&H=hotel&T=4a&P=47)

Ishikawa, Takashi. (1986). Kokoro: The Soul of Japan. Tokyo: The East Publication Inc.

Japan Rail Pass. (2019). Staying in a Ryokan, a Traditional Japanese Guest House. (Di akses pada 16 Maret 2022 dari alamat https://www.jrailpass.com/blog/ryokan-japanese-guest-houses)

Japan Ryokan and Hotel Association. (2010). Origins and History of the Japanese Ryokan. (Di akses pada 26 Maret 2021 dari alamat https://www.ryokan.or.jp/past/english/pdf/origins_and_history.pdf)

Kiriina. (2020). [Flashback Friday] Hanasaku Iroha. (Di akses pada 18 Juni 2021 dari alamat (http://jurnalotaku.com/2020/04/03/flashback-friday-hanasaku-iroha/)

Puteri, Pujiasrini Eliza. (2012). Chashitsu Bergaya Soan sebagai Cerminan Konsep Wabi Sabi dalam Konsep Naturalisme Jepang”. Skripsi. Universitas Indonesia.

Reynolds, Garr. (2009). Wa: The Key to Clear, Harmonious Design. (Di akses pada 9 Juni                   2022                   dari                   alamat

https://www.presentationzen.com/presentationzen/2009/09/wa-the-key-to-clear-design.html)

Seki, A. dan Elizabeth, H.B. (2012). Ryokan: Japan’s Finest Spas and Inns. Amerika: Tuttle Publishing.

Seki, A. dan Rob, G. (2017). Japanese Inns and Hot Springs: A Guide to Japan’s Best Ryokan and Onsen. Tokyo: Tuttle Publising.

Simandalahi, I. M. (2017). Fasilitas di Ryokan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Utami, Y., Wedayanti, N. P. L., & Sulatri, N. L. P. A. (2020). Mama Tomo dalam novel happiness karya Natsuo Kirino. Humanis, 24(1), 20-28.

Wedayanti, N.P.L., & Andry Anita Dewi, N. (2021). Wacana Rasisme Terhadap Golongan Minoritas di Jepang (Tinjauan Analisis Wacana Kritis). International Seminar on Austronesian Languages and Literature, 9(1), 201-205. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/isall/article/view/79907

Wedayanti, N.P.L., & Dewi, N.M.A.A. (2022). Mobilitas Sosial pada Kelompok Zainichi Korean di Jepang. Jurnal Sakura: Sastra, Bahasa, Kebudayaan dan Pranata Jepang, 4(1), 27-40.

249