SAKURA VOL. 3. No. 2 Agustus 2021

DOI: https://doi.org/10.24843/JS.2021.v03.i02.p08

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Budaya Aisatsu dan Ojigi : Studi Fenomenologi Budaya Komunikasi Pada Pekerja Hotel Kyuukamura Kishu Kada

Reinaldy Yusuf1*), Yusida Lusiana 2), Heri Widodo3)

Sastra Jepang, FIB, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto-Jawa Tengah

1[[email protected]], 2[yusida.lusiana@unsoed. ac. id],

3[[email protected]]

Abstrak

Tujuan dari penelitian untuk mengetahui mengenai budaya komunikasi masyarakat Jepang yaitu komunikasi verbal Aisatsu dan non-verbal Ojigi yang dipraktekan oleh pekerja hotel Kyuukamura Kishu Kada menggunakan studi fenomologi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah budaya komunikasi verbal Aisatsu yang dipraktekan oleh pekerja Kyuukamura Kishu Kada berbeda-beda tergantung pada lawan bicara dan situasinya. Untuk budaya non-verbal Ojigi dilakukan untuk menunjukan permintaan maaf, terimkasih, dan menghormati lawan bicara. Semakin membungkuk dalam melakukan Ojigi maka perasaan yang ditunjukan semakin dalam. Pekerja di Kyuukamura Kishu Kada juga menyadari bahwa Aisatsu dan Ojigi merupakan budaya komunikasi Jepang yang sangat penting dan berperan penting terutama di Kyuukamura Kishu Kada.

Kata Kunci: Budaya Komunikasi, Aisatsu, Ojigi, Fenomenologi.

Abstract

The purpose of the study was to find out about the communication culture of Japanese society, namely verbal Aisatsu and non-verbal Ojigi communication practiced by hotel workers Kyuukamura Kishu Kada using phenomenology studies. This research used a qualitative descriptive. The results found in this study are the Aisatsu verbal communication culture practiced by Kyuukamura Kishu Kada workers varies depending on the interlocutor and the situation. For non-verbal culture, Ojigi is done to show apologies, thanks, and respect for the other person. The more bent in doing Ojigi, the feelings shown are getting deeper. Employees at Kyuukamura Kishu Kada also realize that Aisatsu and Ojigi are very important Japanese communication culture and play an important role, especially in Kyuukamura Kishu Kada.

Keyword: Communication Culture, Aisatsu, Ojigi, Phenomenology.

  • 1.    Pendahuluan

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur rumit termasuk seperti cara berpakaian, cara berkomunikasi, sistem politik dan sistem agama, Bahasa dan karya seni. Soemardi & Soemardjan (1964 dalam Rosana 2017:18) menerangkan bahwa suatu kebudayaan merupakan buah atau hasil karya cipta & rasa masyarakat. Suatu kebudayaan memang mempunyai hubungan yang amat erat dengan perkembangan yang ada di masyarakat.

Salah satu unsur yang paling melekat dalam budaya adalah bahasa dan cara

berkomunikasi. Bahasa dan cara berkomunikasi merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Tubis (1996:236) mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Pernyataan ini beranggapan bahwa perbedaan cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi Oleh karenanya, kelompok – kelompok manusia di berbagai tempat memiliki Bahasa dan cara komunikasi yang khas serta berbeda satu dengan yang lainnya.

Pada saat ini Sektor pariwisata Jepang sedang berkembang pesat terutama pada perluasan industri perhotelan. Menurut survey terbaru yang dilakukan oleh Mordor Intellegince pada tahun 2020, Jepang telah mencatat jumlah pengunjung tertinggi dari tahun ke tahun dan negara tersebut memperluas industri perhotelannya untuk mengakomodasi peningkatan jumlah pengunjung. Dengan ruang yang terbatas untuk pengembangan, negara ini telah memperkenalkan konsep hotel dengan pelayanan yang sangat baik disertai dengan konsep yang khas seperti Ryokan dan kapsul, Sektor ini sudah menyumbang sekitar USD 132 juta pada tahun 2018. Daerah Tokyo yang merupakan salah satu kota besar di negara ini, telah mencatat peningkatan jumlah wisatawan yang masuk, dengan sekitar 14,12 juta pada tahun 2018, yang hampir dua kali lipat dari jumlah yang diterima pada tahun 2013.

Salah satu bentuk budaya komunikasi dan pelayanan yang diterapkan pada bisnis dan industri terutama pada sektor hotel jepang seperti Aisatsu dan Ojigi merupakan salah satu alasan pelayanan dan hotel terkenal dan banyak dicap baik oleh pengunjungnya. Dari berbagai macam cara berkomunikasi dalam budaya Jepang, penulis mengambil contoh cara berkomunikasi Aisatsu dan Ojigi sebagai salah satu budaya komunikasi yang sering dipraktekan oleh orang Jepang terutama pada industri pariwisata dan perhotelan. Aisatsu merupakan budaya komunikasi verbal dasar orang Jepang yang diterapkan oleh masyarakat Jepang dan diajarkan sejak kecil, sedangkan Ojigi adalah salah satu budaya komunikasi non-verbal orang Jepang yang biasanya digunakan untuk berterimakasih dan meminta maaf. Budaya Aisatsu dan Ojigi ini juga yang menjadi salah satu faktor pendukung mengapa Jepang dikenal oleh dunia dengan salah satu negara dengan masyarakat yang beretika baik dan sopan.

Berdasarkan pada latar belakang yang penulis paparkan, permasalahan dalam penelitian ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

Bagaimana budaya komunikasi Aisatsu dan Ojigi yang dipraktekan di Hotel Kyuukamura Kishu Kada?

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan Bagaimana budaya komunikasi Aisatsu dan Ojigi yang dipraktekan di Hotel Kyuukamura Kishu Kada sehingga nantinya dapat dipahami bagaimana budaya komunikasi Aisatsu dan Ojigi ini dipraktekan dan bagaimana pekerja Hotel Kyuukamura Kishu Kada ini memahami budaya Aisatsu dan Ojigi.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (Moleong 2015:4) Metodologi Kualitatif adalah tahapan dalam penilitian yang akan menghasilkan data berupa kalimat yang bersifat mendeskripsikan objek yang akan diamati, baik dalam bentuk lisan ataupun tertulis. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini pastinya akan meliputi sebuah pengamatan, penelaahan dokumen, ataupun wawancara (Moleong, 2015:9).

Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian deskriptif yang berusaha mencari jawaban secara mendasar mengenai sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya maupun munculnya suatu fenomena atau kejadian tertentu. Terdapat beberapa definisi tentang metode penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Denzin dan Lincoln (dalam Brady 2015) penelitian kualitatif didefinisikan sebagai metodologi yang menyediakan alat-alat dalam memahami arti secara mendalam yang berkaitan dengan fenomena yang kompleks dan prosesnya dalam praktik kehidupan social. Pemahaman lain juga diutarakan oleh Strauss dan Corbin (2017) bahwa penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang hasil temuannya tidak bisa diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. selanjutnya, Oun dan Bach (2014) menyebut metode kualitatif merupakan metode untuk menguji dan menjawab pertanyaan tentang bagaimana, dimana, apa, kapan, dan mengapa seseorang bertindak dengan cara-cara tertentu pada permasalahan yang spesifik.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan 3.1 Aisatsu

Aisatsu terdiri dari dua buah kanji, yaitu (ai) dan (satsu). Yang pertama memiliki arti seperti “mendorong” dan “melakukan pendekatan”. Kanji kedua juga mengandung arti yang mirip; "Mendekati, dekat" dan "menempatkan A antara B dan C" (Okuyama, 1981). Juga jika Anda mencari "Aisatsu " dalam kamus bahasa Jepang biasa, Anda akan menemukan kata-kata seperti "Persahabatan" dan "rasa hormat". Dari sini Anda mungkin sampai pada kesimpulan logis bahwa Aisatsu itu tindakan sosial (Haga, 1988). Kapan kata "Aisatsu " pertama kali diperkenalkan ke bahasa Jepang tidak diketahui. Para ilmuwan yakin bahwa ini berasal dari Buddhisme Zen dan oleh karena itu diperkirakan Aisatsu diperkenalkan sekitar periode Kamakura abad pertengahan (1185– 1333 M).

Selama abad pertengahan, Aisatsu dan "jigi" (辞 儀) sama- sama digunakan untuk menggambarkan tindakan sopan. Jigi aslinya berarti “menolak”atau“untuk menolak” tetapi selama periode itu, Jigi adalah kata untuk menggambarkan perilaku yang benar saat mendekati orang lain. Contohnya adalah ketika menundukkan kepala dan sedikit membungkuk untuk menyapa orang lain (Okuyama, 1981).

Warga Jepang menggunakan ekspresi Aisatsu setiap hari tanpa menyadarinya. Hal ini karena sudah begitu tergabung dalam masyarakat saat ini. Saat berbicara mengenai istilah Aisatsu, umumnya membahas tentang aspek linguistik (Suzuki, 1981). Suzuki mengingatkan bahwa bagaimanapun, dengan hal melakukan itu masyarakat berisiko mengabaikan substansi penting dari Aisatsu karena Aisatsu tidak hanya tentang aspek linguistik namun juga menyangkut keseluruhan pola perilaku.

Menurut Suzuki, Aisatsu dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan fungsinya.

  • 1.    Jenis Aisatsu yang biasa digunakan antara teman dan keluarga seperti “yoo” (hai).

Jika memperhatikan aturan umum mengenai jenis ini, kita akan melihat bahwa bentuk kata itu pendek dan kata-kata itu sendiri tidak memiliki arti yang konkret. Tindakan ini sering kali disertai dengan tindakan Aisatsu seperti mengangguk untuk melengkapi seluruh tindakan Aisatsu. Hubungan yang dimiliki dengan lawan bicara biasanya adalah salah satu teman baik atau kawan (仲 間, nakama) dan jenis Aisatsu ini menegaskan bahwa pembicara dan lawan bicara termasuk dalam kelompok sosial

umum yang sama. Suzuki mengklaim bahwa satu-satunya fungsi tipe ini adalah phatic. Phatic adalah Fungsi sosial bahasa, digunakan untuk menunjukkan hubungan antar orang, atau untuk membangun suasana yang menyenangkan (Crystal, 1992: 296) yang artinya hanya berfungsi untuk melakukan suatu tugas sosial. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian orang lain. Ungkapan lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah ungkapan seperti “oi oi” (hey!) Dan “moshi moshi” (di sini: permisi) (Suzuki, 1981).

  • 2.    Grup ini berisi ungkapan seperti "ohayou (gozaimasu)", "konnichiwa" (selamat siang) dan "sayonara " (selamat tinggal). Kata yang memiliki arti mirip dengan Bahasa Indonesia "selamat tinggal" dan "bagaimana kabarmu ". Ciri-ciri kelompok ini adalah kata-kata itu sendiri mengandung makna tertentu namun tujuannya bukan untuk menyampaikannya. melainkan ekspresi dikumpulkan, kemudian semuanya disatukan pada formulasi standar yang menyampaikan pesan. Contohnya. Jika seseorang bertanya "bagaimana kabarmu",, terlepas dari bagaimana perasaan lawan bicara, jawaban standarnya adalah, "baik, terima kasih". Inilah yang oleh para antropolog disebut sebagai "fungsi formal yang diritualkan". Ini menyiratkan bahwa arti sebenarnya dari kata tersebut memudar dan menjadi acuh tak acuh. Namun dalam konteks tertentu, makna asli dari kata-kata tersebut dapat dikemukakan. Sebagai contoh, Anda bisa setengah bercanda mengucapkan "ohayou" (selamat pagi) kepada teman yang sedang duduk setengah tertidur di depan umum. Dalam masyarakat Jepang tidak jarang pula kelompok ekspresi Aisatsu ini mengiringi dengan menundukan kepala (Suzuki, 1981).

  • 3.    Kelompok ketiga adalah apa yang disebut Suzuki sebagai "go-aisatsu". Untuk menandai sifat formalnya, awalan sopan "go" ditambahkan ke "aisatsu". Kelompok Aisatsu ini dapat digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda, pada pemakaman sedih maupun dalam doa Shinto yang bahagia. Ini juga biasa digunakan pada jamuan makan, pernikahan dan wisuda. Dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya, Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa go-Aisatsu umumnya terdiri dari ekspresi yang lebih panjang. Walaupun kelompok yang terdapat Aisatsu formal memiliki himpunan umum, dan ekspresi formal, karena isinya yang rumit, mereka tidak definitif (Suzuki, 1981). Saat menggunakan go-Aisatsu, konten yang sesuai bukanlah satu-satunya hal yang harus diperhatikan. namun bagaimana kata-kata yang

berbeda mempengaruhi ekspresi dalam arti keindahan atau bagaimana kata-kata itu menunjukkan arti yang berbedapun perlu diperhatikan. Nada dan konteks kata dan ungkapan, serta intonasi dan urutan kata merupakan elemen penting untuk menarik perhatian pendengar. Dengan kata lain, konten go-aisatsu dan juga keindahan (beautification) sangatlah penting. Sebelumnya telah disebutkan bagaimana Aisatsu bisa menjadi "phatic". Suzuki mengatakan bahwa go-aisatsu di sisi lain lebih puitis daripada phatic (Suzuki, 1981). Ide juga menyebutkan bahwa dalam konteks yang berbeda go-aisatsu dapat diartikan sebagai "perkenalan diri", "pidato publik atau formal" atau "selamat dan belasungkawa". Juga pidato pembukaan dan penutupan dari berbagai upacara, kongres dan konvensi dapat disebut sebagai go-aisatsu (Ide, 2005).

  • 3.2    Ojigi

Ojigi adalah kebiasaan membungkukkan badan yang biasa dilakukan oleh orang Jepang, sebelum membungkukkan badan biasanya terlebih dahulu mengucapkan salam. Asal usul kata Ojigi etimologinya berasal dari kata jigi 「時宜」 kemudian tulisannya berubah menjadi jigi 「辞儀」 pada periode Edo yang memiliki arti harapan yang baik saat berbuat sesuatu. Adapun pada periode Heian, Ojigi sering dipraktekkan dengan arti yang sesungguhnya yaitu membungkuk badan, kemudian pada periode Kamakura dan Muromachi 4 arti dari kata Ojigi menjadi berbagai macam yaitu permintaan maaf, ucapan terima kasih dll) .

Tata cara Ojigi yang dilakuka berbeda-beda, tergantung pada jenis kelamin dan berapa derajat badan dibungkukkan. Berdasarkan jenis kelamin, secara umum laki-laki akan melakukan Ojigi dengan cara meletakkan kedua tangan di samping, sedangkan perempuan meletakkan kedua tangan di paha. Terdapat jenis-jenis Ojigi berdasarkan berapa derajat diperkirakan badan harus dibungkukkan (Fukuda dalam Roza, 2012: 5961; Koichi: 2010). Untuk penjelasan mengenai penggunaannya selain diambil dari Roza, juga diambil.

  • 1.    Eshaku atau disebut juga membungkuk sedikit. Dilakukan dengan cara membungkukkan badan ± 15 derajat. Cara membungkuk ini dilakukan sekitar 1-2 detik, biasanya digunakan untuk memberi salam kepada orang yang dikenal tapi tidak akrab.Selain itu, juga biasanya digunakan oleh atasan untuk membalas tindakan Ojigi

yang dilakukan oleh bawahannya.

  • 2.    Keirei atau disebut juga membungkuk penuh hormat. Keirei dilakukan dengan cara membungkukkan badan ± 30 derajat. Cara membungkuk ini biasanya digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada atasan atau kepada orang yang umurnya lebih tua. Selain itu, Keirei juga biasa digunakan pada upacara resmi, permintaan maaf yang dalam, serta ungkapan formal untuk menyatakan rasa terimakasih.

  • 3.    Saikeirei atau disebut juga cara membungkuk untuk menyembah. Saikeirei dilakukan dengan membungkukkan badan ± 45 derajat. Cara membungkuk ini digunakan untuk menunjukkan perasaan menyesal yang sangat ketika melakukan suatu kesalahan. Ini juga biasanya digunakan untuk menunjukkan rasa hormat yang sangat besar kepada orang dengan jabatan atau status sosial yang sangat tinggi, seperti Kaisar Jepang. Pada awalnya Ojigi jenis ini hanya digunakan kepada dewa dan kaisar, tetapi sekarang sering terlihat dalam berbagai situasi formal

  • 3.3    Aisatsu dan Ojigi Di Hotel Kyuukamura Kishu Kada

Setelah diadakan penelitian tentang budaya komunikasi verbal Aisatsu dan nonverbal Ojigi,di hotel Kyuukamura Kishu Kada memiliki kesimpulan bahwa Aisatsu yang dipraktekan di hotel Kyuukamura Kishu Kada merupakan budaya komunikasi yang digunakan baik para pekerja ataupun pengunjung untuk mengungkapkan ekspresi atau tujuan tertentu. budaya komunikasi verbal Aisatsu yang dipraktekan di Hotel Kyuukamura Kishu Kada penggunaannya dapat dibagi berdasarkan lawan bicara dan wakstu serta situasi penggunaannya. Berdasarkan lawan bicaranya Aisatsu di hotel Kyuukamura Kishu Kada dibagi 3 yaitu:

  • 1.     Pekerja ke sesama pekerja

  • 2.    Pekerja ke pengunjung

  • 3.    Pengunjung ke Pekerja

Sedangkan berdasarkan waktu dan situasinya komunikasi Aisatsu di hotel Kyuukamura Kishu Kada dibagi menjadi 17 yaitu:

  • 1.    Aisatsu untuk Pertama Kali bertemu.Di Hotel Kyuukamura Kishu Kada mengucapkan salam saat pertama kali bertemu dengan orang merupakan suatu hal yang sangat melekat dan sudah seperti kewajiban tidak tertulis. Aisatsu yang

diucapkan biasanya adalah hajimemashite dan yoroshiku onegashimasu (senang bertemu dengan anda/ mohon kerjasamanya)

  • 2.    Aisatsu bertemu kembali setelah diberi bantuan. Pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada menjunjung tinggi budaya saling menghormati, ini dibuktikan dengan kebiasaan para pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada yang sering mengucapkan salam setiap saat, kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun, seperti mengucapkan salam pada saat bertemu kembali terutama setelah diberi bantuan. Aisatsu ini digunakan hanya diantara para pekerja dan tidak digunakan pada tamu atau pelanggan yang datang.

  • 3.    Aisatsu Bertemu pada Kesempatan Khusus. Pekerja Hotel Kyuukamura Kishu Kada seringkali mengucapkan salam ataupun memberikan ucapan selamat di berbagai kesempatan. Masyarakat Jepang memiliki beberapa ucapan selamat yang disebut dengan shukuji ( しゅくじ ), beberapa di antaranya adalah ucapan selamat yang biasanya diucapkan pada situasi khusus seperti saat pertama kali bertemu di awal tahun

  • 4.    Aisatsu kepada Orang yang Akan Pergi. Pada saat pergi untuk melakukan suatu pekerjaan, pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada melakukan Aisatsu untuk mnunjukan rasa kekhawatiran dan kepeduliannya.

  • 5.    Aisatsu pada Saat Berpisah. Salam perpisahan atau yang biasa disebut dengan ‘wakare no Aisatsu’ dalam bahasa Jepang merupakan cara salah satu cara untuk mengekspresikan ungkapan salam ketika akan berpisah. Ada beberapa kalimat yang diucapkan oleh pekerja Hotel Kyuukamura Kishu Kada perpisahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, misalnya saat akan berpisah sementara atau untuk waktu yang lama.

  • 6.    Aisatsu Permintaan Maaf. Ketika melakukan hal yang menyusahkan orang lain atau melakukan kesalahan dalam mengerjakan, Para pekerja Hotel Kyuukamura Kishu Kada akan langsung melakukan permintaan maaf atau yang biasa disebut Aisatsu permintaan maaf. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat Jepang yang diterapkan di Hotel Kyuukamura Kishu Kada agar disiplin dan selalu menjunjung tinggi kejujuran dan menghormati pengunjung atau tamu yang datang.

  • 7.    Aisatsu Menyatakan Terima Kasih. Di Hotel Kyuukamura Kishu Kada frasa salam untuk mengekspresikan terima kasih juga cukup beragam, yang biasanya digunakan

adalah arigatou gozaimahita dan doumo.

  • 8.    Aisatsu Balasan atau Jawaban untuk Ungkapan Terima Kasih dan Permintaan Maaf. Untuk membalas permintaan maaf atau ucapan terimakasih yang diucapkan lawan bicara, Pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada biasanya melakukan Ojigi disertai dengan mengucapkan kata-kata tertentu seperti iie dan douitashimashite.

  • 9.    Aisatsu Berdasarkan Waktu. Yaitu Aisatsu yang biasanya digunakan oleh pekerja ke pekerja dan pekerja ke pengunjung di Hotel Kyuukamura Kishu Kada yang berhubungan dengan waktu.

  • 10.    Aisatsu Meminta Waktu Seseorang Dalam budaya komunikasi verbal Aisatsu di Hotel Kyuukamura Kishu Kada, ada beberapa frasa salam yang digunakan pada saat memasuki ruangan orang lain sebagai dan meminta sedikit waktu terhadap orang yang berada di tuan ruang tersebut.biasanya menggunakan kata shitsurei shimasu.

  • 11.    Aisatsu Ketika menunjukan ekspresi Berbahagia Aisatsu ini diucapkan kepada orang yang sedang mengalami hal yang menggembirakan, misalnya jika salah satu pekerja memberitahu pernikahannya, rekan kerja atau pengunjung berulang tahun, dan lainnya, fungsinya sebagai Aisatsu ucapan selamat

  • 12.    Aisatsu Mengenai Kabar. Aisatsu ini merupakan Aisatsu yang digunakan pada saat baru berjumpa kembali setelah sekian lama tidak bertemu.

  • 13.    Aisatsu Menjawab Pertanyaan tentang Kabar. Yaitu Aisatsu yang biasanya digunakan oleh pekerja Hotel Kyuukamura Kishu Kada untuk menjawab pertanyaan tentang kabar

  • 14.    Aisatsu Menyatakan Bela Sungkawa. yaitu Aisatsu yang biasa digunakan pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada saat menyatakan bela sungkawa kepada orang yang ditimpa musibah.

  • 15.    Aisatsu Ketika Selesai Melakukan Pekerjaan yang Sulit. Di Hotel Kyuukamura Kishu Kada terdapat kata-kata salam yang digunakan untuk berbicara sehari-hari seperti berterima kasih atas kerja keras yang sudah dilakukan, biasanya para pekerja mengucapkan otsukaresama deshita.

  • 16.    Aisatsu Menawarkan Makanan. Yaitu Aisatsu yang biasa digunakan pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada saat menawarkan makanan

  • 17.    Aisatsu Menerima Makanan dan Minuman. Ketika menerima makanan pekerja dan pengunjung di hotel Kyuukamura Kishu Kada biasanya mengucapkan Aisatsu seperti

ittadakimasu.

Aisatsu yang digunakan antara pekerja dengan pekerja menyesuaikan terhadap lawan bicara, jika lawan bicara adalah atasan maka penggunaan Aisatsu cenderung formal atau menggunakan go-Aisatsu sedangkan jika lawan bicara adalah rekan atau bawahan maka Aisatsu yang digunakan terkadang tidak terlalu formal. Untuk Aisatsu yang digunakan ketika berbicara dengan pengunjung selalu menggunakan Go-Aisatsu atau Aisatsu yang sangat formal.berbeda dengan Aisatsu yang diucapkan oleh pengunjung ke pekerja yang tidak terlalu formal dan terkadang tidak usah diucapkan.

Ojigi merupakan salah satu budaya komunikasi non-verbal yang dipraktekan di Hotel Kyuukamura Kishu Kada. Ojigi ini dilakukan dengan membungkukkan badan dan pandangan mata ke bawah. Berdasarkan fungsi penyampaiannya, Ojigi di Hotel Kyuukamura Kishu Kada dibagi 3 yaitu:

  • 1.    Untuk menyampaikan permintaan maaf.

  • 2.    Untuk menyampaikan rasa terimakasih.

  • 3.    Untuk menujukan rasa hormat.

Berdasarkan seberapa banyak sudut membungkuknya, komunikasi non-verbal Ojigi dibagi menjadi 3 bagian yaitu

  • 1.    Eshaku atau atau membungkuk sedikit.

  • 2.    Keirei atau membungkuk sedang

  • 3.    Saikeirei atau disebut juga cara membungkuk untuk menyembah

Ojigi yang dipraktekan di Hotel Kyuukamura Kishu Kada selalu disertai dengan komunikasi verbal Aisatsu berdasarkan maksud dan situasi saat mempraktekannya. Pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada meyakini bahwa melakukan Aisatsu disertai Ojigi akan lebih mudah membuat lawan bicara memahami dan menerima maksud dari komunikasi yang diharapkan

  • 4.    Simpulan

Aisatsu dan ojigi merupakan budaya komunikasi Jepang yang juga diterapkan oleh pekerja dan pengunjung hotel Kyuukamura Kishu Kada. Budaya aisatsu yang digunakan berbeda tergantung pada situasi dan lawan bicara. Hal ini dilakukan karena penyampaian

maksud komunikasi dan ekspresi yang ingin ditunjukan berbeda. Untuk pengunjung biasanya para pekerja hotel memakai go-aisatsu berbeda ketika dengan ketika berbicara dengan sesama pekerja, begitu pula ketika melakukan ojigi. Para pekerja Kyuukamura Kishu Kada biasanya menggunakan ojigi dengan menunduk lebih dalam kepada pengunjung untuk menunjukan rasa hormat, terimakasih, ataupun meminta maaf.

Para Pekerja di Hotel Kyuukamura Kishu Kada melakukan budaya komunikasi verbal aisatsu dan ojigi ini secara sadar dan meyakini bahwa budaya komunikasi aisatsu dan ojigi ini merupakan salah satu budaya komunikasi Jepang yang berperan penting terutama dalam menunjukan hospitality kepada pengunjung yang datang.

  • 5.    Daftar Pustaka

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Prosedur, Teknik dan Teori Grounded. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997

Crystal, D. 1992. An Encyclopaedic Dictionary of Language and Languages. Oxford: Blackwell Publishers.

Haga, Y. et al. 1988. Gengoseikatsu. In Kindaichi, H., Hayashi, O. & Shibata, T. (edds), Nihongohyakkajiten (An Encyclopaedia of the Japanese Language). Tokyo: Taishukan Publishing Company.

Ide, R. 1998. Sorry for your kindness‟: Japanese interactional ritual in public discourse. Journal of Pragmatics 29. 509 – 529.

Ide, R. 2007. Aisatsu. Handbook of Pragmatics Online. John Benjamins Publishing Company.

Koichi. 2010. Bowing in Japan (Japanese Etiquette). Diakses dari http://www.tofugu.com/2010/07/12/bowing-in-japanjapanese-etiquette/#    pada

tanggal 6 Juni 2021.

Moleong, Lexy J. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Okuyama, M. et al. (1981). Aisatsu to kotoba. Kotoba shiriizu 14. Tokyo: Henshuu Bunkachou.

Rosana, Ellya. 2017. “Dinamisasi Kebudayaan Dalam Realitas Sosial”. Jurnal. Fakultas Usluhuddin Dan Studi Agama UIN Raden Intan Lampung.

Roza, Ilvan. 2012. “Ojigi sebagai Alat Komunikasi”. Artikel dalam Jurnal Bahasa dan Seni Vol.13 No.1 Tahun 2012, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang.

Suzuki, T. 1981. Aisatsu to kotoba. Kotoba shiriizu 14. Tokyo: Henshuu Bunkachou.

Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication:Konteks-konteks Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya.

185