SAKURA VOL. 2. No. 1 Pebruari 2020

DOI : 10.24843/JS.2020.v02.i01.p05

p-ISSN: 2623-1328

e-ISSN :2623-0151

Ujaran Penolakan dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Bali

Ni Made Mia Septiarini Putri*, Ngurah Indra Pradhana, I Nyoman Rauh Artana

PS Sastra Jepang, FIB, Universitas Udayana, Bali, Indonesia [miaputri27@gmail.com], [indra_pradhana@unud.ac.id], [rauhartana@gmail.com]

Abstract

The study, entitled "Refusal in Japanese and Balinese" aims to find out the refusal strategies in Japanese and Balinese contained in Japanese novels Narataaju and Balinese novels Sentana.The theory used in this study is the theory of Refusal Strategy according to Beebe et al. (1990) and Theory of Determination of Politeness Factors according to Mizutani and Mizutani (1987). This research uses descriptive analysis method in presenting data.The analysis shows that in Narataaju's novel there are three strategies of refusal. Three data with direct refusal strategy, five data with indirect refusal strategy, and two data with mixed refusal strategy. Factors influencing refusal in Japanese are social relations and intimacy. There are six forms of rejection strategies in Japanese. In the Balinese novel Sentana there are also three strategies of refusal. Two data with direct refusal strategy, four data with indirect refusal strategy and two data with mixed refusal strategy. Factors influencing refusal in Balinese are situation, social status, and age. From the results of the study found two similarities and one difference in the refusal in Japanese and Balinese.

Kata kunci: refusal, strategy, factor

要旨

本研究の題名は「日本語とバリ語における断り表現」である。本研究の目的は 島本理生よりナラタージュとI Made Sugianto よりSentanaでみられる断り表現のスト ラテジーとその要因を分析した。本研究では Beebe他(1990)の断りストラテジーと MizutaniMizutaniの礼儀決定要因の理論を使用した。本研究に用いたデータ手法は 記述的分析である。分析の結果、「ナラタージュ」では三つの断りストラテジーが使 用していることが分かった。三つのデータは直接的断り、五つのデータは間接的断り、 そして二つのデータは直接的断りと間接的を使用したのがみられました。日本語にお ける断り表現の要因は親密感と社会的関係である。それに続き、「Sentana」にも三つ の断りストラテジーが使用していることが分かりました。二つのデータは直接的断り、 四つのデータは間接的断り、そして二つのデータは直接的断りと間接的断りが合わせ た結果が明らかになった。バリ語における断り表現の要因は事情、社会的の立場と年 齢である。分析の結果日本語とバリ語の断り表現は二つの共通点と一つの相違点が明 らかになった。

キーワード:断り表現、ストラテジー、要因

  • 1.    Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial pasti memerlukan komunikasi dalam hidupnya untuk menyampaikan ide atau gagasannya kepada individu lain. Alat komunikasi yang paling sempurna bagi manusia adalah bahasa. Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan acak yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang dimiliki bersama (Dardjowidjojo, 2005:16). Menurut Rani dkk.(2006:157) fungsi primer dari bahasa adalah sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau makna dari penutur kepada mitra tutur. Dengan kata lain pesan atau makna yang disampaikan dari penutur kepada mitra tutur ini akan dipengaruhi oleh budaya yang dimiliki masing-masing penutur dan mitra tutur.

Manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan. Salah satu ilmu yang mempelajari bahasa dalam lingkungan sosial ialah sosiolinguistik. Secara sederhana, sosiolinguistik dapat diartikan sebagai ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2010:2). Dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaiannya tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat atau dipandang secara sosial (Aslinda dan Syafyahya, 2010:6). Dari pernyataan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa sebagai makhluk sosial seseorang harus memperhatikan berbagai macam faktor dalam berujar. Masyarakat Jepang dan Bali pun tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Faktor sosial ini menyebabkan seseorang berhati-hati saat mengujarkan sesuatu. Salah satu ujaran yang harus memperhatikan faktor sosial tersebut ialah ujaran penolakan. Hubungan jouge kankei atau hubungan hierarki antara atasan dan bawahan, juga masih adanya kasta dalam masyarakat Bali menyebabkan adanya berbagai macam strategi ujaran penolakan yang dilakukan oleh masyarakatnya.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan pokok permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah strategi ujaran penolakan dalam bahasa Jepang dan bahasa Bali?

  • 2.    Bagaimanakah faktor yang memengaruhi ujaran penolakan dalam bahasa Jepang dan bahasa Bali?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Terdapat dua tujuan dalam penelitian ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai kajian dalam ilmu sosiolinguistik. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi ujaran penolakan dalam bahasa Jepang dan bahasa Bali beserta faktor yang memengaruhinya.

  • 4.    Metode Penelitian

Objek penilitian adalah novel berbahasa Jepang Narataaju karya Shimamoto Rio dan novel berbahasa Bali Sentana karya I Made Sugianto. Data dikumpulkan dengan metode simak dan teknik catat. Metode simak adalah menyimak penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan, dan teknik catat untuk mencatat penggunaan yang relevan untuk penelitian (Mahsun, 2012: 92, 94). Teori yang digunakan untuk

menganalisis adalah teori strategi penolakan oleh Beebe, dkk. (1987) dan teori faktor kesantunan oleh Mizutani dan Mizutani (1987). Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif analisis (Djajasudharma, 2006). Hasil analisis disajikan dengan metode informal yaitu melalui kata-kata biasa bukan dalam bentuk began atau angka (Sudaryanto, 2015:241).

  • 5.    Hasil Penelitian

Bagian ini membahas hasil penelitian ujaran penolakan dalam bahasa Jepang dan bahasa Bali yang terdapat dalam novel Narataaju karya Shimamoto Rio dan novel Sentana karya I Made Sugianto.

  • 5.1    Ujaran Penolakan dalam Bahasa Jepang

Dalam novel berbahasa Jepang Narataaju karya Shimamoto Rio terdapat data dengan ujaran penolakan strategi langsung, data dengan ujaran penolakan strategi tidak langsung dan data dengan ujaran penolakan strategi campuran.

  • 5.1.1    Ujaran Penolakan Strategi Langsung

  • (1)    私は肩で呼吸をしながら強く涙を拭った。それから、帰ります、と 告げた。

葉山先生 :送ってい

泉    :いいです。送らなくて

葉山先生 :けど、また帰りに変な奴がいたら

そう言って彼は顔を上げると駅へ行く道のほうを見た。もうすっか り人の通りもなくて静まり返っていた。

ナラタージュ. 2017:330)

Watashi wa kata de kokyuu wo shinagara tsuyoku namida wo futta. Sorekara, kaerimasu, to tsugeta.

Hayama Sensei  : Okuttei

Izumi            : ii desu. Okuranakute.

Hayama sensei :kedo, mata kaeri ni hen na yatsu ga itara

Sou itte kare wa kao wo ageru to eki e iku michi no hou wo mita. Mou sukkari hito no toori mo naku shizumari kaetta.

(Narataaju. 2017:330)

Aku bernafas dengan berat sambil mengusap air mataku dengan kuat. Setelah itu aku mengatakan, aku ingin pulang

Guru Hayama : akan kuanta

Izumi           : tidak usah. Tidak usah diantar

Guru Hayama : Tapi, kalau saat kamu pulang ada orang aneh lagi

Dia mengatakan itu, lalu mengangkat wajahnya dan melihat ke jalan menuju stasiun. Jalan itu sangat sepi dan sudah tidak ada tanda-tanda orang akan lewat

Pada data (1) terjadi penolakan langsung atas penawaran antara Guru Hayama dan Izumi. Izumi yang bertengkar dengan Ono pergi ke rumah Guru Hayama dan bertemu dengan Guru Hayama yang baru saja datang dari berbelanja. Izumi pun menceritakan bahwa ada seorang pria aneh yang mengikutinya dan karena itu Izumi menelepon Ono, tetapi usaha Izumi untuk menenangkan diri dengan menelpon Ono berujung pada pertengkaran. Izumi yang tidak ingin kembali ke apartemennya lalu memutuskan untuk pergi ke rumah Guru Hayama. Mendengar hal itu Guru Hayama menawarkan untuk mengantar Izumi pulang tetapi Izumi menolak tawaran Guru Hayama tersebut. Izumi menolak dengan strategi penolakan langsung kemauan negatif “Ii desu. Okuranakute” yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Tidak usah. Tidak usah

diantar” . “Ii” dalam data ini bukan berarti bagus atau baik, tetapi bermakna negasi tidak usah atau tidak perlu. Izumi melengkapi penolakannya dengan kata bentuk negatif “okuranakute” atau “tidak usah diantar” dalam bahasa Indonesia. Walaupun Izumi sudah bukan murid dari Guru Hayama, Izumi masih menghormati Guru Hayama dan menuturkan penolakannya dalam bahasa sopan yang ditandakan dengan penggunaan “desu” (Mizutani dan Mizutani 1991:59) . Izumi juga mengatakan kemauan negatif yaitu “okuranakute” yang berarti tidak usah diantar. Hubungan sosial dan status sosial Izumi sebagai orang yang berkedudukan lebih rendah menjadi faktor yang memengaruhinya untuk menuturkan penolakannya dengan bahasa yang sopan yang ditandai dengan penggunaan desu.

  • 5.1.2    Ujaran Penolakan Strategi Tidak Langsung

  • (2)    葉山先生  :みんな、僕の車で送るから。全員は乗れないから、

工藤たちはまだ残っていてくれるかな。そうしたらまた 戻ってくるから。

いえ、と小野君が答えた。彼はまだ私の方に手を置いていて、その 手がかすかに強さと重さを増やしたような気がした。

小野  :俺たちは大丈夫です、自分たちで帰りますから。

(ナラタージュ. 2017:339)

Hayama Sensei : minna, boku no kuruma de okuru kara. Zennin wa norenai kara, kudou tachi wa mada nokotteite kureru kana. Sou shitara mata modotte kuru kara.

Ie, to ono kung a kotaeta. Kare wa mada watashi no hou ni oiteite, sono te ga kasuka ni tsuyosa to omosa wo fuyashita you na ki ga shita

Ono            : oretachi wa daijoubu desu, jibun tachi de

kaerimasu.

(Narataaju. 2017:339)

Guru Hayama : Semuanya, akan kuantar dengan mobilku. Karena

tidak bisa sekaligus, apakah Kudou dan yang lainnya bisa tinggal dulu. Kalau bisa aku akan kembali lagi.

Tidak, jawab Ono. Dia masih meletakkan tangannya di arahku, aku merasakan kekuatan dan berat dari tangan itu bertambah.

Ono            : Kami baik-baik saja, kami akan pulang sendiri.

Pada data (2) terjadi penolakan atas penawaran Guru Hayama kepada Ono. Penawaran ini terjadi saat Ono dan Izumi akan pulang setelah melihat keadaan Yuzuko yang melakukan percobaan bunuh diri sehingga dirawat di rumah sakit. Setelah melihat keadaan Yuzuko dan mendengar cerita dari Iori serta ibu Yuzuko, Guru Hayama pun menyarankan agar mereka pulang dahulu dan beristirahat. Guru Hayama menawarkan untuk mengantar Ono dan Izumi pulang tetapi karena mobil Guru Hayama kecil, ia meminta Ono dan Izumi untuk menunggu terlebih dahulu di rumah sakit sementara ia mengantar murid-muridnya yang lain. Ono menolak tawaran dari Guru Hayama dengan penolakan strategi tidak langsung pernyataan alasan, sebab dan penjelasan seperti pada kalimat “oretachi wa daijoubu desu, jibuntachi de kaerimasu” yang berarti “kami baik-baik saja, kami akan pulang sendiri”. Ono memberikan alasan bahwa ia dan Izumi baik-baik saja dan mereka bisa pulang sendiri tanpa perlu diantar oleh Guru Hayama. Status sosial antara Guru Hayama dan Ono menyebabkan Ono mengutarakan penolakannya dalam bahasa yang sopan yang dapat dilihat pada penggunaan bentuk “masu” dan “desu” (Mizutani dan Mizutani, 1991:59).

  • 5.1.3    Ujaran Penolakan Strategi Campuran

  • (3)    母  :私はお父さんについていこうと思って。あの人、仕事はよ

くても生活のことなんて、一人だったらなにもできないでしょ う。

泉 :いいけど、私は一緒に行けないよ。大学もまだ三年間ある し、ドイツ語なんてさっぱりわからないし。

私は濡れたティーカップの縁を親指で拭いながら答えた。

(ナラタージュ. 2017:8)

Haha     : watashi wa tou-san ni tsuite ikou to omotte. Ano hito,

shigoto ga yokutemo seikatsu no koto nante, hitori dattara nanimo dekinai deshou.

Izumi : ii kedo, watashi wa issho ni ikenai yo. Daigaku mo mada sannen aru shi, doitsugo nante sappari wakaranai shi.

Watashi wa nureta tii kapppu no en wo oyayubi de nuguinagara kotaeta.

(Narataaju. 2017:8)

Ibu      : aku berpikir untuk ikut dengan ayahmu. Dia itu memang

bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik tapi tentang kehidupan sehari-hari kalau sendirian tidak bisa melakukan apa-apa kan.

Izumi : boleh saja, tapi aku tidak bisa pergi bersama ya. Kuliah juga masih tersisa tiga tahun, bahasa Jerman pun sama sekali tidak mengerti.

Aku menjawab sambil membersihkan pinggiran cangkir teh yang basah dengan ibu jariku.

Dalam data (3) terdapat penolakan strategi campuran yaitu penolakan strategi langsung kemauan negatif dan penolakan strategi tidak langsung pernyataan alasan, sebab dan penjelasan. Dalam percakapan ini, ibu Izumi secara tidak langsung mengajak Izumi untuk ikut tinggal di Jerman bersama dengannya dan ayah Izumi. Ibu Izumi beralasan bahwa ia tidak bisa membiarkan ayah Izumi pergi sendirian karena bila dibiarkan begitu saja, ayah Izumi tidak akan bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Izumi mengerti apa yang dimaksud oleh ibunya dan menolak ajakan tersebut. Izumi menggunakan dua ujaran penolakan yaitu ujaran penolakan strategi langsung kemauan negatif pada awal ujaran yaitu “ii kedo, watashi wa issho ni ikenai yo” yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “boleh saja, tapi tidak bisa pergi bersama ya”. Penolakan strategi langsung kemauan negatif dapat dilihat pada penggunaan kata bentuk negatif ikenai yang berarti tidak bisa pergi. Ujaran lalu dilanjutkan dengan penolakan strategi tidak langsung pernyataan alasan, sebab dan penjelasan yaitu “daigaku mo mada sannen aru shi, doitsugo nante sappari wakaranai shi” yang jika diartikan menjadi “Kuliah juga masih tersisa tiga tahun, Bahasa Jerman pun sama sekali tidak mengerti”. Faktor keanggotaan dalam kelompok yaitu hubungan keluarga antara Izumi dengan ibunya sangat memengaruhi penolakan Izumi terhadap ibunya. Dapat dilihat dari penggunaan “yo” yang biasanya digunakan oleh perempuan dalam keadaan yang informal (Makino dan Tsutsui 2001:361).

  • 5.2    Ujaran Penolakan dalam Bahasa Bali

Dalam novel Sentana karya I Made Sugianto terdapat data dengan ujaran penolakan strategi langsung, data dengan ujaran penolakan strategi tidak langsung, dan data dengan ujaran penolakan strategi campuran.

  • 5.2.1    Ujaran Penolakan Strategi Langsung

  • (4)    Panglingsir Geria : Cutetnѐ tiang tusing ngemaang treh Brahmana

nyerod wangsa dadi Sudra. Pawiwahannѐ tusing dadi kalaksanayang. Ngantѐn tusing paturu treh anak nibѐn baya. Nyanan kena kanda asu mundung, anglangkahi karang ulu. Cutetnѐ tѐmbahang Dayu mademenan ajak muani totonan!

Aji

: Naweg, wicara ajak bapanѐ Kadѐk sampun puput,tiang masukserah ajak pianak. Samaliha sampun nundѐn kulawarganѐ nunasang dѐwasa

Panglingsir Geria: Baah, baas cѐmblѐk Gus Putu dadi aji, tusing kѐto

benehnѐ. Patutnѐ tambakin kenehnѐ Dayu Dѐwi, apabuin Dayu tan pasemeton lanang. Karajegang dados sentana. Ditu benehnѐ Gus Putu keras dadi anak tua. Boya mesuang raos masukserah ajak pianak. Pokoknѐ pawiwahannѐ tusing dadi kalaksanayang. Cutet tusing dadi. Men Gus Putu grasa grusu nyemak kaputusan, nak kѐnkѐn i anak, nganti tusing dadi tambakin ngantѐn. Boya kѐ kuliahnѐ tondѐn tamat?

(Sentana. 2014:74-75)

Tetua Rumah

:Intinya, saya tidak mengizinkan keturunan Brahmana turun kasta menjadi Sudra. Upacara pernikahan   ini   tidak   boleh   dilaksanakan.

Melangsungkan pernikahan jika kastanya tidak sama nantinya bisa membawa petaka. Seperti ibarat terkena sifat anjing yang garang, melompati karang wayah. Intinya jangan diizinkan Dayu berpacaran dengan lelaki itu!

Ayah Dayu

: Maaf, pembicaraan dengan bapaknya Kadek sudah selesai, saya menyerahkan semuanya pada sang anak. Disamping itu juga sudah mengatakan kepada pihak keluarganya untuk mencari hari baik.

Tetua Rumah

:Terlalu pasrah Gus Putu menjadi seorang ayah,

bukan seperti itu. Seharusnya larang keinginannya Dayu Dewi, apalagi Dayu tidak mempunyai saudara laki-laki. Pertahankan supaya tetap ada penerus dengan sentana. Disana seharusnya Gus Putu tegas menjadi orang tua. Bukannya mengeluarkan kata-kata terserah kepada sang anak. Pokoknya upacara pernikahan ini tidak boleh dilaksanakan. Intinya tidak boleh. Jika Gus Putu tergesa-gesa mengambil keputusan, bagaimana sebenarnya anakmu, sampai tidak bisa melarang menikah. Bukannya kuliahnya belum tamat?

Ujaran pada data (4) dilontarkan oleh tetua rumah atau geria (sebutan rumah dalam bahasa Bali untuk kaum Brahmana) kepada ayah Dayu Dewi. Tetua rumah menolak untuk mengijinkan Dayu Dewi menikah nyerod atau turun kasta dengan Kadek Subhakti karena hal tersebut akan membawa petaka. Ujaran dari tetua rumah kepada ayah Dayu Dewi menggunakan strategi langsung kemauan negatif diantaranya “Cutetnѐ tiang tusing ngemaan treh Brahmana nyerod wangsa dadi Sudra. Pawiwahannѐ tusing dadi kalaksanayang” yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “Intinya saya tidak mengizinkan keturunan Brahmana turun kasta menjadi Sudra. Upacara pernikahan ini tidak boleh dilaksanakan”. Namun ayah Dayu Dewi telah menyerahkan segala keputusan kepada anaknya yaitu Dayu Dewi, hari baik untuk melaksanakan pernikahan pun telah diserahkan kepada keluarga Kadek Subhakti. Mendengar perkataan ayah Dayu Dewi, tetua rumah semakin geram dan semakin menolak pelaksanaan pernikahan antara Dayu Dewi dengan Kadek Subhakti. Ujaran penolakan kembali dilontarkan oleh tetua rumah kepada ayah Dayu Dewi degan strategi penolakan langsung kemauan negatif yaitu “Pokoknѐ pawiwahannѐ tusing dadi kalaksanayang. Cutet tusing dadi.” Yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pokoknya upacara pernikahan ini tidak boleh dilaksanakan. Intinya tidak boleh”. Situasi dimana salah satu anggota keluarga brahmana yang ingin menikah dengan seorang sudra menyebabkan tetua rumah menentang keras dan melakukan penolakan secara langsung kepada ayah Dayu Dewi. Selain itu, faktor usia tetua rumah yang notabene lebih senior menyebabkan ujaran dapat dilakukan secara langsung.

  • 5.2.2    Ujaran Penolakan Strategi Tidak Langsung

  • (5)    Aji           : Kѐwala yѐn dadi idih, apang paturu ngelahang. Ngantѐn

negen dadua

Makelo I bapa tan nimbalin. Sepi suung mangmung rasayang tiang gerianѐ. Bapa    : Nawegang titiang ratu, ampura malih pisan. Tan wѐnten

manah titiangѐ nasikin segara, sampun ketah ring geria akѐh wѐnten lontar, genah kaparadnyannѐ driki. Napi malih ratu suryan titiang sampun pascat indik pawiwahan. Minabang titiang, yѐn ngantѐn pada gelahang utawi ngantѐn nyentana utawi negen dadua punika mangda treh wangsanѐ sanѐ pateh. Brahmana sareng brahmana. Ksatria sareng pragusti. Samaliha sanѐ medum waris sareng. Malih pisan naweg ratu, boya titiang nasikin segara.

(Sentana. 2014:71)

Ayah Dayu      : Tetapi kalau boleh diminta, agar saling memiliki.

Pernikahan yang terjadi atas dasar tanggung jawab yang sama antar kedua belah pihak.

Lama Bapak tidak menjawab. Sangat sunyi saya rasakan lingkungan rumah ini.

Ayah Kadek    : Maafkan saya tuan. Tidak ada maksud saya

menasehati, sudah terkenal kalau disini banyak terdapat lontar, gudangnya ilmu pengetahuan. Apalagi tuan sudah sangat mengetahui hal-hal tentang upacara pernikahan. Sepengetahuan saya, jika menikah dalam artian saling memiliki bersama kedua belah pihak atau pun nyentana, hendaknya kastanya tersebut harus sama. Keturunan Brahmana dengan Brahmana. Keturunan Ksatria dengan sesamanya. Dan hal-hal yang mengenai kekuasaan diselesaikan bersama. Sekali lagi saya minta maaf, bukan bermaksud untuk menasehati.

Dalam data (5) terjadi ujaran penolakan antara ayah Dayu Dewi dengan ayah Kadek Subhakti. Keluarga Kadek Subhakti berkunjung ke rumah Dayu Dewi untuk membicarakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi Dayu Dewi dan Kadek Subhakti.

Dayu yang sudah terlanjur berbadan dua tidak ingin berpisah dengan Kadek Subhakti, tetapi pernikahan Dayu Dewi tidak direstui oleh keluarga besarnya. Ayah Dayu Dewi pun menawarkan kepada ayah Kadek Subhakti untuk menikah negen dadua atau atas dasar tanggung jawab yang sama antara kedua belah pihak. Menikah negen dadua atau bisa juga disebut nganten pada gelahang adalah pernikahan dalam adat Bali dimana laki-laki maupun perempuan berperan sebagai purusa atau laki-laki (Juliantara, 2009). Menikah negen dadua ini sangatlah beresiko karena Bali yang umumnya berkeluarga secara patrilinial bila menikah dengan cara ini, baik pihak laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dan juga kelak anak yang lahir dari pernikahan ini akan bingung dengan tempat persembahyangannya (Suyatra, 2017). Ayah Kadek Subhakti menolak tawaran ini secara halus dimulai dengan pernyataan menyesal “ampura malih pisan” yang bila diterjemahkan menjadi “maafkan saya tuan”. Penolakan dilanjutkan dengan pernyataan alasan, sebab dan penjelasan “Minabang titiang, yѐn ngantѐn pada gelahang utawi ngantѐn nyentana utawi negen dadua punika mangda treh wangsanѐ sanѐ pateh. Brahmana sareng brahmana. Ksatria sareng pragusti. Samaliha sanѐ medum waris sareng” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sepengetahuan saya, jika menikah dalam artian saling memiliki bersama kedua belah pihak atau pun nyentana, hendaknya kastanya tersebut harus sama. Keturunan Brahmana dengan Brahmana. Keturunan Ksatria dengan sesamanya, dan hal-hal yang mengenai kekuasaan diselesaikan bersama”. Status sosial antara ayah Dayu Dewi yang berkasta brahmana dan ayah Kadek Subhakti yang berkasta sudra adalah faktor yang sangat memengaruhi ujaran penolakan ayah Kadek Subhakti terhadap tawaran ayah Dayu Dewi. Walaupun ayah Kadek Subhakti melakukan penolakan atas tawaran ayah Dayu Dewi, ayah Kadek Subhakti tetap menggunakan basa alus mider untuk menghormati ayah Dayu Dewi yang notabene kastanya lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada kata ampura, utawi dan malih yang merupakan kata-kata bahasa Bali alus mider (Candrawati, 2005:23, 843, 437).

  • 5.2.3    Ujaran Penolakan Strategi Campuran

  • (6)    Bos             : Ba peteng pragatang monto malu magaѐ, mani

semengan umbah mobilѐ.

Kadѐk Subhakti : Tan kenapi pak. Tiang ngangsehang malih jebos kѐmanten.

(Sentana. 2014:2)

Bos             : Sudah malam selesaikan dulu pekerjaannya, besok

pagi dicuci mobilnya kata bosnya.

Kadek Subhakti : Tidak apa-apa pak. Saya kerjakan sedikit lagi.

Ujaran pada data (6) dilontarkan oleh Kadek Subhakti kepada bos toko tempat Kadek Subhakti bekerja. Kadek Subhakti bekerja di toko sebagai kasir dan dipercaya untuk mengatur pembelian dan pengiriman barang. Hari itu Kadek Subhakti sedang bekerja seperti biasanya dengan tekun karena bosnya sering memberikan bonus selain dari gaji bulanan yang diterima Kadek Subhakti. Saat Kadek Subhakti sedang mencuci mobil, bosnya menawarkan Kadek Subhakti untuk melanjutkan pekerjaanya mencuci mobil esok hari. Kadek Subhakti pun menolak tawaran tersebut diawali dengan penolakan langsung kemauan negatif “tan kenapi pak” yang bila diterjemahkan menjadi “Tidak apa-apa pak”. Penolakan lalu dinaljutkan dengan strategi tidak langsung pernyataan alasan, sebab, dan penjelasan yaitu “tiang ngangsehang malih jebos kemantѐn” yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “saya kerjakan sedikit lagi”. Kadek Subhakti enggan menerima tawaran bosnya untuk menyudahi pekerjaannya karena ia diperlakukan sangat baik oleh bosnya. Walaupun Kadek Subhakti menolak tawaran tersebut, Kadek Subhakti tidak melupakan status sosialnya sebagai pegawai toko tersebut dengan menolak menggunakan basa alus mider yang ditandai dengan kata tiang (Candrawati, 2005:775).

  • 6.    Simpulan dan Saran

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari dua strategi ujaran penolakan yang dipaparkan oleh Beebe dkk. terdapat strategi langsung, strategi tidak langsung dan strategi campuran dari data yang dikumpulkan dalam novel berbahasa Jepang Narataaju karya Shimamoto Rio. Dalam novel Narataaju terdapat tiga data dengan ujaran penolakan strategi langsung, lima data ujaran penolakan strategi tidak langsung dan dua data ujaran penolakan strategi campuran. Faktor yang sangat memengaruhi ujaran penolakan dalam bahasa Jepang yaitu hubungan sosial dan keakraban. Hal tersebut bisa dilihat melalui penggunaan bahasa dengan tingkat kesopanan biasa. Ujaran penolakan dalam bahasa Jepang yang terdapat dalam novel Narataaju karya Shimamoto Rio dapat berupa kata bermakna negasi, kata bentuk negatif, percobaan untuk menghalangi lawan

tutur, pernyataan alasan, sebab, dan penjelasan, penghindaran nonverbal, dan penerimaan yang berfungsi sebagai penolakan.

Dalam novel berbahasa Bali Sentana karya I Made Sugianto, ditemukan ujaran penolakan strategi langsung, tidak langsung dan campuran dari teori strategi penolakan yang dipaparkan oleh Beebe, dkk. (1990). Faktor yang sangat memengaruhi ujaran penolakan dalam bahasa Bali yaitu situasi, status sosial dan usia. Masyarakat Bali yang masih mengenal kasta menyebabkan penggunaan bahasa dalam melakukan ujaran penolakan disesuaikan dengan situasi dan status sosial yang dimiliki. Adapun bentuk ujaran penolakan dalam bahasa Bali dapat berupa kata bermakna negasi, pernyataan alasan, sebab, dan penjelasan, pernyataan menyesal dan penghindaran nonverbal.

Persamaan yang dapat ditemukan dari hasil analisis yaitu 1) Ujaran penolakan dalam bahasa Jepang maupun bahasa Bali sama-sama menggunakan strategi langsung, tidak langsung maupun strategi campuran; 2) strategi ujaran penolakan dalam bahasa Jepang maupun bahasa Bali diujarkan sesuai dengan norma yang berlaku pada masyarakatnya.

Dari hasil penelitian ini juga didapatkan perbedaan yaitu faktor yang paling memengaruhi ujaran penolakan dalam bahasa Jepang adalah situasi dan keakraban, sedangkan dalam bahasa Bali faktor yang paling memengaruhi ujaran penolakan adalah situasi dan status sosial.

Penelitian ini telah dibuat dengan sebaik-baiknya, namun masih banyak hal-hal yang perlu diteliti kembali untuk referensi penelitian selanjutnya. Diharapkan pada penelitian selanjutnya, selain menggunakan novel, dapat menggunakan sumber data yang lain seperti komik maupun drama. Alangkah lebih relevan jika sumber data dikumpulkan dengan metode kuisioner. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat membatasi umur maupun gender agar strategi ujaran dan faktor yang memengaruhinya memiliki batasan yang lebih jelas lagi.

  • 7.    Daftar Pustaka

Aslinda, Dra. M.Hum dan Syafyahya, Dra. Leni M.Hum. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama.

Beebe, Leslie M. Takahashi, Tomoko. Weltz, Robin Uliss. 1990. “Pragmatic Transfer in ESL Refusal”. Developing Communicative Competence in A Second Language. Nomor 4, hlm. 55-73.

Candrawati, Ni Luh Komang. 2005. Kamus Bali – Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.

Chaer, Adbul dan Agustina, Leonie. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. 2010. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik. Bandung: PT Refika Aditama

Juliantara, I Ketut Putra. 2009. Perkawinan Gelajang Bareng/Negen pada Masyarakat Bali dalam Perspektif Hukum Adat Bali (Studi Kasus di Kota Singaraja).https://www.kompasiana.com/ikpj/54ff4670a333112b4a50fc6e/perkawinan-gelahang-bareng-negen-pada-masyarakat-bali-dalam-perspektif-hukum-adat-bali-studi-kasus-di-kota-singaraja (Diunduh 8 Januari 2020).

Makino, Seiichi dan Tsutsui, Michio. 2001. A Dictionary of Intermediate Japanese Grammar. Jepang: The Japan Times, LTD.

Mizutani, Osamu dan Mizutani, Nobuko.1991. How to be Polite in Japanese. Tokyo: The Japan Times, LTD.

Rani, Abdul. Arifin, Bustanul. Martutik. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Jawa Timur: Bayumedia Publishing.

Shimamoto, Rio. 2017. Narataaju. Tokyo: Kadokawa.

Sugianto, I Made. 2014. Sentana. Tabanan: Pustaka Ekspresi.

62