Persepsi dan Motivasi Pemangku Kepentingan terhadap Pengembangan Ekowisata Tondok Bakaru
on
PERSEPSI DAN MOTIVASI PEMANGKU
RUANG
SPACE
KEPENTINGAN TERHADAP PENGEMBANGAN
EKOWISATA TONDOK BAKARU
Oleh: Darmawan Risal1, Harsani2, Harlina3, Hiskia Roynaldi4
Abstract
Tondok Bakaru Village in Mamasa Regency was designated as a Desa Sadar Wisata in 2019, as an effort to increase the local economy. The purpose of this study to determine the perceptions and motivations of stakeholders towards the development of Tondok Bakaru ecotourism. The phenomenological approach is used to analyze correlations between the proposed development with the economic development, ecology, and socio-culture. Study results are classified based on class intervals listed on the assessment graphs completed with associated descriptions. Notable findings here are as follows. Stakeholder's perception of Tondok Bakaru ecotourism development is on a ‘very agreeable’ scale. This is due to a ‘high desire’ scale expressed by stakeholders to have active roles in the development of ecotourism in Mamasa. Stakeholder motivation towards economic development is also on a ‘high scale’. Many stakeholders also express that it is necessary to improve tourism infrastructures, provide support for orchid cultivation-related business, development of networks for food provision, and other supporting facilities. Aspiration for the development of ecology-based tourism is also on a rather ‘high’ scale, as the concept of Tondok Bakaru ecotourism has not been well-conceived that indeed has disrupted the hydrological system, land conservation, and preservation of flora and fauna. Moreover, aspiration for socio-cultural development is on a ‘very high’ scale. This is influenced by a great concern on the gradual extinction of Tondok Bakaru Village’s socio-cultural assets.
Keywords: ecology; economy; ecotourism; stakeholder; socio-culture
Abstrak
Desa Tondok Bakaru di Kabupaten Mamasa ditetapkan menjadi Desa Sadar Wisata pada tahun 2019 sebagai upaya peningkatan daya tahan ekonomi lokal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi dan motivasi pemangku kepentingan terhadap pengembangan ekowisata Tondok Bakaru. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk menganalisis persepsi dan motivasi terhadap pengembangan ekowisata yang berkaitan dengan ekonomi, ekologi dan sosial budaya di Tondok Bakaru. Hasil analisis dikelaskan berdasarkan interval kelas pada grafik penilaian dan pemaknaannya diuraikan secara deskriptif kualitatif. Persepsi terhadap pengembangan ekowisata Tondok Bakaru berada pada skala sangat setuju karena didasari oleh adanya keinginan yang tinggi dari pemangku kepentingan untuk berperan aktif pada pengembangan ekowisata di Kabupaten Mamasa. Motivasi pemangku kepentingan terhadap pengembangan ekonomi berada pada skala tinggi. Terbatasnya penunjang ekonomi ekowisata sehingga perlu dilakukan pembenahan infrastruktur, pengadaan inkubasi kelompok usaha budidaya tanaman anggrek, makanan dan penyewaan fasilitas penunjang. Motivasi pada pengembangan ekologi ekowisata pada skala agak tinggi karena konsep pengembangan ekowisata Tondok Bakaru belum tertata dengan baik yang memungkinkan terganggunya sistem hidrologi, konservasi lahan dan pelestarian flora fauna. Motivasi pada pengembangan sosial budaya berada pada skala sangat tinggi karena dipengaruhi oleh keprihatinan pada asset sosial budaya yang saat ini terancam punah.
Kata kunci: ekologi, ekonomi; ekowisata; eemangku kepentingan; eosial budaya
Pendahuluan
Hasil identifikasi terhadap permasalahan pembangunan di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat terbagi dalam 10 klaster masalah. Salah satu klaster yang cukup berpengaruh adalah rendahnya pendapatan per kapita yang berdampak pada kecilnya kontribusi serta rendahnya pendapatan perekonomian daerah (PDRB), (RPJMD 2018-2023 Kabupaten Mamasa, 2019). Kondisi tersebut diprediksi mempengaruhi sektor lainnya pasca pandemi covid-19 melanda Indonesia hingga saat ini karena adanya pembatasan aktivitas dan telah menimbulkan kerugian ekonomi secara nasional (Hadiwardoyo, 2020). Pemerintah melalui sektor terkait melakukan upaya aktif untuk dapat memulihkan kondisi ekonomi nasional dengan mendorong pengembangan potensi yang dimiliki setiap daerah. Salah satu langkah perbaikan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan di Kabupaten Mamasa adalah pengembangan sektor pariwisata yang pada beberapa wilayah di Indonesia, pariwisata merupakan salah satu produk ekonomi yang kini gencar dikembangkan karena memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang cepat (Wiwin, 2018).
Kondisi demografi Kabupaten Mamasa yang keseluruhannya merupakan dataran tinggi menjadikan daerah ini memiliki banyak objek wisata alam yang indah. Salah satunya adalah ekowisata Tondok Bakaru di Kecamatan Mamasa. Pada tahun 2019, Desa Tondok Bakaru ditetapkan sebagai Desa Sadar Wisata (DSW) oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Tujuannya adalah agar menjadi pemicu terbangunnya wilayah dan perekonomian lokal melalui kunjungan wisatawan, khususnya ekonomi warga lokal di sekitar tempat wisata. Desa wisata yang telah terbagun dapat menciptakan aktivitas ekonomi berupa terciptanya lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan bagi setiap pelaku usaha yang berpartisipasi di dalamnya (Amalia, 2018). Disisi lain, pengembangan kepariwisataan yang baik tidak hanya memicu usaha pariwisata itu sendiri, tetapi juga berpengaruh terhadap sektor lainnya yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi di wilayah ekowisata itu sendiri (Taufiqurrahman, 2014).
Ekowisata Tondok Bakaru memiliki destinasi yang beragam. Susunan landscape sawah yang terintegrasi dengan hutan pinus, rumah adat, permandian air panas dan taman penangkaran anggrek menyatu di tempat ini. Perpaduan beberapa destinasi diyakini akan melahirkan keindahan alam yang membuat setiap pengunjung mendapat ketenangan serta kesejukan dari ekowisata ini. Ekowisata merupakan pengelolaan potensi yang berfungsi sebagai pengetahuan, pengelolaan alam dan budaya yang memiliki nilai jual dari potensi alam yang dimiliki ekowisata tersebut (Hijriati, 2014). Selain itu, pengunjung dapat mengenal budaya dan potensi alam lainnya yang ada di Tondok Bakaru sesuai dengan misi yang dibangun pada ekowisata Tondok Bakaru.
Pengembangan Desa Tondok Bakaru menjadi kawasan pariwisata tentunya mempengaruhi kinerja para pemangku kepentingan dalam membangun sumber pendapatan daerah dalam berbagai aspek khususnya ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Pinsip keselarasan pembangunan terhadap aturan dasar ekowisata seharusnya menjadi acuan utama dalam pembangunannya (Rhama, 2014). Adanya adat budaya yang dijadikan sebagai ikon ekowisata seperti rumah adat, pakaian tradisional akan berdampak pada peningkatan daya tarik ekowisata dan dapat menekan biaya pengembangan yang bersifat makro. Disisi lain,
pemanfaatan alam sebagai destinasi ekowisata akan merubah kondisi fisik dan fungsinya sejalan dengan pengembangan ekonomi ekowisata dari kuantitas kunjungan saat ini maupun di masa mendatang di Tondok Bakaru. Perubahan tersebut dapat dilihat dari munculnya fungsi dan ruang baru yang perlu diakomodasi oleh bangunan dan fasilitasnya (Anggreni, 2018). Pembangunan ekowisata dengan memanfaatkan alam sebagai media dari ikon selayaknya dikembangkan dengan tidak mengekploitasi sumber daya alam secara massif. Yang harus menjadi perhatian penting adalah perubahan fungsi atau konversi sawah menjadi fungsi komersial sebagai pendukung industri pariwisata harus betul diperhitungkan karena pertanian tetap menempati posisi pertama di pedesaan (Pratami, 2018). Karena itu, keseimbangan ekosistem harus terus dijaga sejalan dengan kebutuhan pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Tondok Bakaru.
Oleh karena itu, penelitian persepsi dan motivasi pemangku kepentingan terhadap pengembangan ekowisata Tondok Bakaru di Kabupaten Mamasa dilakukan. Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk memperbaiki kondisi pariwisata di Kabupaten Mamasa yang selama ini hanya berfokus pada pemasaran sosial budaya dan adat istiadatnya. Padahal, potensi alam dan lingkungan yang dipadukan dengan kearifan lokal dan dikemas dalam bentuk ekowisata dapat menjadi satu nilai tambah dalam meningkatkan kunjungan wisata sehingga dapat menjadi solusi dari masalah pembangunan di Kabupaten Mamasa. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan dalam melakukan perbaikan dan tata kelola pada beberapa aspek yang menjadi penunjang pengembangan ekowisata yang pada akhirnya terbangun kebijakan pembangunan wilayah yang baik dengan tidak melupakan kelestarian alam dan lingkungan dalam pengembangan ekowisata daerah. Tujuan utama dilaksanakannnya penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi dan motivasi pemangku kepentingan terhadap pengembangan ekowisata Tondok Bakaru di Kabupaten Mamasa.
Metode
Penelitian ini berlokasi di ekowisata Tondok Bakaru, Desa Tondok Bakaru Kecamatan Mamasa Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat yang dilaksanakan pada Desember tahun 2019 hingga Maret 2020. Lokasi penelitian disajikan dalam peta orientasi lokasi pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Peta Orientasi Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi berdasarkan Creswell (1998) yang menggambarkan fenomena pada komunitas menurut pandangan dan tradisi mereka sendiri. Fenomena yang diamati pada penelitian ini adalah persepsi dan motivasi pemangku kepentingan terhadap ekonomi, ekologi dan sosial budaya ekowisata Tondok Bakaru. Pengamatan fenomena ini masing-masing dirincikan dan disusun berdasarkan unit kajian dan memiliki kelas interval. Nilai dari kelas interval yang selanjutnya dideksripsikan berdasarkan makna kelas interval yang diperoleh dari hasil analisis dengan rujukan yang terjadi di lapangan (Mulyana, Deddy, 2000) sedangkan penjelasan analisis disajikan secara kuantitatif untuk mengukur kelas interval persepsi dan motivasi. Sampel responden dipilih dengan membagi sumber sampel yang dianggap mewakili pemangku kepentingan yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Mamasa (Dinas Pariwisata). Pemerintah Desa Tondok Bakaru, masyarakat sekitar ekowisata dan pengunjung. Masing-masing sampel diberikan wawancara terkait persepsi dan motivasi terhadap pengembangan ekowisata dan penilaiannya di lapangan.
Analisis Data
Pengumpulan data menggunakan kuisioner yang dimodifikasi dengan nilai 1-7 (Avenzora, 2008). Uraian keterangan nilai untuk persepsi yaitu: 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=kurang setuju, 4=biasa saja, 5=agak setuju, 6=setuju dan 7=sangat setuju. Sedangkan data motivasi, skor yang digunakan, yaitu: 1=sangat rendah, 2=rendah, 3=agak rendah, 4=biasa saja, 5=agak tinggi, 6=tinggi, dan 7=sangat tinggi. Untuk mengukur persepsi dan motivasi pemangku kepentingan (Haribawa, 2017) seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Skala Nilai Persepsi dan Motivasi Sumber: Data primer diolah 2020
Penggunaan nilai dari pertanyaan dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik masyarakat Kabupaten Mamasa yang menjelaskan nilai sebagai referensi persepsi dan motivasi. Interval kelas dari perhitungan pada Gambar 2 diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:
Nilai maksimal : Skor tertinggi x jumlah sampel x jumlah pertanyaan…… (1) Nilai maksimal:7 x 30 x 7=1470
Nilai minimal : Skor terendah x jumlah sampel x jumlah pertanyaan…. (2) Nilai minimal:1 x 30 x 7=210
Jumlah nilai tertinggi-Jumlah nilai terendah
Rentan kelas: ….. (3)
Jumlah skor
1470 - 210
Rentan kelas: = 180
Jumlah skor
Hasil Analisis Persepsi dan Motivasi
Hasil analisis persepsi dan motivasi pemangku kepentingan pada pengembangan ekowisata Tondok Bakaru adalah sebagai berikut pada Gambar 3.
Gambar 3. Persepsi dan Motivasi Pemangku Kepentingan pada Pengembangan EkowisataTondok Bakaru.
Sumber: Data primer diolah 2020
Persepsi Pemangku Kepentingan Terhadap Ekowisata Tondok Bakaru
Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi pemangku kepentingan terhadap ekowisata Tondok Bakaru berada pada skala sangat setuju. Nilai tersebut menjelaskan bahwa pemangku kepentingan di wilayah Kabupaten Mamasa memahami bahwa ekowisata dapat menjadi peluang yang baik dalam memberikan kontribusi pendapatan daerah, baik dari sisi ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Dengan adanya pandangan dan upaya kognitif yang baik dan sejalan terhadap misi pengembangan konsep ekowisata di Kabupaten Mamasa, menjadikan persepsi pemerintah daerah sebagai pemangku kepentingan sangat setuju untuk terus membangun pariwisata di wilayahnya.
Menurut (Suriadi, 2015) bahwa tinggi rendahnya skala nilai persepsi perorangan ataupun kelompok dapat menjadi rujukan persepsi yang akan mempengaruhi kemampuan dan peran sertanya dalam suatu kegiatan. Persepsi yang sangat tinggi dapat dinilai dari adanya rencana pembangunan dan perbaikan infrastruktur di wilayah desa Tondok Bakaru yang sumber anggarannya dari Kabupaten Mamasa. Upaya pengembangan ekowisata Tondok Bakaru oleh pemangku kepentingan yang tinggi, juga dinilai dari perencanaan
pembangunan daerah Kabupaten Mamasa dengan memasukkan wilayah Desa Tondok Bakaru sebagai wilayah prioritas pembangunan daerah. Secara keseluruhan, hasil analisis persepsi pada dasarnya masih pada tataran opini dan konsep perencanaan. Namun, opini ini menjadi satu dorongan kuat yang akan dibuktikan dalam bentuk kebijakan dan penganggaran daerah. Sehingga, persepsi yang baik dan disepakati bersama dengan dasar keselarasan dari semua pemangku kebijakan dalam upaya pengembangan ekowisata menjadi kekuatan besar dalam menciptakan kondisi yang baik bagi pengembangan ekowisata di Kabupaten Mamasa.
Motivasi Pemangku Kepentingan Terhadap Ekonomi Ekowisata Tondok Bakaru
Hasil analisis menunjukkan bahwa motivasi pemangku kepentingan terhadap ekonomi ekowisata berada pada skala tinggi. Keinginan pemangku kepentingan untuk terus berpartisipasi terhadap pengembangan ekowisata yang tujuannya adalah meningkatkan perekonomian rumah tangga masyarakat Desa Tondok Bakaru menjadi satu alasan peningkatan motivasi. Meskipun, dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi dan menjadi tanggung jawab oleh pemerintah daerah dan beberapa pemangku kepentingan di beberapa sektor yang ada di Kabupaten Mamasa.
Salah satu kendala yang mempengaruhi motivasi pemangku kepentingan terhadap pengembangan ekonomi adalah belum adanya upaya penangkaran budidaya anggrek lokal yang dapat menginkubasi kelompok wanita dan warga lokal dalam menciptakan peluang usaha di bidang budidaya tanaman. Potensi penangkaran yang menghasilkan produk media seperti pot dari bahan alam, perbanyakan anggrek dan sistem budidaya menjadi satu peluang yang belum dilaksanakan di tempat ini. Kendala tersebut dipengaruhi oleh belum optimalnya perencanaan yang digagas oleh pengelola dan pemangku kepentingan dalam melakukan pelatihan dan pendampingan kepada kelompok masyarakat. Salah satu usaha ekonomi di ekowisata Tondok Bakaru adalah budidaya anggrek model green house seperti pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4. Tanaman anggrek pada media pot
Sumber: Arsip Tondok Bakaru, 2020
Gambar 5. Tanaman anggrek dg berbagai jenis yg bersifat merambat
Sumber: Arsip Tondok Bakaru, 2020
Pengembangan ekowisata Tondok Bakaru yang mengusung keasrian lokasi dengan menampilkan beberapa tanaman produk lokal seperti anggrek dengan berbagai spesies menjadi unsur yang sangat menarik bagi para pengunjung. Adanya dukungan yang baik
dari pemerintah akan meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekowisata Tondok Bakaru. Sarana dan prasarana infrastruktur yang masih tergolong minim seperti jalan desa menuju objek wisata yang masih sempit dan sebagian lainnya berstruktur tanah dan batuan serta telekomunikasi dan jaringan air bersih yang terbatas juga menjadi dasar motivasi bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan pembenahan infrastruktur ekowisata.
Peningkatan kualitas pendapatan ekonomi oleh masyarakat melalui pelatihan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan (Dinas Pariwisata) yang ada saat ini masih bersifat perorangan dan situasional. Aspek ekonomi pariwisata di suatu daerah tidak hanya berhubungan dengan kegiatan ekonomi namun berhubungan langsung dengan fasilitas pendukung dan sumber daya manusianya dalam bidang penyediaan fasilitas seperti hotel, restoran, paket wisata serta bisnis eceran. Oleh karena itu, pemangku kepentingan harus melakukan pelatihan dan pendampingan intensif untuk dapat menangkap peluang ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Pengembangan ekowisata melalui pariwisata pedesaan merupakan alasan rasional dalam meningkatkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui terciptanya usaha baru dan lapangan kerja di sektor lain yang terkait (Damanik, 2013).
Motivasi Pemangku Kepentingan Terhadap Ekologi
Motivasi pemangku kepentingan terhadap pemanfaatan ekologi ekowisata berada pada skala agak tinggi (Gambar 3). Konsep pengembangan dengan memadukan tanaman pertanian dan kehutanan pada ekowisata Tondok Bakaru belum memperhatikan keberlangsungan sistem hidrologi pengairan pada areal persawahan. Pengaturan pohon dan sistem tutupan strata lahan belum cukup optimal, sehingga diperlukan konsep perencanaan lokasi wisata dan lingkungan sekitar untuk mendukung kelestariann lingkungan. Pelestarian sumber daya lingkungan dilakukan dengan upaya konservasi terhadap flora dan fauna melalui sosialisasi dan pengaturan teknik konservasi yang berdasar pada prinsip-prinsip konservasi pengelolaan lingkungan ekowisata. Jika terlaksana dengan baik, maka secara tidak langsung masyarakat sekitar akan menerima manfaat yang baik berupa ekosistem yang asri dari lingkungan tersebut (Hijriati dan Mardiana, 2014).
Menurut (Widiastra, 2019) bahwa keberlangsungan fungsi fisik pada fasilitas ekowisata dapat dilakukan dengan pengawasan rutin dengan memberdayakan masyarakat setempat dan menindak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Lokasi ekowisata Tondok Bakaru yang cukup luas dan fasilitas wahana yang beragam menjadikan potensi buangan sampah dari pengunjung tinggi, terlebih pada hari-hari libur panjang yang menjadikan kunjungan meningkat. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh pengelola terhadap buangan sampah oleh pengunjung telah dilakukan dengan memasang tulisan untuk membuang sampah pada tempatnya. Selain masalah sampah, motivasi terhadap ekologi ekowisata dipengaruhi oleh curah hujan tinggi yang sering terjadi di wilayah Tondok Bakaru yang menyebabkan terjadinya aliran permukaan tanah, khususnya pada spot wisata bertopografi miring. Upaya konkret yang dapat dilakukan untuk mencegah tingginya erosi dan aliran permukaan pada spot bertopografi miring adalah melakukan penataan vegetasi dengan sistem barisan atau
sistem hedgerow, (Risal et al, 2014). Berikut adalah gambaran ekosistem ekowisata yang ada di Tondok Bakaru pada Gambar 6 dan Gambar 7.
G a mbar 6. Wahana ekowisata pada lahan persawahan
Sumber: Arsip Tondok Bakaru, 2020
Gambar 7. Wahana jembatan tebing pada ekowisata Tondok Bakaru
Sumber: Arsip Tondok Bakaru, 2020
Dari segi pelestarian lingkungan, motivasi agak tinggi dipengaruhi oleh peran pemangku kepentingan yang belum aktif terhadap pengembangan ekowisata Tondok Bakaru. Aktivitas perubahan fungsi lahan hutan yang merupakan zona penyangga menjadi lahan pertanian dan spot wisata serta belum ditanamnya vegetasi pohon lindung pada lahan bertopografi miring mempengaruhi nilai motivasi. Fungsi pemangku kepentingan sangat berpengaruh pada peningkatan konservasi lahan untuk ekowisata yang sifatnya berkelanjutan. Karena, apabila lingkungan alam di Tondok Bakaru dan wilayah penyangganya rusak atau terjadi degradasi akibat perubahan fungsi lahan dan pengolahan tanah yang tidak konservatif, maka ekowisata tersebut akan lambat berkembang, karena pada dasarnya ekowisata adalah memasarkan lingkungan (Adelia, 2012). Oleh karena itu, pengaturan pemangku kepentingan sangat penting untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang berdampak pada keselamatan pengunjung serta ekosistem yang ada di sekitarnya.
Motivasi Pemangku Kepentingan Terhadap Sosial Budaya Ekowisata Tondok Bakaru
Hasil analisis menunjukkan bahwa motivasi pemangku kepentingan terhadap sosial budaya ekowisata berada pada skala sangat tinggi (Gambar 3). Pemangku kepentingan memiliki upaya yang tinggi untuk senantiasa menjaga dan melestarikan kebudayaan asli daerahnya dengan menempatkan ikon budaya pada ekowisata Tondok Bakaru. Upaya ini dilakukan sebagai motivasi membangun kekuatan kearifan lokal untuk menghilangkan perbedaan serta kecemburuan sosial dalam interaksi sosial masyarakat setempat.
Tingginya motivasi dipengaruhi oleh adanya keprihatinan terhadap sumber daya Tondok Bakaru yang sudah mulai tergerus oleh modernisasi. Keprihatinan tersebut salah satunya tertuju pada rumah adat yang mengalami penurunan pelestarian setiap tahunnya, bahkan rumah adat yang tersisa saat ini kurang terjaga yang menyebabkan kerusakan material dan perubahan desain bangunan. Jika tidak segera diantisipasi dengan memperkenalkan dan
melestarikan melalui ekowisata, maka kebudayaan masyarakat lokal di Kabupaten Mamasa terkait arsitektur bangunan tradisional dikhawatirkan akan segera menghilang. Oleh karena itu tercipta motivasi yang tinggi dengan menempatkan rumah adat dan pakaian tradisional dalam pembangunan ekowisata dengan harapan bangunan budaya yang ada di wilayah Kabupaten Mamasa akan terjaga keutuhannya. Tatanan ini yang kemudian menjadi dasar sehingga budaya dijadikan sebagai salah satu ikon pada ekowisata Tondok Bakaru seperti yang terlihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
G ambar 8. Bangunan rumah adat Balla Tumuka di Tondok Bakaru
Sumber: Arsip Tondok Bakaru, 2020
Gambar 9. Pakaian Tradisional dan tarian sbg ikon ekowisata Tondok Bakaru
Sumber: Arsip Tondok Bakaru, 2020
Penempatan rumah adat sebagai analisis sosial budaya ekowisata Tondok Bakaru dipengaruhi oleh adat istiadat pada penataan rumah penduduk termasuk pada aspek topografi, orientasi serta sirkulasi. Balla Tumuka yang pembangunannya selalu menghadap ke arah terbitnya matahari memiliki keagungan spiritual yang diyakini oleh masyarakat di Kabupaten Mamasa. Keagunan tersebut didasari oleh rasa syukur kepada matahari yang memberikan banyak manfaat terhadap mata pencaharian masyarakat. Dari skala rumah, aspek patriarki dan matriarki dari seorang individu menjadi bagian yang sangat berpengaruh terhadap desain rumah. Semakin baik kondisi ekonomi seorang individu, semakin baik pula rumah yang mereka tempati (Kantaprawira, 2018).
Karakteristik rumah adat tradisional antara Balla Tumuka di Mamasa dengan Tongkonan di Tana Toraja hampir sama. Secara struktur, rumah adat Kabupaten Mamasa yang terdiri dari tiga bagian memiliki makna lokal tersendiri. Secara fungsional dari desain rumah panggung bertujuan untuk menghindari gangguan binatang buas dan serangan hewan liar lainnya, lantai berfungsi sebagai penampung hawa panas pada malam hari, sehingga sangat sesuai untuk daerah dingin seperti di Kabupaten Mamasa sedangkan kolong dapat berfungsi praktis untuk kegiatan sehari-hari (Rachmawati, 2013). Melalui ekowisata Tondok Bakaru ini dengan menakar fungsi pemangku kepentingan menjadi masukan dan arahan dalam meningkatkan pariwisata sebagai salah satu industri yang nantinya meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah melalui penempatan sosial budaya daerah.
Simpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah; pemangku kepentingan memiliki persepsi sangat setuju terhadap pengembangan ekowisata Tondok Bakaru. Nilai tersebut sejalan dengan adanya upaya dijadikannya Desa Tondok Bakaru sebagai Desa Sadar Wisata (DSW). Motivasi pemangku kepentingan terhadap ekonomi ekowisata berada pada skala tinggi. Dalam peningkatan perekonomian ekowisata terdapat beberapa faktor-faktor pendukung yang perlu untuk ditingkatkan. Motivasi pemangku kepentingan terkait ekologi pada skala agak tinggi. Nilai tersebut tergolong sederhana karena dampak ekologi dari ekowisata belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan lingkungan. Motivasi pemangku kepentingan terhadap sosial budaya berada pada skala sangat tinggi. Adanya upaya yang tinggi untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan asli Kabupaten Mamasa sekaligus menghilangkan perbedaan sosial bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari menjadi pendorong tingginya motivasi. Karena itu, sosial budaya menjadi salah satu ikon pada ekowisata Tondok Bakaru.
Upaya yang perlu dilakukan untuk lebih meningkatkan produktifitas ekowisata Tondok Bakaru adalah; a) Pengembangan pelatihan, pendampingan kepada kelompok masyarakat di sekitarnya untuk membangun usaha-usaha yang menjadi kebutuhan pokok pengunjung seperti usaha kuliner, souvenir, budidaya penangkaran anggrek dan fasilitas penginapan yang menunjang kebutuhan pengunjung, b) Pengembangan desa wisata Tondok Bakaru seharusnya memerlukan pengkajian dan analisis dampak lingkungan untuk reaksi pembangunan dan mengantisipasi dampak yang timbul baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, promosi aktif dan inovatif harus terus digalakkan untuk memasarkan potensi wisata yang ada di Tondok Bakaru kepada masyarakat luar.
Daftar Pustaka
Adelia A. (2012). Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata IslamiCurug Cigangsa (skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Amalia VGA, N., Kusumawati, A., & Hakim, L. (2018). Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata serta dampaknya terhadap perekonomian warga di Desa Tulungrejo Kota Batu. Jurnal Administrasi Bisnis, 61(3), 48-56.
Anggreni, N. L. J. (2018). Dampak Perkembangan Desa Wisata pada Fungsi Hunian di Desa Bungaya Kabupaten Karangasem. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 5(2), 181-200.
Avenzora R. (2008). Penilaian potensi objek wisata : aspek dan indikator penilaian. Di dalam: Avenzora R, editor. Ekoturisme - Teori dan Praktek. Aceh (ID): BRR NAD-Nias. hlm 249-252.
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among five Tradition, USA: Sage Publication Inc.
Damanik, J., (2013). Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hadiwardoyo, W. (2020). Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19. Baskara: Journal of Business and Entrepreneurship, 2(2), 83-92.
Haribawa, P. A., Avenzora, R., & Arief, H. (2017). Analisis Orientasi
Stakeholder Untuk Pembangunan Ekowisata di Wilayah Bali Aga, Buleleng-Bali. Jurnal Pariwisata, 22(3), 269-276.
Hijriati, E., & Mardiana, R. (2014). Pengaruh ekowisata berbasis masyarakat terhadap perubahan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi di Kampung Batusuhanan, Sukabumi. Sosiologi Pedesaan, 2(3),146-199.
Kantaprawira, M. P. (2018). Pengaruh adat istiadat terhadap wujud fisik tatanan perkampungan Balla Tumuka: objek studi Kampung Balla Tumuka, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Peraturan Daerah Kabupaten Mamasa Nomor 3 Tahun 2019. Rencana pembangunan Jangka Menengah Daerah (2018-2023). Mamasa
Pratami, I. R. W. (2018). Pengaruh Desa Wisata terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di Desa Sedit Kabupaten Bangli. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 5(2), 167-180.
Rachmawaty, W. J. P. M. (2013). Filosofi Tipologi Bentuk dan Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Mamasa.
Rhama, B. (2014). Hubungan Antara Nilai Yang Dimiliki Stakeholder Terhadap Pengembangan Kebijakan Ekowisata Pada Taman Nasional Di Indonesia.
Risal, D., Ibrahim, B., & Zubair, H. (2014). Efektivitas Sistem Pertanian Terpadu Hedgerows Terhadap Peningkatan Produktivitas Lahan Kering. Jurnal Sains & Teknologi, 14(3), 226-223.
Suriadi, A., Mahida, M., & Lestari, A. R. (2015). Persepsi masyarakat terhadap dampak sosial ekonomi rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, 7(1).
Taufiqurrohman, M. (2014). Strategi pengembangan pariwisata serta kontribusinya pada penerimaan retribusi Kota Pekalongan. Economics Development Analysis Journal, 3(1).
Widiastra, I. M., Rajendra, I. G. N. A., & Kastawan, I. W. (2019). Implikasi Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Lingkungan Fisik di Kawasan Sempadan Pantai Yeh Gangga Tabanan, Bali. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 6(2), 117-130.
Wiwin, I. W. (2018). Community Based Tourism dalam Pengembangan Pariwisata Bali. Pariwisata Budaya, 69-75.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dapat diselesaikan dengan adanya rahmat dan hidayah dari Allah SWT/Tuhan yang Maha Esa. Bantuan dan kontribusi yang tinggi dari berbagai pihak sehingga melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih, khususnya kepada para pemangku kepentingan di Kabupaten Mamasa. Harapan penulis dari hasil penelitian ini adalah ekowisata Tondok Bakaru dapat maju dan berkembang lebih baik melalui program kegiatan yang dibangun oleh pemangku kepentingan terkait ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan kami membuka diri untuk menerima saran dan masukan demi perbaikan tulisan ini.
90
SPACE - VOLUME 8, NO. 1, APRIL 2021
Discussion and feedback