Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian

AGROTECHNO

Volume 6, Nomor 1, April 2021

ISSN: 2503-0523 ■ e-ISSN: 2548-8023

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Berbagai Efektif Mikroorganisme Lokal

Composting of Oil Palm Empty Bunches Using Various Effective Local Microorganisms

Muhammad Helmy Abdillah

Dosen Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan, Politeknik Hasnur, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Indonesia

email: [email protected]

Abstract

The purpose of this study was to assess the rate at which temperature and humidity of compost increase which determines the process of decomposition of the EFB material and to assess the quality of the compost with different treatments. This study used a factorial True Experimental Design with a control group and a treatment group. The control group (B0) is EFB that is not given bio-activator, while the treatment group is EFB which are given bio-activators with a single factor in the form of the type of bio-activator given in making EFB into compost. These factors are B1 (EM4 500 ml + 500 ml condensation water), B2 (MOL combination of leri, leftover vegetables, and snails Pomacea canaliculata 500 ml + 500 ml condensation water), B3 (500 ml + of leri and banana humps). 500 ml), B4 (Palm Oil Mill Effluent liquid 1000 ml). The results obtained from this study are the speed and stability of the increase in temperature and humidity in the first week and stable decrease until the ninth week (60 days), sequentially as treatment B2; B4; B3; B1; B0. The treatments of B2 and B4 can degrade the EFB material more effectively as seen from particle size, pH, C-organik and ratio of C/N which are in accordance with the regulation of the Minister of Agriculture No. 70/Permentan/ SR.140/10/2011.

Keyword: decomposition, effective local microorganisms, EFB

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan larutan efektif mikroorganisme lokal yang tepat dalam mendekomposisi TKKS dengan cara menilai proses dan kualitas kompos yang memenuhi kriteria peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 pada lampiran 1 tentang Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Padat. Penelitian ini menggunakan true experimental Design faktorial dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol (B0) yaitu serat TKKS yang tidak diberikan bioaktivator, sedangkan kelompok perlakuan yaitu serat TKKS yang diberikan bioaktivator dengan faktor tunggal berupa jenis bioaktivator yang diberikan dalam pembuatan TKKS menjadi kompos. Faktor tersebut yakni B1 (cairan EM4 500 ml + 500 ml air kondensasi AC), B2 (cairan MOL kombinasi leri, sisa sayuran dan keong mas Pomacea canaliculata 500 ml + 500 ml air kondensasi AC), B3 (leri dan bonggol pisang 500 ml + 500 ml), B4 (cairan Palm Oil Mill Effluent/ POME 1000 ml). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yakni kecepatan dan kestabilan peningkatan temperatur dan kelembaban pada pekan pertama dan stabil turun hingga pekan ke sembilan (60 hari) yakni berturut-turut adalah perlakuan B2; B4; B3; B1; B0. Perlakuan B2 dan B4 dapat mendegradasi material serat TKKS lebih efektif, terlihat dari indeks C/N rasio yakni 21,18 dan 24,10 yang memenuhi kriteria Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011.

Kata kunci: dekomposisi, mikroorganisme lokal, TKKS.

PENDAHULUAN

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah satu dari lima material sisa (by product) dari agroindustri Crude Palm Oil (CPO), selain cangkang, POME, sludge dan solid (decanter) (Silalahi & Supijatno, 2017). Tandan kosong kelapa sawit sangat melimpah jumlahnya, seiring dengan meningkatnya jumlah buah sawit dan CPO yang dihasilkan. Pada tahun 2018, luas areal perkebunan kelapa sawit 14,33 juta Ha dengan produski CPO mencapai 42,9 juta ton dan

pada tahun 2019, luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat 1,88% menjadi 14,60 juta Ha dengan peningkatan produksi12,92% menjadi 48,42 juta ton (BPS-Statistics Indonesia, 2019).

Penelitian terhadap pembuatan kompos berbahan dasar TKKS dalam upaya mengurangi material telah dilakukan diantaranya oleh Satria (2016), Warsito et al. (2016) mengemukakan bahwa pembuatan TKSS menjadi kompos sering terkendala pada alotnya bahan TKKS yang tidak mudah putus antar serat dan cukup keras untuk melapuk sehingga C/N rasio

Muhammad Helmy Abdillah. 2021. Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Berbagai Efektif Mikroorganisme Lokal. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno, Vol. 6, No. 1, 2021. Hal. 17-24


bahan yang telah menjadi kompos masih cukup tinggi. Proses optimal pengomposan idealnya C/N rasio < 25 dengan kelembaban 60% dan suhu 30-60 °C (Veronika et al., 2019). Menurut Syahwan (2010), proses pematangan TKKS menjadi kompos perlu proses yang cukup lama (sekitar 13 pekan) dan akan lebih ideal menggunakan dekomposer dari slude maupun bahan lainnya. Kendala ini sangat wajar sebab serat dari TKKS banyak mengandung selulosa, lignin, hemiselulosa, dan holoselulosa (Anugrah et al., 2020).

Pada umumnya, pengomposan TKKS dilakukan dengan menghancurkan tandan kosong menjadi serat, mengolah dan mencampurnya dengan cairan bioaktivator bermerk EM4. Namun demikian, pengomposan tetap berjalan cukup lambat sebab serat TKKS sangat alot dan keras. Terdapat banyak cara dalam mengolah TKKS menjadi kompos, selain menggunakan EM4 namun tetap merujuk pada kualitas kompos dan mempercepat proses degradasi serat serta memperkaya bahan serat TKKS sehingga menjadi kompos yang mampu menyediakan unsur hara yang beragam dan cukup tinggi. Mikroorganisme lokal (MOL atau eco-enzime) berpotensi mampu mensubtitusi penggunaan EM4 dalam kegiatan proses pengomposan. Penggunaan MOL keong mas sebagai pupuk cair telah banyak diteliti dan menghasilkan produksi yang cukup tinggi pada tanaman melon (Andriani, 2019), hasil ini berpotensi lebih baik apabila MOL digunakan untuk mendegradasi senyawa organik, sehingga biomassa organik tidak mencemari lingkungan (Trisakti & Sijabat, 2020). Selain itu, penggunaan bonggol pisang sebagai bahan utama pembuatan MOL cukup berhasil mendegradasi bahan organik (Kesumaningwati, 2015; Veronika et al., 2019). Penggunaan POME juga berhasil mendekomposisi TKKS sehingga dapat dijadikan sebagai kompos (Abrir et al., 2019). Dari berbagai penelitian tersebut, maka potensi bahan alami dan limbah agroindustri dapat dijadikan sebagai starter/ bioaktivator dalam mendergradasi senyawa dan bahan organik.

Pada kegiatan pembuatan kompos, penggunaan MOL sering ditiadakan sebab sebagian pembuat kompos ingin praktis dan cepat, padahal kegunaan kompos dengan penambahan cairan bioaktivator berupa MOL sangat dianjurkan dan bermanfaat dalam mengelola sampah organik, memanfaatkan bahan alam serta menurunkan biaya dalam membuat pembenah tanah berupa kompos. Selain itu, penggunaan MOL pada pembuatan kompos dan pengaplikasiannya pada tanah pertanian dapat mengurangi pencemaran limbah organik, mempercepat degradasi bahan kompos, meningkatkan keanekaragaman biota tanah, mendorong ketersediaan hara yang beragam serta meningkatkan keberadaan mikroba lokal dalam

fiksasi logam-logam berat pada tanah sub-optimal sehingga dapat mewujudkan pertanian alternatif dan berkelanjutan.

Tujuan dari penelitian ini untuk menilai kestabilan peningkatan temperatur dan kelembaban yang menentukan proses degradasi bahan serat TKKS serta menilai kualitas kompos sesuai dengan kriteria Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan yaitu dari Oktober 2020 – Februari 2021 yang dilaksanakan di Screen House Politeknik Hasnur, Handil Bakti – Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan True Experimental Design faktorial dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol (B0) yaitu serat TKKS yang tidak diberikan bioaktivator, sedangkan kelompok perlakuan yaitu serat TKKS yang diberikan bioaktivator dengan faktor tunggal berupa jenis bioaktivator yang diberikan dalam pembuatan TKKS menjadi kompos. Faktor tersebut yakni B1 (cairan EM4 500 ml + 500 ml air kondensasi AC), B2 (cairan MOL kombinasi leri, sisa sayuran dan keong mas Pomacea canaliculata 500 ml + 500 ml air kondensasi AC), B3 (leri dan bonggol pisang 500 ml + 500 ml), B4 (cairan Palm Oil Mill Effluent/ POME 1000 ml). Semua perlakuan dirancang tanpa ulangan. Semua cairan perlakuan yang digunakan telah disaring dengan kain kasa 2 lapis dengan asumsi dapat menyaring material berupa kotoran dan serat ampas berukuran > 2 mm.

Bahan yang Digunakan

Pada penelitian ini, bahan yang digunakan yakni sebagai berikut:

Tandan kosong kelapa sawit sebanyak 5 karung dengan total berat ± 90 kg yang diminta dari PKS PT. Hasnur Citra Terpadu, Km 12, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Pada penelitian ini, TKKS dicancang berukuran < 15 cm. EM4 (Effective Microorganisms) sebanyak 1 botol yang dibeli ditoko pertanian. Penggunaan EM4 dalam penelitian ini hanya sebanyak 500 ml. Air leri sebanyak 5 liter didapat dari air hasil cucian beras pertama yang sudah difermentasikan selama 7 hari. Sayuran busuk sebanyak 500 g yang terdiri dari sisa sayuran sawi, wortel, kecambah, kubis, sisa buah pepaya, tomat dan buah oyong (karawila). Keong mas (Pomacea canaliculata) yang didapat dari pinggiran rawa dan persawahan sebanyak 10 ekor dengan berat ± 160 g. Bonggol pisang sebanyak 500 g yang telah difermentasikan 7 hari. Gula merah sebanyak 15 kg

yang dibeli dipasar tradisional. Air kondensasi AC didapat dari mengumpulkan air sisa buangan AC. POME sebanyak ± 10 liter yang didapat dari PKS PT. Hasnur Citra Terpadu, Km 12, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Pada penelitian ini, POME yang digunakan disarimg untuk mendapatkan airnya yang berwarna hitam. Air POME yang digunakan dalam penelitian ini 1000 ml.

Cara kerja pembuatan MOL

Adapun cara pembuatan mikroorganisme lokal (MOL) kombinasi air leri, sisa sayuran dan keong mas dalam penelitian ini, sebagai berikut: Siapkan sisa sayuran sawi, wortel, kecambah, kubis, sisa buah pepaya, tomat dan buah oyong (karawila), keong mas, dan gula aren dan air leri. Timbang semua sisa sayuran ± 500 g, keong mas ± 80 g (5-6 ekor) dan gula aren ± 500 g, kemudian dicacah cukup halus atau dapat juga diblender menjadi satu. Hancurkan hingga tekstur cukup halus (masih terasa/ terlihat serat). Setelah poin 2 dilakukan, siapkan ember bertutup sebagai wadah penampungan bahan. Masukkan hasil cacahan sayuran, gula aren dan keong mas kedalam ember dan tambahkan air leri sebanyak 500 ml. Tutup ember dengan rapat, fermentasikan selama 7 hari sehingga terjadi proses fermentasi anaerob dan ampas bahan terendapkan didasar wadah. Siapkan jerigen, corong dan kain saring. Masukkan cairan MOL yang telah terfermentasi tadi (poin 4) kedalam jerigen menggunakan alat bantu corong yang dilapisi kain saring sehingga cairan MOL pada jerigen berisi cairan MOL tanpa ampas/ serat bahan yang tercampur kemudian tutup rapat jiregen. Simpan cairan MOL selama 21 hari pada suhu ruang. Dalam masa penyimpanan, cek aroma cairan MOL tiap 3-4 hari sekali untuk memastikan cairan telah terfermentasi. Apabila aroma busuk yang tercium, tambahkan cairan gula aren yang telah disaring (gula aren 1: air bersih 2). Pada hari ke-21, cairan MOL dapat digunakan sebagai biang yang dapat diencerkan dengan air bersih/ kondensasi AC pada perbandingan 1:1.

Adapun cara pembuatan mikroorganisme lokal (MOL) kombinasi air leri, keong mas dan bonggol pisang dalam penelitian ini, sebagai berikut: Siapkan bonggol pisang, keong mas, gula aren dan air leri. Timbang bonggol pisang 500 g, keong mas ± 80 g (56 ekor) dan gula aren ± 500 g, kemudian dicacah cukup halus atau dapat juga diblender menjadi satu. Hancurkan hingga tekstur cukup halus (masih terasa/ terlihat serat). Setelah poin 2 dilakukan, siapkan ember bertutup sebagai wadah penampungan bahan. Masukkan hasil cacahan tersebu kedalam ember dan tambahkan air leri sebanyak 500 ml. Tutup ember dengan rapat, fermentasikan selama 7 hari sehingga terjadi proses fermentasi anaerob dan ampas bahan

terendapkan didasar wadah. Siapkan jerigen, corong dan kain saring. Masukkan cairan MOL yang telah terfermentasi tadi (poin 4) kedalam jerigen menggunakan alat bantu corong yang dilapisi kain saring sehingga cairan MOL pada jerigen berisi cairan MOL tanpa ampas/ serat bahan yang tercampur kemudian tutup rapat jiregen. Simpan cairan MOL selama 21 hari pada suhu ruang. Dalam masa penyimpanan, cek aroma cairan MOL tiap 3-4 hari sekali untuk memastikan cairan telah terfermentasi. Apabila aroma busuk yang tercium, tambahkan cairan gula aren yang telah disaring (gula aren 1: air bersih 2). Pada hari ke- 21, cairan MOL dapat digunakan sebagai biang yang dapat diencerkan dengan air bersih/ kondensasi AC pada perbandingan 1:1.

Cara kerja

Adapun cara pembuatan kompos dari serat TKKS yang diberi perlakuan biokativator, yakni tandan kosong kelapa sawit dicacah menggunakan parang hingga ukuran serat rata-rata <10 cm. Semua hasil pencacahan berupa serat, dihomogenkan dengan cara diaduk dan dicampurkan merata serta dikeringkan dibawah radiasi matahari dalam kondisi secukupnya (tingkat kekeringan > 70%).

Setelah kering, serat TKKS dipisahkan pada masing-masing wadah untuk diberi perlakuan. Adapun perlakuan pada pengomposan serat TKKS yakni sebagai berikut:

B0 :   10 kg serat TKKS (tidak diberikan

bioaktivator)

B1 :   10 kg serat TKKS diaplikasikan cairan EM4

500 ml diencerkan/ dicampurkan dengan air kondensasi AC 500 ml)

B2 :   10 kg serat TKKS diaplikasikan bioaktivator

cairan MOL berbahan sisa sayuran, keong mas dan kombinasi leri sebanyak 500 ml diencerkan/ dicampurkan dengan air kondensasi AC 500 ml)

B3 :   10 kg serat TKKS diaplikasikan bioaktivator

cairan MOL bonggol pisang, keong mas dan kombinasi leri sebanyak 500 ml diencerkan/ dicampurkan dengan air kondensasi AC 500 ml)

B4 :   10 kg serat TKKS diaplikasikan cairan

POME sebanyak 1000 ml

Pada perlakuan pengomposan dengan aplikasi bioaktivator cairan MOL (B1; B2; B3 dan B4), serat TKKS disirami merata dengan cairan MOL, sambil dibolak balik. Semua perlakuan ditutup dengan terpal 2 lapis dan disusun rapi. Pada semua perlakuan, setiap 4 hari sekali disirami air gula aren yang diencerkan (500 g gula aren : 1000 ml air bersih) dan dibolak-balik.

Pengumpulan Data

Proses pengomposan dan pengumpulan data dilakukan selama 60 hari dengan asumsi bahwa serat TKKS adalah material yang alot dan keras dibandingkan dengan material organik pada umumnya, sehingga diperlukan waktu yang lama. Dalam penelitian ini, indikator parameter yang diamati terbagi dalam 2 katagori yakni 1) pengamatan proses pengomposan yang diamati 4 hari sekali, pada setiap pagi diantara pukul 8-9 dengan indikator pengamatan adalah temperatur dan kelembaban material kompos, 2) pengamatan material hasil pengoposan yang diamati setelah proses pengomposan selesai (60 hari) dengan indikator yakni tingkat kehancuran, ukuran partikel, warna, bau, pH, C-organik, N-total, C/N rasio (Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011). Dalam penelitian ini, pengumpulan data temperatur dan kelembaban menggunakan alat Thermohygrometers IL-7720 Model IL-7720, sedangkan untuk analisis kadar N menggunakan metode Kjeldahl, dan C-organik menggunakan metode Walkey & Black.

Adapun indikator tingkat kehancuran material dirinci sebagai berikut:

0% -  : Katagori bahan belum hancur dan

30%      terasa serat kasar (ukuran serat >25

mm)

31% -  : katagori hancur sebagian terasa serat

60%      sudah lunak (ukuran serat >25 mm)

61% -  : katagori terlihat hancur (80%)

  • 90%      namun terasa serat lunak (ukuran serat

≤25 mm)

:  katagori bahan telah menyerupai tanah

  • >90%    (ukuran serat < 25 mm)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temperatur dan Kelembaban Kompos

Hasil pengamatan yang dilakukan setiap 4 hari sekali selama proses pengomposan (60 hari) terhadap temperatur dan kelembaban material serat TKKS pada setiap perlakuan yang dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Temperatur material serat TKKS selama pengomposan


Gambar 2. Kelembaban material serat TKKS selama pengomposan


Berdasarkan analisis pada Gambar 1 dan Gambar 2, terdapat perbedaan kecepatan peningkatan temperatur dan kelembaban pada berbagai perlakuan. Secara umum, pada semua perlakuan terlihat temperatur dan kelembaban proses pengomposan serat TKKS terus mengalami peningkatan, namun pada perlakuan B0 cenderung fluktuatif dan peningkatannya lebih lambat dari perlakuan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena terbatasnya mikroba perombak yang berada pada serat TKKS perlakuan B0 yang mungkin saja perombakan hanya dilakukan oleh mikroba lokal yang masih menempel pada serat TKKS dari landfill area di PKS. Pada perlakuan B1, B2, B3 dan B4, semua serat TKKS diberikan mikroba tambahan melalui cairan bioaktivator sesuai perlakuan. Hal ini memperlihatkan tren yang meningkat pada temperatur dan kelembaban bahan kompos dalam proses pengomposan selama 60 hari. Pemberian glukosa dari gula aren setiap 4 hari sekali selama 60 hari pada semua perlakuan, tidak memberikan respon kenaikan temperatur dan kelembaban pada perlakuan B0 secara drastis, padahal pemberian glukosa diharapkan dapat memengaruhi aktivitas mikroba dalam merombak bahan serat TKKS yang diindikasikan dengan naiknya temperatur bahan kompos. Mikroba yang aktif dalam kondisi pengoposan pada temperatur tinggi adalah mikroba termofilik.

Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba tersebut menggunakan oksigen sebagai energi dalam menguraikan bahan organik. Hasil aktivitas tersebut adalah CO2, uap air dan peningkatan temperatur yang tergambar dalam kurva sigmoid. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka temperatur akan berangsur-angsur mengalami penurunan, hal ini sesuai dengan penelitian (Krisnawan et al., 2018) pada pengomposan jerami padi yang mengamati temperatur pengomposannya mulai naik pada hari ke-4 dan mulai turun pada hari ke- 24, pada hari ke 48, kompos telah mencapai temperature yang stabil (<30 ºC). Hadi (2019) menjelaskan bahwa peningkatan temperatur dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos yang ketinggiannya 15-25 cm. Temperatur pengomposan berkisar antara 30-60 °C, apabila temperaturnya stabil dan turun perlahan, material akan terurai. Pada suhu > 45 ºC akan membunuh sebagian mikroba dan benih gulma sehingga hanya mikroba termofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Lende et al (2012) mengatakan bahwa temperatur > 45ºC juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen bagi tanaman dan benih-benih gulma tercampur pada material kompos,

sedangkan kelembaban yang ideal bekisar 40-65%, sebab apabila terlalu rendah proses pengomposan akan kering dan terjadi penurunan aktivitas mikroba yang diindikasikan dari turunnya temperatur sehingga proses pengomposan juga lambat, sebaliknya apabila kelembaban terlalu tinggi, akan menyebabkan kompos terlalu basah dan akhirnya bisa menyebabkan unsur hara yang telah terbentuk menjadi larut ataupun teruap. Selain itu, kelembaban terlalu tinggi juga berpengaruh terhadap volume udara yang akan berkurang pada kubah material kompos, akibatnya aktivitas mikroba juga akan menurun dan yang meninbulkan bau tidak sedap.

Hadiwidodo et al. (2019) melaporkan bahwa penambahan gula sebagai sumber glukosa dapat meningkatkan kematangan kompos dan mempercepat waktu kematangan bahan kompos, selain itu mencegah dan dapat mengatasi kompos yang berbau. Atmaja et al. (2017) melaporkan bahwa kualitas kompos dipengaruhi oleh fase mesofilik, termofilik dan pematangan yang masing-masing fase tersebut tergantung dari material utama dan perlakuan yang diberikan, hal ini sangat berpengaruh terhadap waktu lama pengomposan. Dalam penelitian ini, meskipun gula aren selalu diberikan setiap 4 hari sekali hingga hari ke 60 (penelitian dianggap selesai), namun perlakuan B0 menghasilkan kompos yang tidak sempurna dibandingkan dengan perlakuan B1, B2, B3 dan B4. Secara umum, proses pengomposan dapat dilihat dari indeks temperatur dan kelembaban yang dihasilkan (Gambar 1 dan 2). Indeks temperatur dan kelembaban selalu berbanding lurus terhadap hasil pengomposan. Hasil pengomposan berbentuk lebih baik apabila temperatur dan kelembaban naik dinamis (tidak fluktuatif) pada saat proses pengomposan sehingga kehancuran bahan kompos lebih cepat dan hasilnya lebih mirip dengan tanah. Ardiningtyas, (2013) melaporkan bahwa keterbatasan dalam penelitiannya terdapat pada temperatur yang tidak optimal sehingga menyebabkan proses pengomposan terjadi lebih lama (>49 hari). Selain itu, temperatur yang tidak optimal juga memengaruhi penguraian sehingga serat sehingga C-organik tetap tinggi meskipun proses pengomposan telah lama.

Kriteria secara Fisik dan Kimia Kompos

Adapun hasil uji mutu kompos TKKS setelah 60 hari proses pengomposan dengan indikator yakni tingkat kehancuran, ukuran partikel, warna, bau, pH, C-organik, N-total, C/N rasio (Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011) dari material dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji kompos TKKS dengan berbagai perlakuan

Parameter

Standar**

B0

B1

B2

B3

B4

Tingkat kehancuran

-

39%

58%

67%

57%

63%

Ukuran partikel (mm)

25 mm

>25

>25

<25*

>25

<25*

Warna

-

Cokelat muda

Cokelat tua

Kehitaman

Cokelat kehitaman

Kehitaman

Bau

-

Bau minyak mentah

Bau tanah

Bau tanah

Bau tanah

Bau tanah

pH (H2O)

4-9

5,2*

5,9*

6,9*

6,2*

6,7*

C-organik (%)

Minimal 15

38,3*

30,4*

26,9*

29,7*

28,2*

N-total (%)

Minimal 4

0,56

1,02

1,27

0,89

1,17

C/N rasio

15-25

68,39

29,80

21,18*

33,37

24,10*

Keterangan:     * hasil uji memenuhi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011.

** menurut Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/SR.140/10/2011


Pada perlakuan B1, indeks pH terindikasi agak masam dan lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya selain B0. Hal ini mungkin disebabkan kandungan EM4 yaitu Lactobasillus sp, Streptomyces sp dan baktreri fotosintetik menghasilkan produk sampingan yakni asam laktat (pH 3-5) (Siswati et al., 2009) Penggunaan EM4 dalam volume tertinggi dilaporkan dapat meningkatkan kemasaman bahan organik cair (Dwicaksono et al., 2014), namun dalam banyak penelitian, pH kompos justru dapat meningkatkan pH tanah mineral sebab asam yang dihasilkan merupakan asam organik yang dapat berikatan dengan ion mineral. Derajat kemasaman (pH) kompos pada perlakuan B1; B2; B3 dan B4 terlihat lebih tinggi dibandingkan B0, hal ini mungkin disebabkan kinerja dari mikroba yang ditambahkan. Derajat kemasaman (pH) pada MOL keong mas terlihat lebih tinggi (pH 6,3) dibandingkan MOL urin kelinci (pH 4,6) dan bonggol pisang (4,8) (Suhastyo et al., 2013). Penggunaan keong mas sudah menjadi tradisi lokal dalam budidaya tanaman Padi. Fungsi pemberian keong mas dapat sebagai penyedia hara maupun dekomposer pada tanah (Rozen & Musliar, 2018).

Dalam penelitian ini, hasil perlakuan terbaik terlihat pada B2 dalam beberapa kriteria berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 pada parameter tingkat kehancuran, ukuran partikel, warna, bau, pH, C-organik, N-total, C/N rasio. Hal ini mungkin disebabkan beragamnya jenis mikroorganisme yang terlibat dalam perombakan TKKS sebab bahan utama yang digunakan dalam pembuatan biokativator cairan MOL adalah sisa sayuran, jasad keong mas, cairan gula aren dan air leri yang dengan bahan tersebut, semua keperluan mikroba tercukupi seperti pada penelitian sebelumnya (Suwatanti &

Widiyaningrum, 2017). Rusmini et al. (2019) melaporkan bahwa penggunaan keong mas yang dicampur dengan buah maja telah memenuhi persyaratan pengomposan. Sumarlin et al (2020) melaporkan bahwa kandungan hara pada pupuk cair dari keong mas dalam waktu fermentasi berbeda menghasilkan kandungan hara yang beragam, namun rata-rata kandungan NPK telah mendekati standar mutu pupuk cair.

Dalam penelitian ini, belum cukup dalam mendegradasi senyawa lignin, selulosa dan hemiselulosa pada serat TKKS yang alot, sehingga hasil terbaik hanya terlihat pada perlakuan B2 dengan tingkat kehancuran 68% dengan masih tingginya C/N rasio pada kompos yakni 21,18. Pada perlakuan B3 dengan bioaktivator berbahan dasar bonggol pisang terlihat mampu memberikan hasil yang cukup baik, meskipun menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan perlakuan B2 pada kriteria pH kompos 6,2 dan C/N rasio yang masih tinggi 33,37. (Darmawati et al., 2016) pengomposan TKKS dengan penambahan MOL bonggol pisang 4 ml sebagai perlakuan tertinggi dinyatakan menghasilkan degradasi serat TKKS lebih hancur dibandingkan dengan perlakuan 2 ml dan 3 ml.

Pembuatan bonggol pisang sebagai bioaktivator pada kegiatan PkM distrik Walelagama Provinsi Papua, dapat mengurangi biaya pengelolaan lahan pertanian, sebab biokativator tersebut dapat menjadi pupuk cair maupun cairan dan dekomposer. Penerapan hal tersebut menjadi wawasan baru bagi kelompok tani setempat (Inrianti et al., 2019). Pada perlakuan B4 (POME), meskipun menghasilkan tingkat kehancuran bahan kompos TKKS lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain (selain B2), namun C/N rasio masih cukup tinggi, padahal dengan penambahan POME, diharapkan unsur Nitrogen yang terkandung dalam POME dapat mendegradasi

senyawa karbon pada serat TKKS. Nilai rasio C/N pada perlakuan B4 telah memenuhi persyaratan Peraturan     Menteri     Pertanian     Nomor

70/Permentan/SR.140/10/2011 yakni 24,10. Menurut Triyadi et al. (2015) pemanfaatan POME dan limbah cair dari PKS dapat meningkatkan kelembaban kompos, menurunkan C-organik dan C/N rasio bahan sehingga layak untuk diaplikasikan. Pengaplikasian kompos ke tanah, idealnya bahan kompos telah memiliki C/N rasio < 25, sebab akan memengaruhi ketersediaan N pada tanah yang diaplikasikan kompos tersebut, sehingga N pada tanah akan rendah yang pada akhirnya terjadi defisiensi unsur N pada tanaman.

KESIMPULAN

Kestabilan peningkatan temperatur dan kelembaban dari pengamatan pekan pertama hingga pekan kesembilan (60 hari) yakni berturut-turut adalah perlakuan B2; B4; B3; B1; B0. Pengomposan TKKS dengan pemberian MOL perlakuan B2 dan B4 menghasilkan ukuran partikel, pH, C-organik dan C/N rasio sesuai dengan kriteria Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada DRPM Kemenristek/ BRIN yang telah memberikan dana penelitian tahun anggaran 2021. Artikel ini merupakan hasil penelitian pendahuluan terhadap pembuatan pembenah tanah berbahan by product agroindustri CPO pada penelitian utama dengan judul “Pembenahan Tanah di Lahan Sub-Optimal Menggunakan Kombinasi Bahan Organik Lokal dan Limbah Agroindustri pada Budidaya Tanaman Padi” dari dana DRPM Kemenristek/ BRIN tahun anggaran 2021. Artikel ini menjadi luaran tambahan yang dihasilkan selama mengerjakan penelitian dari judul besar tersebut. Penulis juga menyampaikan penghargaan yang setingginya kepada semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini, terutama P2M Politeknik Hasnur yang telah memfasilitasi hingga akhirnya pengajuan dana proposal PDP ini dapat diterima oleh Kemristek/BRIN Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abrir, A. S., Ahmad, A., & Andrio, D. (2019). Kinerja Teknik Pengomposan Limbah Tandan Kosong Sawit Menggunakan Metode Windrow Aerob Ditinjau dari Rasio C/N. 6(2), 1–7.

Andriani, V. (2019). Aplikasi Keong Mas (Pomacea canaliculata L.) sebagai Pupuk Organik Cair Pada Pertumbuhan Tanaman Melon (Cucumis melo L) Var. Japonica dan Tacapa. Simbiosa, 8(2), 100–108. https://doi.org/10.33373/sim-bio.v8i2.1968

Anugrah, R., Mardawati, E., Putri, S. H., & Yuliani, T. (2020). Karakter Bioetanol Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Metode Pemurnian Adsorpsi (Adsorpsi Menggunakan Adsorben berupa Zeolit). Jurnal Industri Pertanian, 2(1), 113–123.

Ardiningtyas, T. R. (2013). Pengaruh Penggunaan Effective Microorganism 4 (EM4) dan Molase Terhadap Kualitas Kompos dalam Pengomposan Sampah Organik.

Atmaja, I. K. M., Tika, I. W., & Wijaya, I. A. S. (2017). Pengaruh Perbandingan Komposisi Bahan Baku terhadap Kualitas Kompos dan Lama Waktu Pengomposan. Jurnal BETA (Biosistem dan Teknik Pertanian), 5(1), 111– 119.

BPS-Statistics Indonesia. (2010). Indonesian Oil Palm Statistics 2009.

Darmawati, Yustina, & Amwaa, A. (2016). Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit Dengan Menggunakan Mikroorganisme Lokal ( Mol ) Bonggol Pisang Sebagai Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik ( LKPD ) Kelas X Biologi SMA. 13(1), 69–76.

Dwicaksono, M. R. B., Suharto, B., & Susanawati, L. D. (2014). Pengaruh Penambahan Effective Microorganisms pada Limbah Cair Industri Perikanan Terhadap Kualitas Pupuk Cair Organik. Jurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan, 1(1), 7–11.

Hadi, R. A. (2019). Pemanfaatan MOL (Mikroorganisme Lokal) dari Materi yang tersedia di Sekitar Lingkungan. Agroscience (Agsci),             9(1),             93–104.

https://doi.org/10.35194/agsci.v9i1.637

Hadiwidodo, M., Sutrisno, E., & Sabrina, A. (2019). Pengaruh Variasi Gula Pasir Terhadap Waktu Pengomposan Ditinjau dari Rasio C/N pada Sampah Sayuran di Pasar Jati Banyumanik dengan Penambahan Bioaktivator Lingkungan. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 16(1), 36. https://doi.org/10.14710/presipitasi.v16i1.36-43

Inrianti, Tuhuteru, S.,  & Paling, S. (2019).

Pembuatan Mikroorganisme Lokal Bonggol Pisang pada Kelompok Tani Tunas Harapan Distrik Walelagama, Jayawijaya, Papua. Agrokreatif: Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat,         5(3),         188–194.

https://doi.org/10.29244/agrokreatif.5.3.188-194

Kesumaningwati, R. (2015). Penggunaan MOL Bonggol Pisang (Musa paradisiaca) sebagai Dekomposes untuk Pengomposan Tandan Kelapa Sawit. Ziraa’ah, 40(1), 40–45.

Krisnawan, K. A., Tika, I. W., Ayu, & Madrini, I. A.

G. B. (2018). Analisis Dinamika Suhu pada Proses Pengomposan Jerami dicampur Kotoran Ayam dengan Perlakuan Kadar Air. Jurnal BETA (Biosistem dan Teknik Pertanian), 6(1), 25–32.

Lende, A. N., Hasan, M., Mooy, L. M., & Suryawati. (2012). Persentase Bahan Pembuatan Kompos (Daun Lamtoro: Sabut Buah Lontar: Pupuk Kandang Sapi) untuk Menghasilkan Kompos yang Berkualitas. Partner, 22(2), 463–473.

Rozen, N & Musliar, K. (2018). Teknik Budidaya Tanaman Padi Metode SRI (The System of Rice Intensification ) (Cetakan ke). PT. RajaGrafindo Persada Depok.

Rusmini, Manullang, R. R., Daryono, & Sadikin, A. (2019). Peningkatan Kualitas Bioaktivator Keong Mas dengan Penambahan Buah Maja. Prosiding Seminar Nasional Ke-2 Tahun 2019 Balai Riset dan Standardisasi Industri Samarinda, 1, 32–40.

Satria, D. (2016). Pembuatan Pupuk Kompos dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Menggunakan Berbagai Jenis Dekomposer dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit sebagai Aktivator. Universitas Sumatera Utara.

Silalahi, B. M., & Supijatno, &. (2017). Waste management of palm oil (Elaeis guineensis Jacq.) in Angsana Estate, South Kalimantan. Bul. Agrohorti, 5(3), 373–383.

Siswati, N. D., Theodorus, H., & Eko, W. (2009). Kajian Penambahan Effective Microorganisms (EM4 ) pada Proses Dekomposisi Limbah Padat Industri Kertas. Jurnal Buana Sains, 9(1), 63– 68.

Suhastyo, A. A., Anas, I., Santosa, D. A., & Lestari, Y. (2013). Studi Mikrobiologi dan Sifat Kimia Mikroorganisme Lokal (MOL) yang Digunakan pada Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification). Sainteks, 10(2), 29–39.

Sumarlin, Alimuddin, S., Nuhung, E., & Ashar, J. R.

(2020). Kandungan Hara Pupuk Organik Cair dari Keong Emas dengan Interval Fermentasi yang Berbeda. Jurnal Agrotek, 1(1), 16–23. http://jurnal.fp.umi.ac.id/index.php/agrotekmas /article/view/102

Suwatanti, E.,  & Widiyaningrum, P. (2017).

Pemanfaatan MOL Limbah Sayur pada Proses Pembuatan Kompos. Jurnal MIPA, 40(1), 1–6.

Syahwan, F. L. (2010). Potensi Limbah dan Karakteristik Proses Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit yang Ditambahkan Sludge Limbah Pabrik Minyak Kelapa Sawit. J. Tek. Ling, 11(3), 323–330.

Trisakti, B., & Sijabat, I. P. (2020). Profil pH dan Volatile Suspended Solids pada Proses Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Cair Organik Aktif sebagai Co-Composting. Jurnal Teknik Kimia USU,              9(1),              11–15.

https://doi.org/10.32734/jtk.v9i1.2668

Triyadi, C., Rahman, Y., & Trisakti, B. (2015). Pengaruh Tinggi Tumpukan pada Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit di dalam Komposter Menara Drum. Jurnal Teknik Kimia USU,             4(4),             25–31.

https://doi.org/10.32734/jtk.v4i4.1510

Veronika, N., Dhora, A., & Wahyuni, S. (2019). Pengolahan Limbah Batang Sawit Menjadi Pupuk Kompos dengan Menggunakan Dekomposer Mikroorganisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang. Journal of Agroindustrial Technology,         29(2),         154–161.

https://doi.org/10.24961/j.tek.ind.pert.2019.29. 2.154

Warsito, J., Sabang, S. M., & Mustapa, K. (2016). Fabrication of Organic Fertilizer from Waste of Oil Palm Bunches. Jurnal Akademika Kimia, 5(February), 8–15.

24