Transformasi Elemen Rancang Bangun Tradisional dalam Tampilan Arsitektur Bangunan Kekinian
on
RUANG
SPACE
TRANSFORMASI ELEMEN RANCANG BANGUN TRADISIONAL DALAM TAMPILAN ARSITEKTUR BANGUNAN KEKINIAN
Oleh: Sylvia Agustine Maharani1, Gusti Ayu Made Suartika2, Kadek Edi Saputra3
Abstract
It is undeniable to express that architectural designs have a defining role in developing an identity, impression, and finally sense of a place. Traditional architecture which grows and develops along with the course of culture, natural conditions, geography, topography, and the social system, has characterized the existence of vernacular architecture of certain localities. The idea of embracing traditional architectural principles and forms into the current design of a built form has always been a real challenge. This encounter is even intensified when design in architecture is understood as a process of addressing needs, ideas, inspiration, conformance to a set of guidelines, as well as an embedded message an architect would like to convey through her/his design. This article discusses the approaches and efforts made by Grounds Kent Arsitek Indonesia (GKAI) in embracing traditional Balinese architecture in designing The Alantara Resort Sanur. This is a study that applies a qualitative approach, implementing interviews and in-depth design observations as its methods in data collection. By focusing on the building style, the results of this study show that there was a great deal of reinterpretation process of Balinese traditional architecture taking place, including 1) adaptation in the application of the Tri Angga concept; 2) domination in the use of local building materials; 3) adjustment in techniques as to how traditional building decorative elements are produced and used; 4) modification in the spatial hierarchy of certain structures; and 5) simplification in form of ornaments and decorative elements in use.
Keywords: traditional architecture; the architecture of the current building; building style
Abstrak
Tidak bisa dipungkiri jika karya arsitektur memiliki peran penting di dalam membangun identitas, rasa dan kesan dari sebuah tempat - sense of place. Disini peran arsitektur tradisional yang tumbuh dan berkembang seiring perjalanan budaya, kondisi alam, geografi, tofografi, beserta sistem sosial kemasyarakatan memberi ciri pada keberadaan arsitektur vernacular. Menjadi tantangan bagi para arsitek untuk mengakomodasi wujud tradisi rancang bangun ini ke dalam desain, sebelum memunculkan karya desain yang merupakan peleburan antara ide, tradisi, dan kaidah-kaidah karya kekinian, serta pesan yang ingin disajiikan. Artikel ini membicarakan tentang pendekatan serta upaya yang dilakukan oleh Grounds Kent Arsitek Indonesia dalam merangkul arsitektur tradisional Bali di dalam mendesain The Alantara Resort Sanur. Ini merupakan sebuah studi yang menerapkan pendekatan kualitatif, dengan metode interview dan observasi desain yang mendalam. Dengan berfokus pada tampilan bangunan, hasil penelitian menunjukan adanya reintrepetasi arsitektur tradisional yang mencakup 1) adaptasi penerapan konsep Tri Angga; 2) dominasi dalam pemanfaatan bahan bangunan lokal; 3) pengolahan teknik pemanfaatan ragam hias tradisional pada badan bangunan; 4) penyesuasian skala hierarkhi vertical bangunan; dan 5) penyederhanaan pada ornamen dan ragam hias.
Kata kunci: arsitektur tradisional; arsitektur bangunan masa kini; tampilan bangunan
Pendahuluan
Arsitektur akomodasi wisata yang berada di Bali saat ini sangatlah beragam. Ini sejalan dengan posisi Bali sebagai salah satu destinasi wisata dunia yang membutuhkan tempat tinggal temporer bagi para turis selama menikmati potensi wisata yang ditawarkan Pulau ini. Kebutuhan ini menyediakan peluang luas bagi para perancang dalam mengekspresikan kemampuan serta kreativitas dalam desain. Ameniti wisata yang ada di Pulau Dewata sampai detik ini telah dirancang oleh para arsitek yang tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga dari berbagai belahan dunia yang mengantar Bali sebagai rumah dari berbagai hotel berbintang dan resort dengan desainnya yang berkarakter. Kondisi ini tidak terlepas dari usaha para arsitek dalam mengakomodasi kayanya tatanan tradisi dan budaya lokal yang Bali miliki, termasuk kekayaan terkait rancang bangun yang ditawarkan oleh Pulau Seribu Pura ini. Usaha ini dilakukan selain untuk alasan teknis, kesesuaian iklim, keselarasan dengan lingkungan sekitar, namun juga untuk memunculkan karya yang menawarkan desain kebaruan yang mampu membangun identitas dan ‘rasa’ akan tempat dimana hasil karya rancangan berada.
Berkaitan dengan upaya merangkul elemen-elemen arsitektur tradisional (local) ke dalam desain bangunan kontemporer khususnya akomodasi wisata, artikel ini membahas tentang usaha arsitek dalam mengiklusi tradisi ke dalam rancangannya. Arsitek yang dibahas disini adalah Grounds Kent Arsitek Indonesia (GKAI), dengan hasil rancangannya adalah The Alantara Resort Sanur, Denpasar, Bali. Diharapkan, artikel ini akan memberikan pendekatan baru dalam proses perencanaan serta perancangan arsitektur dimana arsitek membangun ide serta keputusan desain dengan belajar dari sistem budaya dimana hasil rancangannya akan dimanfaatkan/dipakai.
Grounds Kent Arsitek Indonesia (GKAI) dikenal sebagai arsitek yang memberikan perhatian khusus terhadap budaya lokal dalam hasil rancangannya dalam dua puluh tahun terakhir. Ini khususnya diakui dalam hasil rancangan bangunan berfungsi hospitality seperti resor dan hotel yang telah dihasilkannya. Martin Grounds sebagai prinicipal menyatakan dalam beberapa interview mengenai desain filosofinya “Ultimately we believe that wherever possible architecture should involve and reflect local conditions, materials and traditions. Each project should reflect the sense of place unique to its location.” Lebih lanjut Martin Grounds mengatakan bahwa adalah peran seorang arsitek untuk menciptakan karya-karya, khususnya yang berkembang pada lingkungan wisata, yang mampu memberikan pengalaman ruang yang tidak terlupakan untuk para wisatawan. Ini termasuk kemampuan karya arsitektur untuk memunculkan rasa rileks dan kesegaran pikiran. Ini menjadi poin penting karena kebanyakan wisatawan dating dengan maksud untuk melepaskan kesibukan yang dimunculkan oleh kehidupan modern yang mereka bawa dari kota asal mereka. Usaha mengangkat tradisi dan budaya lokal dalam rancangan dipandang akan memberikan pengalaman ruang yang berbeda dan site specific, selain pada saat yang sama akan melestarikan dan mengangkat budaya lokal.
Sebagai salah satu arsitek senior di Bali yang telah mendapatkan berbagai penghargaan dalam kategori hospitality, Martin Grounds memandang arsitektur tradisional Bali sebagai salah satu daya tarik yang dimiliki Pulau Bali. Tanpa adanya usaha yang serius dari para
perancang untuk mengakomodasi elemen-elemen arsitektur Bali ke dalam karya-karya arsitektur kekinian, maka keunikan Bali akan memudar seiring dengan arus modernitas dan globalisasi dalam profesi kearsitekturan.
Perhatian serta kegigihan dari Arsitek Martin Grounds dalam memperjuangkan inklusi arsitektur local ini telah menginspirasi kelahiran dari artikel ini yang mengupas The Alantara Resort Sanur sebagai salah satu karya dari GKAI. Desain dari Resort ini menerima Adi Prajana Nugraha Trophy, pada acara IAI BALI AWARD 2019 yang bertajuk The Contribution of Traditional and Vernacular Architecture on the Hospitality Product, untuk kategori Akomodasi Pariwisata (Hotel) Terbaik. Artikel ini mengulas sejauh mana unsur lokal telah diterapkan oleh GKAI pada bangunan kontemporer yang dirancangnya. Penelitian yang direpresentasikan di dalam artikel ini dilakukan dengan mengkaji prinsip-prinsip Arsitektur Bali terkait tampilan bangunan telah diberlanjutkan keberadaannya di dalam desain dari The Alantara Resort Sanur.
Inklusi Rancang Bangun Tradisional Bali pada Arsitektur Bangunan Kontemporer
Rancangan bangunan tradisional di Bali dataran dikenal dengan kharakteristiknya yang khas dan unik. Banyak penulis telah mendeskripsikan serta mengkaji keberadaannya, termasuk Gomudha (1999); Eko Budiarjo (1986); Sulistyawati (1996, 2013); Siwalatri (1997); Suartika (2010, 2013; 2020a, 2020b); dan Sulistiani (2010). Secara fundamental, para penulis ini mengulas konsep utama yang melandasi keberadaan praktek rancang bangunan di Bali dataran yaitu 1) Tri Loka (hirarki space), 2) Tri Angga (pembagian wujud), 3) Manik ring cecupu (keseimbangan kosmos), 4) konsep halaman terbuka; 5) desa-kala-patra; 6) sanga mandala; 7) swastika sana; 8) natah; 9) ornamen; 10) material; 11) kejelasan struktur; 12) gegulak; 13) padewasan; dan 14) upakara.
Gomudha (2017) dalam kajiannya yang berjudul “Rekonstruksi dan Reformasi Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) pada arsitektur masa kini (AMK) di Bali” menggarisbawahi pentingnya penerapan nilai-nilai ATB pada bangunan kontemporer sebagai upaya pelestarian. Gomudha (2017) lebih lanjut menjelaskan ada 5 unsur tata bangunan pada bagian mana arsitektur lokal bisa diakomodir yaitu 1) sosok bangunan 2) bentuk bangunan 3) skala dan proporsi 4) ornamen dan dekorasi 5) struktur dan bahan. Tabel 1 menjabarkan lebih lanjut detil wujud akomodasi yang dimaksud.
Dengan menggabungkan pandangan dari Gomudha (2017) dan Perwali Denpasar No. 25 Tahun 2010, maka kriteria yang harus dipenuhi dalam perancangan bangunan kontemporer khususnya pada tampilan bangunan yaitu 1) sosok bangunan; 2) skala bangunan; 3) ragam hias; dan 4) sistem struktur dan bahan.
Sosok bangunan, seperti yang dijelaskan di atas konsep Tri Angga dapat dijadikan sebuah konsep filosofis yang dapat memberi ciri khas sosok dan bentuk sebuah bangunan Bali dan dapat diimplementasikan sampai ke bagian terkecil dari sebuah bangunan (Gambar 1). Tri Angga memandang bangunan dalam tiga hirarkhi vertikal, yaitu i) Utama: merupakan bagian bangunan teratas yang diwujudkan dalam bentuk atap segitiga yang merepresentasikan bentuk gunung yang diyakini sebagai tempat paling suci dan merupakan tempat tinggal para dewa/leluhur; ii) Madya: merupakan bagian tengah, badan bangunan,
dan simbolisasi strata alam manusia atau tempat tinggal manusia. Dalam bangunan di wujudkan dalam bentuk dinding, tiang saka, jendela dan pintu; iii) Nista: menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah tingkatan bangunan, diwujudkan dalam bentuk pondasi rumah atau bebaturan sebagai kaki yang menyangga rumah. Bahannya pun pada umumnya terbuat dari material-material yang terlihat berat dan kokoh seperti batu alam.
Tabel 1. Rekonstruksi dan Reformasi Tata Nilai ATB pada AMK
Unsur Tata No Bangunan |
Indikator |
1 Sosok Bangunan |
Menerapkan sejak awal sosok Bali dengan struktur fisik Tri Angga secara proporsional hingga kebagian terkecil atau memanfaatkan bagian-bagian sosok non Bali yang distilisasi. Memiliki karakter sosok bangunan tropis beratap limas /pelana (pitch roof), dihindari atap datar; ada ruang antara (serambi) dan memiliki oversteck yang cukup lebar untuk menahan tirisan. |
2 Bentuk Bangunan |
Menggunakan bentuk dasar Punden Berundak, menghindari bentuk-bentuk miring/bulat/plain. Tata olah bentuk mencerminkan tata olah “handicraft” dan dihindari karakter tata olah mesin (cleaness, excactness, prececision). |
3 Skala Bangunan |
Tidak di luar skala manusia dan di luar proporsi manusia Gubahan massa besar di dekonstruksi menjadi massa kecil-kecil dan sebaliknya, bila lahan sempit massa jamak/kluster dapat di rekonstruksi menjadi massa kompak/monolit. |
4 Ornamen dan Dekorasi |
Dipahatkan ornamen sebagai representasi Tri Angga pada bagian‐bagian utama bangunan (batur, tiang/dinding dan atap) Dekorasi pakem Bali dibubuhkan seperlunya sebagai aksen dan dihindari penggunaan simbol‐ simbol agama yang disakralkan Pemanfaatan “Tembok Penyengker dan Angkul‐ angkul/Pemesuan Langgam Bali“ dengan stilisasi sebagai penghadir jati diri atau identitas Bali |
5 Struktur dan Bahan |
Tata bahan dan warna: karakter alamiah, jujur terekspose (sustainable architecture); disusun dari yang berkarakter berat di bawah dan makin ke atas makin ringan. Merupakan gubahan “tektonika” (the art of construction) antara struktur dan konstruksi dengan ornamen secara harmoni |
Sumber: Gomudha, 2017
Gambar 1. Representasi Konsep Tri Angga pada Bangunan Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Selain itu pada sosok bangunan arsitektur Bali pada umumnya mempunyai karakter bangunan tropis dengan menggunakan atap limasan/pelana dengan oversteek untuk memberi perlindungan dari cipratan curah hujan yang rata-rata tinggi di daerah tropis dan juga memayungi bangunan dari terik sinar matahari.
Skala bangunan, Gomudha (2017) menjelaskan bahwa out of scale human proportion dapat dihindari dengan pemecahan massa bangunan menjadi massa-massa kecil. Ini beriringan dengan pembatasan ketinggian bangunan yang diatur oleh Peraturan Walikota Denpasar No. 18 Tahun 2015. Pasal 15 ayat (1) mengenai Skyline Tata Bangunan menyebutkan bahwa “…ketinggian bangunan maksimal 4 lantai dengan tinggi bangunan kurang lebih 15 meter dari lantai dasar hingga batas ring balk atas. Dengan ketinggian maksimal tersebut skyline bangunan yang akan terbentuk masih terkesan datar.”
Ragam hias, seperti yang dijelaskan oleh Gomudha (2017), ornamen dan dekorasi pada arsitektur tradisional Bali merupakan penghargaan atas keindahan yang dberikan alam dan penciptaNya. Ornamen dan dekorasi pada ATB-pun bersifat kontekstual disesuaikan dengan tata nilai dan karakter, tema, dan wujud objek yang diciptakan. Misalnya: karang gajah ditaruh di bawah; karang tapel ditaruh di area badan; dan karang guak ditaruh di atas). Namun, sejalan dengan perkembangan arsitektur kontemporer, penyederhanaan ornamen dan dekorasi sangat memungkinkan, sepanjang tidak kehilangan pakem ragam hias ATB. Gomudha (2017) juga menambahkan bahwa penggunaan tembok penyengker dan angkul-angkul atau pemesuan langgam Bali dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan identitas Bali.
Sruktur dan bahan, ATB menerapkan material alamiah dalam rangka menghormati alam dan lingkungan. Ini juga dilakukan dengan menggunakan bahan bangunan dengan cara mengekspos tekstur dan warna alamiahnya. Penggunaan bahan bangunan berfungsi struktural pada ATB, biasanya disusun sedemikian rupa, sehingga bahan yang memiliki karakter berat akan diletakan di bawah diikuti dengan bahan dengan karakter lebih ringan ke arah atas. Ini sejalan dengan logika pembebanan struktur untuk tujuan kekokohan dan keamanan.
Penerapan Arsitektur Masa Lampau (AML) pada Arsitektur Masa Kini (AMK)
Wondoamiseno (1991) menyatakan bahwa penerapan nilai-nilai regional arsitektur tradisional - masa lampau (AML) dalam desain arsitektur kekinian (AMK) bisa dilaksanakan dengan lima cara, yaitu:
-
• Tempelan elemen AML pada AMK
-
• Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK
-
• Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK
-
• Wujud AML mendominasi AMK
-
• Ekspresi wujud AML menyatu di dalam AML
Wondoamiseno menggarisbawahi bahwa apapun cara yang dipilih, proses akomodasi elemen-elemen arsitektur lokal ke dalam arsitektur masa kini wajib mengutamakan kesatuan – unity. Ini tidak saja tersirat secar visual, namun juga dalam hal komposisi, pesan serta kesan abstrak yang bisa disampaikan oleh bangunan. Untuk menilai semua ini, seringkali kita tidak punya formula pasti, namun harus melibatkan respon, rasa, serta pandangan dari
para penikmat dan/atau pengguna bangunan. Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama yaitu adanya :
-
• Dominan (dominasi): ada salah satu unsur visual yang menguasai keseluruhan komposisi. Dominasi dapat dicapai dengan penggunaann warna, material, maupun obyek-obyek pembentuk komposisi itu sendiri.
-
• Pengulangan: di dalam komposisi, hal ini bisa dilakukan dengan merepetisi bentuk, warna, tekstur, maupun proporsi. Pengulangan dapat dilakukan dengan irama agar tidak terjadi kesenadaan (monotone).
Kesinambungan dalam komposisi: sering juga diterminologikan sebagai kemenerusan adalah garis penghubung maya (imaginer) yang menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menyajikan atau menggambarkan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang sesuai dengan yang tampak dan bagaimana adanya. Penelitian ini menstudi bagaimana ATB diterapkan dalam bangunan berfungsi pelayanan-komersial (hospitality). Studi kasus yang diambil adalah The Alantara Resort Sanur. Pemilihan ini dilandasi pada keberhasilan Resort ini dalam meraih penghargaan Adi Prajana Nugraha Trophy, pada acara Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Bali Award 2019 yang bertajuk The Contribution of Traditional and Vernacular Architecture on the Hospitality Product untuk kategori Akomodasi Pariwisata (Hotel) Terbaik. Resort ini dirancang oleh Grounds Kent Arsitek Indonesia (GKAI), salah satu konsultan perencana yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip arsitektur Bali dalam hasil rancangannya. The Alantara Resort sudah melewati masa konstruksi, dibangun oleh PT. Tunas Jaya Sanur yang sekaligus adalah pemilik dari hotel ini. Secara geografis kasus yang distudi terletak di Jl. Tirta Ening No.12, Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali (Gambar 2.).
Gambar 2. Peta Lokasi Alantara Resort Sanur Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan studi literatur terkait konsep arsitektur tradisional Bali, tahap kedua melakukan studi lapangan yang terdiri dari wawancara dengan arsitek perencana dan
observasi ke lokasi kasus studi untuk pengumpulan data dilapangan berupa foto, sketsa dan video kondisi lapangan pada lokasi kasus studi. Analisa data dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, mengelompokan data di lapangan berdasarkan konsep-konsep ATB. Kedua, menganalisa data di lapangan menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan aspek ATB yang dipilih. Ketiga, mengklasifikasikan hasil analisis dalam beberapa tabel berisi perbandingan kondisi di lapangan dengan batasan-batasan konsep ATB yang ditelah dipilih sebelumnya. Data akan disajikan dalam bentuk tabel, gambar disertai dengan narasi untuk mempermudah pemahaman data.
The Alantara Resort Sanur
The Alantara Sanur merupakan hotel berbintang 4. Bangunan hotel ini terdiri dari beberapa masa bangunan yang mengelilingi sebuah kolam renang utama, area terbuka pada bagian tengahnya, dan dengan tembok penyengker yang mengelilinginya. Hotel ini terletak di kawasan padat penduduk yang berbatasan langsung dengan rumah penduduk. Pada kawasan Alantara Resort ini, terdapat 10 massa bangunan utama yang masing-masing berlantai 4 dan dilengkapi dengan kolam renang, dan beberapa massa bangunan penunjang seperti bale bengong, pura suci, dan pergola. Berbeda dengan desain arsitektural, desain lanskap ditangani oleh oleh PT. Rama Wijaya.
Penelitan ini memfokuskan bahasannya pada penerapan prinsip serta elemen arsitektur tradisional Bali pada 10 massa utama yang didesain oleh GKAI. Grounds Kent menyusun 10 masa bangunan itu mengelilingi dan berorientasi ke inner-court yang merupakan kolam renang dan pulau kecil yang sering dijadikan sebagai tempat pertunjukan mini. Kita bisa melihat jika pada setiap massa bangunannya, GKAI mencoba menerapkan prinsip arsitektur tradisional Bali. Di dalam proses ini, GKAI melaksanakannya dengan beragam adaptasi bentuk arsitektural. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk fungsi estetis dan budaya, namun juga dengan pertimbangan bentuk yang terpilih akan lebih adaptabel dalam merespon keadaan iklim dan cuaca mengingat hotel Alantara berada di Kawasan permukiman yang relative padat.
Legenda
-
1 Bale Kulkul
-
2 Lobby
-
3 Spa & Gym
-
4 Servis
-
5 Villa One Bedroom
-
6 Villa Two Bedroom
-
7 Pool Bar
-
8 Blockroom A
-
9 Blockroom B
-
10 Blockroom C + Restaurant
Gambar 3. Pembagian Tatanan Massa The Alantara Resort Sanur
Berdasarkan Fungsi Ruang
Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Penerapan Tata Nilai ATB pada Tampilan Bangunan The Alantara Resort Sanur
Pada hasil observasi penulis menemukan beberapa upaya yang dilakukan oleh GKAI sebagai perancang untuk menerapkan nilai-nilai ATB ke dalam tampilan bangunan Alantara ini.
Dari hasil observasi penulis metemukan bahwa 8 dari 10 massa bangunan utama di The Alantara Resort Sanur ini menerapkan konsep Tri Angga dengan pembagian kepala-badan-kaki. Masing-masing bagian direpresentasikan dengan material yang berbeda. Lebih lanjut, detil akomodasi konsep Tri Angga ini pada keseluruhan struktur yang ada di The Alantara Resort dijelaskan oleh Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Representasi Kepala-Badan-Kaki pada 10 massa bangunan Alantara Resort
Masa No
Bangunan
Foto
Analisis
1 Bale Kulkul
Kepala
Badan
Kaki
Atap kereb tunggal yang menggunakan material ijuk , dengan struktur ekspos, dan ornamen hiasan pada bagian lisplank atau disebut “kolong luar” Berupa 4 saka yang terbuat dari kayu berukirdengan kulkul pada bagian tengah Berfungsi sebagai pos satpam dengan dinding tempelan batu alam, batu bata tanah liat dan ornamen beton cetak,
2 Lobby
w*
MBE≡
Kepala Atap berbentuk limasan tumpang 2 tingkat dengan kemiringan 35 derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling ekspos struktur rangka kayu dengan dedelag
Badan Pavilian terbuka dengan struktur kayu. Tiang-tiang kayu dengan base beton dan area kantor pada bagian belakang resepsionis yang menggunakan dinding cladding kayu.
Kaki Bebaturan setinggi 50cm dari level pathway
3 Spa & Gym
Kepala
4 Servis
Badan
Kaki
Atap berbentuk limasan dengan kemiringan 35 derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling ekspos struktur rangka kayu dengan dedelag
Dinding pasangan batu bata denganlapisan cat putih
Bebaturan yang ditinggikan setinggi 1 lantai mempunyai fungsi ruang dengan penggunaan material yang terlihat lebih berat menggunakan tempelan batu bata tanah liat
Kepala Atap berbentuk limasan dengan kemiringan 35
Badan
Kaki
derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling tertutup gypsum dan struktur rangka baja ringan
Tidak dapat dipisahkan dan dibagi secara vertikal penggunaan dinding pasangan batu bata dengan lapisan cat putih pada sisi yang menghadap area servis dan full height pasangan batu bata tanah
liat berpola pada sisi yang menghadap lobby
5 Villa One
Bedroom
Kepala
Kaki
adan
Atap berbentuk limasan dengan kemiringan 35 derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling ekspos struktur rangka kayu dengan dedelag
Dinding pasangan batu bata denganlapisan cat putih, Kolom beton dengan lapisan cat putih, Jendela dan Pintu kayu
Bebaturan pada sekeliling dinding dan base kolom menggunakan material berwarna lebih gelap seperti batu candi
6 Villa Two
Bedroom
Kepala
Atap berbentuk limasan dengan kemiringan 35 derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling ekspos struktur rangka kayu dengan dedelag
Dinding pasangan batu bata denganlapisan cat putih, Kolom beton dengan lapisan cat putih, Jendela dan Pintu kayu
Bebaturan pada sekeliling dinding dan base kolom menggunakan material berwarna lebih gelap seperti batu candi
7 Pool Bar
Kepala Pergola kaca datar dengan kemiringan minimum dengan struktur kayu ekspos
Badan Paviliun terbuka dengan struktur kayu. Tiang-tiang kayu dengan base batu alam
Kaki Bebaturan berupa meja bar setinggi 70cm dari level pathway menggunakan batu candi dan marmer gelap
8 Blockroom
A
9 Blockroom
B
Kepala
Badan
Kaki
Gabungan beberapa atap limasan dengan kemiringan 35 derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling tertutup gypsum dan struktur rangka baja ringan
Dinding pasangan batu bata denganlapisan cat putih, Kolom beton dengan lapisan cat putih, Jendela dan Pintu kayu
Bebaturan direpresentasikan menggunakan material berwarna lebih gelap berupa pasangan batu bata tempel pada 2 lantai terbawah dengan penebalan pada dinding dan kolom
10 Blockroom
C +
Restaurant
Kepala Gabungan beberapa atap limasan dengan kemiringan 35 derajat menggunakan atap genteng tanah liat dengan ceiling tertutup gypsum dan struktur rangka baja ringan
Badan Dinding pasangan batu bata denganlapisan cat putih, Kolom beton dengan lapisan cat putih, Jendela dan Pintu kayu, Kolom kayu pada pergola restaurant
Kaki Bebaturan direpresentasikan menggunakan
material berwarna lebih gelap berupa pasangan batu bata tempel pada 2 lantai terbawah dengan penebalan pada dinding dan kolom dan base batu alam pada kolom-kolom kayunya
Sumber: Analisa & Ilustrasi Penulis, 2020
Selain pemanfaatan material yg secara distingtif mewakili konsep Tri Angga, ada beberapa karakter dari sosok bangunan tropis yang secara konsisten diterapkan, termasuk pemanfaatan atap limasan/pelana (pitch roof) dan penghindaran atap datar; adanya ruang antara (serambi); dan memiliki oversteck yang cukup lebar untuk menahan tirisan sebagaimana yang disampaikan oleh Gomudha (2017). Namun selain aplikasi ini, ada dua ketidaksesuaian dengan prinsip ATB dalam desain The Alantara Resort yaitu: 1) adanya penambahan fungsi
dan perubahan skala pada bagian bebaturan khususnya pada bangunan yang berlantai lebih dari satu; dan 2) adanya bentuk yang tidak secara eksplisit merefleksikan konsep kepala, badan dan kaki. Kondisi ini bisa dilihat dengan jelas pada massa bangunan yang diperuntukan untuk mewadahi fungsi spa dan servis (gedung no. 3 & 4, lihat Gambar 4). Kemudian, atap pool-bar didesain sebagai pergola datar. Jika GKAI konsisten dengan konsep pemanfaatan atap limasan, maka keputusan ini menunjukan pengecualian.
Gambar 4. Massa Bangunan yang Tidak Mempunyai Pembagian Kepala-Badan-Kaki yang Jelas Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Bangunan tradisional Bali biasanya mewadahi fungsi yang tunggal. Sehingga ukurannyapun relatif kecil dibandingkan dengan bangunan yang mengakomodasi fungsi beragam. Ini bisa secara langsung diobservasi pada bale (bangunan) yang ada dalam sebuah rumah sikut satak (site dengan tata ukuran dan pemanfaatan untuk rumah tradisional Bali dataran). The Alantara Resort yang merupakan bangunan akomodasi komersial dengan fungsi yang lebih beragam, berusaha mengakomodasi konsepsi ini dengan mendivisikan fungsi-fungsi yang ada dalam 10 massa bangunan. Massa dikomposisikan sedemikian rupa dengan menjadikan kolam di tengah-tengah sebagai elemen sentral yang berperan mengkomunikasikan dan menyatukan ke sepuluh massa bangunan yang mengitarinya. Ini juga dilakukan untuk mengurangi mengurangi kesan (serta adanya rasa) out of human proportion dalam penataan site. Keseluruhan komposisi massa ini bisa disimak melalui layout hotel yang dipresentasikan oleh Gambar 5.
The Alantara Resort Sanur juga secara taat mengikuti peraturan terkait batas ketinggian bangunan maksimum 15meter yang berlaku di Bali. Ketinggian tertinggi dimiliki oleh bangunan Blockroom C yang berlantai 3 (massa no. 10). Ketinggian sampai bumbungan atap tercatat 14,88 meter dan ketinggian ring balok teratas adalah 11,03 meter. Detil ketinggian dari masing-masing massa bangunan dijelaskan lebih lanjut dalam Tabel 4.
Gambar 5. Penataan Massa dan Layout The Alantara Resort Sanur Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Tabel 4. Jumlah Lantai dan Ketinggian Massa Bangunan di The Alantara Resort
No |
Nama Bangunan |
Jumlah Lantai |
Tinggi Bangunan s/d Bumbungan Atap |
1 |
Bale Kulkul |
1 Lantai |
5,445 meter |
2 |
Lobi |
2 Lantai |
8,645 meter |
3 |
SPA |
2 Lantai |
10,565 meter |
4 |
Service |
3 Lantai |
9,150 meter |
5 |
Villa One Bedroom |
1 Lantai |
5,725 meter |
6 |
Villa Two Bedroom |
2 Lantai |
9,295 meter |
7 |
Pool Bar |
1 Lantai |
3,990 meter |
8 |
Blockroons A |
3 Lantai |
14,690 meter |
9 |
Blockrooms B |
3 Lantai |
14,690 meter |
10 |
Blockrooms C |
3 Lantai |
14,880 meter |
Sumber: Analisa & Ilustrasi Penulis, 2020
Jika kita pakai pendekatan yang ditawarkan oleh Prijotomo (1997) maka desain The Alantara Resort Sanur menerapkan ornament yang dikategorikan sebagai ragam hias. Ornamen tradisional yang diakomodasi lebih berperan sebagai pemberi nilai estetika dan tidak berperan struktural ataupun konstruktif. Ornamen bisa dipasang atau ditanggalkan disesuaikan dengan kebutuhan estetis yang ingin dicapai tanpa mengganggu keberadaan bangunan secara struktur. Melalui proses penyederhanaan bentuk dan teknis, The Alantara Resort melibatkan 7 tipe ragam hias tempelan dalam desain dari kesepuluh massa bangunannya, yaitu 1) keketusan temesir swastika; 2) karang bunga; 3) patra cina; 4) patra punggel; 5) karang boma; 6) karang empas; 7) patung.
Tabel 5. Penerapan Ragam Hias pada Hotel Alantara
Bentuk Ornamen |
Tipe Ornamen |
Kepala |
Flora |
Keketusan (Temesir Swastika) |
- |
Bagian Bangunan Badan
Kaki
Fauna
Kekarangan (Karang Bunga)
Pepatraan (Patra Cina)
Pepatraan (Patra Punggel)
Kekarangan (Karang Bhoma)
(Karang Empas)
Patung
Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
The Alantara Resort menerapkan prinsip kejujuran dari arsitektur tradisional Bali dalam tig acara, yaitu: (1)struktur atap yang diekspos; 2) pemanfaatan rangka atap dari bahan kayu dan struktur kolom beton yang diselesaikan dengan tempelan batu bata; dan 3) penggunaan bahan bangunan yang berkarakter berat pada bagian bawah dan semakin ringan ke atas.
Gambar 6. Penggunaan Atap Ekspos Pada Villa dan Lobby Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
GKAI menggunakan atap ekspos pada massa bangunan publik dan villa yang memiliki nilai ekonomis (jual) yang lebih tinggi. Ini termasuk bangunan no 1 dan 2 (bale kulkul dan lobi) sebagai struktur yang memiliki visibilitas mengundang ketertarikan para pelanggan/tamu yang akan menginap. Selain itu, atap ekspos dengan elemen-elemen struktur tradisional Bali juga diterapkan pada area kamar tidur dan ruang keluarga yang terbuka di villa one-bedroom dan two-bedroom (Gambar 5). Rangka kayu ekspos yang dilengkapi dengan plafond papan kayu akan memberi suasana hangat, eklusivitas, klasik dan pada akhirnya akan meningkatkan nilai jual villa. GKAI juga melengkapi struktur atap ekspose ini dengan elemen-elemen tradisional lainnya termasuk sineb lambang, kolong, dan tatab. Patrun ini berhenti Ketika kita melangkah ke massa bangunan blockrooms, spagym dan servis yang menggunakan atap baja ringan tertutup dengan plafon yang berbahan gypsum.
GKAI mempunyai prinsip untuk menggunakan material lokal pada desain The Alantara Resort ini. Selain pertimbangan ketersediaan dan kemudahan pengadaan, keputusan ini diambil untuk membangun identitas Alantara sebagai hotel yang berkonsep Bali Heritage. Adapun bahan bangunan lokal yang secara dominan dimanfaatkan dan memberi identitas keBalian adalah 1) tempelan batu bata; 2) batu alam seperti batu andesit dan batu candi; dan 3) genteng tanah liat. Warna alami dari bahan bangunan ini semaksimalnya dipertunjukan. Proses penyelesaian dengan pengecatan hanya dimaksudkan untuk memberi penekanan pada kealamiahan warna dari bahan bangunan dan sebagai usaha untuk meningkatkan keawetan/kekuatan bahan dari dampak iklim tropis di Bali.
Tabel 6. Penggunaan material lokal dengan karakter dan warna alami
Lokasi
No Material
Foto (Massa Bangunan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
Batu Bata
Tanah Liat
√ - √ √ √ √ - √ √ √
2
Batu Alam
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3
Genteng
Tanah Liat
√ √ √ √ √ - √ √ √
Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
GKAI menggunakan tempelan batu bata pada hampir seluruh eksterior massa bangunannya kecuali pada objek 2 dan 7 yang merupakan bangunan lobi dan pool bar yang menggunakan rangka kayu. Pemilihan material batu bata tanah liat ini dilatarbelakangi oleh salah satu konsep desain mereka untuk mencapai konsep awal Bali Heritage yang diberikan oleh pemilik proyek. Penggunaan material genteng dan batu bata tempelan tanah liat ini berhasil memberi sumbangan besar pada pemberian identitas ‘keBalian’ pada hotel ini.
Gambar 6. Penggunaan Atap Ekspos Pada Villa dan Lobby Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Dengan memakai pendekatan yang diajukan oleh Wondoamiseno (1991) maka penerapan arsitektur tradisional Bali (ATB) pada desain The Alantara Resort bisa dikategorikan sebagai “Ekspresi wujud arsitektur masa lalu (AML) yang menyatu dalam arsitektur masa kini (AMK).” Wondoamiseno mengopinikan bahwa penyatuan AML dengan AMK bisa dikatakan sukses jika mampu menampilkan tampilan visual desain arsitektur baru yang menyatu. Untuk mencapai kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama yaitu adanya dominasi, pengulangan dan kesinambungan dalam komposisi. Tabel 7 di bawah ini menjelaskan lebih detil bagaiman hal ini diwujudkan oleh GKAI dalam desain The Alantara Resort.
Tabel 7. Penerapan Elemen ATB pada AMK Berdasarkan Pendekatan Wondoamiseno
Prinsip Penerapan AML dalam AMK |
Bentuk Penerapan ATB pada Hotel Alantara |
Parameter |
Dominasi |
Adaptasi bentuk Kepala-Badan-Kaki |
1. Penggunaan bentuk atap limasan pada 9 dari 10 massa bangunan |
Material Tanah Liat |
2. Penggunaan material tanah liat pada 8 dari 10 massa bangunan | |
Pengulangan |
Ornamen Ragam Hias Material Tanah Liat |
|
Kesinambungan |
Adaptasi bentuk Kepala- |
1. Konsistensi penggunaan material |
dalam komposisi |
Badan-Kaki Material Batu Bata |
tanah liat pada atap dan badan bangunan |
Tanah Liat |
2. Konsistensi Bentuk Atap Limasan pada Kepala Bangunan |
Sumber: Ilustrasi Penulis, 2020
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan di dalam artikel ini bisa dirangkum bahwa di dalam mendesain The Alantara Resort Sanur, GKAI telah mengakomodasi prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan menuangkannya pada sosok desain, proporsi, pemanfaatan bahan bangunan dan karakter struktur. Antusiasme GKAI dalam menginklusi tatanan arsitektur lokal dalam rancangannya dilaksanakan dengan merepresentasikan seiring kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh Gomudha (2017) dan dengan mentaatai tata aturan terkait persyaratan arsitektur bangunan gedung. Produk regulasi yang dimaksud disini adalah yang berlaku di Kota Denpasar, dimana site perancangan berada, khususnya yang mengatur tentang batas ketinggian dan tampilan bangunan.
Lebih lanjut, jika dikaji dari pendekatan yang ditawarkan oleh Wondoamiseno, keputusan-keputusan desain yang diambil oleh GKAI dalam memasukan unsur-unsur rancang bangun lokal (AML) di dalam rancangan The Alantara Resort (AMK) bisa dikategorikan sukses.
Dominasi aplikasi bentuk arsitektur tradisional; pemanfaatan bahan bangunan lokal yang menonjol, khususnya pada fasad bangunan; pengulangan dan pemanfaatan ornamen ragam hias Bali; dan akomodasi prinsip kejujuran dalam tampilan tektonika struktur. Semua ini telah berhasil melebur elemen arsitektur masa lalu dan elemen arsitektur masa kini dalam satu kesatuan di dalam perwujudan arsitektur dari the Alantara Resort.
Tentu saja di dalam proses akomodasi AML dalam rancangannya, GKAI melakukan adaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi-kondisi yang dihadapi, seperti misalnya pertimbangan fungsi, efisiensi, ketersediaan bahan dan sumber daya manusia, struktur konstruksi, waktu, dan juga proses pemeliharaan Gedung dalam jangka panjang. Adapun adaptasi yang dilakukan adalah pada absennya bagian bebaturan (kaki bangunan) dari bangunan blockroom, spagym. Adaptasi juga dilakukan dari adanya penyederhanaan penampakan dari beberapa (tidak semua) ornamen yang dipakai. Misalnya, ornamen pepatraan mengalami reduksi dan modernisasi menjadi bentuk ornamen geometri yang lebih sederhana. Adapun bentuk pepatraan cina berbentuk stiliran bunga yang berupa tempelan batu bata tanah liat dan batu alam yang dibuat dengan teknik modern sehingga ukuran dan pola lebih presisi antara satu dan sama lain.
Artikel ini menunjukan bahwa keberadaan arsitetur tradisional bisa diperpanjang keberadaannya ke dalam rancang bangun arsitektur masa kini. Hal ini tidak terjadi dengan sendirinya. Namun diperlukan antusiasme serta usaha yang penuh kesengajaan dari seorang arsitek untuk merealisasikannya, seperti halnya yang telah didemonstrasikan oleh GKAI dalam merancang The Alantara Resort Sanur.
Daftar Pustaka
Artistiari, N. (2017). Balinese Ornaments In Bale Gili Building Architecture Acculturation. Riset Arsitektur (RISA). 1, 327-341. 10.26593/risa.v1i03.2598.327-341.
Budihardjo, R. (2013). Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri. NALARs, 12(1), 17-42
Frampton, K. (2007) “Ten Points on an Architecture of Regionalism: A Provisional Polemic.” Architectural Regionalism: Collected Writings on Place, Identity, Modernity, and Tradition. Ed. Vincent B. Canizaro. New York: Princeton Architectural Press. 374-385.
Frampton, K. (1983) “Towards a Critical Regionalism: Six Points for an Architecture of Resistance.” The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture. Ed. Hal Foster. Port Townsend, Wash: Bay Press. 16-31.
Gantini, C J. P., Saliya, Y., & Winawangsari, D. (2011). Traditional Balinese Architecture: What is Thought and What is Seen. 1st Biennale ICIAP (International Conference on Indonesian Architecture and Planning)
Gomudha, I W. (1999). Reformasi Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Kontemporer di Bali, Studi kasus Bangunan Fasilitas Umum (Tesis), Surabaya: ITS
Gomudha, I W., (2017). 'Rekonstruksi dan Reformasi Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) pada Arsitektur Masa Kini (AMK) di Bali'.Suatu Kajian Pelestarian Tradisi Berkelanjutan. Denpasar: Program Studi Arsitektur Universitas Udayana.
Gunawan, H. M. (2017). Komponen Desain Arsitektural Apartemen di Bali berdasarkan Pendekatan Regionalisme Kritis. ARTEKS: Jurnal Teknik Arsitektur, January 2017 ~ June 2017: 117-130
Hidayatun, M. I. (2018). Jati diri arsitektur Indonesia: Regionalisme dalam Konsep Bhinneka Tunggal Ika. Yogyakarta: K-Media.
Indriani, M. N. (2018). Eksistensi Kearifan Lokal Hindu Bali Di Era Globalisasi (Arsitektur Bali Dan Subak Kota Denpasar). (M. A. Widyatmika, Ed.). Denpasar: UNHI Press.
Pratama, I. P. A. & Suardita, I. K. (2018) Pengaturan tentang Persyaratan Arsitektur Bali terhadap Bangunan Gedung di Kota Denpasar, Jurnal Ilmu Hukum, 6(4), 1-15.
Siwalatri, N. K. A. (1997). Transformasi Nilai‐nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Modern, Studi Kasus di Kawasan Niti Mandala Renon, Bali. Tesis Pascasarjana – S2, PS. Arsitektur, Program Pascasarjana FTSP‐ITS, Surabaya.
Suartika, G A M (2010a), ‘Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan: Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali’ Journal Nasional Terakreditasi Mudra: Journal Seni Budaya, 25(2), September 2010, 131-149.
Suartika, G A M (2010b) ‘Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan dalam Menjaga Keberlanjutan Bentang Alam dan Lingkungan Terbangun’ Journal Nasional Terakreditasi Bumi Lestari, 10(1), 146-158.
Suartika, G A M (Ed.) (2013) Vernacular Transformations: Architecture, Place, and Tradition. Denpasar (Bali): Pustaka Larasan in Conjunction with Udayana University's Masters Program in Planning and Development for Urban and Rural Areas; Conservation of the Built Environment; and Ethnic Architecture.
Suartika, G A M. Cuthbert, A. R., Putra, G. M., & Saputra, K. E. (2020b) ‘Public Domain and Cultural Legacy: The Governance of a Sacred and Vernacular Cultural Landscape in Bali’ ISVS e-Journal, 7(2), 1-22.
Suartika, G. A. M. (2020). ‘Transforming Traditions: Place, Ideology, Development and Planning in Bali’ in Bishop, K and Marshall, N (Eds) The Routledge Handbook of People and Place in the 21st-Century City. New York: Routledge, 165-174.
Sulistiani, C. (2010). Citra Arsitektur Tradisional pada Hotel Resort di Bali (Skripsi), Jakarta: Universitas Indonesia
Sulistyawati, A (1996). Pengaruh Prinsip ATB Terhadap Arsitektur Non Tradisional, Denpasar: PT. Trio Mitra
Sulsityawati, A. (2013). Principles and Concept of Balinese Traditional Architecture and Cultural Values. In G. A. M. Suartika (Ed.), Vernacular Transformation: Architecture, Place, and Tradition. (pp. 241-275). Denpasar: Pustaka Larasan in Conjunction with Udayana University's Masters Program in Planning and Development for Urban and Rural Areas; Conservation of the Built Environment; and Ethnic Architecture
Werdantara, I., Prajnawrdhi, T., & Muktiwibowo, A. (2020). Kajian Arsitektur Bali pada Tampilan Bangunan Komersial di Koridor Jalan Danau Tamblingan, Kelurahan Sanur, Denpasar Selatan. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal Of The Built Environment), 7(2), 129-144.
Widiastuti, I. (2014) Transformasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa Kini. Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014. Bandung, pp. 1-16.
Wondoamiseno, R.A. (1991). Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia: Sebuah Harapan, Yayasan Rupadatu, Yogyakarta.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih untuk Alantara Hotel, Martin Grounds dan tim Grounds Kent Arsitek Indonesia yang memberi kemudahan dan kesempatan penulis dalam melakukan penelitian ini.
78
SPACE - VOLUME 8, NO. 1, APRIL 2021
Discussion and feedback