TIPOLOGI RUMAH SEBAGAI USAHA BERBASIS RUMAH TANGGA (UBR) DI BANJAR PANTI GEDE, KELURAHAN PEMOGAN, DENPASAR SELATAN

Oleh: Angelina Made Yani Linda Sari1, Tri Anggraini Prajnawrdhi2,

Antonius Karel Muktiwibowo3

Abstract

Apart from being a dwelling, a house is also often used as a work-place to support home based enterprise (HBE) related practices. This condition requires spatial compromises. This study seeks to investigate typologies and factors underlining these spatial compromises. Being guided by qualitative research approaches, analysis within this study uses a conception proposed by Silas (1993) regarding HBE typology. The study examines numerous privately owned houses located in Banjar Panti Gede, Pemogan Village, Denpasar Selatan District – Bali. This is a community with the highest number of home-based microbusinesses. The study result shows that typologies of overall spatial compromises taking place in the selected housing complex do not correspond with the view proposed by Silas (1993). These condition has been grounded by several factors, including 1) limited scale of land afforded by the owner and restricted capital to support the development of a home that is also used to accommodate HBE; 2) types of added commercial activities to be accommodated within a home; 3) the timing when a plan to use the home as a basis for HBE emerges, and 4) home dwellers' preferences. This study has the potential to enrich the collection of relevant researches on Home and HBE, especially of those that take housing units in Bali as their case studies.

Keywords: Home Based Enterprise (HBE); house; house function; house typology

Abstrak

Rumah merupakan salah satu kebutuhan utama manusia yang saat ini semakin berkembang dan bertambah fungsinya. Selain sebagai hunian, rumah juga berfungsi sebagai tempat usaha atau Usaha Berbasis Rumah Tangga (UBR). Perkembangan fungsi rumah tentunya berdampak pada penataan ruang yang berada di lingkungan rumah. Berdasarkan penjabaran tersebut penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam terkait tipologi penataan area usaha dan hunian sebagai UBR, berdasarkan proporsi masing-masing fungsi serta faktor penyebab terjadinya tipologi. Teori yang digunakan untuk membahas adalah teori tipologi UBR oleh Silas (1993). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus karena objek yang diteliti merupakan fenomena yang terjadi masa kini dan peneliti tidak memiliki kontrol terhadap fenomena tersebut. Objek penelitian merupakan rumah tinggal pribadi yang terletak di Banjar Panti Gede, Kelurahan Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan. Kelurahan Pemogan dipilih karena merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah usaha mikro tertinggi di Denpasar Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi rumah berdasarkan penataan dan proporsi masing-masing fungsi tidak selalu sejalan dengan teori tipologi UBR oleh Silas. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1) adanya keterbatasan modal dan lahan; 2) jenis usaha yang dijalani; 3) perencanaan terkait membuka usaha; dan 4) preferensi penghuni. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi akibat adanya pembagian area rumah yang berfungsi sebagai hunian dan tempat usaha.

Kata kunci: Usaha Berbasis Rumah Tangga (UBR); rumah, fungsi rumah; tipologi rumah

Pendahuluan

Manusia memiliki beragam jenis kebutuhan, dan rumah merupakan salah satu kebutuhan yang utama. Menurut Maslow (1943), terdapat lima tingkatan kebutuhan manusia, yaitu: 1) kebutuhan fisiologis; 2) kebutuhan rasa aman; 3) kebutuhan sosial; 4) kebutuhan penghargaan atas diri sendiri; dan 5) kebutuhan akan perwujudan diri. Selain merupakan kebutuhan yang utama, rumah juga memiliki beragam fungsi. Menurut Wiranto (1997) dalam Sary dan Zulfikri (2014), rumah merupakan tempat manusia untuk melakukan beberapa kegiatan yaitu: 1) membina keluarga dan sebagai wadah seluruh aktivitas penghuni; 2) sebagai tempat untuk menambah penghasilan; dan 3) sebagai wadah untuk bersosialisasi dengan keluarga maupun orang lain.

Rumah yang awalnya berfungsi sebagai hunian, seiring dengan perkembangan zaman mengalami perkembangan fungsi. Menurut Luthfiah (2010) perkembangan tersebut dapat terjadi akibat keinginan pemilik untuk memenuhi kebutuhan atau ada keinginan yang belum terpenuhi. Salah satu perkembangan fungsi rumah terjadi pada aspek ekonomi yaitu rumah yang awalnya hanya sebagai tempat hunian menjadi hunian sekaligus tempat usaha. Fenomena tersebut kerap terjadi dan salah satu faktor penyebabnya adalah tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Rumah yang mengalami perkembangan fungsi tentunya juga mengalami perubahan penataan ruang karena adanya penambahan area untuk usaha. Selain itu rumah yang awalnya merupakan tempat berakitivitas bagi keluarga dan kerabat menjadi terbuka untuk pelaku usaha. Tipologi rumah berdasarkan penataan dan pembagian proporsi antara area usaha dan hunian berfungsi untuk mengidentifikasi permasalahan yang dapat terjadi akibat adanya fungsi usaha pada rumah tinggal. Salah satu permasalahan yang dapat diidentifikasi berdasarkan tipologi tersebut adalah privasi rumah tinggal yang dipengaruhi oleh aktivitas usaha serta permasalahan-permasalahan lainnya.

Kelurahan Pemogan merupakan salah satu kelurahan dengan usaha mikro terbanyak di Kecamatan Denpasar Selatan setelah Kelurahan Sesetan dan Panjer (UKM Binaan Dinas Koperasi Kota Denpasar, 2019). Sebagian besar usaha mikro di Kelurahan Sesetan dan Panjer bukan merupakan usaha rumahan dan tidak menjadi satu dengan rumah tinggal pemilik usaha sehingga tidak sesuai dengan kriteria studi kasus.

Dari tujuh belas lingkungan yang terletak di Kelurahan Pemogan, lingkungan Banjar Panti Gede dipilih karena sebagian besar usaha rumahan yang ada di Kelurahan Pemogan terletak di lingkungan Banjar Panti Gede. Walaupun belum ada data tertulis, namun berdasarkan hasil wawancara, beberapa kepala lingkungan sepakat bahwa usaha rumahan terbanyak terletak di lingkungan Banjar Panti Gede.

Usaha Berbasis Rumah Tangga (UBR)

Usaha Berbasis Rumah Tangga (UBR) merupakan terjemahan dari istilah Home Based Enterprise (HBE). Menurut Osman dan Amin (2012), UBR adalah kegiatan ekonomi berbasis rumah tangga yang memiliki karakteristik: 1) dijalankan oleh keluarga; 2) kegiatannya bersifat fleksibel; 3) tidak terikat aturan-aturan yang berlaku umum; 4) jam kerja dapat diatur sendiri; 5) terjadi hubungan yang longgar antar modal dengan tempat kerja. Lipton (1980) dalam Kellett dan Tipple (2000) juga memaparkan beberapa karakteristik

UBR, yaitu: 1) keluarga mengontrol sebagian besar lahan dan modal yang digunakan tenaga kerjanya; 2) sebagian besar tanah, modal dan tenaga kerja yang berasal dari keluarga diikutsertakan dalam usaha; 3) sebagian besar tenaga kerja yang terlibat disediakan oleh keluarga.

Selanjutnya, menurut Silas (1993) terdapat lima ciri pokok dari UBR, yaitu: 1) rumah dan rumah tangga menjadi modal dan basis dari kegiatan ekonomi keluarga; 2) keluarga menjadi kekuatan pokok dalam penyelenggaraan UBR; 3) dasar dan pila kerja UBR terkait erat dengan penyelenggaraan kerumahtanggaan; 4) rumah makin jelas merupakan proses yang selalu menyesuaikan diri dengan konteks kegiatan yang berlaku; dan 5) berbagai konflik yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya UBR di rumah dapat diatasi secara alami.

Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa UBR merupakan usaha informal yang memiliki karakteristik utama yaitu rumah tangga memiliki andil besar dalam berlangsungnya kegiatan usaha yang bersifat fleksibel. Berdasarkan jenis usaha, Silas (1993) membagi UBR menjadi tiga jenis yaitu: 1) memproduksi barang; 2) jasa; 3) penjualan; 4) lain-lain.

Tipologi Rumah sebagai Tempat Usaha

Rumah merupakan salah satu kebutuhaan manusia yang utama. Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Selanjutnya, menurut Bahri (2005) rumah tinggal adalah bangunan yang dapat memenuhi beberapa fungsi. Salah satu fungsi utama dari rumah menurut Turner dan Fitcher (1972) adalah sebagai tempat berlindung. Selain itu fungsi rumah juga dipengaruhi oleh tujuan hidup manusia, tempat dan waktu.

Selain sebagai hunian, rumah juga dapat digunakan sebagai tempat usaha. Sejalan dengan hal tersebut Silas dalam Arisngatiasih dan Muktiali (2015) menyatakan terdapat dua kategori fungsi rumah yaitu rumah sebagai hunian tanpa kegiatan lain dan rumah sebagai wadah kegiatan ekonomi. Selanjutnya, Silas (1993) mengkategorikan rumah yang sekaligus digunakan sebagai tempat usaha menjadi tiga kelompok yaitu: tipe campuran, tipe berimbang dan tipe terpisah. Silas (1993) mengkategorikan tipe tersebut berdasarkan penataan dan proporsi ruang yang digunakan untuk hunian dan usaha. Penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Tipe Campuran

Pada tipe ini rumah sebagai tempat tinggal bercampur menjadi satu dengan tempat usaha, namun tempat tinggal menjadi fungsi dominan dan memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan area untuk usaha. Pada tipe ini terdapat fleksibilitas ruang terutama dalam mewadahi kegiatan untuk usaha.

b. Tipe Berimbang

Tipe ini hampir sama dengan tipe campuran yaitu area hunian dan usaha berada pada satu bangunan. Bedanya, pada tipe berimbang area hunian dan area usaha dipisahkan secara jelas. Selain itu proporsi antara area untuk hunian dan usaha berimbang atau sama, sehingga tidak ada yang mendominasi.

c. Tipe Terpisah

Pada tipe ini area yang digunakan sebagai tempat tinggal terpisah dengan area yang digunakan untuk usaha, namun masih dalam satu wilayah. Area yang digunakan sebagai tempat tinggal memiliki proporsi yang lebih luas dibandingkan dengan area usaha.

Gambar 1. Tipologi Rumah sebagai Tempat Usaha Sumber: Silas, 1993

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Menurut Yin (2006) terdapat tiga aspek penting dalam strategi studi kasus: 1) merupakan strategi yang digunakan untuk penelitian yang memiliki pertanyaan how atau why; 2) digunakan jika peneliti tidak memiliki peluang untuk mengontrol fenomena yang akan diselidiki; dan 3) fenomena yang diteliti merupakan fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata. Berdasarkan definisi tersebut, strategi studi kasus dipilih karena selain mengidentifikasi tipologi rumah penelitian ini juga mencari faktor penyebab terjadinya tipologi pada masing-masing Studi Kasus. Fenomena yang menjadi fokus penelitian yaitu pekembangan fungsi rumah merupakan fenomena yang terjadi pada masa ini dan dalam konteks kehidupan nyata.

Pemilihan studi kasus menggunakan metode purposive sampling yaitu suatu teknik pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu dan tidak acak (Supranto, 2007). Pertimbangan atau kriteria yang digunakan dalam pemilihan sampel yaitu: 1) merupakan rumah tingal pribadi baik milik sendiri maupun menyewa; 2) penghuni rumah sekaligus merupakan pemilik usaha; 3) terdapat keluarga yang beraktivitas pada rumah tinggal; 4) bergerak dibidang produksi, jasa, penjualan maupun campuran.

Pengumpulan data dilakukan dengan dua teknik yaitu: 1) observasi pada masing-masing rumah yang dijadikan sebagai studi kasus; dan 2) wawancara dengan masing-masing pemilik rumah dan kepala lingkungan. Lokasi penelitian terletak di Banjar Panti Gede, Kelurahan Pemogan. Penelitian difokuskan pada koridor Jalan Raya Pemogan dan Jalan Pulau Yoni.

Gambaran Umum Objek Penelitian

Banjar Panti Gede merupakan satu dari tujuh belas banjar yang berada di Kelurahan Pemogan dan terletak pada koordinat 8o41’28”LS – 115o11’54”LT. Batas-batas wilayah Banjar Panti Gede yaitu, sebelah utara berbatasan dengan Banjar Panti Sari, sebelah timur berbatasan dengan Banjar Pitik (Kelurahan Pedungan), sebelah barat berbatasan dengan Banjar Gunung dan sebelah selatan berbatasan dengan Banjar Dalem.


Gambar 2. Banjar Panti Gede

Sumber: https://www.google.com/maps (Diakses pada 12 Februari 2019)


Kelurahan Pemogan memiliki 670 usaha mikro (UKM Binaan Dinas Koperasi Kota Denpasar, 2019), sedangkan di Banjar Panti Gede tidak terdapat data pasti terkait jumlah usaha tersebut. Namun ada tiga wilayah yang memiliki tingkat UBR terpadat yaitu di Jalan Tukad Baru, Jalan Raya Pemogan dan Jalan Pulau Yoni. Dari grand tour, terpilihlah area Jalan Raya Pemogan dan Jalan Pulau Yoni untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Jalan Tukad Baru tidak terpilih karena UBR pada area ini terletak pada satu bangunan seperti rumah susun dengan kurang lebih 200 kamar yang disewakan, sehingga tidak sesuai dengan kriteria studi kasus yang dicari. Daftar studi kasus yang dijadikan sebagai objek penelitian terdapat pada Tabel 1. Terdapat tujuh rumah yang dijadikan sebagai studi kasus karena jumlah tersebut telah mewakili masing-masing tipologi (tipe campuran, berimbang dan terpisah) yang dijabarkan oleh Silas (1993).

Tabel 1. Daftar Studi Kasus Penelitian

Studi

Kasus

Pemilik Usaha

Alamat

Jenis Usaha

Tipe

1

Adi Winata Kusuma

Jl. Raya Pemogan No. 54

Penjualan sembako dan laundry

Campuran

2

Surya Pramulia

Jl. Raya Pemogan No. 21

Bengkel mobil

Kombinasi

3

Desak Astiti

Jl. Raya Pemogan No. 8

Warung kebutuhan sehari-hari

Berimbang

4

Eza Pratama

Jl. P. Yoni No. 088C

Bengkel las

Terpisah

5

Mupadi

Jl. P. Yoni No. 76

Sablon kain

Campuran

6

Solihin

Jl. P. Yoni No. 14

Celup kain batik

Kombinasi

7

Wayan Sendri

Jl. Raya Pemogan Gg.

Manggis No. 1

Warung makanan khas bali

Terpisah

Hasil dan Diskusi

Data lapangan menunjukkan bahwa terdapat empat tipe UBR dari tujuh studi kasus yang diteliti. Tipe tersebut digolongkan berdasarkan peletakan dan proporsi antara area usaha dan area hunian. Tipologi ini tidak sesuai dengan tipologi UBR yang dinyatakan oleh Silas (1993). Silas mengelompokkan tiga tipologi berdasarkan peletakan dan proporsi antara area usaha dan dan area hunian, sedangkan data lapangan menunjukkan terdapat empat tipe. Dalam menentukan tipe dari masing-masing studi kasus, terdapat beberapa kriteria yang digunakan. Kriteria tersebut dijabarkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Penentuan Tipe Rumah sebagai UBR

No.

Kriteria  Tipe Campuran   Tipe Berimbang   Tipe Terpisah  Tipe Kombinasi

1

Massa   - Massa bangunan   - Massa bangunan   - Massa bangunan     Massa bangunan

bangunan  tunggal / majemuk   tunggal / majemuk   majemuk           majemuk dan

- Fungsi usaha dan   - Fungsi usaha dan   - Fungsi usaha dan     setiap bangunan

hunian berada pada   hunian berada pada   hunian berada pada   memiliki tipe

satu bangunan,       satu bangunan       bangunan yang      berbeda

yang merupakan                        berbeda namun

bangunan utama                          dalam satu area

2

Pembatas - Tidak ada           Ada pembatas      - Ada pembatas       Mengikuti

pembatas yang       antara area usaha     antara area usaha     kombinasi tipe

jelas antara area      dan hunian berupa:   dan hunian           yang terjadi

usaha dan hunian     partisi, dinding       (pemisahan

- Area usaha dan      masif, perbedaan     bangunan untuk

hunian terletak        level atau lainnya     fungsi usaha dan

berdampingan atau   yang secara jelas     hunian merupakan

kedua fungsi         membedakan area    cara untuk

menggunakan       usaha dan hunian    membatasi area

ruang yang sama                         usaha dan hunian)

baik secara bersamaan maupun bergantian

3

Sirkulasi - Pelaku usaha dan   - Akses pelaku       - Ada pemisahan       Mengikuti

penghuni            usaha dan           akses dan sirkulasi    kombinasi tipe

menggunakan        penghuni menuju    antara pelaku usaha  yang terjadi

akses yang sama     rumah dibedakan    dan penghuni

menuju rumah      - Pelaku usaha      - Pelaku usaha tidak

  • -    Pelaku usaha dan     hanya dapat         dapat mengakses

penghuni            beraktivitas di area   area hunian yang

menggunakan        usaha.               terletak di

sirkulasi yang sama - Pelaku usaha tidak   bangunan lain

ketika beraktivitas    dapat mengakses

di area rumah        area hunian

  • -    Pelaku usaha dapat mengakses area hunian (secara langsung maupun secara visual)

Tipe Campuran

Tipe campuran adalah rumah yang area usaha dan area huniannya berada pada satu bangunan dan memiliki akses yang fleksibel antara kedua fungsi. Silas (1993) menyebutkan bahwa area hunian memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan area usaha.

Berdasarkan kriteria pada Tabel 2, studi kasus yang masuk dalam kategori tipe campuran adalah Studi Kasus 1 dan Studi Kasus 5.

Studi Kasus 1 merupakan UBR yang bergerak dibidang produksi air isi ulang, laundry dan penjualan sembako. Kusuma selaku pemilik usaha menyatakan, rumah direnovasi pada tahun 2015 dan saat itu belum ada perencanaan untuk membuka usaha. Tempat parkir mobil yang cukup luas membuat pemilik rumah mencoba untuk membuka usaha pada tahun 2016. Pemilik juga menambahkan, keterbatasan dana dan lahan menyebabkan area usaha tidak dibuatkan ruang secara khusus. Berdasarkan hal tersebut organisasi ruang yang berlaku adalah organisasi ruang untuk rumah tinggal sehingga area usaha sembako dan laundry yang harus menyesuaikan seperti terlihat pada Gambar 3.


Keterangan:

  • 1.    Garase

  • 2.    Teras Depan

  • 3.    Kasir

  • 4.    Area Isi Ulang Air

  • 5.    R. Setrika

  • 6.    R. Tidur 1

  • 7.    R. Tidur 2

  • 8.    R. Tidur 3

  • 9.    R. Keluarga

  • 10.    Teras Samping

  • 11.    KM / WC 1

  • 12.    Gudang Mainan

  • 13.    R. Tidur 4

  • 14.    Teras Belakang

  • 15.    Natah

  • 16.    Sanggah

  • 17.    Gudang

  • 18.    Area Transisi

  • 19.    R. Cuci

  • 20.    KM/ WC 2

  • 21.    Dapur

  • 22.    Bale Delod

  • 23.    Taman

    : area hunian

    : area usaha


Gambar 3. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 1

Selain ruang-ruang usaha yang harus menyesuaikan, terdapat juga ruang-ruang yang digunakan bersama antara fungsi usaha dan fungsi hunian. Ada ruang yang digunakan secara bersamaan antara kedua fungsi dan ada juga yang digunakan secara bergantian. Ruang akan digunakan secara bersamaan ketika aktivitas usaha dan hunian saling berkaitan. Sebagai contoh, dapur digunakan sebagai tempat untuk memasak makanan penghuni sekaligus makanan pegawai. Sedangkan menurut penuturan pemilik rumah, ketika makan penghuni dan pegawai akan bergantian karena area dapur tidak dapat menampung banyak orang. Penghuni juga terkadang makan di ruang keluarga atau kamar tidur masing-masing ketika ada pegawai yang sedang makan di dapur. Pada Tabel 3 dijabarkan lebih rinci ruang-ruang bersama sekaligus aktivitas yang diwadahi.

Tabel 3. Penggunaan Ruang Bersama pada Studi Kasus 1

No.

Nama Ruang

Aktivitas Hunian

Aktivitas Usaha

1

Dapur

  • -    memasak makanan

  • -    tempat makan pemilik

- tempat makan pegawai

2

KM/WC 1

- MCK penghuni

- MCK pegawai

3

KM/WC 2

- MCK penghuni

- MCK pegawai, pelanggan, pemasok

4

Area transisi

- area untuk meletakkan barang atau pakaian yang akan dicuci atau dijemur

- area untuk meletakkan pakaian pelanggan yang akan dicuci atau dijemur

5

Ruang cuci

- tempat mencuci pakaian pribadi

- tempat mencuci pakaian pelanggan

Pemilik juga menyatakan tidak ada pembatasan akses bagi pegawai dalam menjangkau area kerja. Misalnya, pegawai laundry yang ingin menuju dapur diperbolehkan melalui ruang keluarga, lalu menuju ke teras belakang atau teras samping. Dengan demikian akses pegawai maupun penghuni tidak dipisahkan. Rincian dari masing-masing kriteria tipe campuran pada Studi Kasus 1 dijabarkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penjabaran Kriteria Tipe Campuran pada Studi Kasus 1

No.   Kriteria

Studi Kasus 1

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal terdiri dari tiga bangunan atau massa majemuk (lihat Gambar 3) - Bangunan I : merupakan bangunan utama yang mewadahi fungsi hunian dan fungsi usaha

  • -    Bangunan II : merupakan bale delod yang digunakan untuk persiapan dan pelaksanaan upacara agama

  • -    Bangunan III : merupakan bangunan yang terdiri dari ruang-ruang penunjang yaitu gudang, dapur dan KM/WC

Bangunan I dan Bangunan III sama-sama mewadahi aktivitas usaha dan hunian. Pada Bangunan I aktivitas usaha memiliki area khusus yang ditunjukkan dengan nomor 2, 3, 4, 5 pada Gambar 3. Sedangkan pada Bangunan III aktivitas usaha dan hunian berjalan bersamaan atau bergantian pada ruang yang sama. Rincian aktivitas pada masing-masing ruang bersama dapat dilihat pada Tabel 3.

2   Pembatas

Tidak ada pembatas antara area usaha dan hunian. Area usaha dan hunian berdampingan dan ada ruang-ruang yang digunakan bersama (lihat Tabel 3).

3     Sirkulasi

Pelaku usaha dan penghuni mengakses rumah tinggal melalui pintu gerbang utama. Tidak ada pemisahan akses dan sirkulasi antara pegawai (pelaku usaha) dan penghuni ketika beraktivitas di area rumah, sehingga pegawai dapat mengakses area hunian baik mengakses langsung maupun hanya mengakses secara visual. Ruang-ruang hunian yang dapat diakses langsung oleh pegawai antara lain: R. keluarga, KM/WC, teras, dapur

Ruang-ruang hunian yang dapat diakses secara visual oleh pegawai antara lain: R. tidur, gudang mainan, gudang

Tipe campuran selanjutnya berlaku pada Studi Kasus 5 yaitu rumah Bapak Mupadi yang memiliki usaha dibidang sablon kain. Pemilik menyatakan jika rumah yang ditempati sekarang berstatus mengontrak. Selain sebagai hunian pribadi, pemilik juga menyediakan hunian bagi para pekerja. Seperti halnya Studi Kasus 1, pada Studi Kasus 5 juga terdapat ruang-ruang bersama dan fleksibilitas antara aktivitas hunian dan usaha. Menurut pemilik tidak ada pemisahan antara akses untuk kegiatan usaha dan akses untuk kegiatan hunian.

Pegawai dapat mengkases semua ruang yang ada, kecuali ruang tidur pemilik. Ruang-ruang bersama yang digunakan untuk aktivitas usaha dan hunian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penggunaan Ruang Bersama pada Studi Kasus 5

No.

Nama Ruang       Aktivitas Hunian            Aktivitas Usaha

1

⁻ memasak makanan

Dapur                                          - tempat makan pegawai

- tempat makan pemilik

- menerima tamu           - area untuk meletakkan kain yang

2

Ruang Santai            - area bermain anak          sudah di sablon dan akan diambil oleh

- area bersantai               pelanggan

3

KM/WC 1            - MCK penghuni          - MCK pegawai, pelanggan, pemasok

4

Area penerimaan tamu   - menerima tamu           - melayani pelanggan

Kain yang akan disablon memiliki ukuran mulai dari 20 meter dan harus direntangkan ketika disablon. Kain yang telah disablon kemudian harus melalui proses perebusan, pencucian dan penjemuran sebelum diserahkan ke pelanggan. Faktor penyebab proporsi area usaha lebih besar dibandingkan dengan area hunian adalah jenis usaha serta kompleksitas dari proses kegiatan usaha. Fleksibilitas sirkulasi antara area hunian dan usaha terjadi karena keterbatasan dana sehingga pemilik lebih mengutamakan area usaha dibandingkan dengan area hunian.


Keterangan:

  • 1.    Gerbang

  • 2.    Parkir

  • 3.    Gudang Kain

  • 4.    R. Tidur Juru Masak

  • 5.    KM/WC 1

  • 6.    Dapur Umum

  • 7.    R. Santai

  • 8.    Area Packing

  • 9.    R. Tidur 1

  • 10.    R. Tidur 2

  • 11.    Penyimpanan Barang

  • 12.    Area Penerimaan Tamu

  • 13.    Area Jemur

  • 14.    Penyimpanan 1

  • 15.    Area Sablon

  • 16.    Penyimpanan 2

  • 17.    Penyimpanan 3

  • 18.    Area Penggulungan

  • 19.    Area Perendaman

  • 20.    KM/WC 2

  • 21.    Area Belakang

  • 22.    Pengolahan Limbah

  • 23.    Gudang Alat

  • 24.    Musholla

  • 25.    Ruang Tidur Karyawan

    : area hunian


    : area usaha


Gambar 4. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 5

Studi Kasus 5 tergolong dalam tipe campuran karena fungsi usaha dan hunian terletak pada satu bangunan dengan massa tunggal. Selain itu terjadi sirkulasi yang fleksibel antara pelaku usaha dan penghuni dalam rumah. Pada studi kasus ini juga tidak terdapat pembatas yang

jelas antara area usaha dan hunian. Rincian terkait kriteria tipe campuran pada Studi Kasus 5 dijabarkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Penjabaran Kriteria Tipe Campuran pada Studi Kasus 5

No.   Kriteria

Studi Kasus 5

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal merupakan bangunan monolit (lihat Gambar 4)

Aktivitas usaha dan hunian berlangsung dalam bangunan monolit tersebut. Pada Gambar 4 terlihat proporsi area usaha lebih besar dibandingkan dengan area hunian.

2   Pembatas

Tidak ada pembatas antara area usaha dan hunian. Area usaha dan hunian berdampingan, seperti ruang tidur (no. 9 dan 10 pada Gambar 4) dan area sablon (no. 15 pada Gambar 4) yang hanya dibatasi dinding kamar tidur. Selain itu terdapat pula ruang-ruang yang digunakan bersama, yang dijelaskan lebih rinci pada Tabel 5.

3     Sirkulasi

Tidak ada pemisahan akses dan sirkulasi antara pelaku usaha (pegawai, pelanggan, pemasok) dan penghuni karena hanya ada satu akses untuk masuk ke rumah. Pemilik mengatakan tidak ada pembatasan akses bagi pelaku usaha kecuali ruang tidur pemilik, oleh karena itu pelaku usaha diijinkan untuk melihat seluruh area produksi

Ruang-ruang hunian yang dapat diakses langsung oleh pelaku usaha antara lain: R. Santai, KM/WC dan dapur

Ruang hunian yg dapat diakses secara visual oleh pelaku usaha adalah ruang tidur

Walaupun sama-sama merupakan tipe campuran, namun ada perbedaan antara kedua studi kasus tersebut. Studi Kasus 1 memiliki proporsi area hunian lebih besar dari pada area yang digunakan untuk usaha sedangkan Studi Kasus 5 kebalikannya yaitu memiliki proporsi area usaha lebih besar dibandingkan dengan hunian. Temuan lapangan tersebut berbeda dengan teori yang menyebutkan pada tipe campuran area hunian memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan area usaha. Sehingga tipe campuran yang didapat berdasarkan penelitian dibagi menjadi 2 varian yaitu rumah dengan area usaha lebih besar dibandingkan area hunian dan rumah dengan area usaha lebih kecil dari area hunian. Varian dari tipe campuran diilustrasikan pada Gambar 5.


Keterangan :

1 : area hunian

2 : area usaha


Gambar 5. Bagan Tipe Campuran pada Objek Penelitian

Tipe Berimbang

Tipe berimbang merupakan rumah yang area usaha dan area huniannya berada pada satu bangunan, tetapi terdapat pemisahan yang jelas. Silas (1993) menyebutkan bahwa proporsi area hunian sama dengan area usaha. Namun berdasarkan hasil observasi, terdapat area hunian lebih besar dibandingkan dengan area usaha. Tipe ini berlaku pada Studi Kasus 3 yaitu UBR yang bergerak dalam bidang penjualan kebutuhan sehari-hari. Menurut pemilik, saat membangun rumah telah ada perencanaan untuk membuka usaha warung dan menyediakan area khusus untuk kegiatan usaha. Area usaha dan area hunian dipisahkan

secara jelas menggunakan dinding masif. Selain itu masing-masing fungsi juga telah memiliki akses tersendiri.


1. Pintu Gerbang

2. Warung

2A. Kasir

2B. Gudang Stok

3. Area Metanding

4. Area Transisi

5. Taman

6. Sanggah

7. Teras

8. Carport

9. R. Tidur 1

10. R. Tidur 2

11. KM/WC 1

12. R. Keluarga

13. Dapur 1

14. R. Tidur 3

15. R. Tidur 4

16. Area Cuci

17. Dapur 2

18. KM/WC 2

19. Halaman Belakang




Gambar 6. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 3

Pemilik juga menyatakan pemisahan area usaha dan hunian diperlukan agar privasi hunian tidak terganggu. Proporsi area usaha yang lebih kecil dari pada area hunian menurut pemilik disebabkan karena jenis usaha tersebut tidak membutuhkan ruang yang terlalu luas. Walaupun area usaha dan hunian telah dipisahkan namun masih ada ruang-ruang yang digunakan bersama oleh kedua fungsi. Rincian dijabarkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Penjabaran Kriteria Tipe Berimbang pada Studi Kasus 3

No.  Kriteria

Studi Kasus 3

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal merupakan bangunan monolit (lihat Gambar 6)

Warung yang merupakan area usaha dan hunian terletak pada satu bangunan. Pada studi kasus 3 area hunian memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan area usaha.

2   Pembatas

Area usaha dan hunian dibatasi dengan dinding solid, namun ada akses yang menghubungkan antara kedua fungsi tersebut. Selain itu organisasi ruang yang mengelompokkan area usaha di area depan rumah (lihat no. 2 pada Gambar 6) juga menyebabkan adanya batasan yang jelas antara area usaha dan hunian.

3     Sirkulasi

Sirkulasi aktivitas usaha dibedakan dengan sirkulasi aktivitas hunian. Sirkulasi aktivitas usaha hanya terjadi di area warung (lihat Gambar 6). Selain itu akses untuk ke area usaha (warung) berbeda dengan akses menuju rumah. Area usaha memiliki akses pintu tersendiri, sedangkan untuk menuju rumah, penghuni juga memiliki akses tersendiri yaitu melalui pintu gerbang dan tidak perlu melewati area usaha.

Akibat akses yang terpisah, maka pelaku usaha tidak dapat mengakses area hunian baik secara langsung maupun secara visual.

Tipe Terpisah

Tipe terpisah yaitu rumah yang area usaha dan area huniannya terletak pada bangunan yang berbeda, tetapi masih berada pada wilayah yang sama. Silas (1993) menyatakan bahwa pada

tipe terpisah area hunian memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan area usaha. Tipe terpisah terjadi pada Studi Kasus 7 dan Studi Kasus 4.

Keterangan:

1. Pintu Utama

2. Pintu Samping

3. Warung

3A. Area Penyajian

3B. Area Masak

4. Area Transisi

5. Teras

6. Area Jemur

7. Area Tidur Sementara

8. R. Tamu

9. Dapur

10. R. Tidur 1

11. KM/WC

12. R. Tidur 2

13. R. Metanding

14. Sanggah

15. Tugu

16. Penyimpanan Barang

17. Tugu





Gambar 7. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 7

Pada Studi Kasus 7 (Tabel 8) terdapat dua bangunan pada satu wilayah, bangunan hunian merupakan bangunan permanen sedangkan bangunan usaha merupakan bangunan semi permanen. Sendri selaku pemilik menyatakan area hunian ada lebih dulu dari pada area usaha karena saat membangun hunian belum ada rencana untuk membuat usaha. Hal tersebut yang menyebabkan area usaha memanfaatkan area yang tersedia yaitu area bekas parkir mobil. Hal tersebut juga yang menyebabkan proporsi area usaha lebih kecil dibandingkan dengan area hunian.

Tabel 8. Penjabaran Kriteria Tipe Terpisah pada Studi Kasus 7

No.  Kriteria

Studi Kasus 7

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal merupakan bangunan massa majemuk (lihat Gambar 7) yang terdiri dari bangungan utama untuk hunian dan bangunan semi permanen untuk usaha. Pada Studi Kasus 7 proporsi area usaha lebih kecil dibandingkan dengan area hunian.

2   Pembatas

Area usaha dan hunian dibatasi dengan dinding solid dari bangunan hunian. Selain itu jarak antara bangunan usaha dan hunian juga menjadi pembatas antara kedua fungsi.

3     Sirkulasi

Akibat fungsi usaha dan hunian yang terletak pada bangunan terpisah, maka sirkulasi kedua fungsi juga terpisah.

Pelaku usaha (pembeli dan pemasok) hanya dapat mengakses area usaha dibagian depan rumah. Pada Studi Kasus 7 pelaku usaha tidak dapat mengakses langsung area hunian, namun masih dapat mengakses secara visual. Menurut pemilik rumah pelaku usaha tidak diijinkan masuk ke bangunan utama yang merupakan area hunian, termasuk tidak diijinkan untuk meminjam kamar mandi karena berada di dalam bangunan utama. Walaupun sirkulasi antara pelaku usaha dan penghuni berbeda, namun akses untuk menuju rumah dan area usaha masih menjadi satu, sehingga penghuni harus melewati area usaha terlebih dahulu untuk mencapai area hunian.

Tipe terpisah selanjutnya adalah Studi Kasus 4 yaitu UBR yang bergerak pada bidang bengkel las. Sama halnya dengan Studi Kasus 7, Studi Kasus 4 memanfaatkan area parkir

mobil sebagai bengkel las. Area bengkel las terpisah dengan bangunan rumah, tetapi masih terletak pada area yang sama. Pemilik rumah menyatakan rumah yang ditempati saat ini berstatus mengontrak. Tujuan utama pemilik menyewa rumah adalah untuk membuka usaha sendiri, sehingga ketika memilih rumah, pemilik sudah memiliki kriteria rumah yang akan dipilih. Rincian dijabarkan pada Tabel 9


Keterangan:

  • 1.    Bengkel Kerja

  • 2.    R. Santai

  • 3.    R. Tamu

  • 4.    R. Tidur 1

  • 5.    R. Tidur 2

  • 6.    KM/WC 1

  • 7.    Dapur

  • 8.    KM/WC 2

  • 9.    Gudang Alat

    : area hunian

    : area usaha


Gambar 8. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 4

Area hunian memiliki proporsi lebih kecil dibandingkan dengan area usaha karena jenis usaha yang dijalani memerlukan area yang luas untuk meletakkan maupun mengolah bahan seperti besi atau baja. Selain itu, aktivitas usaha yang menghasilkan tingkat kebisingan yang tinggi menyebabkan pemilik memisahkan area usaha dan hunian.

Tabel 9. Penjabaran Kriteria Tipe Terpisah pada Studi Kasus 4

No.  Kriteria

Studi Kasus 4

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal merupakan bangunan massa majemuk (lihat Gambar 8). Rumah terdiri dari bangunan utama untuk hunian dan bangunan semi permanen untuk usaha bengkel las. Pada Studi Kasus 4 proporsi area usaha lebih besar dibandingkan dengan area hunian.

2   Pembatas

3     Sirkulasi

Area usaha dan hunian hanya dibatasi dengan dinding solid dari bangunan utama.

Fungsi usaha dan hunian telah dipisahkan dan memiliki area tersendiri sehingga sirkulasi penghuni dan pelaku usaha juga terpisah. Penghuni melakukan sebagian besar aktivitas di dalam rumah sedangkan aktvitas usaha di luar rumah. Oleh karena itu sirkulasi pelaku usaha hanya terjadi di luar rumah. Sama seperti Studi Kasus 7, pada kasus ini untuk mencapai bangunan utama penghuni harus melewati area usaha karena walaupun sirkulasi telah terpisah namun akses menuju rumah masih menjadi satu. Pada kasus ini pelaku usaha tidak dapat mengakses area hunian secara langsung namun dapat mengakses secara visual.

Sama halnya dengan tipe campuran, tipe terpisah juga dibagi menjadi dua varian seperti penjabaran studi kasus di atas. Silas (1993) menyatakan pada tipe terpisah area hunian memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan area usaha sedangkan pada Studi Kasus 4 area usaha memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan area hunian. Oleh karena itu terdapat dua varian dari terpisah yaitu tipe terpisah dengan area usaha lebih kecil dibandingkan dengan area usaha dan sebaliknya.

Gambar 9. Ilustrasi Tipe Terpisah pada Objek Penelitian

Tipe Kombinasi

Tipe kombinasi merupakan gabungan antara dua tipe UBR yaitu tipe berimbang dan tipe terpisah. Tipe kombinasi terjadi pada Studi Kasus 2 dan Studi Kasus 6. Kasus 2 merupakan bengkel mobil yang memiliki tiga massa bangunan pada wilayah yang sama seperti pada Gambar 10. Pada Studi Kasus 2 tipe berimbang terjadi pada bangunan pertama, tetapi proporsi area usaha pada bangunan pertama lebih besar dari area hunian. Sementara itu, tipe terpisah terjadi karena ada bangunan lain yang juga difungsikan sebagai area usaha. Menurut Pramulia selaku pemilik, pemisahan area hunian dan usaha bertujuan agar privasi hunian tidak terganggu dan pemilik memiliki ruang untuk melakukan kegiatan tanpa ada intervensi dari orang lain. Jabaran secara lebih mendetail dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Penjabaran Kriteria Tipe Kombinasi pada Studi Kasus 2

No.   Kriteria

Studi Kasus 2

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal merupakan bangunan massa majemuk (lihat Gambar 10), Rumah terdiri dari tiga bangunan yaitu:

  • -    Bangunan I : merupakan bangunan utama berlantai 2. Lantai 1 berfungsi sebagai area usaha dan area hunian dengan proporsi area usaha lebih besar dari pada area hunian, sedangkan lantai 2 seluruhnya berfungsi sebagai area hunian. (tipe berimbang)

  • -    Bangunan II : merupakan bangunan 2 lantai. Lantai 1 berfungsi sebagai area usaha (ruang tunggu) dan lantai 2 berfungsi sebagai tempat persembahyangan penghuni. (tipe berimbang)

  • -    Bangunan III : merupakan bangunan 2 lantai yang seluruhnya berfungsi sebagai area usaha. (tipe terpisah)

2   Pembatas

  • -    Bangunan I : pembatas area usaha dan hunian berupa dinding solid. Selain itu perbedaan level secara vertikal (area usaha di lantai 1 dan area hunian di lantai 2) juga merupakan pembatas.

  • -    Bangunan II : batasan area usaha dan hunian dilakukan dengan cara membedakan level secara vertikal.

Selain pembatasan secara fisik, batasan secara non fisik juga dilakukan pemilik yaitu membatasi orang-orang yang boleh masuk ke area hunian di lantai 2. Selain keluarga inti, orang lain yang termasuk tamu, kerabat dan pelaku usaha hanya boleh beraktivitas di lantai 1.

3     Sirkulasi

Sirkulasi pelaku usaha dipisahkan dengan penghuni. Sebagian besar kegiatan penghuni dilakukan di Bangunan I lantai 2. Sedangkan semua aktivitas usaha dilakukan di lantai 1. Akses menuju rumah dan area usaha masih sama sehingga penghuni harus melewati area usaha untuk menuju area hunian.

Bangunan II

angunan III

Bangunan I

Keterangan:

1. Area servis 1

2. Kasir dan gudang spare part

3. Ruang tunggu

4. Dapur umum

5. Gudang

6. Kebun sedikit

7. Toilet pengunjung

8. Gudang Bengkel

9. Area Servis 2

10. Penyimpanan Barang Bekas

11. KM/WC karyawan

12. Area parkir

13. R. Tidur 1

14. R. Tidur 2


©

: area hunian

: area usaha



  • 15.    R. Keluarga

  • 16.    Pantry dan R. Makan

  • 17.    KM/WC 1

  • 18.    KM/WC 2

  • 19.    R. Tidur 3

  • 20.    Sanggah

  • 21.    Gudang Oli

  • 22.    R. Karyawan

  • 23.    Selasar

  • 24.    Pintu Depan

  • 25.    Pintu Samping

Gambar 10. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 2

Tipe kombinasi selanjutnya adalah Studi Kasus 6 yang bergerak dibidang sablon batik dan memiliki tiga massa bangunan dalam satu wilayah. Bangunan pertama merupakan bangunan dua lantai yang mewadahi aktivitas usaha maupun hunian pada lantai 1 dan hanya mewadahi aktivitas hunian pada lantai 2. Pada bangunan pertama, proporsi area usaha lebih besar dari pada area hunian. Bangunan kedua dan ketiga merupakan bangunan satu lantai yang samasama berfungsi sebagai area usaha. Sama halnya dengan Studi Kasus 2, pada bangunan pertama pada Studi Kasus 6 berlaku tipe berimbang dengan area usaha lebih besar dari pada area hunian, sedangkan tipe terpisah terjadi karena ada dua bangunan lain yang juga berfungsi sebagai area usaha.

Keterangan:

1. Pintu Depan

2. R. Tamu

3. R. Tidur Pemilik

4. KM/WC 1

5. Dapur

6. Area Pencucian Kain

7. Area Pewarnaan Kain

8. Area Transisi

9. Area Penerimaan Order

10. KM/WC 2

11. Area Packing

12. Gudang Kain

13. Area Jemur Pakaian

14. Area Jemur Kain

15. Area Pengolahan Limbah

16. Area Santai

17. R. Tidur Anak

18. R. Tidur Karyawan 1

19. R. Tidur Karyawan 2

20. Pintu Belakang


: area hunian


% : area usaha


Gambar 11. Pembagian Ruang antara Fungsi Usaha dan Hunian pada Studi Kasus 6

Solihin selaku pemilik menyatakan penataan ruang yang ada saat ini terjadi karena keterbatasan modal untuk menyewa lahan yang lebih besar dan kegiatan usaha celup batik yang memerlukan area yang cukup luas. Bahan yang akan diolah pada usaha ini berupa kain dengan panjang rata-rata mulai dari 20 meter sampai 100 meter, sehingga pada proses penjemuran dan perendaman memerlukan area yang cukup luas. Pada Tabel 11 dijelaskan penjabaran dari kriteria tipe kombinasi pada Studi Kasus 6

Tabel 11. Penjabaran Kriteria Tipe Kombinasi pada Studi Kasus 6

No.   Kriteria

Studi Kasus 6

1    Massa

bangunan

Rumah tinggal merupakan bangunan massa majemuk (lihat Gambar 11), Rumah terdiri dari tiga bangunan yaitu:

  • -    Bangunan I : merupakan bangunan dua lantai. Lantai 1 berfungsi sebagai area usaha dan hunian dan lantai 2 sebagai area hunian. (tipe berimbang)

  • -    Bangunan II : merupakan bangunan untuk area usaha yang terdiri dari area pengemasan dan gudang kain. (tipe terpisah)

  • -    Bangunan III : merupakan bangunan KM/WC

2   Pembatas

- Bangunan I : menggunakan dinding solid dan perbedaan level lantai untuk membatasi area usaha dan hunian

- Bangunan II : menggunakan pembatas dinding solid

3     Sirkulasi

sirkulasi penghuni dan pelaku usaha terpisah sesuai penempatan area usaha dan hunian namun akses untuk menuju rumah hanya satu sehingga penghuni harus melewati area usaha untuk masuk ke area hunian.

Faktor yang Mempengaruhi Tipologi Rumah berdasarkan Proporsi Area Usaha dan Hunian

Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penataan serta proporsi antara area usaha dan area hunian, antara lain: 1) adanya keterbatasan modal dan lahan; 2) jenis usaha yang dijalani; 3) perencanaan terkait membuka usaha; dan 4) preferensi penghuni. Keterbatasan modal dan lahan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi penataan serta proporsi ruang. Pada beberapa Studi Kasus, modal yang terbatas menyebabkan pemilik tidak dapat menyediakan area khusus untuk usaha. Beberapa area usaha yang telah dijabarkan pada studi kasus menjadi satu bangunan dengan area hunian, memiliki ruang-ruang yang dipakai bersama antara kegiatan usaha dan hunian serta memiliki fleksibilitas akses.

Fungsi dan aktivitas merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebagai faktor pembentuk ruang. Oleh karena itu, aktvitas atau proses yang berlangsung pada setiap usaha berbeda satu sama lain tergantung jenis usaha yang dijalani. Perbedaan masing-masing aktivitas usaha kemudian berdampak pada perbedaan kebutuhan dan luasan ruang pada masing-masing usaha. Semakin panjang proses usaha dan semakin beragam bahan yang diolah, maka semakin banyak dan luas ruang yang dibutuhkan. Pada Kasus 3, hanya terjadi dua jenis aktivitas usaha yaitu pengadaan dan penjualan barang, sedangkan pada Kasus 5 terdapat usaha sablon kain dengan lima jenis aktvitas usaha yaitu persiapan, pencetakan motif, finishing, penjemuran dan pengemasan. Tidak hanya proporsi ruang, jenis usaha juga menjadi faktor penentu bagi pemilik untuk mencampur atau memisahkan area usaha dan area hunian. Kasus 4 merupakan UBR yang bergerak pada bidang bengkel las. Menurut pemilik aktivitas kerja menimbulkan tingkat kebisingan yang tinggi dan terkadang bau tidak

sedap dari bahan yang diolah. Oleh karena itu, pemilik memilih untuk memisahkan area usaha dan area hunian, tetapi tetap berdampingan.

Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua UBR telah memiliki rencana untuk membuka usaha sejak bangunan berdiri. Dari tujuh kasus, 6 di antaranya yaitu Kasus 1 sampai Kasus 6 telah memiliki perencanaan membuka usaha sejak awal. Sisanya yaitu Kasus 7, memiliki keinginan membukan usaha ketika kebutuhan ekonomi semakin mendesak. Selain itu lahan yang ditempati UBR saat ini tidak sepenuhnya merupakan lahan milik sendiri. Dari tujuh kasus, tiga diantaranya yang bersifat mengontrak yaitu Kasus 4, 5 dan 6. Walaupun bersifat mengontrak, masing-masing pemilik menyatakan dalam pemilihan lahan yang akan disewa sudah mempertimbangkan jenis usaha dan kebutuhan ruang untuk aktivitas usaha. UBR yang telah memiliki perencanaan membuka usaha sejak awal menyediakan area khusus untuk usaha, sedangkan yang tidak memiliki perencanaan memanfaatkan area tersisa yang ada.

Preferensi penghuni yang dimaksud adalah kecenderungan penghuni terkait kenyamanan dalam menempati rumah yang berfungsi sebagai hunian sekaligus area usaha. Pada Kasus 1, penghuni merasa sudah nyaman dengan penataan ruang saat ini dan merasa tidak perlu untuk merubah penataan maupun sirkulasi pegawai maupun penghuni. Berbeda halnya dengan Kasus 2, yang sengaja memisahkan area hunian dan usaha agar memiliki ruang yang lebih privat sehingga privasi pemilik lebih terjaga. Maka dapat dikatakan bahwa penghuni pada Kasus 1 memiliki tingkat privasi yang lebih rendah dibandingkan dengan Kasus 2.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tipologi UBR berdasarkan penataan dan proporsi antara area usaha dan area hunian pada objek penelitian tidak sepenuhnya sesuai dengan literatur yang telah dijabarkan. Pada literatur disebutkan bahwa tipe campuran dan tipe terpisah memiliki proporsi area hunian yang lebih besar dibandingkan dengan area usaha, sedangkan pada tipe berimbang proporsi area usaha sama dengan area hunian. Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa kasus pada tipe terpisah, tipe campuran maupun tipe berimbang yang memiliki proporsi area usaha lebih besar dibandingkan area hunian. Selain itu penataan dan proporsi ruang tidak dapat terlepas dari beberapa faktor yaitu: 1) adanya keterbatasan modal dan lahan; 2) jenis usaha yang dijalani; 3) perencanaan terkait membuka usaha; dan 4) preferensi penghuni. Penataan dan pembagian area hunian dan usaha tentunya akan berdampak pada aspek-aspek lain seperti privasi, kenyamanan, keamanan dan lainnya. Oleh karena itu pemilik rumah sebaiknya tetap memberikan batasan antara area hunian dan usaha dalam bentuk batasan fisik maupun non fisik.

Daftar Pustaka

Arisngatiasih, A. & Muktiali, M. (2015). Pola Pemanfaatan Ruang pada Usaha Berbasis Rumah (UBR) di Klaster Batik Jenggot Kota Pekalongan. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 3(3), 175-188.

Bahri, S. (2005). Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern. Jurnal Sistem Teknik Industri, 6(3), 97-102.

Kellett, P. & Tipple, A. G. (2000). The Home as Workplace: A Study of Income-Generating Activities Within The Domestic Setting. Environment & Urbanization, 12(1), 203214.

Luthfiah. (2010). Perubahan Bentuk dan Fungsi Hunian pada Rumah Susun Pasca Penghunian. Jurnal “Ruang”, 2(2), 34-44.

Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370396.

Mulyani, T. H. (1998). Seri Eko-Arsitektur 2 Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius.

Osman, W. W. & Amin, S. (2012). Rumah Produktif: sebagai Tempat Tinggal dan Tempat Bekerja di Permukiman Komunitas Pengrajin Emas (Pola Pemanfaatan Ruang pada Usaha Rumah Tangga). Jurnal Grup Teknik Arsitektur, 6(1), 1-17.

Sary, R. K., & Zulfikri. (2014). Pengaruh Persepsi Penghuni terhadap Fungsi Rumah Limas Palembang. Jurnal Berkala Teknik, 4(2), 692-705.

Silas, J. (1993). Perumahan: Hunian dan Fungsi lebihnya, Dari Aspek Sumberdaya dan Eksistensi. Pidato Pengukuhan Untuk Jabatan Guru Besar Teknik Arsitektur FTSP ITS Surabaya 15 Mei.

Supranto, J. (2007). Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global (ed. 2). Jakarta: Salemba Empat.

Turner, J. F. C. & Fichter, R. (1972). Freedom to Build: Dweller Control of the Housing Process. New York: Macmillan.

Yin, R. K. (2006). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

238

SPACE - VOLUME 7, NO. 2, OCTOBER 2020