KAJIAN ARSITEKTUR BALI

PADA TAMPILAN BANGUNAN KOMERSIAL DI KORIDOR JALAN DANAU TAMBLINGAN, KELURAHAN SANUR, DENPASAR SELATAN

Oleh: I GP. Astamarsa Werdantara1, Tri Anggraini Prajnawrdhi2,

Antonius Karel Muktiwibowo3

Abstract

The development brings inevitable changes to the built environment in which architectural design holds a significant part. Architecture, undoubtedly, has a strong association with identity and the character of a certain built urban environment. Changes in architectural principles and designs may bring two-side impacts, which may either strengthen or harm the existing urban identity. This is especially true when we discuss architectural changes and the formation of urban identity on the Island of Bali. This study aims to examine the conformance of numerous facades of commercial buildings located along the Danau Tamblingan Corridor in Sanur-Bali to the set of local government regulations that govern the implementation of local traditions in architectural design and practices. The study is approached with a qualitative method. The study result shows there are 5 groups of violations, which are: 1) violation of the tri angga principle; 2) the use of flat roofs; 3) minimum use of local decorative elements; 4) dominant exhibition of commercial identity; 5) the absent of handcrafted character, natural materials and the color derived from their uses.

Keywords: Balinese Architecture; facade; commercial building

Abstrak

Perkembangan zaman membawa perubahan pada banyak hal dan tidak dapat dihindari. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah arsitektur. Arsitektur memiliki hubungan yang erat dengan tata ruang sebuah wilayah atau kota. Arsitektur berkaitan dengan karakter dari suatu wilayah tersebut. Perubahan dalam arsitektur yang tidak terkontrol dapat menghilangkan karakter dari sebuah wilayah. Arsitektur Bali adalah salah satu gaya arsitektur yang mengalami perubahan. Jalan Danau Tamblingan adalah salah satu koridor komersial di Kelurahan Sanur yang terdiri dari berbagai jenis fasilitas komersial dengan karakter bangunan yang bervariasi. Namun terdapat banyak bangunan komersial yang tidak menerapkan prinsip Arsitektur Bali sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Walikota Denpasar No. 25 Tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prinsip Arsitektur Bali dalam peraturan perundang-undangan yang tidak diterapkan pada tampilan bangunan fasilitas komersial di lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan strategi studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 5 pelanggaran yang dilakukan oleh bangunan-bangunan komersial di Koridor Jalan Danau Tamblingan, Sanur yaitu; 1) tidak menerapkan konsep tri angga; 2) menggunakan atap datar; 3) minimnya penggunaan ragam hias Arsitektur Bali; 4) dominasi identitas perusahaan pada tampilan bangunan; 5) tidak menampilkan karakter handicraft serta tidak menggunakan warna dan material alamiah.

Kata kunci: Arsitektur Bali; fasad; bangunan komersial

Pendahuluan

Tata ruang sebuah kota atau daerah tidak dapat dipisahkan dari arsitektur. Arsitektur menurut Frick (1988) adalah sebuah cerminan dari budaya yang berbeda dengan karya seni lainnya. Begitu juga dengan sebuah kota atau daerah yang memiliki budayanya tersendiri. Budaya tersebut dapat dikatakan telah menjadi ciri khas dari sebuah daerah. Gomudha (2017) menuliskan, manusia selaku makhluk yang berbudaya memiliki sifat yang selalu menginginkan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Perkembangan dan perubahan memang dibutuhkan namun sangat perlu untuk dikendalikan agar tradisi yang diwariskan oleh leluhur tidak dilupakan. Begitu pula dengan karya arsitektur di sebuah daerah yang sudah diwariskan oleh leluhur akan mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Perubahan tersebut harus dikendalikan agar tidak merubah dan menghilangkan identitas dari sebuah daerah.

Tampilan bangunan adalah salah satu bagian bangunan yang mampu menyampaikan sebuah konsep dari sebuah bangunan kepada yang melihatnya. Fasad adalah bagian dalam tampilan bangunan yang pertama kali memberikan kesan terhadap bangunan tersebut. Krier (1988) dalam Arifin dan Samsudin (2013) menjelaskan, fasad adalah wajah dari sebuah bangunan atau bagian yang menghadap ke jalan dan mencerminkan situasi kultur saat bangunan tersebut didirikan.

Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki perkembangan pariwisata yang sangat pesat. Kebudayaan dan tradisi yang tetap bertahan secara turun temurun merupakan salah satu potensi yang dimiliki Bali. Kebudayaan dan tradisi Bali tersebut tercerminkan dalam Arsitektur Bali. Arsitektur Bali sangat erat kaitannya dengan Umat Hindu Bali. Prinsip-prinsip dalam Agama Hindu Bali merupakan dasar dari prinsip Arsitektur Bali. Walaupun demikian, perubahan pada Arsitektur Bali tetap terjadi dan tidak dapat dihindari, sehingga pengendalian terhadap perubahan yang terjadi adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan. Suartha dalam Burhanuddin (2008) menjelaskan bahwa Arsitektur Bali sangat penting karena merupakan salah satu aset kultural Bali. Menurut sumber yang sama dijelaskan bahwa pada masa kini tidak sedikit bangunan yang tidak mengindahkan budaya Bali karena beberapa bangunan di Bali tidak lagi memperhatikan nilai-nilai Arsitektur Bali yang merupakan salah satu tradisi yang harus dilestarikan. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan oleh kurangnya perhatian dari pihak pemerintah setempat.

Kelurahan Sanur adalah kelurahan di Kecamatan Denpasar Selatan yang memiliki perkembangan pariwisata yang pesat, sehingga sejumlah hotel, restoran, dan fasilitas komersial lainnya memilih lokasi di kelurahan ini. Jalan Danau Tamblingan adalah salah satu jalan utama untuk mengakses fasilitas-fasilitas komersial penunjang pariwisata di kelurahan ini. Pada koridor jalan tersebut bermunculan beberapa fasilitas dengan nama yang terkenal dan dengan bangunan yang mencerminkan ciri khasnya sendiri. Beberapa bangunan-bangunan komersial yang ada yang sangat tidak mencerminkan karakter Bali.

Pratama dan Suardita (2018) menuliskan bahwa sangat banyak ditemukan bangunan-bangunan dengan langgam arsitektur minimalis di Kota Denpasar. Hal tersebut akan dapat menggeser keberadaan Arsitektur Bali yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Bali. Sejumlah 56,7% bangunan komersial di koridor Jalan Danau

Tamblingan tidak menerapkan prinsip Arsitektur Bali, khususnya penggunaan ragam hias pada bangunan. Hal tersebut dikarenakan bangunan komersial dominan menerapkan ragam hias modern yang menampilkan karakter dari perusahaan masing-masing. Terdapat beberapa prinsip lainnya dalam Arsitektur Bali yang tidak diterapkan pada tampilan bangunan komersial seperti: 1) konsep tri angga; 2) penggunaan atap limasan atau pelana; 3) bentuk dengan karakter handicraft. Tidak adanya sanksi kepada para pelanggar merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pelanggaran dalam penerapan prinsip Arsitektur Bali. Pratama dan Suardita (2018) menuliskan sampai sekarang masih belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pelanggaran terkait karya arsitektur. Sejauh ini hanya terdapat upaya dalam pengendalian karya arsitektur yang dimuat dalam Perda No. 5 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa gubernur mengkoordinasikan pengendalian persyaratan arsitektur bangunan gedung tersebut kepada pemerintahan kabupaten kota dan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prinsip Arsitektur Bali pada tampilan bangunan komersial di Koridor Jalan Danau Tamblingan, Kelurahan Sanur. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prinsip Arsitektur Bali dalam teori dan Peraturan Walikota Denpasar No. 25 Tahun 2010 sebagai acuan untuk mengamati tampilan bangunan komersial yang ada di lokasi penelitian. Penelitian ini dapat memberikan usulan kepada pihak pemerintah untuk lebih memperketat proses perizinan pendirian bangunan agar bangunan-bangunan yang berdiri telah sepenuhnya menerapkan prinsip Arsitektur Bali, khususnya pada tampilan bangunan. Bangunan-bangunan di koridor jalan utama di Bali diharapkan dapat menerapkan prinsip Arsitektur Bali secara tepat, tidak hanya dengan menerapkan sedikit elemen dekorasi kemudian mengganggap bahwa tampilan bangunan tersebut telah mencerminkan Arsitektur Bali.

Tampilan Bangunan

Tampilan dari sebuah bangunan identik dengan istilah fasad. Fasad merupakan salah satu bagian dari tampilan bangunan. Fasad menurut Krier (1988) dalam Arifin dan Samsudin (2013) adalah sebuah istilah yang berasal dari kata ”facies” yang merupakan sinonim dari kata ”face” yang berarti wajah dan ”apperance” yang berarti penampilan. Ketika membicarakan ”wajah” sebuah bangunan digunakan kata fasad. Krier (1988) dalam Arifin dan Samsudin (2013) menjelaskan fasad adalah wajah atau bagian depan dari suatu bangunan yang menghadap ke jalan. Fasad juga merupakan sebuah pencerminan dari situasi kultur saat sebuah bangunan didirikan. Pujantara (2013) menjelaskan terdapat beberapa kriteria penataan fasad yaitu 1) prinsip-prinsip komposisi; 2) pemilihan material atau warna dan tekstur; 3) proporsi; 4) elemen dekoratif. Maka dalam penelitian ini fasad dipahami sebagai wajah atau tampilan bangunan (menghadap ke jalan) yang dapat berfungsi sebagai percerminan budaya atau karakter pada suatu daerah.

Prinsip Arsitektur Bali pada Tampilan Bangunan

Setiap daerah memiliki ciri khas dalam gaya arsitektur. Arsitektur adalah salah satu aspek yang dapat menampilkan identitas suatu daerah. Parwata (2011) menjelaskan bahwa Arsitektur Bali merupakan salah satu perwujudan dari budaya Bali dengan prinsip yang berfokus pada keselarasan antara manusia dengan lingkungannya ataupun alam semesta.

Selain itu, Gomudha (2017) juga menuliskan secara filosofi Arsitektur Bali bertujuan menyeimbangkan mikrokosmos (bhuana alit) dan makrokosmos (bhuwana agung), sehingga bentuk bangunan dengan Arsitektur Bali merupakan analogi dari fisik manusia sebagai bagian dari mikrokosmos. Sehingga dapat diketahui bahwa Arsitektur Bali adalah sebuah konsep arsitektur yang memiliki makna dan filosofi yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Hindu Bali. Keterkaitan yang erat itu memunculkan ciri khas dalam Arsitektur Bali yang dapat dijadikan identitas. Terdapat beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam aspek tata bangunan menurut Gomudha (2017) yaitu 1) unsur sosok bangunan; 2) unsur bentuk bangunan; 3) unsur skala dan proporsi; 4) unsur ornamen dan dekorasi; 5) unsur struktur dan bahan, pada Tabel 1.

Tabel 1. Unsur-Unsur Tata Bangunan dalam Arsitektur Bali

Unsur-Unsur Tata Bangunan

  • 1    Sosok Bangunan

a Menerapkan konsep tri angga secara proporsional hingga ke bagian terkecil dari bangunan.

b Menerapkan karakter bangunan tropis beratap limasan atau pelana, tidak menggunakan atap datar, memiliki overstek yang cukup untuk mengurangi tiris air hujan.

  • 2    Bentuk Bangunan

a Menggunakan bentuk dasar punden berundak, tidak menggunakan bentuk-bentuk miring atau bulat.

b Menerapkan bentuk yang mencerminkan karakter kerajinan tangan (handicraft) dan tidak menampilkan tata olah mesin.

  • 3    Skala dan Proporsi

a Menggunakan skala manusia.

b Gubahan massa besar didekonstruksi menjadi kecil-kecil dan sebaliknya, bila lahan sempit massa kecil dapat direkonstruksi menjadi massa monolit kompak.

  • 4    Ornamen dan Dekorasi

a Menerapkan ornamen sebagai representasi tri angga pada bagian-bagian utama bangunan (batur, tiang/dinding dan atap).

b Menghindari penggunaan simbol agama yang disakralkan.

c Menerapkan tembok penyengker dan angkul-angkul/pemesuan Bali.

  • 5    Struktur dan Bahan

a Menerapkan material dan warna yang alamiah dan terekspose yang disusun dari yang berkarakter berat di bawah dan ke atas semakin ringan.

b Menerapkan konsep the art of construction, perpaduan antara struktur dan konstruksi dengan ragam hias secara harmoni.

Sumber: Gomudha, 2017: 10

Selain itu, Pemerintah Kota Denpasar juga mengeluarkan peraturan mengenai karya arsitektur yang berisikan kriteria-kriteria yang harus dijadikan acuan dalam merancang sebuah bangunan. Peraturan tersebut mewajibkan setiap bangunan yang ada di sepanjang jalan Kota Denpasar untuk menerapkan prinsip-prinisip Arsitektur Bali (Pratama dan Suardita, 2018). Peraturan Walikota Denpasar Nomor 25 Tahun 2010 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Kota Denpasar adalah salah satu peraturan yang mengatur mengenai Arsitektur Bali yang pada penelitian ini dikhususkan pada tampilan bangunan. Pada pasal 8, ayat 2 dan 3 peraturan tersebut dijelaskan mengenai tata bangunan yaitu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Unsur-Unsur Tata Bangunan dalam Arsitektur Bali

Unsur-Unsur Tata Bangunan pada Peraturan Pemerintah

  • 1    Sosok Bangunan

a Sosok bangunan harus mencerminkan Arsitektur Bali secara keseluruhan.

b Sosok bangunan harus mencerminkan konsep tri angga.

c Bentuk atap limasan atau pelana dengan kemiringan paling rendah 25 derajat dan paling tinggi 50 derajat.

d Atap datar maksimal 20% dari tampak bangunan secara proporsional.

  • 2    Skala dan Proporsi

Ketinggian bangunan maksimum 15 meter.

  • 3    Ornamen dan Dekorasi

a Penerapan ragam hias pada bangunan harus seimbang dan menyatu serta proporsional.

b Modifikasi ragam hias tradisional harus mempertahankan karakteristik bentuk awal.

c Komposisi yang seimbang antara brand image perusahaan dengan bidang lainnya dalam tampilan bangunan.

d Menggunakan material organik pada tampilan bangunan seperti batu bata, batu paras, dan lainnya.

e Pada bagian atap menggunakan hiasan murda atau bentala, gegodegan atau ikut celedu, dan lainnya.

f Menerapkan ornamen untuk menampilkan konsep tri angga.

g Menggunakan ornamen seperlunya. Minimal 20% dari luas bidang dinding tampak bangunan dan memperhatikan bentuk serta karakteristik Arsitektur Bali yang berlaku umum.

  • 4    Struktur dan Bahan

Menggunakan warna yang natural dan mencerminkan kedekatan dengan alam.

Sumber: Peraturan Walikota Denpasar Nomor 25 Tahun 2010: 8-9

Berdasarkan pada teori dan peraturan perundang-undangan, dapat diketahui terdapat beberapa kriteria yang harus ditaati dalam merancang bangunan khususnya pada tampilan bangunan yang terdiri dari beberapa unsur yaitu unsur sosok bangunan, bentuk bangunan, skala dan proporsi bangunan, ornamen dan dekorasi, struktur dan bahan.

Pada unsur sosok bangunan, sebuah bangunan diharuskan menerapkan konsep tri angga hingga ke bagian terkecil dari bangunan. Seperti yang dijelaskan oleh Budihardjo (2013), bahwa konsep tri angga berarti 3 bagian tubuh manusia yaitu utama angga (kepala), madya angga (badan) dan nista angga (kaki) yang harus diterapkan secara menyeluruh pada bangunan. Dwijendra (2010) menjelaskan bahwa tri angga adalah sebuah konsep yang lebih menekankan kepada 3 nilai fisik yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Keselarasan antara bhuana agung dan bhuana alit adalah tujuan utama dari adanya konsep tri angga (Sulistyawati, dkk, 1985 dalam Dwijendra, 2003). Tri angga pada bangunan diterapkan secara fisik yaitu dengan menampilkan atap sebagai utama angga, tiang atau dinding sebagai madya angga, dan bebaturan sebagai nista angga (Sulistyawati, dkk, 1985 dan Meganaga, 1990 dalam Dwijendra, 2010). Selain itu pada unsur sosok bangunan setiap bangunan juga diharuskan menerapkan bentuk atap limasan atau pelana yang dilengkapi dengan oversteek untuk menahan air hujan. Menampilkan bentuk atap adalah wujud dari penerapan konsep tri angga khususnya pada bagian kepala atau utama angga, serta meminimalisir digunakannya bentuk atap datar.

Selain itu, terdapat unsur bentuk bangunan yang mengharuskan setiap bangunan menerapkan bentuk punden berundak dan tidak menggunakan bentuk-bentuk miring atau bulat. Punden berundak adalah peninggalan megalitik yang memiliki arti sebuah tempat suci yang berbentuk berundak-undak atau beringkat-tingkat (Sagimun, 1987 dalam Pardi dan Margi, 2013). Penerapan karakter kerajinan tangan (handicraft) juga diharuskan untuk diterapkan pada setiap bangunan serta tidak menerapkan tata olah mesin. Tata olah kerajinan tangan

yang dimaksud adalah bentuk-bentuk yang mencerminkan hasil pekerjaan tangan seperti ukiran, susunan batuan alam, dan lainnya. Sedangkan tata olah mesin seperti menggunakan bahan-bahan pabrikan sebagai elemen estetika.

Unsur skala dan proporsi mengharuskan setiap bangunan agar tidak keluar dari skala manusia dengan tinggi maksimal 15 meter. Sebuah bangunan dengan massa yang besar didekontruksi menjadi massa-massa kecil dan sebaliknya. Gomudha (2017) menjelaskan bahwa Arsitektur Bali selalu menggambarkan skala manusia dengan menggunakan proporsi tubuh penghuninya, sedangkan pada dimensi ruang didapatkan dengan menggunakan modul ruang seperti, sakanem yang sama dengan dua kali sakapat dan tiang sanga yang sama dengan empat kali sakapat.

Unsur lainnya yaitu unsur ornamen dan dekorasi atau dapat juga disebut ragam hias. Arsitektur Bali tidak dapat dipisahkan dari ragam hias, keberadaan ragam hias berfungsi untuk memperkuat karakter dari Arsitektur Bali. Gomudha (2017) menjelaskan bahwa ragam hias merupakan sebuah penghargaan yang diberikan kepada alam dan penciptanya karena memiliki bentuk-bentuk yang terinspirasi dari alam (bhuana agung). Hartanti dan Nediari (2014) mengelompokkan ragam hias Arsitektur Bali menjadi 4 karakter yaitu; 1) geometris; 2) floralistik; 3) antrophomorfis/submorphosis (manusia dan hewan); 4) perimbunan (kombinasi unsur alam). Ragam hias pada Arsitektur Bali terdapat pada 3 bagian bangunan yang terbagi sesuai dengan konsep tri angga yaitu bagian kepala, badan dan kaki. Pada bagian kaki bangunan (bagian bebaturan) terdapat beberapa ornamen atau ragam hias seperti ukiran pepatran, karang asti, karang daun, keketusan. Pada bagian bangunan (bagian dinding, pilar atau tiang) terdapat beberapa ornamen karang barong, karang naga, karang singa, karang garuda, karang sae, karang rangda, karang dedari, karang bentuli, karang boma, karang goak, dan lainnya. Pada bagian kepala bangunan (bagian atap) terdapat beberapa ornamen yaitu seperti ikut celedu, keketusan, bentala dan murdha. Unsur yang terakhir adalah struktur dan bahan yang diharuskan menampilkan kesan alamiah dengan struktur jujur terekspos yang berakarakter berati dibawah dan ringan di atas.

Metode Penelitian

Metode kualitatif dengan strategi studi kasus (case study) digunakan dalam penelitian ini untuk menggali dan membahas permasalahan yang terjadi. Studi kasus merupakan salah satu strategi dalam metode kualitatif yang memiliki ciri 1) penelitian dengan pertanyaan how atau why; 2) peneliti tidak memiliki kontrol terhadap objek penelitian; 3) fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata menjadi fokus penelitian (Yin, 2006). Berdasarkan pemahaman tersebut, strategi studi kasus digunakan pada penelitian ini karena permasalahan pelanggaran prinsip Arsitektur Bali merupakan fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata serta peneliti tidak memiliki kontrol terhadap terjadinya pelanggaran. Teknik observasi digunakan sebagai cara pengumpulan data primer di lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan seluruh bangunan komersial yang ada di lokasi penelitian sebagai objek pembahasan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui persentase pelanggaran yang terjadi pada masing-masing prinsip Arsitektur Bali dalam Peraturan Walikota Denpasar No. 25 Tahun 2010. Data disajikan dalam gambar, bagan dan tabel sebagai pelengkap agar pembaca lebih mudah memahami. Tahap analisis data mengikuti

tahapan seperti yang dianjurkan oleh Creswell (2007) yaitu; 1) mengorganisasikan data; 2) membaca dan membuat catatan; 3) mendeskripsikan kasus; 4) mengklasifikasikan data; 5) mengintepretasikan data.

Koridor Jalan Danau Tamblingan, Kelurahan Sanur, Denpasar Selatan

Kelurahan Sanur yang terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, memiliki perkembangan pariwisata yang pesat. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya fasilitas komersial, seperti hotel atau penginapan, restoran, beach club dan jenis fasilitas penunjang pariwisata lainnya. Kondisi ini membuat beberapa jalan utama di Kelurahan Sanur menjadi koridor komersial, salah satunya adalah Jalan Danau Tamblingan yang terletak di koordinat 8o41’37”LS-115o16’07”LT. Koridor jalan ini merupakan akses utama untuk beberapa fasilitas komersial terkenal seperti Hyatt Regency Resort, Maya Sanur, Maison Aurelia Sanur, The Oasis Lagoon, Swissbel Watujimbar, Griya Santrian, dan lainnya (Gambar 1 dan Gambar 2). Selain itu, koridor jalan ini juga merupakan akses utama menuju beberapa pantai, seperti Pantai Kusuma Sari atau Semawang, Pantai Karang, Pantai Sindhu, dan lainnya. Koridor jalan ini mewadahi fasilitas komersial dengan berbagai fungsi, seperti hotel atau fasilitas penginapan, restoran, bank, toko souvenir, spa, kios art shop, waralaba dan lainnya. Bangunan-bangunan tersebut memiliki karakter sesuai dengan pemiliknya. Fasad atau tampilan bangunan bertujuan untuk memudahkan para pelanggan atau wisatawan mengenal bangunan tersebut. Tampilan bangunan pada koridor ini dapat dikatakan variatif atau tidak mengikuti satu langgam arsitektur.

Gambar 1. Peta Pulau Bali dan Kota Denpasar

Sumber : Diolah dari http://pulauseranganbali.blogspot.com/2011/12/pulau-serangan-kota-denpasar-bali.html (Diakses pada 12 Juli 2018)

Berdasarkan observasi, fasilitas komersial yang berlokasi di Koridor Jalan Danau Tamblingan mencapai 326 buah dengan fungsi antara lain; restoran, hotel, art shop, spa, fashion shop, dan lainnya. Gambar 3 memperlihatkan pelanggaran pada beberapa hal: 1) tidak menerapkan prinsip tri angga; 2) menggunakan atap datar yang mendominasi; 3) minim menggunakan ragam hias dan elemen dekorasi Arsitektur Bali; 4) tampilan bangunan didominasi oleh identitas atau karakter perusahaan, tampilan bangunan tidak mencerminkan karakter handicraft, serta tidak menampilkan warna dan material yang berkesan alamiah.


Gambar 2. Peta Jalan Danau Tamblingan, Kelurahan Sanur, Denpasar Selatan Sumber: Diolah dari https://www.google.com/maps/ (Diakses pada 19 Desember 2018)

Fasilitas lainnya yang dimaksud pada Gambar 3 merupakan fasilitas-fasilitas komersial kecil yang terdiri atas laundry, tatto, waralaba, tourist information, money changer, book shop, rent car, apotek, toko cellular, barber shop, kantor pos dan bank. Suasana koridor Jalan Danau Tamblingan disajikan pada Gambar 4.

Pelanggaran Prinsip Arsitektur Bali pada Bangunan Komersial

60

50

40

30

20

10

0


Lrj .∣∣ LLj ∣∣j i Lj

Tidak menerapkan Menggunakan atap       Minim            Identitas     tidak mencerminkan

konsep tri angga         datar          menggunakan       perusahaan     karakter handicraft

ragam hias dan      mendominasi        serta tidak

elemen dekorasi


tampilan bangunan menampilkan warna

Arsitektur Bali

dan material


berkarakter alamiah

Restoran dan Sejenisnya Hotel/Penginapan Fashion Shop Art Shop Spa Fasilitas Lainnya

Gambar 3. Pelanggaran Prinsip Arsitektur Bali pada Bangunan Komersial


Gambar 4. Suasana Koridor Jalan Danau Tamblingan

Sumber: https://www.google.com/maps/ (Diakses pada 19 Desember 2018)

Tidak Menerapkan Konsep Tri Angga

Konsep tri angga harus ditampilkan pada sosok bangunan dengan menerapkan atap sebagai utama angga, dinding atau tiang sebagai madya angga, dan bebaturan sebagai nista angga yang diterapkan secara menyeluruh pada bangunan terkait. Selain itu, bangunan juga diharusnya menampilkan bentuk punden berundak dengan struktur jujur terekspos berkarakter berat di bawah dan semakin ringan ke atas. Menghindari bentuk-bentuk miring dan melingkar.

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat 55,8% bangunan komersial yang tidak menerapkan konsep tri angga dengan baik di sepanjang koridor Jalan Danau Tamblingan, Kelurahan Sanur. Bangunan-bangunan tersebut tidak menampilkan tiga pembagian secara vertikal seperti kriteria yang telah ditetapkan. Gambar 5 menampilkan tiga contoh bangunan yang tidak menerapkan konsep tri angga, sementara penjelasannya terdapat pada Tabel 3.

Gambar 5. Bangunan yang Tidak Menerapkan Konsep Tri Angga

Tabel 3. Keterangan Bangunan yang Tidak Menerapkan Konsep Tri Angga

Kasus 1

Kasus 2                   Kasus 3

Sudah menampilkan bentuk atap yang mencerminkan utama angga. Namun tidak menampilkan dengan jelas bagian madya angga dan nista angga.

Bangunan tidak menampilkan     Bangunan tidak menampilkan

bentuk yang mencerminkan       bentuk atap yang mencerminkan

madya angga dan nista angga.     utama angga serta tidak adanya

Bangunan menampilkan bentuk   bebaturan yang mencerminkan

atap yang menerus menjadi        nista angga.

dinding bangunan.

Bangunan-bangunan yang tidak menerapkan konsep tri angga cenderung terjadi karena masing-masing bangunan fasilitas komersial lebih mengutamakan untuk menampilkan karakter perusahaan pada tampilan bangunannya dengan maksud agar mudah dikenali. Bangunan-bangunan yang tidak menerapkan konsep tri angga terdiri atas beberapa fasilitas seperti, fasilitas restoran, hotel, fashion shop, art shop, spa dan body massage, dan fasilitas lainnya (Gambar 6). Fashion shop memiliki jumlah pelanggaran yang paling tinggi dibandingkan dengan fasilitas-fasilitas komersial lainnya, karena fasilitas fashion shop dominan memiliki bangunan sederhana yang menekan biaya pada proses pembangunan, fashion shop memiliki bangunan yang kecil dan menggunakan sedikit elemen estetika, sementara itu, untuk menampilkan identitas perusahaan, konsep tri angga tidak diterapkan secara utuh.

Tidak terlihatnya konsep tri angga pada tampilan bangunan

Gambar 6. Fasilitas Komersial yang Tidak Menerapkan Konsep Tri Angga pada Tampilan Bangunan

Menggunakan Atap Datar

Sosok bangunan diharusnya menampilkan atap limasan atau pelana dengan oversteek yang cukup untuk menahan air hujan. Kemiringan atap paling rendah 25 derajat dan paling tinggi 50 derajat, serta bangunan diharuskan meminimalisir penggunaan atap datar. Hal ini memiliki hubungan yang erat dengan penerapan konsep tri angga khususnya pada bagian utama angga yang dapat diwujudkan dengan menampilkan bentuk atap.

Berdasarkan kriteria tersebut, diketahui terdapat 12,6% bangunan komersial di sepanjang koridor Jalan Danau Tamblingan, Kelurahan Sanur yang menggunakan atap datar dan tidak menampilkan bentuk atap limasan atau pelana. Berikut pada Gambar 7 terdapat dua contoh bangunan komersial yang menggunakan atap datar.

Gambar 7. Bangunan yang Tidak Menerapkan Bentuk Atap Limasan atau Pelana

Bangunan-bangunan yang tidak menampilkan bentuk atap limasan atau pelana cenderung karena pihak fasilitas komersial ingin menampilkan karakter atau ciri khas perusahaan yang menggunakan langgam arsitektur modern. Gambar 8 memperlihatkan fashion shop memiliki jumlah pelanggaran prinsip Arsitektur Bali tertinggi di antara fungsi lainnya, sedangkan art shop tidak memiliki pelanggaran tersebut. Fashion shop didominasi oleh penggunaan langgam arsitektur modern yang mencerminkan identitas perusahaan, sedangkan art shop cenderung menerapkan Arsitektur Bali khususnya atap limasan atau pelana. I Ketut Gede Artana (39) mengatakan bahwa kios art shop dominan menerapkan Arsitektur Bali karena

karakter dari Arsitektur Bali yang mampu mencerminkan fungsi dari art shop tersebut. Art shop pada lokasi penelitian merupakan fasilitas komersial yang menjual kerajinan tangan dan oleh-oleh khas Bali, sehingga dengan menerapkan prinsip Arsitektur Bali pada tampilan bangunan mampu mencerminkan fungsi dari fasilitas tersebut.

Atap datar yang mendominasi pada tampilan bangunan

Gambar 8. Bagan Pelanggaran Tampilan Bangunan dengan Atap Datar yang Mendominasi

Minimnya Penggunaan Ragam Hias atau Elemen Dekorasi Arsitektur Bali

Ornamen atau elemen dekorasi diharuskan untuk ditampilkan pada tampilan bangunan yang berfungsi untuk semakin mempertegas tampilan konsep tri angga. Pada bagian kaki bangunan seharusnya diterapkan beberapa ornamen seperti karang asti, pepatran, karang daun dan lainnya, pada bagian badan seperti karang barong, karang boma, karang garuda dan lainnya, pada bagian kepala diharuskan menampilkan ikut celedu, bentala, murdha dan lainnya.

Namun kenyataannya ragam hias Arsitektur Bali tidak diterapkan pada beberapa bangunan di koridor Jalan Danau Tamblingan, Sanur. Terdapat 56,7% bangunan komersial yang minim menggunakan ragam hias Arsitektur Bali, berikut pada Gambar 9 terdapat tiga contoh bangunan komersial yang sama sekali tidak menerapkan ragam hias Arsitektur Bali pada tampilan bangunannya.

Gambar 9. Bangunan Komersial Tanpa Ragam Hias Arsitektur Bali

Bangunan-bangunan komersial tersebut sama sekali tidak menampilkan elemen dekorasi Arsitektur Bali pada tampilan bangunannya, namun cenderung menampilkan identitas perusahaan. Minimnya penggunaan ragam hias dikarenakan karakter perusahaan yang lebih

mengutamakan langgam arsitektur modern. Selain itu, untuk menekan biaya dalam pengerjaan bangunan juga menjadi faktor penyebab minimnya penggunaan elemen dekorasi Arsitektur Bali. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, fashion shop dan restoran memiliki jumlah pelanggaran tertinggi, lihat Gambar 10.

Minimnya penggunaan ragam hias atau elemen dekorasi Arsitektur Bali

Gambar 10. Pelanggaranan Akibat Minimnya Penggunaan Ragam Hias Arsitektur Bali

Pada Gambar 11 terdapat salah satu bangunan komersial yang memiliki fungsi sebagai hotel yang pada tampilan bangunan sudah berusaha menampilkan konsep tri angga walaupun tidak menggunakan ragam hias untuk lebih memperjelas tampilan dari konsep tri angga. Sesuai dengan peraturan pemerintah, bangunan ini menerapkan ragam hias ikut celedu dan murda pada bagian atap atau utama angga bangunan. Pada bagian dinding bangunan ini menerapkan ragam hias berupa ukiran berkarakter Bali. Namun pada bagian kaki bangunan atau nista angga tidak ditemui ornamen Arsitektur Bali. Namun secara keseluruhan bangunan ini telah memperhatikan karakter Arsitektur Bali pada tampilan bangunan.

Gambar 11. Ragam Hias Arsitektur Bali pada Fasad Bangunan Komersial

Dominasi Identitas Perusahaan pada Tampilan Bangunan

Sebuah bangunan diharuskan mendominasi elemen dekorasi Arsitektur Bali dibandingkan brand image perusahaan pada tampilan bangunan. Peraturan Walikota Denpasar No. 25 Tahun 2010 mengatakan bahwa bangunan komersial di Denpasar haruslah memiliki komposisi yang seimbang antara brand image perusahaan dan bidang-bidang lainnya.

Namun ditemukan terdapat 26,7% bangunan komersial yang memilih untuk lebih menonjolkan karakter perusahaan daripada karakter Arsitektur Bali. Fungsi fashion shop memiliki jumlah pelanggaran terbanyak dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya (Gambar 12).

Fasilitas dengan bangunan yang lebih menonjolkan karakter perusahaan daripada karakter Arsitektur Bali

Gambar 12. Fasilitas Komersial yang Mendominasi Tampilan Bangunan dengan Identitas Perusahaan

Gambar 13 memperlihatkan bangunan-bangunan komersial tersebut sama sekali tidak menampilkan Arsitektur Bali pada tampilan bangunannya. Setiap bangunan saling mendominasi untuk memberi kesan mengundang di mata wisatawan, sehingga tidak terdapat keseragaman gaya arsitektur, melainkan perbedaan yang menampilkan ketidakharmonisan dan minimnya penerapan Arsitektur Bali.

Gambar 13. Identitas Perusahaan Mendominasi Tampilan Bangunan Komersial

Tidak Menampilkan Karakter Handicraft serta Tidak Menggunakan Warna dan Material Alamiah

Menurut Perwali Kota Denpasar No. 25 Tahun 2010, tampilan bangunan yang mencerminkan Arsitektur Bali adalah tampilan bangunan yang menampilkan tata olah handicraft dengan menerapkan warna dan material organik atau menampilkan kesan alamiah. Material-material organik yang dimaksud adalah batu bata, batu paras dan batu alam lainnya. Sejumlah 39% bangunan komersial di koridor Jalan Danau Tamblingan, Sanur tidak menampilkan karakter handicraft, melainkan mencerminkan hasil olahan mesin dan sama sekali tidak menggunakan material yang mampu memberikan nuansa alamiah pada tampilan bangunan. Fashion shop memiliki jumlah pelanggaran tertinggi sebagaimana terlihat pada Gambar 14.

50

Bangunan dengan tata olah mesin dan warna serta material yang tidak menampilkan kesan alamiah

Gambar 14. Jumlah Bangunan Komersial yang Tidak Menampilkan Tata Olah Handicraft dan Warna serta Material Alamiah

Gambar 15 memperlihatkan bangunan-bangunan komersial yang menggunakan warna-warna dan material tidak alamiah. Pemilihan warna merah, biru, atau ungu pada fasad bangunan bukanlah warna-warna natural yang menyerupai warna batu bata, batu paras, atau batuan alam lainnya.

Gambar 15. Bangunan Komersial yang Tidak Menampilkan Tata Olah Handicraft dan Warna serta Material Alamiah

Kesimpulan

Berdasarkan data lapangan, pelanggaran terhadap penerapan prinsip Arsitektur Bali terbesar terjadi pada 1) minimnya penggunaan ragam hias atau elemen dekorasi Arsitektur Bali pada tampilan bangunan komersial sejumlah 56,7%; 2) tidak menerapkan konsep tri angga sejumlah 55,8%; 3) tampilan bangunan tidak menampilkan karakter handicraft serta tidak menggunakan warna dan material alamiah sejumlah 39%; 4) dominasi identitas perusahaan pada tampilan bangunan sejumlah 26,7%; 5) menggunakan atap datar yang mendominasi sejumlah 12,6%. Beberapa aspek dalam peraturan yang tidak ditaati meliputi: 1) sosok bangunan harus mencerminkan Arsitektur Bali secara keseluruhan; 2) sosok bangunan harus mencerminkan konsep tri angga; 3) bentuk atap limasan atau pelana dengan kemiringan yang sesuai ketentuan; 4) atap datar minimal 20% dari tampak bangunan secara proporsional; 6) penerapan ragam hias pada bangunan harus seimbang dan menyatu serta proporsional; 7) komposisi yang seimbang antara brand image dengan bidang lainnya; 8) menggunakan warna yang natural dan mencerminkan kedekatan dengan alam; 9) menggunakan material organik seperti batu bata, batu paras, dan lainnya; 10) menerapkan ornamen untuk menampilkan konsep tri angga. Ketidaktaatan pada penerapan prinsip Arsitektur Bali menyebabkan koridor komersial Jalan Danau Tamblingan terkesan meninggalkan karakter Arsitektur Bali. Bangunan yang ada lebih menonjolkan karakter atau brand image dari perusahaan masing-masing, sehingga terjadi ketidakselarasan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya.

Saran

Dari hasil studi, beberapa saran yang dapat diberikan: 1) Pemerintah Kota Denpasar perlu segera mengatur pemberian sanksi kepada pihak pelanggar; 2) pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diperketat dan diperlukan pengaturan untuk mengontrol kesesuaian antara sosok bangunan dengan gambar rancangan yang telah disetujui; 3) partisipasi masyarakat diperlukan untuk menjaga lingkungannya secara aktif dalam penerapan prinsip Arsitektur Bali pada tampilan bangunan komersial.

Daftar Pustaka

Arifin, M. dan Samsudin. (2013) Karakteristik Fasad Rumah Minimalis di Surakarta. Sinektika, 13(1), 52-61.

Budihardjo, R. (2013). Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri. NALARs, 12(1), 17-42.

Burhanuddin, Y. M. (2008). Bali yang Hilang: Pendatang, Islam, dan Etnisitas di Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches, United States of America: Sage Publications.

Dwijendra, N. K. A. (2003). Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukiman “Natah”, 1(1), 8-24.

Dwijendra, N. K. A. (2010). Arsitektur Rumah Tradisional Bali berdasarkan Asta Kosala-Kosali. Denpasar: Udayana University Press.

Frick, H. (1988). Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.

Gomudha, I. W. (2017). Rekonstruksi dan Reformasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) pada Arsitektur Masa Kini (AMK) di Bali. Suatu Kajian Pelestarian Tradisi Berkelanjutan. Denpasar: Fakultas Teknik, Universitas Udayana.

Hartanti, G. dan Nediari, A. (2015). Pendokumentasian Aplikasi Ragam Hias Budaya Bali, Sebagai Upaya Konservasi Budaya Bangsa Khususnya pada Perancangan Interior. HUMANIORA, 5(1), 521-540

Pardi, I. W. dan Margi, I. K. (2013). Eksistensi Punden Berundak di Pura Candi Desa Pakraman Selulung, Kintamani, Bangli (Kajian tentang Sejarah dan Potensinya sebagai Sumber Belajar Sejarah). Jurnal Pendidikan Sejarah, 1(1), 1-9

Parwata, I. W. (2011) Rumah Tinggal Tradisional Bali dari Aspek Budaya dan Antropometri. Mudra, 26(1), 95-106.

Pratama, I. P. A. dan Suardita, I. K. (2018). Pengaturan tentang Persyaratan Arsitektur Bali terhadap Bangunan Gedung di Kota Denpasar. Jurnal Ilmu Hukum, 6(4), 1-15

Pujantara, R. (2013). Karakteristik Fasade Bangunan Peninggalan Kolonialisme dan Sebaran Spasialnya di Kota Makassar. Jurnal Forum Bangunan, 11(2), 81-87.

Yin, R. K. (2006). Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

144

SPACE - VOLUME 7, NO. 2, OCTOBER 2020