RUANG


SPACE


TRANSFORMASI BENTUK GRIYA JOGLO PADA AKOMODASI WISATA – STUDI KASUS PADA COCOA UBUD

Oleh: Sri Indah Retno Kusumowati1, Widiastuti2, I Wayan Kastawan3

Abstract

Ubud is a destination for nature, rural and culture-based tourism, where many locally inspired architectural designs for tourist accommodations are found. Cocoa Ubud is for instance owes its architectural existence to a Grya Joglo, a Javanese traditional home. The purpose of this study is to analyze the background of selecting this home as the main architectural form of the Cocoa Ubud, how the joglo has been transformed into accommodation for tourists, and how the community responds to the whole process. This research uses a case study combined with field observations and interviews as methods for data collection. This study finds that the main reason for choosing the grya joglo is due to its classic, nice and likable shape. Accommodation of the architecture of the grya joglo includes the transformation of functions and physical forms as well as adding local decorative elements, such as those used in Balinese traditional homes. In terms of the community’s perception towards the design of Cocoa Ubud, Griya Joglo is welcomed as an accommodated architectural style in the area, especially when it is done in combination with Balinese architectural elements.

Keywords: Cocoa Ubud; joglo; balinese traditional architecture; tourist accommodation

Abstrak

Ubud merupakan destinasi wisata alam, pedesaan dan budaya, dimana beragam akomodasi yang diinspirasi oleh arsitektur radisional bisa dinikmati. Cocoa Ubud misalnya diinspirasi oleh grya joglo – rumah tradisional Jawa. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa latar belakang pemilihan bentuk Griya Joglo sebagai akomodasi wisata, menganalisa transformasi bentuk yang terjadi sehubungan dengan penyesuaiannya terhadap arsitektur Bali dan tanggapan masyarakat terhadap akomodasi wisata berbentuk Griya Joglo di Ubud. Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan dilakukan dengan cara observasi lapangan dan mewawancarai pihak terkait. Dari hasil wawancara dengan pemilik ditemukan, bahwa pemilik memilih akomodasi wisata berbentuk Griya Joglo karena bentuknya yang klasik, indah dan disukai tamu. Berdasarkan observasi lapangan ditemukan bahwa transformasi bentuk yang terjadi adalah penambahan dinding pada area badan bangunan pada sektor penanggap dan penyelak wingking sehubungan fungsinya sebagai kamar tidur dan kamar mandi dan penambahan ornamen tradisional Bali pada kepala, badan dan kaki serta penggunaan komponen arsitektur Bali pada tiang penanggap. Masyarakat sekitar Cocoa Ubud menerima bangunan Griya Joglo sebagai akomodasi wisata di Ubud karena bangunan tersebut dibangun diluar area perumahan tradisional dan telah menyesuaikan dengan arsitektur tradisional Bali dengan menggunakan ornamen tradisional Bali.

Kata kunci: Cocoa Ubud; joglo; arsitektur tradisional bali; akomodasi wisata

1

2

3


Pendahuluan

Arsitektur merupakan kumpulan dan penggabungan material yang berdiri di atas tanah yang berasal dari kumpulan isu dan ide dalam sebuah kultur, sosial dan teknologi yang menjadi sebuah kesatuan fisik pada masa tertentu (Rapoport, 1969). Sebagai penyampai ide dalam sebuah bentuk, arsitektur mengalami perubahan sesuai perkembangan dan latar belakang manusia. Griya Joglo sebagai bentuk arsitektur tradisional Jawa pada hakekatnya merupakan pencerminan kehidupan yang mencerminkan jati diri orang Jawa yang didalamnya terdapat kehidupan, sosial, ekonomi, spiritual dan budayanya (Sagrim & Mujito, 2011).

Teori-teori atau ajaran kearsitekturan tradisional pada saat ini masih ditulis dalam lontar-lontar dengan huruf dan Bahasa Bali atau Jawa kuno (Gelebet, 1982). Pada saat ini hubungan budaya yang terjadi antara Bali dan Jawa menghasilkan fenomena inkulturasi budaya yang dapat dilihat secara visual diantaranya pada adaptasi bentuk Griya Joglo sebagai fasilitas akomodasi wisata di Ubud berupa vila dan penginapan dengan menggunakan elemen-elemen Arsitektur Tradisional Bali. Penelitian dilakukan penulis pada tahun 2017 sampai dengan 2019 terhadap 68 obyek akomodasi wisata dan fasilitas wisata yang memiliki bangunan Griya Joglo terdiri dari 84 unit Griya Joglo sehubungan dengan penelitian transformasi Griya Joglo pada bangunan akomodasi dan fasilitas pariwisata di Ubud. Dari penelitian tersebut didapatkan data bahwa bangunan berbentuk Griya Joglo digunakan mulai tahun 1980 dan mencapai puncaknya serta menjadi tren pada tahun 2014 dan terus digunakan sampai sekarang. Pada saat dua kebudayaan saling mempengaruhi akan terjadi interaksi sosial kultural yang bisa berupa kerjasama, persaingan, pertentangan serta akomodasi (Sarwono dan Meinarno, 2009). Fenomena inkulturasi Griya Joglo yang mempunyai makna dan filosofi yang kuat bagi masyarakat Jawa pada Arsitektur Tradisional Bali pada masyarakat Ubud yang memiliki akar budaya Bali yang sangat kuat dapat dilihat pada bangunan fasilitas akomodasi wisata berupa bentuk griya Joglo di Ubud.

Masalah yang diteliti dalam artikel ini adalah latar belakang pemilihan akomodasi wisata berbentuk Griya Joglo di Ubud. Transformasi bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud terhadap arsitektur Bali dan pendapat masyarakat setempat sehubungan dengan penggunaan Griya Joglo sebagai akomodasi wisata di Ubud. Penulis menggunakan diri sendiri sebagai alat untuk mengumpulkan dan menganalisa data. Data lapangan dikumpulkan melalui interview dan pengamatan mendalam terhadap obyek penelitian dari bulan Desember 2017 sampai dengan Desember 2019. Penulis mendapat informasi dari Kepala Lingkungan seluruh Kecamatan Ubud setidaknya ada 192 akomodasi wisata dan fasilitas pariwisata berbentuk Griya Joglo di Ubud. Dari 192 obyek tersebut, peneliti telah melakukan penelitian sebanyak 68 obyek yang terdiri dari 84 unit akomodasi wisata dan fasilitas pariwisata berbentuk Griya Joglo. Cocoa Ubud sebagai salah satu bangunan akomodasi wisata di Ubud yang menggunakan bentuk Joglo pada bangunannya dan telah beradaptasi dengan Arsitektur Tradisional Bali menjadi salah satu fenomena yang diteliti dalam penelitian ini.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa latar belakang pemilihan bentuk Griya Joglo sebagai bangunan akomodasi wisata di Ubud. Menganalisa transformasi yang terjadi pada Griya Joglo sebagai akomodasi wisata di Ubud sehubungan dengan penyesuaiannya terhadap arsitektur Bali. Menganalisa pendapat masyarakat sekitar sehubungan dengan pemilihan bentuk Griya Joglo sebagai akomodasi wisata di Ubud.

Bentuk Griya Joglo dalam Griya Jawa

Dalam naskah Titika Wisma sebagai bagian dari Kawruh Griya pengetahuan rumah oleh pemilik rumah yang diduga ditulis sekitar tahun 1936-1941 oleh Mangoendarma yang diperintahkan oleh DR. Th. Pigeaud, pimpinan Panti Boedaja Yogyakarta disebutkan bahwa bangunan dasar griya Jawa adalah bentuk Tajuk, bentuk bangunan Joglo, bangunan Limasan dan bangunan Kampung (Prijotomo, 2006). Selanjutnya rumah tradisional Jawa mengalami perkembangan bentuk. Pada Gambar 1 diperlihatkan bentuk dasar rumah tradisional Jawa yang dibedakan melalui bentuk atapnya.

Gambar 1. Bentuk Atap Rumah Tradisional Jawa Sumber: Mouche, 2010

Bentuk Joglo atau Tikelan adalah bangunan berbentuk bujur sangkar dengan saka Guru dan atap empat belah sisi dengan sebuah bubungan di tengahnya yang bersusun menggunakan blandar atau balok, biasa disebut tumpangsari (Indriani, 2005). Pada perkembangannya Griya Joglo diberi tambahan ke samping dengan tambahan tiang untuk keperluan penambahan luas ruangan menyesuaikan kebutuhan pemilik (Mahutama, 2012). Griya ini pada awalnya hanya dimiliki oleh kaum bangsawan dan Kepala Desa tetapi saat ini Griya Joglo dapat dimiliki oleh berbagai golongan masyarakat dan digunakan untuk

fungsi lainnya seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor pemerintahan di Jawa (Sagrim dan Mujito, 2011). Griya Joglo mulai berkembang pada masa kerajaan Mataram Islam, Griya jenis ini yang kemudian dikenal sebagai rumah tradisional masyarakat Jawa dan mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama pada masa Hindu Islam. Perkembangan Griya Joglo tersebut mengakibatkan munculnya bentuk-bentuk baru yang kemudian memiliki nama dan ciri-ciri masing-masing. Perkembangan Griya Joglo melahirkan bentuk Rumah Joglo Jompongan, Rumah Joglo Kapuhan Lawasan, Rumah Joglo Ceblokan, Rumah Joglo Kapuhan Lomosan, Rumah Joglo Sinom Apitan, Rumah Joglo Pengrawit, Rumah Joglo Kapuhan Awitan, Rumah Joglo Semar Tinandu, Rumah Joglo Lambangsari, Rumah Joglo Wantah Apitan, Rumah Joglo Hageng dan Rumah Joglo Mangkurat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998). Dalam bentuknya yang lengkap Griya Jawa memiliki Pendopo dan Dalem dan sudah memiliki dapur dengan sekat yang permanen (Rahmanu Widayat, 2004).

Bentuk dan Transformasi

Amos Rapoport dalam bukunya House Form and Culture (1969) menjelaskan mengenai teori bentuk rumah yang meneliti dengan menggunakan disiplin ilmu antropologi. Beliau menjabarkan faktor-faktor perubahan untuk memberi penjelasan aspek non arsitektural yang mempengaruhi bentuk dan fungsi arsitektural yaitu 1. Faktor-faktor yang langsung memberi efek terhadap bentuk rumah yaitu a. cuaca dan keperluan untuk tempat tinggal. b. bahan bangunan, pengerjaan dan teknologi. c. kondisi lapangan yang berhubungan dengan kebutuhan ekonomi seperti pertanian, air dan ketersediaan makanan d. tempat perlindungan (terhadap penyimpanan makanan, terhadap musuh dan binatang dan perlindungan spiritual). e. ekonomi dan mata pencaharian. f. agama dan kepercayaan. 2. Faktor-faktor yang secara tidak langsung, yaitu faktor sosial budaya yang membentuk arsitektur awal dan perubahannya, yaitu a. makna dalam bentuk rumah (makna tingkat tinggi/simbol berupa kosmologi, skema budaya, refleksi sistem filosofi; makna menengah/komunikasi yang fokus dengan identitas, kekuasaan, status dan kekayaan; makna terendah yaitu makna petunjuk sehari-hari yang menunjukkan dimana berjalan, duduk, dan lain sebagainya). b. faktor- faktor kritis dan pilihan-pilihan. c. faktor kebutuhan dasar (keluarga, privasi, posisi wanita, hubungan sosial, hubungan antara rumah dan tempat tinggal). d. faktor-faktor lokasi dan pilihan (agama dan kosmologi dimana lingkungan lebih dominan dari manusia, simbiotik dimana manusia dan alam berada dalam posisi seimbang, eksploitatif dimana manusia dianggap sebagai melengkapi dan merubah alam kemudian membuat dan merusak alam). e. Faktor-faktor yang tetap dan berubah dalam arsitektur dalam bentuk perubahan, transformasi dan pilihan-pilihan. Perubahan tersebut bisa keseluruhan berubah, sebagian berubah dan tidak berubah sama sekali.

Interaksi manusia dalam suatu masyarakat dengan budaya yang berbeda serta perkembangan sosial dan budaya sangat berpengaruh pada karakter kehidupan keluarga, kepercayaan, pelaksanaan upacara keagamaan dan struktur sosial (Gusfield, 1967). Budaya luar tersebut disaring, ditambahkan dan dimodifikasi sehingga sesuai dengan lingkungan, kepercayaan dan nilai-nilai setempat, diterima dengan baik dan diakui sebagai budaya setempat (Pitana in Conrady and Buck, 2010). Hal tersebut tidak hanya perlu ditangani

tetapi juga harus dianalisa berdasarkan kriteria tertentu di dalam masyarakat melalui proses adaptasi. Dalam proses tersebut, mungkin yang lama diadaptasi sehingga sesuai dengan kondisi sekarang atau yang lama digunakan kembali untuk fungsi baru (Hobsbawm and ranger, 1983). Selalu ada proses yang terus menerus berupa pembaharuan dan modifikasi (Hoben and Hefner, 1991).

Dapat disimpulkan bahwa budaya Bali menunjukkan fleksibilitas dan kemampuannya beradaptasi dimana kebudayaan tersebut mampu menerima dan menyerap kebudayaan lain tanpa membahayakan identitas budayanya sendiri (Mantra 1993 and Francilon 1975, Covarrubias 1974). Arsitektur dalam jangka waktu tertentu mengalami perubahan secara terus menerus dalam berbagai skala (Rapoport, 1969). Tiga dasar perubahan meliputi penambahan, pengurangan dan perpindahan (Habraken, 1982). Transformasi dalam hal ini adalah penyesuaian bentuk terhadap nilai-nilai yang digunakan, penambahan, pengurangan dan penyesuaian fungsi ruang yang terjadi pada Griya Joglo untuk memenuhi kebutuhan atas permintaan akomodasi wisata dengan bentuk bangunan Joglo untuk memenuhi tidak hanya kebutuhan aktifitas wisata tetapi menyesuaikan dengan budaya yang ada pada masyarakat setempat dan kemungkinan adanya bentuk dan fungsi dan bentuk baru akibat transformasi tersebut.

Akomodasi Wisata

Menurut Karyono (2011) akomodasi adalah sarana untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dilengkapi dengan pelayanan makan dan minum serta jasa lainnya yang terdiri dari hotel, motel, guest house/pondok wisata, youth hostel, apartemen, sanitarium, pension/penginapan, bungalow, mess, homestay, losmen, inn, hospiz, rooming house, cottage, hostel/asrama, perkemahan, pusat peristirahatan dan rumah istirahat. Sesuai petunjuk teknis Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Kementrian Pariwisata Republik Indonesia Tahun 2016, akomodasi wisata adalah usaha pelayanan penginapan untuk wisatawan yang dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya (Kementrian Pariwisata, 2016:4) yang terdiri dari hotel, kondominium hotel, apartemen service, bumi perkemahan, persinggahan caravan, vila, pondok wisata, usaha jasa manajemen hotel, hunian wisata senior/lanjut usia, rumah wisata, motel, jenis usaha lain dari bidang penyediaan akomodasi wisata yang ditetapkan oleh Bupati, Walikota dan atau Gubernur (Kementrian Pariwisata, 2016:13-17).

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study). Data yang didapat dari grand tour melalui pengamatan mendalam terhadap perwujutan tampilan bangunan yang menjadi fokus penelitian dan wawancara terhadap pemilik dan masyarakat sekitar dengan teknik field research. Prosedur penelitian melalui studi kasus pada Cocoa Ubud dengan mengidentifikasi masalah-masalah latar belakang pemilik memutuskan bentuk Griya Joglo pada bangunan akomodasi wisata yang dimilikinya, transformasi bentuk yang terjadi dan penyesuaian yang terjadi terhadap Arsitektur Tradisional Bali dan budaya Bali serta

pendapat masyarakat mengenai bentuk Griya Joglo sebagai sarana akomodasi wisata di Ubud. Kemudian melakukan analisa terhadap masalah tersebut dan membuat laporan.

Penelitian dilakukakan pada Cocoa Ubud berlokasi di Banjar Bunutan Desa Kedewatan Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Cocoa Ubud adalah bangunan akomodasi wisata berbentuk Griya Joglo. Pemilik I Gede Budha berasal dari Banjar yang sama dengan akomodasi wisata tersebut. Cocoa Ubud terletak di atas lahan pribadi dan dikelola sendiri oleh I Gede Budha dengan dibantu operasional manager I Wayan Dwijendra. Jumlah karyawan tetap pada akomodasi tersebut 5 orang.

Bangunan Joglo difungsikan sebagai unit vila dan dibangun pada tahun 2014 dengan luas bangunan masing-masing 100 m2 di atas pekarangan dengan luas tanah masing-masing 200 m2 dengan total 3 unit Vila. Penelitian pertama dilakukan peneliti pada tanggal 19 Desember 2017 dan melakukan wawancara dengan operasional manager I Wayan Dwijendra dengan melakukan pengukuran serta foto-foto di lokasi. Penelitian berikutnya dilakukan pada 16 Januari 2019 dengan melakukan wawancara kepada pemilik vila serta melengkapi beberapa data yang diperlukan. Baik penelitian pertama dan kedua penulis menggunakan alat perekam, meteran, kertas dan alat tulis untuk melakukan sketsa dan kamera untuk dokumentasi serta menyertakan form wawancara untuk diisi responden. Selain ke lokasi penelitian, penulis juga melakukan wawancara kepada Perbekel Desa Kedewatan I Dewa Gede rai Dharmanta dan beberapa masyarakat sekitar Cocoa Ubud pada tanggal 18 Januari 2019 dan Klian Dinas Banjar Bunutan Ida Bagus Santika pada tanggal 16 Januari 2019.

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil wawancara dengan pemilik didapatkan bahwa dasar pemilihan bentuk bangunan Griya Joglo adalah karena bangunan Griya Joglo terlihat klasik, indah, memiliki konsep natural dan diminati banyak tamu. Proses pembangunan Joglo dikerjakan di Bali dengan menggunakan tukang-tukang spesialis Joglo dari Jawa. Dalam proses pembangunannya pemilik akomodasi wisata memanggil arsitek dari Bali untuk keperluan tata letak bangunan dan berdiskusi secara teknis dan konsep dalam penyesuaiannya terhadap arsitektur Bali.

Transformasi yang terjadi pada Bangunan Griya Joglo Cocoa Ubud terdiri dari aspek arsitektural dan non arsitektural. Transformasi non arsitektural pada Bangunan Griya Joglo Cocoa Ubud dianalisa berdasarkan faktor-faktor yang langsung memberi efek bentuk dan faktor-faktor yang tidak langsung memberi efek bentuk bangunan. Faktor-faktor yang langsung yang mempengaruhi bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud antara lain cuaca dan iklim di Ubud yang cenderung dingin dan terletak pada dataran tinggi tropis membuat Griya Joglo sebagai bangunan rumah kayu sesuai karena efek hangat yang ditimbulkan. Selain cuaca yang sesuai di Ubud, kebutuhan wisatawan untuk tinggal di Ubud menjadi faktor yang mempengaruhi bentuk akomodasi wisata berupa Joglo. Bahan bangunan kayu pada Griya Joglo digunakan selain kemudahan penyediaan, kemudahan pengerjaan sehubungan dengan penempatan Griya Joglo di area luar pemukiman tradisional Bali. Teknologi yang digunakan pada Griya Joglo sederhana sesuai dengan teknologi yang digunakan masyarakat Bali pada pembuatan bangunan tradisional (bale). Griya Joglo berupa

bangunan yang bisa dibongkar pasang (knock down). Kondisi lapangan dengan kontur yang cukup ekstrim di Ubud dan terletak pada teba (kebun) atau sawah dengan akses yang terbatas membuat Griya Joglo mudah untuk dibangun pada medan sulit. Agama Hindu Bali juga mempengaruhi orientasi bangunan Griya Joglo Cocoa Ubud berdasarkan Tri Mandala, dalam hal ini penempatan bangunan terhadap komplek bangunan-banguan lainnya dimana bangunan vila berbentuk Griya Joglo ditempatkan pada area kebun (Nista Mandala) sedangkan bangunan lainnya Pura Keluarga sebagai area suci ditempatkan pada arah Timur Laut (Utama Mandala), Rumah tinggal pemilik berada di antara area suci dan vila (Madya Mandala).

Faktor-faktor yang tidak secara langsung mempengaruhi bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud terdiri dari makna pada bentuk rumah yang terdiri dari makna menengah dimana bentuk Griya Joglo sebagai vila sebagai identitas kesejahteraan kepemilikan usaha akomodasi wisata karena bentuk tersebut selain identik dengan keningratan (kasta tinggi) juga memerlukan lahan yang cukup luas. Selain makna menengah Griya Joglo Cocoa Ubud juga memiliki makna terendah yaitu sebagai tempat tinggal wisatawan lengkap dengan pemisahan ruang yang jelas antara ruang tidur, ruang makan, dapur dan kamar mandi dengan tanda-tanda penggunaan perabot yang fungsional pada setiap ruangan.

Faktor tidak langsung lainnya adalah faktor kritis dan pilihan. Cuaca dingin di Ubud membutuhkan rumah kayu uang hangat, faktor ekonomi yang membuat pilihan Griya Joglo dipilih agar mendatangkan keuntungan ekonomi karena disukai wisatawan dan pertimbangan teknologi yang mudah, cepat dan sederhana untuk membangun Griya Joglo. Faktor kebutuhan dasar juga mempengaruhi secara tidak langsung bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud yaitu kebutuhan ekonomi untuk mendapatkan penghasilan dari akomodasi wisata yang dibangun dan penempatan Griya Joglo sebagai akomodasi wisata di luar komplek pemukiman sebagai pemisah yang tegas antara kehidupan adat dalam masyarakat dengan tempat usaha. Faktor symbiotic juga mempengaruhi bentuk dimana Griya Joglo dengan material kayu bekas dan bentuk yang terbuka mempunyai sirkulasi udara bagus dan mengurangi penggunaan AC menjadikan manusia dan alam seimbang dan menyatu.

Faktor-faktor yang bertahan dan berubah pada Griya Joglo Cocoa Ubud menghasilkan Transformasi sehubungan dengan penyesuainnya terhadap arsitektur Bali. Transformasi Griya Joglo Cocoa Ubud berdasarkan Griya Joglo asli secara umum meliputi variasi bentuk, material dan ornamen pada bagian kepala, badan dan kaki serta pola ruang yang terdiri dari sektor guru, sektor penanggap dan sektor emper jiga penyesuaiannya terhadap Arsitektur Tradisional Bali.

a. Bentuk Arsitektural

Bentuk arsitektural meliputi bagian dasar bangunan (pondasi dan kaki), bagian badan (ruang utama, dinding bangunan, kolom dan teras), bagian kepala serta komponen-komponen pendukung yang terdapat pada bangunan. Dalam Arsitektur Tradisional Bali dikenal konsep Tri Angga yaitu sebuah konsep yang membagi wujud bangunan dalam tiga bagian yaitu bagian dasar sebagai kaki bangunan kemudian bagian badan bangunan sebagai tubuh dan bagian atap sebagai bagian kepala.

Bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud yang dipertahankan sesuai aslinya adalah saka guru sebagai pusat orientasi bangunan yang terdiri dari saka guru dan tumpangsari. Area ini biasanya tidak difungsikan, begitu juga dengan bangunan pada akomodasi wisata ini. Pada bangunan ini sektor guru disebut juga sektor pamidhangan dikosongkan, hanya diisi dengan lampu gantung dengan material besi tempa khas Jawa. Bagian luar dari saka guru disebut Penanggap, pada Cocoa Ubud penanggap ngajeng (depan) dikosongkan dan difungsikan sebagai area entrance ditempatkan dua patung pengantin khas Jawa dengan material dan gaya Bali. Penanggap kiwa (kiri) difungsikan sebagai area santai atau living room, sedangkan penanggap tengen (kanan) difungsikan sebagai tempat makan atau dining area. Penanggap wingking difungsikan sebagai ruang tidur dan dapur.

Bagian terluar bangunan Joglo disebut bagian pengemper, pada bangunan ini hanya ada emper di belakang yang disebut penyelak wingking difungsikan sebagai kamar mandi dan teras belakang. Penyesuaian dengan arsitektur Bali dilakukan dengan membuat ragam hias pada umpak saka baik saka guru dan saka penanggap dengan pepatran flora dan tatahan fauna. Bagian saka guru tidak terdapat penyesuaian ragam hias Bali, tetapi pada bagian saka penanggap dibuat dengan kupakan Bali.

Sebagaimana bangunan Griya Jawa lainnya, bangunan Joglo memiliki unsur utama bangunan berupa balungan yang membentuk bangunan dan membedakannya dengan bangunan lain serta pengempyak yaitu penutup atap yang mengikuti bentuk balungan (Prijotomo, 2006). Penyesuaian dengan arsitektur pada bagian pengempyak dilakukan dengan pemasangan ragam hias murda pada pengempyak molo dan ikuh celedu pada ujung pengempyak dudur. Gambar 2 menunjukkan dhapur/bentuk keseluruhan Griya Joglo Cocoa Ubud.

Gambar 2. Bentuk Keseluruhan Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Bagian dasar bangunan sebagai kaki dalam Tri Angga di Cocoa Ubud terdiri dari pondasi yang ditinggikan sekitar 40 cm dari tanah dan diletakkan anak tangga 3 buah pada bagian depan bangunan. Bahan dasar bangunan terbuat dari batu candi tanpa ornamen. Lantai bangunan pada bagian tepi terbuat dari bahan batu candi dan material terakota pada bagian tengahnya. Sedangkan saka menumpu pada umpak. berbeda dengan bangunan tradisional Bali yang pada umumnya memiliki struktur bagian kaki yang cukup tinggi dan kokoh dengan berbagai ragam hiasnya. Kaki bangunan/umpak berdiri di atas lantai terbuat dari

material paras yang diukir dengan pepatran Bali. Sebagaimana arsitektur Griya Joglo, Cocoa Bali juga memiliki umpak dengan ukuran umpak pada saka guru lebih tinggi ukurannya daripada umpak saka penanggap. Bentuk dasar kaki bangunan berupa lantai dan umpak diperlihatkan pada Gambar 3.

G ambar 3. Bentuk Dasar Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017


Bagian tubuh bangunan meliputi ruang-ruang bangunan, dinding bangunan, kolom/saka dan balungan. Bagian saka guru Cocoa Ubud meliputi empat tiang lengkap dengan tumpangsari lengkap yaitu tumpang luar dan tumpang dalam. Tumpangsari pada Cocoa Ubud berjumlah satu dibagian luar dan 3 dibagian dalam dengan pesolekan yang sederhana. Selain tumpang, balungan saka guru juga memiliki dadhapeksi sebagai tiang penyokong ander. Kaki saka guru bertumpu pada umpak terbuat dari batu paras. Dengan demikian komponen balungan dalam badan Cocoa Ubud lengkap sesuai komponen Griya Joglo (Prijotomo, 2006). Transformasi bagian tubuh bangunan pada Griya Joglo Cocoa Ubud berdasarkan Griya Joglo asli terlihat pada penempatan dinding-dinding bangunan sebagaimana terlihat pada layout Griya Joglo yang diperlihatkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

G ambar 4. Layout Griya Joglo Asli Sumber: Prijotomo, 2006



Gambar 5. Layout Griya Joglo Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Bagian kepala bangunan meliputi atap dan komponen atap bangunan. Atap Griya Joglo terdiri dari komponen balungan dan pengempyak. Komponen balungan atap pada Cocoa Ubud terdiri dari molo, ander, pemanjang, penyelak dan dudur. Pengempyak pada Cocoa Ubud memiliki komponen balungan berupa usuk, reng dan bahan penutup atap genteng.

Sehubungan penyesuaiannya dengan Arsitektur Tradisional Bali, pada bagian penanggap bangunan ini menggunakan konstruksi atap ekspos khas Bali dimana ada lapisan tikar di atas usuk sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6. Griya Joglo asli, kontstruksi material diatas usuk hanya ada pada jenis Joglo Pangrawit berupa blabag (papan kayu) yaitu Griya Joglo yang dikususkan untuk Pandhapa Raja.


G ambar 6. Konstruksi Tikar diatas Usuk dan Apit-apit Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Selain tambahan komponen tikar pada atap pada Cocoa Ubud, perletakan konstruksi usuk juga menggunakan sistem Arsitektur Tradisional Bali. Pada Gambar 7 diperlihatkan konstruksi usuk pada atap tradisional Jawa. Pada konstruksi tersebut usuk memanjang dari molo tegak lurus mengarah keluar dengan pembagian mengacu pada pemanjang dan penyelak yang kemudian dilanjutkan pada dudur sehingga usuk mempunyai sudut yang sama terhadap dudur. Konstruksi usuk pada Griya Joglo Cocoa Ubud area penanggap menggunakan konstruksi ekspos bangunan tradisional Bali.. Usuk tegak lurus terhadap bidang luar dengan jarak yang sama dan mengumpulkannya pada dudur pada area dalam sehingga usuk mempunyai sudut yang beragam terhadap dudur sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8.



G ambar 7. Konstruksi Usuk pada Dudur Griya Joglo Sumber: Observasi Lapangan 12/01/2019


Gambar 8. Konstruksi Usuk pada Dudur Cocoa Bali Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017


Selain perubahan sistem konstruksi atap sektor penanggap, komponen atap Cocoa Ubud juga memakai hiasan murda dan ikuh celedu pada bubungannya sebagai penyesuaian dengan Arsitektur Tradisional Bali sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Penambahan Murda dan Ikuh Celedu pada Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017


Dudur Joglo

Penunjang



Gambar 10. Bentuk Griya Joglo Jawa Sumber: Prijotomo, 2006


Gambar 11. Bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/102/2017

Pada Gambar 10 dan Gambar 11 diperlihatkan transformasi bentuk secara keseluruhan bangunan Griya Joglo Cocoa Ubud berdasarkan Griya Joglo asli pada kepala, badan dan kaki.

Transformasi bentuk yang terjadi karena aspek non arsitektural yang mempengaruhi bentuk dan fungsi arsitektural yaitu faktor-faktor yang langsung memberi efek terhadap bentuk meliputi.

  • a.    Pola Ruang

Sebagaimana Arsitektur Tradisional Bali, arsitektur Griya Jawa juga terdiri dari beberapa gugusan Griya. Griya Joglo adalah salah satu masa bangunan pada ruang bangunan dalam Griya Jawa.. Gugusan Griya Jawa berturut-turut terdiri dari bangunan paling depan adalah Griya Taju berfungsi sebagai regol/gerbang, Griya Kampung berfungsi sebagai Gedhokan/tempat penyimpanan kuda/ kendaraan, Griya Taju berfungsi sebagai langgar di sebelah berfungsi sebagai tempat ibadah. Area tengah terdapat Griya Joglo berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu/pandhapa terletak pada tengah gugusan Griya Jawa bagian depan, di belakang Griya Joglo terdapat Griya Pringgitan sebagai tempat penerimaan tamu formal dan bagian paling belakang adalah Griya Limasan berfungsi sebagai dalem/tempat tinggal. Gambar 11 diperlihatkan pola ruang Griya Jawa secara lengkap (Prijotomo, 2006). Pada Cocoa Ubud Griya Joglo ditempatkan secara parsial dalam suatu ruang di area teba (kebun) mengikuti pola ruang tradisional Bali.

Gambar 12. Pola Ruang Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017


Gambar 11. Pola Ruang Griya Jawa Sumber: Prijotomo, 2006

Pada Gambar 12 diperlihatkan pola ruang Griya Joglo Cocoa Ubud. Pola Ruang Cocoa Ubud meliputi tembok penyengker yang terbuat dari bata ekspos dan membatasi pekarangan tiap unit vila. Selain untuk keamanan tembok penyengker tersebut berfungsi menciptakan area semi privat pada vila. Bagian pintu masuk terdapat angkul-angkul dan aling-aling sebagai ciri khas Arsitektur Tradisional Bali. Setelah aling-aling terdapat halaman dan kolam renang sedangkan bangunan utama berbentuk Griya Joglo terdapat pada bagian terdalam pekarangan.

  • b.    Ragam Hias

Ragam hias dalam Griya Joglo disebut pesolekan. Pada Griya Joglo Cocoa Ubud pesolekan sektor guru dipertahankan pada tumpangsari dibuat dengan pepatran dan motif ukir Jawa (Subiantoro, 2011) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 13.


G ambar 13. Pesolekan Pada Tumpangsari Cocoa Ubud Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Saka-saka pada sektor guru dibuat seperti Griya Joglo asli tanpa pesolekan dan takikan. Pada bagian penanggap. Saka-saka Griya Joglo Cocoa Ubud ditambahkan kupakan sebagaimana saka pada bangunan tradisional Bali diperlihatkan pada Gambar 14. Perubahan ragam hias pada Cocoa Ubud terjadi pada sendi saka (umpak) diperlihatkan pada Gambar 15. Umpak pada Griya Joglo Cocoa Ubud baik pada sektor guru maupun sektor penanggap dibuat dari material batu paras yang diukir dengan pepatran flora dan fauna khas Bali.



G ambar 14. Kupakan Bali Pada Saka Penanggap Gambar 15. Pepatran Bali Pada Umpak Penanggap

Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017               Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Ragam Hias yang lain diletakkan pada depan bangunan di kiri dan kanan anak tangga berupa hiasan patung dari batu paras dengan tatahan dan wajah pengantin Jawa atau lebih dikenal sebagai Loro Blonyo (Subiyantoro, 2011) diperlihatkan pada Gambar 16. Loro Blonyo adalah perwujudan sakral sebagai manifestasi Dewi Sri dan Raden Sedhana yang dianggap sebagai asal usul orang Jawa. Loro Blonyo bagi masyarakat Jawa melambangkan kesuburan, kesejahteraan dan kemakmuran. Sebagaimana Griya Joglo, Loro Blonyo pada awalnya hanya dimiliki oleh para bangsawan (Prasetyo, 2012).

Gambar 16. Patung Loro Blonyo

Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

  • c.    Upacara Terhadap Bangunan

Sebagai bangunan yang dimiliki oleh orang Bali, proses pembangunan Cocoa Ubud mengikuti tata upacara yang dilakukan masyarakat Bali dalam membangun rumah tinggal. Dari persiapan, teknik dan cara pembuatan, tahap pendirian bangunan, tenaga yang digunakan dan upacara yang dilakukan pada proses pembangunannya. Pada upacara pemaplasan dibuat pengurip sebagai tanda bahwa bangunan sudah dihidupkan dan difungsikan sebagai fungsi baru. Pada waktu mlaspas bangunan dipasang sawen berupa aksara suci AUM (dibaca Om) sebutan untuk Ida Sang Hyang Widi untuk memohon keselamatan rumah beserta seluruh isinya termasuk penghuni rumah. Pada Cocoa Ubud terdapat plangkiran, ulap-ulap (Gambar 17) dan sasat sebagai tanda bahwa bangunan telah di plaspas.

Gambar 17. Ulap-ulap

Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Keseluruhan Transformasi Griya Joglo Cocoa Ubud berdasarkan Griya Joglo asli pada bagian kepala, badan dan kaki pada sector guru, sector penanggap dan sector pengemper sehubungan dengan penyesuaiannya terhadap Arsitektur Tradisional Bali diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Transformasi Griya Joglo Cocoa Ubud Berdasarkan Griya Joglo Asli

Kriteria

Variasi

Bagian

Perubahan

Elemen yang Berubah

Bentuk

Kepala

Tetap

Badan

Adanya dinding

Kaki

Tetap

Material

Kepala

Tetap

Badan

Dinding tembok, pintu dan Jendela

kayu

Kaki

Tetap

Pola Ruang

Sektor Guru

Tetap

Sektor Penanggap

Adanya tambahan kamar tidur dan

pantry pada penanggap wingking

Sektor Emper

Adanya kamar mandi dan teras

belakang pada penyelak wingking

Elemen lain yang

Kepala

Murda dan ikuh celedu

ditambahkan

Badan

Dinding

Kaki

Tetap

Elemen lama yang

Bentuk

Kepala

Tetap

dipertahankan

Badan

Saka Guru

Kaki

Umpak

Material

Kepala

Genteng

Badan

Kayu jati pada saka

Kaki

Umpak Batu (paras)

Pola Ruang

Sektor Guru

Dikosongkan

Sektor Penanggap

Berubah

Sektor Emper

Berubah

Ornamen

Kepala

Tumpangsari dan Dadhapeksi

Badan

Berubah

Kaki

Berubah

Elemen Arsitektur

Upacara

Ulap-ulap, plangkiran, sasat

Tradisional Bali yang

digunakan

Ornamen

Murda dan ikuh celedu pada atap,

pepatran Bali pada umpak, Kupakan

Bali pada saka penanggap

Bedeg diatas usuk

Sumber: Observasi Lapangan 19/12/2017

Tanggapan Masyarakat Mengenai Bentuk Griya Joglo Cocoa Ubud

Menurut I Dewa Gede Rai Dharmanta Perbekel Desa Kedewatan, bangunan Griya Joglo bagus, tradisional, mewakili arsitektur nusantara, sesuai untuk di bangun di Ubud dan sudah menyesuaikan dengan budaya Bali dengan cara diupacarai dengan adat setempat. Menurut Ida Bagus Santika Kepala Dusun Banjar Bunutan Desa Kedewatan bangunan Griya Joglo unik, merupakan bangunan lama dan antik, sesuai untuk dibangun di Ubud karena arsitektur mirip dengan arsitektur Bali sehingga bisa dikombinasikan dan sudah dikombinasikan dengan arsitektur Bali. Menurut Dewa Putu Purna Perangkat Desa Kedewatan menyatakan bahwa Bangunan Griya Joglo menarik, bagus, klasik, unik,

mencerminkan adat budaya nusantara, mewakili arsitektur nusantara, secara pribadi tertarik dan menyatakan bahwa bangunan Griya Joglo sesuai untuk dibangun di Ubud karena Ubud sebagai sentral pariwisata diperlukan keunikan-keunikan dan Joglo memenuhi keunikan tersebut. Joglo juga dipandang bisa disesuaikan dengan budaya Bali sehingga secara arsitektur bisa dikombinasikan. Bangunan Griya Joglo Cocoa Ubud sesuai dibangun di Ubud karena lokasinya di luar pekarangan adat perumahan Bali yaitu di luar sikut satak. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekitar Cocoa Ubud menanggapi Griya Joglo sesuai untuk bangunan akomodasi wisata di Ubud karena bentuk, arsitektural, kombinasinya terhadap Arsitektur Tradisional Bali dan lokasinya.

Kesimpulan

Bentuk Griya Joglo dipilih sebagai akomodasi wisata di Ubud karena faktor sosial yaitu konsep pariwisata yang diterapkan di Ubud. Faktor pribadi yaitu usia pemilik akomodasi yang matang dan produktif, pertimbangan ekonomis karena disukai wisatawan dan konsep individual terhadap kesan Griya Joglo yang natural. Faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor psikologis yaitu pandangan terhadap bentuk bangunan Griya Joglo yang klasik dan indah.

Elemen yang berubah pada Griya Joglo Cocoa Ubud adalah bentuk badan, sementara bentuk kepala dan kaki tetap. Perubahan material terjadi pada badan bangunan, sementara material pada kepala dan kaki tetap. Perubahan pola ruang bangunan terjadi pada badan bangunan dengan merubah Griya Joglo yang sebelumnya merupakan bangunan semi publik menjadi bangunan privat sehubungan dengan fungsi barunya sebagai akomodasi wisata, sementara pola ruang pada sektor guru tetap.

Elemen lain yang ditambahkan pada Griya Joglo Cocoa Ubud adalah penambahan ragam hias pada kepala dan pada badan bangunan sementara tidak ada elemen yang ditambahkan pada kaki. Elemen-elemen yang dipertahankan bangunan Joglo di Cocoa Ubud adalah bentuk dasar bangunan pada bagian kepala. Elemen-elemen yang dipertahankan pada badan bangunan adalah adanya saka guru dan saka penanggap serta adanya penyelak wingking. Elemen-elemen yang dipertahankan pada kaki adalah adanya saka guru dan saka penanggap. Elemen-elemen baru yang timbul adalah adanya material tikar di atas usuk dengan konstruksi usuk diagonal yang merupakan salah satu ciri khas arsitektur Bali pada pengempyak sektor penanggap. Adanya dinding bangunan pada sektor penanggap dan penyelak wingking, berbagai ragam hias pada kepala, badan dan kaki Griya Joglo dan perlengkapan upacara yang disematkan pada bangunan Joglo.

Apabila dibuat skema perubahan yang terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan terjadi secara signifikan pada area di luar sektor guru yang merupakan inti bangunan baik komponen balungan dan pengempyak yang merupakan komponen utama Griya Joglo. Sektor guru masih tetap dipertahankan baik bentuk maupun ragam hiasnya sedangkan bagian penanggap sudah mengalami perubahan berupa penyesuaian ragam hias dan pembuatan dinding, pintu dan jendela pada bangunan. Pada area terluar yaitu pengempyak sudah berubah sama sekali dengan tidak adanya saka pengempyak dan pemasangan dinding pada seluruh sektor pengempyak.

Tanggapan masyarakat sekitar mengenai keberadaan Griya Joglo sebagai bangunan akomodasi wisata di Ubud adalah sesuai dengan alasan estetika yang baik. Bentuk bangunan Griya Joglo menyerupai bale pada Arsitektur Tradisional Bali. Akomodasi wisata Cocoa Ubud sudah menyesuaikan dengan arsitektur Bali, implementasinya berupa material dan ornamen tradisional Bali. Arsitektur Joglo mencerminkan adat budaya dan arsitektur nusantara. Cocoa Ubud sesuai sebagai bangunan akomodasi wisata di Ubud karena telah dilakukan upacara terhadap bangunan dengan upacara Hindu Bali dan tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat dimana lokasi bangunan berada di luar pekarangan perumahan tradisional Bali (sikut satak).

Dengan demikian penelitian tersebut dapat menjadi acuan dan landasan dalam pelaksanaan kegiatan studi lanjutan ke depannya. Sehubungan dengan peneliti sebagai praktisi diharapkan penelitian diatas mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang peneliti hadapi sehubungan dengan pengembangan arsitektur tradisional dengan konsep kepariwisataan di Ubud kususnya dan Bali pada umumnya serta menjadi landasan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan kususnya mengenai arsitektur tradisional berbasis kearifan lokal dan pengembangan arsitektur nusantara.

Daftar Pustaka

Bakhtiar., Waani, J. O., Rengkung, J. (2014). Tipe Teori Pada Arsitektur Nusantara Menurut Josef Prijotomo. Media Matrasain, 11(2), 32-47.

Covarrubias, M. (1974). Island of Bali. Kualalumpur: Oxford University Press.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: CV Pialamas Permai.

Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata, (2016). Petunjuk Teknis Tata Cara Pendaftaran Usaha Pariwisata. Jakarta: Kementrian Pariwisata Republik Indonesia.

Djono. Utomo, T. P., Subiantoro, S. (2012). Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa. Jurnal Humaniora, 24(3), 269-278.

Frick, H. (1997). Pola Struktur Dan Teknik Bangunan Di Indonesia. Jogjakarta: Kanisius.

Gelebet, I. N. (1982). Arsitektur Tradisional Daerah Bali: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali.

Gomudha, I. W. (2015). Fungsi Dan Estetika Dalam Arsitektur Tradisional Bali. Orti Media Informasi Ikatan Arsitektur Indonesia Bali, 1(3), 38-47.

Gunawarman, A. A. G. R. (2014). Kajian Proporsi Candi Tebing Gunung Kawi, Tampaksiring - Gianyar. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 2(1), 59-78.

Gusfield, J. R. (1967). Tradition and modernity: misplaced polarities in study of social change. American Journal of Sociology, 72(4), 351-362.

Habraken, N. J. (1982). Transformation of the Site. Cambridge: Massachusetts.

Hoben, A., Hefner, R. (1991). The Integrative revolution revisited: World Development, 19(1), 17-30.

Hobsbawm, E. in Hobsbawm E and Ranger, T (Eds). (1983). Introduction: inventing traditions The Invention of Tradition Cambridge, Cambridge University Press.

Indrani. H. C., Prasodjo. M. E. (2005). Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Rumah Abu Han di Surabaya. Jurnal Dimensi Interior, 3(1), 44-65.

Karyono, A. H. (2011). Usaha dan Pemasaran Perhotelan untuk SMK Pariwisata Jilid I: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mantra, I. B. (1993). Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra.

Moniaga, C., Gunawan, A. (2019). Rumah Joglo Sebagai Identitas Visual Konsep Bangunan Kuliner Kontempoer. Jurnal Tutur Rupa, 1(2), 13-23.

Pitana, I. G. in Conrady, R. and Buck, M. (2010). Tri Hita Karana – the local wisdom of the Balinese in managing development. Trends and Issues in Global Tourism Berlin: Springer.

Prabasmara, P. G., Wibowo, S. H. B., Yuniastuti, T. (2005). Kajian Struktur Bangunan Tradisional Jawa pada Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta. Jurnal Sinektika, 16(1), 44-51.

Pramesti, D. S. (2014). Sistem Spasial dan Tipologi Rumah Panggung di Desa Loloan, Jembrana (Bali). RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 1(1), 65-84.

Prasetyo, E. B. (2012). Loro Blonyo Studi Bentuk dan Perkembangan Fungsi Serta Aplikasinya Pada Media Lain Dalam Masyarakat di Surakarta. (Tesis), Institut Seni Indonesia Surakarta.

Prijotomo, J. (2005). Pengkonstruksian Sektor Guru dari Griya Jawa: Tafsir atas Kawruh Kalang. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, 33(1), 99-111.

Prijotomo, J. (2006). (Re-)Kontruksi Arsitektur Jawa Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan. Surabaya : PT. Wastu Lanas Grafika.

Putra, I. D. G. A. D. (2014). Traditional Balinese House in Tourist Villages. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 1(2), 123138.

Rapoport, A. (1969). House, Form and Culture Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.

Salain, P. R. (2013). Arsitektur Posmo Pada Masjid Al Hikmah Dalam Serapan Arsitektur Tradisional Bali. Udayana University Press.

Subiyantoro., S. (2011). Simbol Kebudayaan Jawa: Loro Blonyo, Joglo dan Ritual Tradisional. Sebelas Maret University Press.

Sumarjan, S.(1962). Social Changes in Yogyakarta. Ithaca. Cornell University Press.

Tjahjono, G. (1989). Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surroundings. Distertasi. Berkeley University of California.

Trisulowati, R. (2003). Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Jawa Tengah. Jurnal Mintakat, 2(1), 31-38.

Uthama, I. B. P. A. (2015). Patra Dalam Ragam Hias Arsitektur Tradisional Bali Perkuat Karakteristik ke Bali-annya. Orti Media Informasi Ikatan Arsitektur Indonesia Bali., 1(2), 43-47.

Utomo, T. P. (1996). Pengaruh Bentuk Rumah Tradisional Jawa pada Fenomena Arsitektur Masa Kini di Surakarta. Tesis. Institut Teknologi Bandung.

Wibawa, B. A., Widiastuti, K., Nindita, V. (2019). Eksistensi dan Keberlanjutan Kampung Joglo dalam Masyarakat, Budaya dan Lingkungan Aslinya. Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur, 24(1), 9-17.

Wirata, I. M., Sueca, N. P. (2014). Konsep Arsitektur Rumah Adat Suku Sasak di Dusun Segenter, Kecamatan Bayan, Lombok Utara – NTB. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 1(1), 51-64.

44

SPACE - VOLUME 8, NO. 1, APRIL 2021