Imah Panggung Arsitektur Sunda sebagai Model Desain Rumah Ramah Banjir di Jawa Barat
on

IMAH PANGGUNG ARSITEKTUR SUNDA
SEBAGAI MODEL DESAIN RUMAH RAMAH BANJIR
DI JAWA BARAT
Oleh: Nuryanto1, R. Irawan Surasetja2, Dadang Ahdiat3
Abstract
West Java Province is one of the provinces in Indonesia which is very prone to flood. In its strategic plan, The Provincial Government with Ministry of Public Works has made a retention pool in Baleendah SubDistrict, Bandung District. Since 2017, the pool with the total area of 6.9 Ha turned out to be only 5.7 Ha of which are used to accommodate water runoff from The Citarum River, and the rest is used as restoration land. However, the retention pool has not been able to accommodate the overflowing water, as a result, the flood continued to occur and became an annual subscription for society in Baleendah. This condition is the background of this research. The research is conducted using the descriptive-qualitative approach, by observing and digging up information about the conditions of houses in the research location those are often flooded. This study found a model of flood-friendly houses with the concept of local wisdom of Sundanese traditional architecture. The results of the study are: 1) The concept of a flood-friendly house with a Sundanese traditional architecture approach in the form of imah panggung; 2) A flood-friendly house design which includes: house plan, house façade design, roof model design, and structure-construction design based on the local wisdom of Sundanese traditional architecture; 3) Maquette as a model of the flood-friendly house for The Cieunteung village society. These results of the study were proposed by the local government in the effort to anticipate the bigger impact of flood, beside the main response to the existence of a retention pool.
Keywords: home design model; friendly to floods; Sundanese traditional architecture
Abstrak
Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat rawan terjadinya bencana banjir. Dalam rencana strategisnya, pemerintah provinsi bersama Kementerian Pekerjaan Umum telah membuat kolam retensi di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Sejak tahun 2017, kolam dengan luas total 6,9 Ha itu ternyata hanya 5,7 Ha diantaranya yang difungsikan untuk menampung limpasan air dari Sungai Citarum dan sisanya dimanfaatkan sebagai lahan restorasi. Kolam retensi tersebut ternyata tetap saja tidak mampu menampung luapan air yang banyak, akibatnya banjir tetap terjadi dan menjadi langganan tahunan bagi masyarakat di Baleendah. Kondisi inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. Metoda penelitian menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, dengan cara mengobservasi dan menggali informasi tentang kondisi rumah-rumah penduduk di lokasi penelitian yang sering terendam banjir. Penelitian ini menemukan model rumah yang ramah terhadap banjir dengan konsep kearifan lokal arsitektur tradisional Sunda. Hasil penelitian berupa: 1) Konsep rumah ramah banjir dengan pendekatan arsitektur tradisional Sunda berupa imah panggung; 2) Desain rumah yang ramah terhadap banjir yang meliputi: rancangan denah lantai rumah, rancangan bentuk tampak rumah, rancangan model atap rumah, dan rancangan struktur-konstruksi rumah yang bersumber pada kearifan lokal arsitektur tradisional Sunda; 3) Maket sebagai model rumah ramah banjir bagi masyarakat Kampung Cieunteung. Hasi-hasil tersebut menjadi usulan bagi pemerintah setempat dalam upaya antisipasi dampak banjir yang lebih luas lagi, disamping keberadaan kolam retensi sebagai penanggulangan utamanya.
Kata kunci: model desain rumah; ramah terhadap banjir; arsitektur tradisional Sunda
Pendahuluan
Musim penghujan yang biasa jatuh pada bulan september sampai dengan akhir Februari merupakan siklus tahunan yang biasa terjadi di Indonesia sebagai negara beriklim tropis. Air hujan yang mengalir melalui sungai seharusnya mampu melaju dari hulu ke hilir dengan baik. Air hujan yang berlimpah menjadi berkah bagi kehidupan manusia untuk kebutuhan hidup dan kehidupannya. Kenyataannya tidak demikian, bagi beberapa wilayah di Indonesia yang menjadi langganan bencana banjir, air hujan yang melimpah justru menjadi masalah, karena sungai yang idealnya mampu menampung volume air dan mengalirkannya hingga ke hilir ternyata menjadi pasang (overload), sehingga mengakibatkan air tumpah-ruah dan masuk ke dalam permukiman penduduk yang disebut banjir. Faktor penyebabnya ternyata ada pada manusia. Air di sungai tersumbat karena banyak sampah, di selokan juga terhambat karena banyak sampah, serta tidak adanya sistem drainase yang baik di dalam permukiman. Perilaku manusia yang tidak memperhatikan lingkungan, membuang sampah sembarangan, dan mendirikan bangunan di tepi sungai tanpa memperhatikan garis sempadan (ROW=right of way/gss) menjadi masalah besar terjadinya banjir di setiap tahunnya (Rosyidie, 2013).
Banjir salah satunya dialami oleh Jawa Barat, khususnya di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Kondisi geografis Kabupaten Bandung yang banyak dilalui aliran sungai-sungai besar, seperti Citarum, Cisangkuy, dan Citanduy mengakibatkan wilayah tersebut rentan terjadinya banjir. Menurut sejarahnya, sejak tahun 1930 sampai dengan sekarang, wilayah Kabupaten Bandung sering mengalami banjir, dari yang berskala kecil, sedang, sampai dengan besar. Banjir terparah dialami sejak tahun 2010, dengan intensitas ketinggian air antara 100 cm sampai dengan 400 cm atau hampir setinggi atap rumah. Penanganan banjir khususnya di Kabupaten Bandung masih bersifat sementara, itupun dilakukan oleh masyarakat di daerah yang rawan banjir secara swadaya, misalnya bagi yang mampu rumahnya dibuat dua lantai, sehingga pada saat terjadi banjir di lantai satu, maka penghuninya dapat naik ke lantai dua. Bagi masyarakat yang kurang mampu, yang mereka lakukan pindah ke rumah saudaranya atau tetangganya yang dekat, atau hanya mampu bertahan di rumahnya yang terendam. Berdasarkan kondisi di atas, maka diperlukan solusi secara arsitektural untuk membantu menangani korban banjir, yaitu membuat rumah yang ramah terhadap banjir. Hal inilah yang mendasari dan menjadi latarbelakang dilakukannya penelitian tentang: “Imah Panggung Arsitektur Sunda sebagai Model Desain Rumah Ramah Banjir di Jawa Barat ”. Penelitian ini merupakan studi kasus di Kampung Cieunteung dan Kampung Jambatan, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Model desain berupa gambar perencanaan dan perancangan yang sumber inovasinya diinspirasi dari kearifan lokal arsitektur tradisional Sunda, khususnya rumah panggung. Kearifan lokal arsitektur tradisional Sunda ini akan dijadikan sebagai pendekatan dalam penelitian, karena memiliki nilai-nilai lokalitas sangat kaya dan unik. Hasil penelitian menjadi salah satu solusi bagi penanganan banjir sekaligus prototype bagi rumah warga terdampak banjir (Nuryanto, Surasetja, dan Ahdiat, 2018).
Berdasarkan hal di atas, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2013) pada Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI, 2013) menjelaskan bahwa ancaman bencana yang ada di Jawa Barat meliputi: banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran permukiman, kekeringan, cuaca ekstrem, longsor, gunung api, abrasi, kebakaran lahan dan hutan, gagal teknologi, konflik sosial, epidemik, dan wabah penyakit ((BNPB), 2013).
Tabel 1. Indeks Risiko Bencana per Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat
No. |
Kabupaten/Kota |
Skor |
Kelas Risiko |
1 |
Cianjur |
250 |
Tinggi |
2 |
Garut |
238 |
Tinggi |
3 |
Sukabumi |
231 |
Tinggi |
4 |
Tasikmalaya |
225 |
Tinggi |
5 |
Ciamis |
215 |
Tinggi |
6 |
Kota Cirebon |
184 |
Tinggi |
7 |
Cirebon |
181 |
Tinggi |
8 |
Indramayu |
175 |
Tinggi |
9 |
Subang |
175 |
Tinggi |
10 |
Karawang |
175 |
Tinggi |
11 |
Bandung |
174 |
Tinggi |
12 |
Majalengka |
166 |
Tinggi |
13 |
Bekasi |
165 |
Tinggi |
14 |
Sumedang |
162 |
Tinggi |
15 |
Bandung Barat |
162 |
Tinggi |
16 |
Kuningan |
154 |
Tinggi |
17 |
Kota Bandung |
154 |
Tinggi |
18 |
Kota Banjar |
153 |
Tinggi |
19 |
Bogor |
152 |
Tinggi |
20 |
Purwakarta |
138 |
Sedang |
21 |
Kota Bekasi |
132 |
Sedang |
22 |
Kota Cimahi |
120 |
Sedang |
23 |
Kota Tasikmalaya |
119 |
Sedang |
24 |
Kota Sukabumi |
114 |
Sedang |
25 |
Kota Bogor |
107 |
Sedang |
26 |
Kota Depok |
102 |
Sedang |
Sumber: BNPB/IRBI, 2013
Tabel 1 di atas menunjukkan indeks risiko bencana seluruh wilayah yang ada di Jawa Barat. Berdasarkan data di atas, Kabupaten Bandung termasuk memiliki risiko tinggi dengan skor 174. Hal tersebut sangat logis, karena wilayah Kabupaten Bandung berada di antara sungai dan gunung. Kondisi geografis Kabupaten Bandung yang berupa dataran tinggi berbentuk cekungan dikombinasikan dengan banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi baik dari pertanian dan daerah resapan menjadi permukiman maupun kawasan hutan menjadi lahan pertanian musiman menyebabkan tingginya sedimentasi dan bencana banjir. Selain itu, terganggunya sistem jaringan irigasi dan drainase juga berakibat pada timbulnya genangan dan banjir di beberapa titik lokasi terutama wilayah permukiman seperti banjir di Cieunteung-Baleendah, Dayeuhkolot serta jalan terusan Kopo. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh status daerah pada lokasi-lokasi tersebut yang merupakan daerah pelepasan air tanah, sehingga air tidak dapat terserap di daerah tersebut dan pada akhirnya menimbulkan banjir. Tingkat banjir dengan status tinggi terdapat di Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Bojogsoang, dan Kecamatan Baleendah ((BNPB), 2013).
Review Literatur
a. Pengertian Banjir
Banjir adalah suatu kondisi dimana tidak tertampungnya air dalam saluran pembuang (kali) atau terhambatnya aliran air di dalam saluran pembuang (Suripin, 2004). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1990), dijelaskan definisi banjir terdiri dari beberapa kriteria, yaitu (1) Berdasarkan kata kerjanya banjir adalah [v] berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tt kali dsb): krn hujan turun terus-menerus, sungai itu menjadi banijr; (2) Berdasarkan kata bendanya banjir adalah [n] air yg banyak dan mengalir deras; air bah: pd musim hujan, daerah itu sering dilanda, atau Geo peristiwa terbenamnya daratan (yg biasanya kering) krn volume air yg meningkat; (4) Berdasarkan kata sifatnya banjir juga mengandung arti datang (ada) banyak sekali, misalnya pada kalimat menjelang Lebaran di pasar banjir petasan. Berdasarkan kedua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan banjir adalah suatu keadaan atau kondisi pada saat musim hujan yang mengakibatkan sungai atau tempat penampungan air secara massal tidak mampu lagi menampung jumlah air, karena terhambatnya aliran air dalam saluran penampungan air, sehingga air naik melebihi batas permukaan normalnya. Beberapa karakteristik yang berkaitan dengan banjir, diantaranya adalah: (1) Banjir dapat datang secara tiba-tiba dengan intensitas besar namun dapat langsung mengalir; (2) Banjir datang secara perlahan namun intensitas hujannya sedikit; (3) Pola banjirnya musiman; (4) Banjir datang secara perlahan namun dapat menjadi genangan yang lama di daerah depresi; (5) Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya genangan, erosi, dan sedimentasi. Sedangkan akibat lainnya adalah terisolasinya daerah pemukiman dan diperlukan evakuasi penduduk (Suripin, 2004).
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2001), bahwa banyak faktor menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia, diantaranya adalah: (1) Curah hujan; Pada musim penghujan, curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai dan apabila banjir tersebut melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan; (2) Pengaruh Fisiografi; Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dll.; (3) Erosi dan Sedimentasi; Erosi dan sedimentasi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran, sehingga timbul genangan dan banjir di sungai; (4) Kapasitas sungai; Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan yang berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang; (5) Kapasitas Drainase yang tidak memadai; (6) Pengaruh air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut.
Jenis dan pola kampung pada arsitektur tradisional di Tatar Sunda berdasarkan letak geografisnya dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Kampung pegunungan, yaitu kampung yang terletak di daerah pegunungan dan dataran tinggi; (2) Kampung dataran rendah, yaitu
kampung yang terletak di daerah dataran rendah; (3) Kampung pantai, yaitu kampung yang terletak di tepi pantai, atau di sepanjang pesisir (Ekadjati, 1995). Menurut Nix dalam (Danumihardja, 1987), karakteristik lingkungan alam Tatar Sunda juga memberikan gagasan pemberian nama kampung, antara lain Galudra ngupuk, yaitu kampung yang letaknya di antara dua bukit atau gunung; Pancuran emas yaitu kampung yang posisinya tepat di lereng bukit atau gunung yang menurun dan menghadap ke arah barat daya; Satria lalaku adalah jenis kampung yang berada di lereng bukit atau gunung yang menurun serta menghadap ke arah tenggara; Kancah nangkub yaitu kampung yang letaknya tepat di puncak bukit; Gajah palisungan merupakan jenis kampung yang berada di puncak bukit dalam kondisi tanah yang datar; Bulan purnama yaitu kampung yang posisinya berada di lembah sungai; Gajah katunan merupakan kampung yang letaknya di dataran rendah, di kelilingi bukit atau pasir (Danumihardja, 1987).
Bentuk rumah masyarakat Sunda adalah panggung, yaitu rumah berkolong dengan menggunakan pondasi umpak. Menurut Adimihardja dan Salura (2004), bentuk panggung yang mendominasi sistem bangunan di Tatar Sunda mempunyai fungsi teknik dan simbolik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi, yaitu: tidak mengganggu bidang resapan air, kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan dan kesejukan, serta kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar dan lain sebagainya. Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan Orang Sunda, bahwa dunia terbagi tiga: ambu handap (dunia bawah), ambu luhur (dunia atas), dan tengah (dunia tengah). Dalam mitologi yang berhubungan dengan pertanian, Masyarakat Sunda sangat menghormati Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai penjelmaan padi. Oleh karena itu, padi atau beras selalu disimpan secara baik di sebuah tempat khusus yang disebut goah untuk padi dan padaringan untuk beras. Apabila padi tersebut banyak jumlahnya, maka untuk menyimpannya disediakan leuit atau lumbung padi (Suhamihardja, 1984).
-
1. Imah Panggung di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya-Jawa Barat
Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah Kampung Legok Dage Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Dalam arsitektur Kampung Naga, rumah diharuskan berbentuk panggung, yaitu rumah yang lantainya berkolong setinggi ± 35-50 cm. Panggung dalam konsep pemikiran masyarakat Kampung Naga berkaitan dengan kosmologi tentang tingkatan tiga dunia; (1) Dunia bawah (ambu handap/buana larang) yang disimbolkan oleh pondasi umpak; (2) Dunia tengah (ambu tengah/buana panca tengah) disimbolkan oleh dinding, dan (3) Dunia atas (ambu luhur/buana nyungcung) disimbolkan oleh atap. Letak rumah panggung berada di tengah-tengah, diantara dunia atas dan bawah. Masyarakat Kampung Naga percaya, bahwa rumah panggung (Gambar 1 dan Gambar 2) merupakan pusat yang memiliki kekuatan netral di antara kedua dunia tersebut. Pada saat terjadi gempa tahun 2009 rumah-rumah tidak ada yang roboh dan hancur, bahkan mereka tetap berada di dalam rumah bersama keluarga.
Gambar 1. Site plan dan bentuk imah panggung di Kampung Naga Sumber: Survey lapangan, 2019
-
2. Imah Panggung di Kampung Baduy, Kabupaten Lebak-Banten
Rumah Masyarakat Baduy berbentuk panggung, yang memiliki kolong setinggi ± 40-70 cm dari permukaan tanah. Panggung memiliki makna kosmologis yang berkaitan dengan sistem keyakinan Masyarakat Baduy tentang dunia. Mereka mengenal tiga dunia: buana nyungcung, panca tengah dan larang. Ketiga dunia ini tersusun secara vertikal dengan buana nyungcung berada di puncak, diikuti oleh buana panca tengah (langit) dan buana larang (bumi). Antara buana nyungcung dan buana panca tengah terdapat bumi suci alam padang, yaitu tempat Nyai Pohaci Sanghyang Sri (Dewi Padi) bermukim. Letak rumah berada di antara langit dan bumi, oleh karena itulah diletakkan tihang (tiang) yang di bawahnya terdapat umpak (pondasi) sebagai penghubung antara bumi dengan langit. Bentuk panggung dipercaya sebagai dunia tengah (netral) di antara buana panca tengah dan buana larang. Mereka percaya, bahwa rumah panggung (Gambar 2) merupakan pusat yang memiliki kekuatan netral di antara kedua dunia tersebut.
Gambar 2. Site plan dan bentuk imah panggung di Kampung Baduy Sumber: Survey lapangan, 2019
Rumah panggung di Kampung Baduy (Gambar 2) disusun berdasarkan 2 (dua) komponen utama, yaitu: (1) Bagian bawah, yang menunjukkan komponen dasar sebagai lapis kesatu
untuk kekuatan rumah yang terdiri dari: lelemahan (tanah), dan pondasi
(umpak/tatapakan); (2) Bagian atas yang menunjukkan komponen kekuatan lapis kedua yang terdiri dari: lantai, dinding, dan atap rumah. Masyarakat Baduy menggunakan 3 (tiga) jenis pondasi umpak, yaitu: buleud (bulat), balok (kotak), dan lisung (travesium). Rumah mereka tidak pernah dilanda banjir, walaupun dekat dengan Sungai Cikartawana.
-
3. Simpulan Hasil Studi Banding Imah Panggung Kampung Naga dan Baduy
Simpulan hasil studi banding tersebut adalah:
-
a) Penggunaan bentuk panggung pada rumah tinggal sebagai inspirasi bagi konsep perencanaan rumah yang ramah terhadap bahaya banjir;
-
b) Pemanfaatan material-material yang bersumber dari alam atau kombinasi dengan fabrikasi yang dapat digunakan pada pondasi, dinding, dan atap rumah;
-
c) Penggunaan bentuk-bentuk atap khas rumah pada arsitektur Tradisional Sunda di Kampung Naga dan Baduy, seperti: capit gunting, julang ngapak, atau jolopong sebagai konsep bentuk rumah;
-
d) Pemanfaatan kontur tanah sebagai potensi tapak (adaptasi);
-
e) Pondasi umpak atau tatapakan pada bentuk panggung berfungsi sebagai struktur dan konstruksi bagian dasar bangunan (kaki-kaki bangunan);
-
f) Kolong pada bentuk panggung dapat ditinggikan sesuai hasil perhitungan ahli banjir tentang batas ambang tinggi air banjir, sehingga dapat dimanfaatkan untuk ruang-ruang bebas air pada saat terjadi banjir, atau difungsikan sebagai ruang huni pada saat tidak terjadi banjir;
-
g) Pembagian ruang menjadi tiga komponen: (1) Bagian depan atau teras (tepas imah) sebagai bagian muka bangunan; (2) Bagian tengah atau ruang tengah (tengah imah) sebagai pusat aktivitas penghuni; (3) Bagian belakang rumah atau dapur (pawon) sebagai ruang-ruang pelayanan.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif dengan cara mendeskripsikan (menggambarkan/menceritakan) kembali secara tertulis dari hasil survey lapangan tentang kondisi daerah yang memiliki potensi bencana banjir sekaligus rencana pengembangan sebagai daerah wisata berbasis mitigasi bencana. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah case study (studi kasus) pada kampung yang terdampak bencana banjir yang ada di Kecamatan Baleendah dengan menggunakan metode analisa data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan metode survey (observasi). Proses penelitian ini menitikberatkan pada kegiatan survey lapangan yang didukung dengan dokumentasi (pengamatan langsung) di lapangan untuk memperoleh data-data tentang perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir. Lokasi penelitian ini terletak di wilayah yang sangat rawan banjir, yaitu Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung bagian Selatan. Di samping itu, sebagai bahan dalam perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir, Tim peneliti melakukan studi banding pada kampung tradisional Sunda di Kabupaten Tasikmalaya (Kampung Naga), dan di Kabupaten Lebak-Banten (Kampung Baduy). Alasan pemilihan Kampung Naga dan Baduy sebagai objek
studi banding yaitu karena keragaman serta kekayaan arsitektur tradisionalnya yang sangat khas dan unik (imah panggung).
Filosofi Rumah Ramah Banjir
Menurut Poerwadarminta (1990) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa “ramah” (kata sifat) artinya baik hati, menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sifatnya, suka bergaul, bersahabat, dan hangat. Dari pengertian tersebut, maka yang paling tepat untuk memberikan penjelasan pengertian “ramah” dalam konteks banjir adalah bersahabat. Dalam Bahasa Inggris, bersahabat disebut dengan istilah friendly; “able to understand and follow and not damage”, artinya mampu memahami dan mengikuti serta tidak merusak (Echols dan Shadily, 2014). Dalam konteks penelitian tentang rumah ramah banjir, friendly dapat diartikan sebagai rumah yang didesain secara khusus yang mampu memahami kebutuhan penghuninya pada saat musim kemarau dan penghujan (dua fungsi), serta tidak merusak lingkungan (bersahabat/harmoni dengan lingkungan). Rumah yang ramah banjir memiliki fungsi ganda, pada saat musim hujan penghuni beraktivitas di lantai atas dengan aman dan nyaman, sedangkan pada saat musim kemarau penghuni dapat melakukan aktivitas di lantai atas dan bawah.
Data, diskusi, dan hasil/temuan
a. Gambaran Lokasi Penelitian
Kampung Cieunteung atau sering juga disebut Babakan Mekarsari Blok Cieunteung dan Kampung Jambatan masuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Baleendah yang secara astronomis terletak pada koordinat 7˚13’-7˚71’ LS dan 107˚31’-107˚40’ BT. Sedangkan secara geografis berada di tengah wilayah Kabupaten Bandung yang berbatasan dengan 5 kecamatan lain yang masih merupakan wilayah administratif Kabupaten Bandung (Gambar 3). Ketinggian wilayah berada pada 600 mdpal sampai dengan 715 mdpal yang sebagian besar wilayahnya merupakan dataran dan perbukitan dengan suhu udara berkisar antara 24˚-32˚ Celcius. Kedua kampung tersebut dilalui oleh dua sungai besar, yaitu Citarum dan Cisangkuy. Iklim di kedua kampung tersebut secara umum sama dengan wilayah lain di pulau Jawa yang mengenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2013-2014 curah hujan di Kecamatan Baleendah tergolong rendah: 1.856 mm per tahun dengan rata-rata 10 hari hujan per bulan. Kecamatan Baleendah memiliki luas wilayah 34.18 km2, secara administratif dibagi kedalam 8 wilayah setingkat desa/kelurahan. Bencana banjir terjadi di kampung ini sejak puluhan tahun yang lalu dan hingga saat ini dampaknya masih terasa. Hal ini dikarenakan kondisi Sungai Citarum yang semakin memburuk seperti sedimentasi yang semakin parah akibat perubahan tata guna lahan (land use) di daerah hulu dan pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Bencana banjir terparah terjadi di kampung ini pada tahun 2010 dengan ketinggian air maksimal mencapai 4 m dan lama genangan mencapai 11 bulan (Wawancara Ketua RW 20, Kampung Cieunteung, 2018).
Gambar 3: Lokasi penelitian di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Sumber: Nuryanto, 2019
Di Kecamatan Baleendah, khususnya di Kampung Cieunteung dan Kampung Jambatan berada di bawah perhitungan banjir rencana. Kampung-kampung tersebut merupakan permukiman terpadat, dengan jumlah penduduk 450 jiwa dan 283 KK. Rumah-rumah berderet sangat rapat satu dengan lainnya hampir tidak ada jarak yang ideal. Perumahan warga dihubungkan oleh jalan-jalan kecil atau bahkan hanya gang yang lebarnya antara 11.2 meter. Sedangkan akses warga dihubungkan oleh jalan raya yang lebarnya variatif, antara 3.8-4.5 meter. Jarak antar rumah yang sangat padat tersebut berimplikasi terhadap kenyamanan dan keamanan penghuni, terutama pada saat terjadi banjir. Elevasi banjir rencana Sungai Citarum dan Cisangkuy pada kawasan ini adalah +659,3 m.dpal, sedangkan elevasi lahan dikawasan ini +658 m.dpal, sehingga ketika banjir besar pada Februari 2010 yang mencapai elevasi 660,3 m.dpal kawasan ini mengalami genangan air setinggi 2,3 m. Masyarakat pada kedua kampung tersebut sudah terbiasa dilanda banjir dari luapan Sungai Citarum dan Cisangkuy, yang juga berimbas pada daerah-daerah lain, seperti Dayeuh Kolot dan sekitarnya. Kamis, 20 November 2014 terjadi banjir besar di tiga kecamatan, yaitu Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang. Banjir tersebut merendam sebanyak 3.000 rumah penduduk di tiga kecamatan tersebut. Banyak rumah-rumah penduduk yang rusak parah. Ratusan ribu rumah penduduknya rusak berat akibat air (foto 6), dan ratusan ribu juga warganya banyak yang mengungsi ke daerah yang lebih aman. Peristiwa banjir tersebut terus menerus terulang dari tahun ke tahun, tetapi tidak ada solusinya (Wawancara Ketua RW 20, Kampung Cieunteung, 2018). Dari 28 RW yang berada di Kecamatan Baleendah, terdapat 4 RW yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, diantaranya adalah: RW 19, RW 20, RW 28, dan RW 29. Empat RW ini memiliki kesamaan karakteristik seperti kepadatan bangunan yang tinggi, kondisi jarak bangunan yang berhimpit satu sama lain dan lebar jalan dalam permukiman yang berukuran ± 98-102 cm atau selebar ukuran ½ rentang tangan orang dewasa (hasta). Ketersediaan jalan dan aksesibilitas di wilayah lokasi penelitian sangat buruk, banyak terdapat jalan sempit dan infrastruktur yang terbatas, seperti: selokan air yang kecil dan tersumbat serta tidak tersedianya titik kumpul (assembly point).


Gambar 4. Kondisi rumah yang terendam dan rusak berat Kampung Cieunteung akibat banjir Sumber: Nuryanto, 2019
Faktor utama penyebab banjir yaitu perilaku masyarakat yang tidak memperhatikan lingkungan, seperti membuang sampah ke sungai (Gambar 4), dan membangun rumah tanpa garis sempadan sungai. Mereka mengetahui aturan bahwa dilarang membuang sampah ke sungai, tetapi menjadi kebiasaan yang umum terjadi yang berujung pada perilaku buruk yang berakibat aliran sungai yang terganggu dan akhirnya banjir. Kampung Babakan Mekarsari Blok Cieunteung dan Kampung Jambatan sangat rawan banjir, karena letaknya sangat dekat dengan Sungai Citarum dan Cisangkuy. Salah satu permukiman yang sangat dekat adalah RW 20 dan 28 berjarak ± 50 meter, sehingga hampir menempel dengan tepi sungai. Di samping itu, muka lantai rumah lebih rendah dibandingkan dengan muka air normal, sehingga pada saat terjadi banjir langsung menimpa permukiman penduduk. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun, tetapi masyarakat tetap tidak berubah untuk memperbaiki perilaku dan kebiasaan buruknya. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan, kesehatan, dan keamanan di lokasi penelitian masih rendah, sehingga diperlukan sosialisasi dan penegakkan aturan serta hukum yang lebih tegas (Gambar 5).

Gambar 5. Perilaku masyarakat yang membuang sampah ke sungai dan dampaknya thp banjir Sumber: Nuryanto, 2019
Mitigasi bencana banjir di Kecamatan Baleendah, khususnya di lokasi penelitian Kampung Babakan Mekarsari Blok Cieunteung dan Kampung Jambatan mengacu kepada pedoman yang sudah dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPBD) di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, yaitu badan pemerintah daerah yang melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. BNPBD menjalankan tugas secara terorgainisir berdasarkan instruksi dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN). Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (a) Tahap pra bencana; (b) Saat tanggap darurat; (c) Pasca bencana. Ketiga hal tersebut secara umum dapat dijabarkan menjadi: (1) Dalam situasi tidak terjadi bencana, meliputi: pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemanduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakkan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta persyaratan standar teknis penanggulangan bencana; (2) Dalam situasi terapat potensi terjadinya bencana banjir, meliputi: kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana. Seluruh komponen mitigasi bencana tersebut sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, mulai dari early warning (peringatan dini) sampai dengan simulasi bencana banjir. Kesadaran masyarakat terdampak banjir sangat diperlukan untuk membantu program mitigasi tersebut, seperti tidak membuang sampah sembarangan atau membangun di luar garis sempadan sungai yang telah ditentukan.
-
1. Rumah Panggung: Inovasi Rumah Ramah Banjir
Arsitektur Tradisional Sunda memiliki karakteristik yang sangat khas yaitu rumah panggung. Panggung merupakan rumah berkolong dengan menggunakan pondasi umpak. Teknologi panggung pada bangunan rumah ini dimungkinkan untuk memberikan kehangatan pada penghuninya. Bagian kolong dari panggung tersebut biasa digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian atau kayu bakar. Bentuk panggung yang mendominasi sistem bangunan di Tatar Sunda mempunyai fungsi teknik dan simbolik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi: (1) Tidak mengganggu bidang resapan air; (2) Kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan (di malam hari) atau kesejukan (di siang hari); (3) Dari fungsi, kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar dan lain sebagainya. Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan bahwa dunia terbagi tiga; dunia bawah, tengah dan atas. Dunia tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusat alam semesta, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah-tengah, tidak ke dunia bawah (bumi) dan atas (langit). Dengan demikian, rumah tersebut harus memakai tiang yang berfungsi sebagai pemisah rumah secara keseluruhan dengan dunia bawah dan atas. Tiang rumah juga tidak boleh terletak langsung di atas tanah, oleh karena itu harus diberi alas yang berfungsi memisahkannya dari tanah
yaitu berupa batu yang disebut umpak atau tatapakan. Secara arsitektural, panggung memiliki bentuk yang sangat unik karena terdiri dari tiga bagian; kolong, lantai, dan atap. Kolong yang ditopang oleh pondasi umpak memisahkan antara tanah dengan lantai, sehingga seperti melayang. Bentuk atap merupakan metafora dari binatang, seperti julang ngapak yang menyerupai burung julang yang sayapnya sedang mengepak, badak heuay menyerupai badak yang sedang menguap, tagog anjing menyerupai anjing yang sedang ambil posisi duduk, dan lain sebagainya. Lantai panggung terbuat dari bilah bambu yang disebut talupuh. Lantai ini ternyata mampu mengatur sistem aliran udara di dalam rumah, karena sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang, baik untuk kehangatan di malam hari atau kesejukan di siang hari.
-
2. Konsep Tapak serta Garis Sempadan Sungai
Konsep perencanaan dan perancangan rumah yang ramah terhadap banjir harus memperhatikan pemintakatan pada tapak. Konsep pemintakatan tersebut terdiri dari: (1) Rumah termasuk bangunan lainnya harus diletakkan pada radius lebih dari 100 meter dari tepi sungai, sehingga aman dari limpahan air pada saat banjir; (2) Rumah serta bangunan lainnya harus diatur berdasarkan fungsinya, yaitu: fungsi umum, fungsi pribadi, dan fungsi pelayanan, sehingga tidak bercampur aduk. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi pelayanan diatur paling belakang memiliki radius lebih dari 100 meter, misalnya: selokan air, septictank, MCK komunal, dan lain sebagainya. Fungsi umum diatur paling depan, karena sebagai etalase permukiman sekaligus agar mudah diakses oleh publik, contohnya: sekolah, sarana ibadah, puskesmas, perkantoran, dan lain sebagainya. Sedangkan fungsi pribadi diatur dan diletakkan diantara fungsi umum dan pelayanan (ditengah-tengah), sehingga lebih terlindung dan menjadi inti permukiman; (3) Tapak bangunan dan permukiman harus lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan air sungai, sehingga pada saat air pasang tetap aman. Oleh karena itu, berdasarkan survey lokasi bekas limpahan lumpur yang terbawa air pada saat banjir tahun 2014 setinggi ± 1-1.75 meter, sehingga sebaiknya tinggi permukaan tanah padat adalah setinggi 1.75 meter; (4) Tata letak rumah termasuk bangunan lainnya pada tapak sebaiknya diberikan jarak antara rumah yang satu dengan lainnya ± 1.5-2 meter sehingga ada ruang gerak yang leluasa untuk penghuni rumah beraktivitas sekaligus sebagai ruang terbuka hunian (open space). Permukiman di kedua kampung lokasi penelitian tidak memiliki garis sempadan bangunan (GSS).
Berdasarkan PP No. 38 tahun 2011, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 tentang sempadan sungai, maka salah satu upaya untuk menghindari genangan banjir adalah dengan membuat flood plan area pada kawasan Kampung terdampak banjir di Kecamatan Baleendah dengan sistem flood proofing dengan tetap memperhatikan pada radius banjir dari tepi singai (GSS). Flood proofing adalah salah satu usaha untuk menghindari banjir dengan cara menyesuaikan tinggi bangunan dari muka tanah agar bebas banjir. Ketinggian lantai bangunan dari muka tanah yang tergenang banjir adalah harus lebih dari 30-50 cm. Ketinggian tersebut diambil dari ukuran ketinggian banjir yang pernah terjadi sebelumnya. Sedangkan menurut PERMEN PUPR RI No: 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, yaitu 15 meter untuk kedalaman sungai lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter.
-
3. Konsep Denah
Konsep denah rumah yang ramah banjir (Gambar 6) dibagi ke dalam dua lantai utama, yaitu: (1) Lantai pertama sebagai bagian yang paling dasar, tidak difungsikan sebagai hunian tetapi sebagai ruang kosong khusus untuk memberikan ruang gerak kepada air pada saat banjir. Tinggi lantai ini adalah 350 cm, dengan ruang bebas gerak air setinggi 275 cm dari muka tanah. Di lantai pertama hanya ada toilet satu buah atau bahkan tanpa toilet, yang tipikal dengan lantai dua serta tangga sebagai sirkulasi vertikal bagi penghuni rumah. Pada lantai pertama dapat juga difungsikan untuk tempat usaha (warung/toko) dengan konsep dinding yang knock-down (bongkar-pasang) atau menggunakan dinding partisi. Pada saat musim kemarau, lantai pertama berfungsi sebagai tempat usaha, bahkan juga hunian, tetapi pada saat musim hujan tiba, maka seluruh aktivitas berpusat di lantai dua; (2) Lantai kedua adalah pusat aktivitas penghuni, mulai dari tidur, memasak, dan bekerja. Ruang-ruang yang ada di lantai dua meliputi: kamar tidur, toilet, ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur. Tinggi lantai dua antara 350-400 cm dengan bagian atasnya (plafond) dapat dibuka atau ditutup; (3) Di atas lantai kedua, pada bagian plafond juga dapat difungsikan sebagai lantai mezanine yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang pandang (view) ke luar rumah.
Akses dari denah lantai dasar menuju lantai atas menggunakan tangga yang dapat ditutup dan dibuka atau dilihat (folding stairs) dengan cara menggunakan tuas dan tali. Modul ruang pada denah menggunakan dimensi 200 cm x 200 cm. Modul tersebut dibuat tipikal sampai denah lantai atas. Pada salah satu sudut modulnya, terutama bagian depan sisi kanan dimanfaatkan untuk verticultur, atau tanaman pot yang digantung. Tanaman tersebut berfungsi untuk menetralisir udara agar tetap baik, dan dapat dijadikan sebagai dapur hidup atau apotek hidup. Pada bagian depan sudut kirinya, disediakan ruang lift manual untuk orangtua dan disabilitas. Lift tersebut tidak menggunakan listrik (undigital), tetapi digerakkan melalui tuas dan bandul. Pertimbangan lift, karena pemilik rumah (Bapak Mamat) memiliki keterbatasan fisik, tidak mampu naik ke lantai atas dengan menggunakan tangga manual, kaki kanannya cidera permanen, sehingga tidak kuat naik tangga.
Gambar 6. Konsep denah rumah ramah banjir Sumber: Nuryanto, 2019
-
4. Konsep Tampak dan Model Atap
Konsep tampak rumah yang ramah terhadap bencana banjir mengadopsi dari arsitektur imah panggung Masyarakat Sunda, khususnya pada bagian atap. Konsep ini dipilih karena arsitektur imah panggung memiliki potensi keindahan atap yang tidak ditemukan pada arsitektur lain. Bentuk dan istilah nama yang khas memberikan tampilan pada tampak yang khas juga. Di samping itu, konsep model atau bentuk atap tersebut dipakai juga karena lokasi penelitian berada pada seting Tatar Sunda, sehingga arsitekturnya dijadikan sebagai inspirasi konsep rumah ramah banjir. Masyarakat Kampung Cieunteung bebas menggunakan model atap imah panggung dengan jenis apapun sesuai selera. Pada penelitian ini, model atap yang dijadikan contoh adalah julang ngapak (Gambar 7 dan 8).
Gambar 7. Konsep tampak (fasad) rumah ramah banjir Sumber: Nuryanto, 2019
Konsep fasad rumah sangat terlihat sederhana, tanpa ornamen yang berlebihan. Masyarakat Kampung Babakan Mekarsari Blok Cieunteung dan Kampung Jambatan bebas memilih bentuk-bentuk fasad pada rumahnya sesuai selera. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan kesan kesederhanaan pada kehidupan sehari-hari, agar tidak ada kesenjangan sosial walaupun secara finansial mereka mampu. Mayoritas ekonomi masyarakat dikedua kampung adalah menengah ke bawah, sehingga kemampuan membangunnya juga harus disesuaikan dengan kemampuan ekonominya.
Gambar 8. Konsep tampak rumah ramah banjir dan model atap Sumber: Nuryanto, 2019
-
5. Konsep Struktur dan Konstruksi Rumah
Bentuk struktur dan konstruksi imah panggung yang disusun berdasarkan umpak (pondasi), pangadeg (dinding bilik), dan suhunan (atap) adalah satu kesatuan yang utuh. Ketiganya merupakan kompleksitas dari struktur dan konstruksi yang di dalamnya mencakup proses penggunaan material bangunan, mulai dari mengambil, mengawetkan, mengolah sampai dengan menggunakannya. Seluruh material bangunan berasal dari alam dan proses pengolahannya dilakukan secara manual, seperti kayu dan bambu (Gambar 9). Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan material pabrikasi dapat digunakan sebagai material tambahan. Teknik sambungan dapat menggunakan paku, muur baut, atau paseuk (pasak) dan beungkeut (ikatan) ijuk atau rotan yang sangat kuat. Pada kasus penelitian ini, material rumah boleh menggunakan bahan fabrikasi, atau kombinasi antara alam dengan fabrikasi, misalnya penutup atap menggunakan bahan genteng ringan, dinding dari GRC, dan rangka atap dari baja trust (baja ringan).
Gambar 9. Konsep struktur dan konstruksi rumah ramah banjir Sumber: Nuryanto, 2019
Pondasi juga boleh menggunakan beton bertulang (Gambar 9) dengan teknik tertentu. Di atas pondasi tersebut dipasang tiang atau kolom dari kayu, atau bahkan dari beton juga sebagai struktur utama penyangga lantai. Kolom-kolom tersebut dihubungkan oleh balok sloof beton di bagian bawahnya dan balok induk pada bagian atasnya sebagai struktur lantai. Kolom-kolom struktur diletakkan sesuai modulnya, yaitu 300x300 cm dengan dimensi kolom 30x30 cm (bentuk kubus), atau diameter 30-40 cm (bentuk bulat). Kolom struktur menggunakan material kayu dolken atau beton bertulang, masyarakat bebas menentukannya sesuai selera dan kemampuan finansial. Di bawah setiap kolom tersebut dipasang pondasi foot plat , atau di letakkan pondasi umpak (batu).
Kesimpulan dan Rekomendasi
a. Kesimpulan
-
1. Rumah panggung pada arsitektur tradisional Masyarakat Sunda sangat relevan untuk dijadikan konsep perencanaan rumah yang ramah terhadap bencana banjir. Keunggulan rumah panggung dapat dilihat pada empat hal, yaitu: (1) Kolong dengan ketinggian antara 275-300 cm dapat digunakan untuk antisipasi kelebihan air yang meluap pada
saat banjir, sehingga lantainya dapat ditinggikan; (2) Pondasi umpak atau tatapakan pada bagian dasar bangunan sebagai struktur utama yang membentuk kolong. Umpak dapat diganti dengan kolom beton atau kayu dolken dengan diameter ± 30-40 cm; (3) Struktur dan konstruksi menggunakan material kayu dan bambu atau juga dapat digantikan dengan fabrikasi (baja ringan), atau sesuai kemampuan masyarakat; (4) Model-model atap khas Arsitektur Sunda, seperti julang ngapak, jolopong, dan capit gunting;
-
2. Konsep perancangan rumah yang ramah terhadap bahaya banjir meliputi tiga komponen utama, yaitu: (1) Perancangan denah menggunakan bentuk persegi panjang dengan modul dinding 300 cm. Denah terdiri dari dua lantai, dengan pembagian lantai satu sebagai ruang yang sengaja dikosongkan untuk antisipasi air meluap pada saat banjir dengan ketinggian 275-300 cm. Sedangkan pusat hunian berada di lantai dua yang terdiri dari ruang-ruang hunian; (2) Perancangan tampak menggunakan bentuk dasar kotak pada bagian fasadnya, sedangkan atapnya berbentuk julang ngapak-capit gunting atau perisai sesuai karakter Arsitektur Sunda. Tidak ada ornamen tambahan apapun, tampak rumah terlihat sederhana tetapi tetap unik dan menarik; (3) Perancangan potongan terlihat pada bagian struktur dan konstruksi meliputi pondasi yang terbuat dari batu umpak, kolom atau tiang rumah dari kayu dolken atau beton;
-
3. Konsep perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir dapat diusulkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebagai kawasan wisata mitigasi bencana, melalui beberapa tahap, yaitu: (1) Dimasukkan ke dalam program pemerintah daerah setempat, khususnya pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPBD) Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat tentang mitigasi bencana (disaster mitigation) dan sistem peringatan dini (early warning system); (2) Dilakukan upaya penelusuran dan penggalian potensi daerah yang ada di Jawa Barat, khususnya tentang arsitektur tradisional Sunda yang dapat dikembangkan sebagai konsep pendekatan desain rumah yang ramah terhadap berbagai bencana, terutama banjir; (3) Sosialisasi secara berkala kepada masyarakat yang daerahnya rawan bencana tentang pentingnya rumah yang ramah banjir, terutama di Kampung Cieunteung.
-
1. Penelitian lebih luas perlu dilakukan untuk mengetahui potensi arsitektur tradisional Sunda yang dapat dikembangkan menjadi bangunan-bangunan yang ramah terhadap berbagai bencana, khususnya pada bangunan yang berfungsi sebagai fasilitas publik lainnya, seperti perkantoran, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Di samping itu juga perlu dilakukan penelitian secara mendalam tentang sistem kekuatan struktur rumah panggung yang ramah dan aman terhadap banjir;
-
2. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Kabupaten Bandung membuat buku panduan untuk memetakan daerah-daerah mana saja yang rawan (berpotensi) terhadap bahaya banjir yang berguna sebagai pegangan untuk mengantisipasinya melalui desain rumah tinggal yang ramah banjir;
-
3. Membuat kurikulum khusus tentang mitigasi bencana pada jenjang Sekolah Dasar (SD), SLTP, dan SLTA, sebagai upaya pencegahan dini serta penanaman kesadaran dini tentang antisipasi bencana. Di samping itu, para siswa juga diajak belajar secara
langsung melalui kunjungan-kunjungan pada daerah-daerah yang rawan terhadap banjir serta studi banding pada kampung-kampung tradisional Masyarakat Sunda untuk mengetahui kearifan lokal daerahnya sendiri.
Daftar Pustaka
(BNPB), B. N. P. B. (2013). Indeks Resiko Bencana di Indonesia. Retrieved from Jakarta: https://bnpb.go.id/
Adimihardja, K., dan Salura, P. (2004). Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan (A. Holid Ed. Edisi Pertama ed.). Bandung: CV. Architecture & Communication; FORIS Publishing.
Danumihardja, S. (1987). Model Pengembangan Desa: Sebuah Kajian Sosiologi Arsitektur Perdesaan di Jawa Barat. (Tesis Magister). Institut Teknologi Bandung (ITB), tidak untuk diterbitkan. Retrieved from https://digilib.itb.ac.id/
Echols, J. M., dan Shadily, H. (Eds.). (2014) An English-Indonesia Dictionary (Edisi Ketiga yang diperbarui ed.). Jakarta, Indonesia: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ekadjati, E. S. (1995). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) (Edisi Pertama ed.). Jakarta: Pustaka Jaya, Jakarta.
Kodoatie, R. J., dan Sugiyanto. (2001). Banjir dan Permasalahannya (Edisi Pertama ed.). Semarang: Pustaka Pelajar, Semarang-Jawa Tengah.
Nuryanto, Surasetja, R. I., dan Ahdiat, D. (2018). Kajian Pembangunan Sosial-Budaya: Kearifan Lokal Rumah Panggung Arsitektur Sunda sebagai Model Desain Rumah Ramah Banjir di Jawa Barat (Studi Kasus: Kampung Cieunteung-Baleendah, Kabupaten Bandung). Retrieved from Bandung: https://lppm.upi.edu/
Poerwadarminta, W. J. S. (Ed.) (1990) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.
Rosyidie, A. (2013). Banjir: Fakta dan Dampaknya, serta Pengaruh dari Perubahan Guna Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi, Bandung, 24(4), 241-249. Retrieved from https://sappk.itb.ac.id/ojs/index.php/jpwk
Suhamihardja, A. S. (1984). Organisasi dan Struktur Sosial Masyarakat Sunda dan Agama, Kepercayaan, dan Sistem Pengetahuan dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Edisi Pertama ed.). Bandung: Girimukti Pasaka, Bandung, Jawa Barat.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan (Pertama ed.). Yogyakarta: Andi Offset, Yogyakarta.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini merupakan Skim Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT), tahap ke-2 tahun anggaran 2019-2020 yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (DRPM Ristekdikti RI). Tim peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusinya, kepada yang terhormat: (1) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia; (2) LPPM Universitas Pendidikan Indonesia; (3) Gubernur, Bupati, serta Camat; (4) Kepala BAPPEDA, BNPB, dan BBWSC Jawa Barat; (5) Ketua RW, RT, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, serta masyarakat di lokasi penelitian; (6) Mahasiswa peserta Tugas Akhir Arsitektur dan Skripsi: Indra Setiawan, Ridwan, Luthfi, Maulana Akbar Harahap, Agung, dan Ishak Budiman.
70
SPACE - VOLUME 7, NO. 1, APRIL 2020
Discussion and feedback