Konflik Kepentingan dalam Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak, Denpasar
on
KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK PANTAI PADANG GALAK, DENPASAR
Oleh: I Made Liga Wangsa1, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra2
Abstract
Padang Galak Beach is one of many open public spaces, located at Kesiman Petilan Village of Denpasar-Bali. It accommodates various activities including those dedicated to ritual, recreational, and economic purposes. The use of this public space involves many parties and interests, in which conflicts often and inevitably take place, especially when two or more interest groups come with neither an agreement nor a concerted action. This article examines the typology of conflicts encountered in this area and values associated with the occurrence of these conflicts. Discussion within is supported by data collected through interviews, physical observations, and spatial analysis. Study results show that the encountered conflicts dominantly occur due to the persistent interests of the Balinese to maintain their traditions, culture, and values trying to block the potentially impairing influences brought in by the economic agendas promoted by other groups of interests. Each of these interests possesses certain cultural values that likely differ from one to another and potentially cause conflict when a mutual consensus cannot be reached for all different reasons.
Keywords: open space, public, beach, conflict, interest
Abstrak
Pantai Padang Galak merupakan salah satu ruang terbuka publik yang dapat mewadahi berbagai aktivitas seperti ritual keagamaan, rekreasi, maupun kegiatan ekonomi, dan terletak di Desa Kesiman Petilan, Denpasar, Bali. Sesuai dengan potensi yang dimiliki, pemanfaatan area pantai tersebut melibatkan banyak pihak yang berdasar pada berbagai kepentingan, dan tidak jarang timbul suatu konflik akibat beradunya beberapa kepentingan. Hal ini menegaskan betapa pentingnya dilakukan sebuah studi terkait konflik yang terjadi. Artikel ini merupakan rangkuman dari sebuah penelitian yang bertujuan mengkaji tipologi konflik serta nilai-nilai yang mendasari kepentingan dalam pemanfaatan oleh para pemangku kepentingan. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan penyusunan simpulan secara induktif. Jenis data yang digunakan yaitu data kualitatif yang didukung data kuantitatif. Metode pengumpulan data didasarkan pada wawancara, observasi, dan analisis spasial. Berdasarkan pada hasil studi, dapat dikemukakan konflik kepentingan yang terjadi secara dominan adalah upaya masyarakat Bali yang memproteksi wilayahnya dengan mempertahankan nilai-nilai budaya tradisional, dalam menekan dominasi upaya pembangunan dengan prinsip ekonomi. Selain itu, diketahui juga bahwa terdapat nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi ketiga nilai orientasi kepentingan yang dianut oleh aktor/kelompok kepentingan yang terdiri dari nilai sosial, ekonomi, dan publik. Adanya perbedaan nilai-nilai budaya yang diamalkan dalam pemanfaatan ruang oleh aktor/kelompok kepentingan meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya konflik kepentingan.
Kata kunci: ruang terbuka, publik, pantai, konflik, kepentingan
Pendahuluan
Pantai Padang Galak adalah salah satu ruang terbuka publik yang dapat dimanfaatkan untuk mewadahi aktivitas bersama kemasyarakatan dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang terletak di Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Wisatawan yang berkunjung ke pantai ini tidak hanya karena menggemari keindahan alamnya saja. Beberapa wisatawan yang datang bermaksud untuk menyaksikan pelaksanaan ritual keagamaan, melakukan rekreasi, bahkan hanya untuk mempelajari kehidupan masyarakat lokal di tepi pantainya. Berbicara mengenai pelaksanaan ritual keagamaan, pantai ini tak dapat dipisahkan dengan tradisi Agama Hindu di pulau ini. Area Pantai Padang Galak kerap digunakan sebagai tempat melangsungkan ritual keagamaan umat Hindu. Pemanfaatan seperti itu melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, di antaranya masyarakat setempat, investor, wisatawan, pemerintah, dan tentunya pihak desa adat, sehingga tidak terhindarkan terjadinya konflik dalam pemanfaatan ruangnya.
Secara swadaya, pihak Desa Adat Kesiman telah berupaya menyediakan fasilitas ruang terbuka publik di pantai tersebut untuk mendukung aktivitas ritual keagamaan dan rekreasi dengan pembangunan dan penataan. Penataan beberapa area yang digunakan untuk melasti, yaitu sebuah ritual umat Hindu di Bali, yang diprakarsai oleh Desa Adat Kesiman sempat mendapat pertentangan oleh Pemerintah Provinsi Bali, karena pekerjaan tersebut tidak memiliki izin untuk dilaksanakan di atas lahan milik Pemerintah Provinsi Bali. Pihak Desa Adat Kesiman memperjuangkannya agar dapat melanjutkan pekerjaan tersebut. Meski sempat terhenti, akhirnya Pemerintah Provinsi Bali mengizinkannya, bahkan, kini wilayah penataan area melasti dengan perkerasan tersebut, telah diperluas. Selain peristiwa tersebut, ditemukan beberapa peristiwa lainnya yang terkait dengan konflik kepentingan pada tahap observasi awal.
Berdasarkan gambaran fenomena tersebut, muncullah gagasan untuk melakukan studi terkait konflik kepentingan yang terjadi dalam pemanfaatan ruang terbuka publik Pantai Padang Galak. Studi ini bertujuan untuk: (1) mengkaji tipologi konflik kepentingan yang terjadi dalam pemanfaatan ruang terbuka publik Pantai Padang Galak; dan (2) mengkaji nilai-nilai yang mendasari kepentingan dalam pemanfaatan ruang terbuka publik Pantai Padang Galak oleh para pemangku kepentingan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan simpulan yang disusun secara induktif. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya (Lincoln dan Guba, 1985 dalam Moleong, 2000: 4). Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus, yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori, dan pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut (Gunawan, 2016: 93). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, didukung dengan data kuantitatif yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian adalah data yang diperoleh secara langsung melalui pengalaman personal, hasil wawancara, observasi lapangan, dan hasil pengamatan
visual. Data sekunder adalah data yang bersumber dari kantor, instansi, maupun organisasi terkait objek penelitian. Dalam menentukan informan, diterapkan teknik purposive sampling. Selain itu, diterapkan pula teknik snowball sampling, yaitu ketika peneliti berupaya memperoleh rekomendasi untuk informan lain dari informan sebelumnya yang telah diwawancarai. Fokus amatan pada penelitian ini adalah pemanfaatan ruang berdasarkan ruang fisik dan aktivitas, status hak kepemilikan tanah/lahan dan aset, pemangku kepentingan yang dirinci berdasarkan kedudukan, kepentingan, kekuatan, dan peran dalam konflik, kronologi peristiwa yang berkaitan dengan konflik, serta hubungan antar pemangku kepentingan.
Tinjauan Teori
Hierarki suatu ruang ditandai dengan adanya batasan ruang atau teritori (territory). Menurut Haryadi dan Setiawan (2010: 39), teritori adalah batas organisme hidup menentukan tuntutannya, menandai, serta mempertahankannya dari kemungkinan intervensi pihak lain. Teritori adalah area yang secara spesifik dimiliki dan dipertahankan baik secara fisik maupun nonfisik, dengan aturan-aturan atau norma-norma tertentu (Ramelan, dkk., 2007: 19). Teritorialitas diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi, dan identitas. Dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu, dan pertahanan tercakup di dalamnya. (Laurens, 2004, dalam Ramelan, dkk., 2007: 19).
Menurut Wollman (1994 dalam Ramelan, dkk., 2007: 19-20) dalam kenyataan sosial seringkali timbul perbedaan interpretasi, ketidaksepahaman, atau persepsi yang tumpang tindih tentang siapa yang berhak memiliki teritori tersebut, sehingga potensial memunculkan konflik akibat adanya pelanggaran teritori. Perbedaan kepentingan akan membentuk teritorialitas yang berbeda. Altman (1975 dalam Indriani, 2018) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman teritori yaitu; faktor personal, berkaitan dengan karakteristik/kepribadian seseorang; faktor situasional, berkaitan dengan kondisi fisik serta sosial; dan faktor budaya, berkaitan dengan latar belakang budaya individu/kelompok.
Teori konflik adalah sebuah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Rosana, 2015: 218). Teori kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx (dalam Rosana, 2015: 218-219) menyatakan, pengembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial, yaitu mereka yang menguasai alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai tenaga, sehingga akhirnya terjadi konflik di antara kedua kelas.
Rosana (2015: 222) mengungkapkan bahwa pada suatu titik tertentu dalam konflik, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama, ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus. Zuldin, 2019: 159, dalam artikelnya menjelaskan pandangan Dahrendorf, seorang tokoh sosiologi yang menyatakan tidak akan
ada konflik tanpa kehadiran konsensus sebelumnya. Sebaliknya, konflik dapat menghasilkan konsensus dan integrasi.
Wijardjo dkk. (2001) dan Moore (1996 dalam Pasya, 2017: 19-20) mengungkapkan konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan hubungan sosial, kepentingan, data, nilai, dan struktural. Pasya (2017: 22), membedakan jenis konflik menjadi; (1) konflik vertikal, yaitu konflik antara masyarakat dengan pemegang atau pengendali kekuasaan (powerfull vs powerless); (2) konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara etnis satu dengan etnis lainnya, masyarakat pendatang dan masyarakat asli, satu daerah otonom dengan daerah otonom lainnya, atau pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya; dan (3) konflik diagonal, yaitu konflik yang terjadi antara yang relatif kuat dan lemah, namun masing-masing pihak tidak dalam suatu hierarki struktural.
Menurut tipenya, Susan (2014: 85-87) membagi konflik menjadi empat tipe, yang terdiri dari; (1) tanpa konflik, yang menggambarkan situasi yang relatif stabil; hubungan antarkelompok bisa saling memenuhi dan damai; (2) konflik laten, yaitu suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar bisa ditangani; (3) konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya; dan (4) konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran.
Menurut Chapin (1957 dalam Suartika, 2007: 73), dalam mempelajari faktor-faktor penentu dalam tata guna tanah diidentifikasikan tiga kelompok besar yang berperan secara umum dan substansial. Faktor yang dimaksud adalah faktor ekonomi yang berorientasi pada kepentingan pengembangan modal finansial (profit making values); faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values); dan faktor nilai-nilai sosial bertumbuh kembang di daerah di mana lahan itu berada (socially rooted values). Suartika (2007: 73) menilai bahwa Chapin melupakan satu komponen influensial dalam hal ini, yaitu kepentingan politik (political interest), yang pada keadaan tertentu, kepentingan ini mutlak mempengaruhi setiap keputusan yang diambil dalam menentukan tata guna lahan.
Lokasi Studi
Secara administratif, lokasi penelitian terletak di Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Secara astronomis, terletak pada 08°035' 31"-08°040' 36" Lintang Selatan dan 115°012' 29"-115°016' 27" Bujur Timur, dan secara geografis terletak di ketinggian 0 s.d. 75 meter di atas permukaan laut (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2017). Lokasi studi juga terletak pada wilayah Desa Adat Kesiman. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci dan turut serta dalam penentuan keputusan dan pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan penerapan falsafah Tri Hita Karana
(Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019). Lokasi wilayah studi diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Wilayah Studi
Sumber: diolah dari RTRWK Denpasar Tahun 2011-2031 dan pencitraan satelit Google Earth
Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak untuk Berbagai Aktivitas
Jenis aktivitas yang diklasifikasikan pada wilayah penelitian, digolongkan berdasarkan pelaku yang terlibat serta berdasarkan kurun waktu pelaksanaannya, secara rutin atau berkala. Aktivitas utama yang diamati, dapat diklasifikasikan menjadi aktivitas melasti, ritual keagamaan selain melasti, rekreasi, memancing dan menangkap ikan, berjualan/berdagang, bertani, serta bermain dan perlombaan layang-layang. Pelaksanaannya tidak hanya dipengaruhi dengan adanya ruang fisik alami dan buatan. Intensitas dan volume pelaksanaan beberapa aktivitas juga dipengaruhi oleh waktu dan adanya aktivitas lainnya, seperti yang dapat disaksikan pada Gambar 2. Intensitas dan volume aktivitas rekreasi dipengaruhi dengan adanya aktivitas melasti dan permainan/perlombaan layang-layang, dapat diamati dengan membludaknya pengunjung yang bertujuan menyaksikan kedua aktivitas tersebut. Permainan layang-layang juga mempengaruhi aktivitas bertani yang terhenti untuk sementara waktu akibat penggunaan lahan pertanian sebagai tempat menerbangkan layang-layang secara rutin, serta intensitas aktivitas berjualan sangat dipengaruhi dengan jadwal aktivitas melasti, rekreasi, permainan layang-layang, dan ritual selain melasti. Berdasarkan karakteristik pemanfaatannya, objek
penelitian dapat dibagi menjadi empat zona, yaitu: zona bangunan keagamaan, zona aktivitas wisata pada bangunan yang terbengkalai, zona aktivitas melasti, dan zona aktivitas pertanian.
Gambar 2. Pemanfaatan Ruang dan Hubungan antar Aktivitas
Status Hak Kepemilikan Lahan/Aset
Ditinjau dari dokumen-dokumen hukum yang ada, ruang terbuka publik Pantai Padang Galak yang digunakan untuk berbagai aktivitas publik, secara dominan merupakan aset yang didaftarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Perusahaan Daerah Tingkat I Bali diberikan izin pemanfaatan atas aset tersebut, dan mengadakan kerja sama dengan sebuah perusahaan untuk penggunaan sebagian dari lahan tersebut seluas 89.800 m2, yaitu di sebelah utara Jalan Padang Galak, untuk dibangun taman rekreasi. Izin tersebut dicabut pada tahun 2009 akibat perusahaan tersebut mengalami defisit dan dinyatakan pailit. Pada tanggal 13 Maret 2017, Pemerintah Provinsi Bali melakukan perjanjian pinjam pakai sebagian aset milik Provinsi Bali, yaitu di sebelah selatan Jalan Padang Galak kepada Kepolisian Daerah Bali seluas 20.000 m2. Di bagian utara Pantai Padang Galak, terdapat lahan yang tidak turut didaftarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Lahan tersebut dikatakan sebagai tanah timbul oleh pendiri Pura Campuhan Windhu Segara. Jalan Padang Galak yang digunakan sebagai akses melasti menuju wilayah pantai merupakan aset yang didaftarkan oleh Pemerintah Kota Denpasar. Permukiman penduduk, lahan parkir
kendaraan, serta lahan-lahan pertanian, sebagian besar dimiliki secara perseorangan, baik dalam bentuk hak milik maupun hak guna bangunan. Berdasarkan data yang diperoleh, maka status hak kepemilikan secara yuridis dapat dipetakan seperti pada Gambar 3.
Keterangan:
∕ -pk Hak Pengelolaan oleh Pemerintah Provinsi Bali
Hak Pengelolaan oleh Pemennlah
-
2 • Provinsi Bali (Dipinjampakaikan kepada Kepolisian Daerah Bali)
-
3 AsetBerupaJaIanMilik Pemerintah Kota Denpasar
—- Aset Berupa Walkw ay &
-
4 Revetment Milik BWS Bali Penida di Atas Tanah Negara Bebas
-
5 Tanah Negara Bebas berupa Pantai
-
——z dan Hilir Sungai
Tanah Negara Bebas yang
, dimanfaatkan untuk Pura Campuhan Windu Segara (Tanah Timbul)
γ Hak Alas Tanah yang Dimiliki Secara Perseorangan
Gambar 3. Pembagian Hak Kepemilikan pada Lokasi Penelitian berdasarkan Tinjauan Yuridis
Teritorialitas dalam Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak
Dengan diketahuinya status hak kepemilikan lahan, ruang, atau aset secara hukum, dapat dikaji beberapa teritorialitas yang dilakukan oleh aktor/kelompok kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Perilaku teritorialitas pada ruang publik kemudian dikaitkan dengan batas-batas ruang fisik, pelaksanaan aktivitas yang berulang, serta konsensus yang tercipta antar pengguna menghasilkan beberapa poin sebagai berikut.
Pantai Padang Galak ditetapkan sebagai kawasan suci oleh Desa Adat Kesiman, sehingga aktivitas-aktivitas yang digolongkan sebagai pelanggaran kesucian merupakan hal yang tidak dibenarkan. Hal ini juga didukung oleh regulasi pemerintah daerah dalam hal pemanfaatan ruang pantai. Upaya tersebut tentunya tidak digolongkan sebagai suatu pelanggaran teritori mengingat otoritas memang dilimpahkan oleh pemerintah kepada desa adat untuk turut menjaga tradisi secara berkelanjutan. Begitu juga saat pihak Desa Adat Kesiman melalui Tim Penataan Pantai Padang Galak yang memohon izin dan bekerja sama
dengan pemerintah setempat untuk memungut retribusi. Konsensus ini didukung dengan adanya perarem/awig-awig, yaitu produk hukum adat turunan dari peraturan daerah.
Perilaku teritorialitas yang berpotensi konflik mulai teridentifikasi dalam tindakan pihak desa adat yang membangun fasilitas-fasilitas penunjang keagamaan dan pariwisata di area lahan milik Pemerintah Provinsi Bali. Fasilitas tersebut berupa perkerasan pada area melasti, area peleburan (Bali: genah pralina), toilet, pos nelayan, taman yang dilengkapi vegetasi jenis pinus, bangku dan meja, perkerasan pada area parkir, dan juga pos kebersihan. Upaya penyediaan fasilitas penunjang tersebut mengindikasikan perilaku teritorialitas, berupa penandaan. Konsensus telah tercipta ketika adanya dialog antara Desa Adat Kesiman dan pihak Pemerintah Provinsi Bali. Namun tetap saja, konsensus tersebut tidak disertai bukti izin tertulis, sehingga berpeluang pembentukan konsensus baru (konflik) saat terjadinya pergantian jabatan pada Pemerintah Provinsi Bali.
Teritorialitas berikutnya dapat diamati pada area eks Taman Festival Bali. Hak Guna Bangunan pada lahan milik Pemerintah Provinsi Bali telah dicabut, namun tetap dijaga oleh petugas keamanan utusan seorang pengusaha. Konsensus yang terjadi antara pihak keamanan dan pengunjung adalah pemungutan biaya keamanan saat memasuki area, serta pemungutan biaya untuk kegiatan fotografi, video shooting, dan pertunjukan.
Pura Campuhan Windhu Segara yang terletak di bagian utara Pantai Padang Galak, terbangun seperti saat ini berkat adanya persetujuan penggunaan area tanah timbul antara berbagai pihak. Konsensus dibangun antara pendiri bersama pengemong pura, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Gubernur Bali, serta Raja ke-XII Puri Agung Klungkung. Pura Campuhan Windhu Segara juga secara rutin dikunjungi oleh pemedek, yaitu pengunjung pura, baik yang bertujuan untuk melukat (ritual pembersihan Agama Hindu) maupun sembahyang. Kesan pembentukan teritori semakin kuat dengan adanya batas-batas fisik bangunan, norma-norma yang berlaku, aktivitas yang berulang, serta beberapa sistem penanda. Hal ini juga dirasakan pada Pura Dalem Segara Taman Ayung, yaitu pura yang berbatasan di sebelah selatan Pura Campuhan Windhu Segara. Pura ini terbangun berkat itikad pengelola Taman Festival Bali untuk membantu pendanaan pemugarannya pada tahun 1997. Konsensus terjadi antara pihak pendiri pura, pengemong (pihak yang memberi perlindungan terhadap keberadaan suatu pura), dan pengelola eks Taman Festival Bali sebagai pemilik hak atas tanah saat itu.
Beberapa bangunan non permanen berupa kios pedagang dapat disaksikan berkumpul di sebelah barat area peleburan (Bali: genah pralina), dan terpencar pada areal entrance dan sekitar kompleks bangunan keagamaan di bagian utara pantai. Pendirian bangunan di atas lahan milik Pemerintah Provinsi Bali yang sedang dipinjampakaikan kepada Kepolisian Daerah Bali tersebut merupakan sebuah pelanggaran teritori. Konsensus tidak tercipta antara Pemerintah Provinsi Bali dengan beberapa warga pendatang tersebut, melainkan
justru antara warga pendatang dengan pihak desa adat. Berdasarkan aturan adat, dengan dasar pertimbangan perarem, penduduk nonpermanen dikenakan biaya keamanan (Bali: pasayuban) berupa iuran bulanan. Biaya tersebut digunakan untuk kebutuhan operasional petugas keamanan adat (Bali: pecalang) yang dijadwalkan melaksanakan patroli.
Sebagian lahan pertanian di bagian tengah juga dimanfaatkan oleh sebuah organisasi Persatuan Layang-Layang Indonesia (Pelangi) Bali sebagai arena perlombaan layang-layang yang rutin dilakukan tiap tahun, khususnya pada Bulan Mei hingga Oktober tiap tahun. Pada musim ini, pengunjung dari berbagai kalangan mendatangi area, bahkan beberapa pedagang keliling turut memadati area ini. Konsensus terjadi pada saat lahan pribadi digunakan oleh publik, sehingga pihak penyewa lahan dan petani diberikan kompensasi biaya ganti rugi untuk lahan yang sedang ditanam (I. K. D. Armika, komunikasi personal, 26 November 2018). Perilaku teritorialitas terjadi pada Bulan Mei hingga Oktober tiap tahunnya, pada lahan pertanian dengan kontrol akses oleh publik.
Keseluruhan hasil pembahasan di atas, dipetakan pada Gambar 4.
Gambar 4. Perilaku Teritorialitas pada Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak
Tipologi Konflik dalam Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak
Dalam penelitian ini, penelusuran riwayat konflik tidak hanya ditekankan pada konflik yang terjadi di antara pihak pemangku kepentingan akibat pemanfaatan ruang yang telah dilakukan secara fisik. Respons terhadap isu atau rencana pemanfaatan ruang yang belum dilaksanakan juga penting untuk dipelajari agar diperoleh gambaran kepentingan-kepentingan secara utuh pada wilayah penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, telah terjadi beberapa kali konflik laten dan terbuka, berjenis vertikal maupun horizontal, serta sebabnya didominasi oleh perbedaan kepentingan pemanfaatan ruang/lahan. Area terkait konflik yang terjadi, diperlihatkan pada Gambar 5.
Konflik terbuka (horizontal) yang mengarah ke jalur hukum (sengketa), antara Gubernur Bali dengan seorang pengusaha.
Konflik laten (horizontal), antara Gubemur Bali dengan PT. Abdi Persada Nusantara akibat aset yang ditelantarkan & dijadikan jaminan kepada kreditur.
Konflik terbuka (vertikal) antara Pemprov Bali dengan penglingsir puri dan Desa Adat Kesiman saat penolakan reklamasi.
Konflik terbuka (horizontal) antara Desa Adat Kesiman dengan pengusaha lokalisasi ketika teijadi pembongkaran lokalisasi.
Konflik laten (horizontal) teijadi antara Pelangi Bali, pemilik lahan, dan pengusaha lokalisasi.
Konflik laten (horizontal) terjadi antara pihak pengemong Pura Campuhan Windliu Segara dengan pihak pengemong Pura Dalem Segara Taman Ayung.
Konflik terbuka (horizontal) antara pengemong Pura Campuhan Windhu Segara dengan Desa Adat Kesiman saat penolakan pendirian krematorium.
Konflik terbuka (vertikal) antara pihak Desa Adat Kesiman dengan Gubemur Bali saat pembangunan stage yang terhenti sementara.
Konflik laten (vertikal) antara Desa Adat Kesiman dengan Kepolisian Daerah Bali akibat penggunaan area sebagai fungsi yang dianggap tidak sesuai.
Konflik laten (vertikal) antara BPKAD Provinsi Bali dengan Polda Bali dan warga pendatang/ pedagang kios.
Gambar 5. Pemetaan Spasial terhadap Konflik yang Terjadi pada Wilayah Studi
Adanya perbedaan nilai sebagai penyebab terjadinya konflik (Pasya, 2017: 19-20) secara tidak langsung memicu timbulnya perbedaan kepentingan, contohnya adalah nilai kepercayaan yang dianut oleh pendiri dan pengemong pura, menghasilkan kepentingan penggunaan ruang fisik dan kepentingan ekonomis untuk mempertahankan nilai yang diyakininya. Contoh lainnya adalah nilai kepercayaan umat Hindu dalam melaksanakan
ritual melasti menghasilkan kepentingan penggunaan ruang secara fisik yang berbeda dengan kepentingan pemerintah dan investor ketika berusaha mendominasi untuk kepentingan ekonomi. Penggolongan perbedaan nilai dan perbedaan kepentingan dalam konflik merupakan hal yang berkaitan.
Dikaitkan dengan psikologi keruangan, perilaku teritorialitas dengan pelanggaran teritori berupa dominasi bukan oleh pemilik hak, merupakan pemicu utama dalam beberapa konflik yang terjadi pada wilayah studi. Temuan ini mampu menguatkan teori yang diungkapkan oleh Wollman (1994) dalam Ramelan, dkk. (2007: 19-20) yang menyatakan bahwa dalam kenyataan sosial seringkali timbul perbedaan interpretasi, ketidaksepahaman, atau persepsi yang tumpang tindih tentang siapa yang berhak memiliki teritori tersebut, sehingga potensial memunculkan konflik akibat adanya pelanggaran teritori.
Nilai Orientasi Kepentingan dalam Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Pantai Padang Galak
Berdasar pembahasan, ditemukan bahwa suatu kelompok kepentingan memiliki satu, dua, bahkan ketiga nilai orientasi kepentingan yang menjadi faktor-faktor penentu pemanfaatan (Chapin, 1957 dalam Suartika, 2007: 73). Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka nilai orientasi kepentingan tiap aktor/kelompok kepentingan pada wilayah penelitian dapat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Orientasi Kepentingan Tiap Aktor/Kelompok Kepentingan
Aktor/Kelompok Kepentingan Utama |
Kepentingan dalam Pemanfaatan Lahan |
Nilai Orientasi Kepentingan |
Pemerintah |
Menjaga ketersediaan ruang terbuka publik dan mengamankan pantai dari erosi dan/atau abrasi Memanfaatkan aset untuk program & pendapatan daerah Memanfaatkan aset untuk kepentingan keagamaan (melasti) |
Public Interest Value Profit Making Value Socially Rooted Value |
Warga Desa Adat Kesiman |
Mempertahankan eksistensi dan tata nilai sebuah desa adat Memungut retribusi dan uang keamanan (pasayuban) untuk biaya operasional Menjaga kelestarian kawasan suci pantai Menyediakan ruang terbuka publik |
Socially Rooted Value Profit Making Value Socially Rooted Value Public Interest Value |
Pengemong Pura |
Mengelola dan melayani umat Mengumpulkan punia/donasi untuk biaya operasional |
Socially Rooted Value Profit Making Value |
Pemedek |
Melaksanakan ritual keagamaan |
Socially Rooted Value |
Pengunjung Umum |
Melaksanakan ritual keagamaan Berekreasi |
Socially Rooted Value Public Interest Value |
Investor (Pengusaha) |
Memanfaatkan lahan untuk keuntungan perusahaan |
Profit Making Value |
Penglingsir Puri |
Menjaga kelestarian kawasan suci pantai |
Socially Rooted Value |
Kepolisian Daerah Bali |
Memanfaatkan aset pemerintah untuk pembangunan bangunan pertahanan & keamanan |
Public Interest Value |
Warga Pendatang & Pedagang |
Memperoleh keuntungan dari hasil berdagang |
Profit Making Value |
Petani |
Memanfaatkan lahan untuk kegiatan budidaya tanaman |
Public Interest & Profit Making Value |
Penyelenggara Perlombaan |
Melestarikan tradisi daerah |
Socially Rooted Value |
Layang-Layang |
Memperoleh keuntungan dari biaya pendaftaran perlombaan |
Profit Making Value |
Penghobi Layang-Layang |
Melestarikan tradisi daerah Berekreasi |
Socially Rooted Value Public Interest Value |
Satu dari beberapa konflik terkait pemanfaatan lahan, yang terjadi antara Pemerintah Provinsi Bali dengan seorang investor dilanjutkan hingga ke ranah hukum bukan merupakan konflik yang terjadi antara dua pemangku kepentingan akibat mempertahankan nilai lokal setempat. Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemegang kuasa dalam pengelolaan Barang Milik Daerah, termasuk di dalamnya aset yang disengketakan, berupaya mengamankan aset daerah untuk kepentingan masyarakat sudah menjadi hak dan kewajibannya.
Di zona bangunan keagamaan, terjadi konflik tersembunyi yang didasari oleh perbedaan pandangan, namun dalam satu nilai orientasi dan kepentingan yang sejenis. Konflik tersebut terjadi antara pihak pengemong Pura Campuhan Windhu Segara dengan pihak pengemong Pura Dalem Segara Taman Ayung. Keduanya sama-sama memanfaatkan lahan dengan nilai sosial (socially rooted values), yaitu memfasilitasi para pemedek dalam menjalankan aktivitas keagamaannya pada wilayah pantai, yang diyakini sebagai kawasan suci. Perbedaan pandangan mengenai keabsahan dan legalitas terhadap kedua tempat suci tersebut melahirkan persepsi bahwa hanya salah satu dari mereka yang pantas untuk memanfaatkan ruang di tempat itu. Dengan lokasi yang bersebelahan, maka terjadilah persaingan antar keduanya. Selain dua konflik yang telah disebutkan, konflik lainnya yang terjadi sebagian besar melibatkan peran serta masyarakat komunal, yaitu warga Desa Adat Kesiman bersama tokoh masyarakat (penglingsir puri), organisasi sosial, dan juga kelompok/organisasi tradisional yang dijabarkan sebagai berikut.
Konflik terbuka yang terjadi saat warga Desa Adat Kesiman (bersama penglingsir puri) menolak pelaksanaan proyek reklamasi pantai yang dilaksanakan pada tahun 1997, dalam hal ini, pihak Desa Adat Kesiman mempertahankan kelestarian tempat ritual keagamaan (melasti) untuk kepentingan umat Hindu secara turun menurun, terlebih masyarakat mensinyalir bahwa ada keterkaitan proyek tersebut dengan rencana investor yang menjadikan areal pantai sebagai pusat bisnis pariwisata massal.
Konflik terbuka yang terjadi antara pihak Desa Adat Kesiman dengan Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2011 yang menyebabkan penataan area kegiatan melasti terhenti untuk sementara waktu. Desa adat berupaya menandakan eksistensinya serta penggunaan ruang terbuka tersebut sebagai tempat kegiatan melasti. Pekerjaan tersebut akhirnya memperoleh izin secara lisan dan dilanjutkan hingga saat ini.
Pada tahun 2016 terjadi konflik terbuka, yaitu penolakan pendirian krematorium oleh pihak Desa Adat Kesiman kepada pihak pengemong Pura Campuhan Windhu Segara. Penolakan ini dapat dinilai sebagai upaya intervensi warga setempat sebagai masyarakat komunal mempertahankan tradisinya. Seperti yang diungkapkan Atmadja, dkk. (2016: 3), disebutkan bahwa tindakan ngaben di krematorium adalah dilematik bagi umat Hindu di Bali, di satu sisi penyediaan jasa kremasi secara esensial dapat dipandang sebagai bantuan untuk menyalurkan kewajiban ngaben bagi umat Hindu, di sisi yang lain, jika terjadi
secara akumulatif, yakni setiap pelanggar awig-awig desa adat melarikan diri dari desa adat dan ngaben di krematorium, ditakutkan legitimasi desa adat akan berkurang. Ngaben adalah upacara kremasi atau pembakaran jenazah umat Hindu di Bali. Pada akhir tahap konflik, pengemong Pura Campuhan Windhu Segara mengurungkan niatnya dan memilih membatalkan rencana pendirian krematorium demi mempertahankan tradisi di wilayah Desa Adat Kesiman.
Pada tahun 2017, terjadi konflik terbuka antara Desa Adat Kesiman dengan pengusaha prostitusi terselubung. Pantai Padang Galak telah ditetapkan sebagai kawasan suci dalam sebuah rapat prajuru Desa Adat Kesiman. Pada akhirnya, Tim Penataan Pantai Padang Galak bersama Tim Yustisi Pemerintah Kota Denpasar berupaya menggusur keberadaan 15 bangunan prostitusi terselubung tersebut, terlebih areal tersebut merupakan tempat pelaksanaan aktivitas tradisi dan budaya oleh masyarakat setempat dari tahun ke tahun, yaitu permainan dan perlombaan layang-layang.
Terjadi konflik laten antara organisasi Pelangi Bali dengan pemilik lahan yang diduga seorang investor pada tahun 2018. Isu yang beredar adalah fasilitas akomodasi pariwisata akan segera dibangun di areal tersebut. Pelangi Bali merasa terancam dengan isu pembangunan yang berpotensi menghentikan aktivitas perlombaan layang-layang yang dilaksanakan dari tahun ke tahun. Peristiwa ini juga gencar disebarluaskan oleh para penghobi dan organisasi tradisional (Bali: sekaa) layang-layang dengan mengingatkan para penghobi lainnya untuk memperjuangkan penggunaan area tersebut melalui media sosial. Jika dicermati kembali, empat dari kelima konflik yang dibahas merupakan pertentangan antara upaya masyarakat Bali yang memproteksi wilayahnya dengan mempertahankan nilai-nilai tradisional yang melekat, dalam menekan dominasi upaya pembangunan dengan prinsip ekonomi.
Terdapat “kelompok tradisional” yang mempertahankan wilayah tradisinya adalah pihak Desa Adat Kesiman, penglingsir puri, pengemong pura, pemedek, sekaa penyelenggara perlombaan layang-layang, dan juga penghobi layang-layang. Kelompok tradisional ini berkontradiksi dengan pihak pengusaha/investor yang memiliki kekuatan finansial dan hukum dalam kepentingan pemanfaatan lahan. Di lain hal, pemerintah, Kepolisian Daerah Bali (bagian dari pemerintah), petani, warga pendatang/pedagang kios, dan pengunjung umum dipandang sebagai aktor/kelompok yang moderat. Pernyataan tersebut bukan bermaksud mengartikan bahwa kelompok tradisional tidak memiliki kepentingan selain yang didasari dengan nilai sosial (socially rooted values). Beberapa pemangku kepentingan yang masuk dalam kelompok tradisional tersebut juga memerlukan upaya pengembangan modal finansial (profit making values) seperti pihak Desa Adat Kesiman yang memungut retribusi dan uang keamanan (pasayuban) untuk biaya operasional, dan nilai keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values) saat diupayakannya penyediaan fasilitas rekreasi untuk publik yang dilaksanakan dalam bingkai kearifan lokal.
Ketika pihak pengusaha/investor dengan kekuatannya berusaha mendominasi nilai orientasi kepentingan lainnya (socially rooted values dan public interest values), maka
kelompok tradisional yang akan merespons pihak pengusaha/investor tersebut. Pihak pemerintah yang berperan sebagai fasilitator dan penentu kebijakan memiliki kemampuan untuk memperkuat pihak pengusaha/investor dalam memanfaatkan ruang terbuka publik Pantai Padang Galak, ataupun sebaliknya, bersinergi dengan kelompok tradisional untuk melawan ancaman degradasi nilai-nilai tradisional.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa, sejalan dengan pengkajian ketiga nilai orientasi sebagai faktor-faktor penentu dalam tata guna tanah yang diidentifikasikan oleh Chapin (1957) dalam Suartika (2007: 73) yang terdiri dari nilai kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values), nilai sosial setempat yang mendasar (socially rooted values), dan nilai pengembangan modal finansial (profit making values), upaya pemerintah dalam mendukung tiap nilai orientasi kepentingan, memiliki potensi yang paling tinggi untuk dipengaruhi oleh nilai orientasi kepentingan politik (political interest values) (Suartika, 2007: 73). Berdasarkan hasil penelitian, nilai ini hanya dijadikan penentu kekuatan tiap nilai orientasi kepentingan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Subakti (1992: 262), dalam bukunya memandang struktur politik tidak bertindak atas kepentingan sendiri, melainkan sebagai sarana atau arena persaingan kepentingan di antara kekuatan-kekuatan sosial.
Gambar 6. Hubungan Pemanfaatan Ruang oleh Para Pemangku Kepentingan
Adanya perbedaan nilai-nilai budaya yang diamalkan dalam pemanfaatan ruang oleh aktor/kelompok kepentingan meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya konflik antar ketiga nilai orientasi kepentingan. Interaksi, dukungan, dan posisi para aktor/kelompok kepentingan utama dalam pemanfaatan ruangnya dapat diamati pada Gambar 6.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan kajian yang dilakukan, maka dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
Berdasarkan tipenya, terjadi beberapa kali konflik laten dan terbuka. Berdasarkan jenisnya, terjadi konflik vertikal dan horizontal. Penyebab terjadinya konflik didominasi oleh perbedaan kepentingan pemanfaatan lahan (Wijardjo dkk., 2001 dan Moore, 1996 dalam Pasya, 2017: 19-20). Perilaku teritorialitas merupakan pemicu utama terjadinya konflik pada perbedaan kepentingan pemanfaatan lahan.
Konflik-konflik yang terjadi dalam pemanfaatan ruang terbuka publik Pantai Padang Galak pada dasarnya melibatkan penganut tiga nilai orientasi kepentingan atau tiga kelompok besar, seperti yang diungkapkan oleh Chapin (1957) dalam Suartika (2007: 73), yaitu nilai kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values), nilai sosial setempat yang mendasar (socially rooted values), dan nilai pengembangan modal finansial (profit making values). Nilai orientasi kepentingan politik (political interest values) (Suartika, 2007: 73) dijadikan sebagai penentu kekuatan tiap nilai orientasi kepentingan lainnya. Terdapat pula nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi ketiga nilai orientasi kepentingan yang dianut. Dengan adanya perbedaan nilai-nilai budaya yang diamalkan oleh aktor/kelompok kepentingan, maka kecenderungan untuk terjadinya konflik antar penganut ketiga nilai orientasi kepentingan semakin meningkat.
Berkaitan dengan konflik yang terjadi, direkomendasikan kepada masyarakat setempat, khususnya pihak Desa Adat Kesiman, untuk mengembangkan strategi penanggulangan konflik jangka panjang, dengan memperhatikan pendekatan kultural dalam perencanaan dan pembangunan yang dapat diterapkan dengan dialog-dialog, bahkan dalam bentuk musyawarah yang mempertemukan pihak investor/pengusaha dan pemangku kepentingan lainnya dengan dilakukan secara terbuka dan kekeluargaan, sehingga dapat diupayakan seluruh pemangku kepentingan memiliki satu visi dalam pengembangan wilayah.
Pemerintah hendaknya lebih mengedepankan eksistensi desa adat serta kelompok-kelompok tradisional yang memanfaatkan beberapa wilayah pantai di Bali untuk nilai orientasi kepentingan sosial, dan secara tidak langsung mencakup nilai keberlangsungan hidup masyarakat umum, mengingat desa adat diberikan wewenang turut menentukan setiap keputusan dalam pemanfaatan dan pembangunan yang ada di wilayahnya. Sepanjang Pantai Padang Galak, kawasan sempadan pantai dan zonasi di sekitarnya, hendaknya dirumuskan dalam peraturan yang lebih mendetail dengan mempertimbangkan riwayat penggunaannya dari tahun ke tahun untuk nilai orientasi kepentingan sosial
Daftar Pustaka
Atmadja, N. B., Atmadja, A. T., & Ariyani, L. P. S. (2016). Ngaben di Krematorium pada Masyarakat Hindu di Bali: Perspektif McDonaldisasi dan Homo Complexus. Mozaik Humaniora, 16(2), 215-323.
Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. (2017). Kecamatan Denpasar Timur dalam Angka 2017. Denpasar: CV. Arysta Jaya.
Gunawan, I. (2016). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Edisi 1 Cetakan IV. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Haryadi & Setiawan, B. (2010). Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Cetakan I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Indriani, N. K. A. I. P. M. (2018). Proses Terbentuknya Teritorialitas pada Permukiman Padat Penghuni di Kampung Jawa, Denpasar. Jurnal Ruang-Space, 5(1), 91-106.
Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan XIII. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pasya, G. (2017). Penanganan Konflik Lingkungan: Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019. Desa Adat di Bali. 28 Mei 2019.
Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4. Denpasar.
Ramelan, R. dkk. (2007). Desain “Gang” Permukiman Kampung Kota yang Mengakomodasi Aktivitas Sosial-Kultural Masyarakatnya. Laporan Hasil Penelitian Jurusan Teknik Bangunan yang tidak dipublikasi. Bandung: Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Rosana, E. (2015). Konflik pada Kehidupan Masyarakat: Telaah Mengenai Teori dan Penyelesaian Konflik Pada Masyarakat Modern. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 10(2), 216-230.
Suartika, G. A. M. (2007). Perencanaan dan Pembangunan Keruangan Perwujudan Dan Komunikasi Antar Kepentingan dalam Pemanfaatan Lahan. Jurnal Permukiman Natah, 5(2), 62-108.
Subakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Cetakan IV. Jakarta: PT. Grasindo.
Susan, N. (2014). Pengantar Sosiologi Konflik. Cetakan III. Jakarta: Prenadamedia Group.
Zuldin, M. (2019). Ketimpangan Sebagai Penyebab Konflik: Kajian atas Teori Sosial Kontemporer. Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, 2(1), 157-183.
186
SPACE - VOLUME 6, NO. 2, OCTOBER 2019
Discussion and feedback