FILOSOFI ESTETIKA RUMAH TRADISIONAL DESA

BAYUNG GEDE

Oleh: A. A. Gde Djaja Bharuna S.1 , Ida Bagus Ngurah Bupala2, Ketut Muliawan Salain3

Abstract

Bayung Gede is a mountain village (± 800-900 M above sea level) of Kintamani District, Bangli Regency. It is also one of the traditional villages that have a unique omestic architecture. A traditional house of the Bayung Gede Village is not only a multifunctional dwelling, but also a shelter associated with a set of aesthetical values and philosophy that represent the occupants' simple ways of living. The aesthetics seem very down to earth, but they contain philosophical values in every single detail. The use of natural materials such as wood and bamboo is apparent. Together with the dynamic topography of the village, this affects the aesthetical manifestation of each architectural forms which indeed deterimines the existence of the whole built form. The objevtive of this paper is to uncover the physlosophy of aesthetical elements of the Bayung Gede's traditional homes. The study documented in this paper uses a descriptive-naturalistic research method to understand the phylosophy that underline the birth of certain architectural aesthetical form of a home. Its findings demonstrate that a traditional Bayung Gede home has social functions and aesthetical componens. They are inspired by a devoting attitute towards the almighty God; passion to entend traditions; the creativity and pleasure seeking mindset of the occupants.

Keywords: aesthetics, philosophy, traditional Balinese architecture, traditional house

Abstrak

Desa Bayung Gede merupakan desa pegunungan (±800-900 M dpl) di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, serta salah satu desa tradisional yang memiliki keunikan dalam arsitekturnya. Rumah di Desa Bayung Gede merupakan tempat beraktivitas juga menjadi simbol yang khas dari masyarakatnya. Rumah tradisional di Desa Bayung Gede tidak hanya sebagai hunian yang multifungsi, melainkan juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan representasi kehidupan sederhana penduduknya. Estetikanya nampak sederhana, namun mengandung nilai-nilai filosofi pada setiap detailnya. Topografi di daerah pegunungan dan pemakaian bahan alam seperti kayu dan bambu yang banyak terdapat di lingkungan desa mempengaruhi tampilan bentuk arsitekturnya, sedangkan bentuk akan mempengaruhi tampilan estetika bangunanannya. Maksud penulisan adalah untuk mengungkap estetika rumah tinggal tradisional di Desa Bayung Gede, dalam kerangka studi konsep filosofi yang melatari perwujudan hadirnya aspek estetika arsitekturnya. Tujuan penelitian adalah, sebuah proposisi tentang upaya penghargaan serta pengayaan khasanah Arsitektur Tradisional Bali, selaku salah satu unsur jati diri kebudayaan daerah/nasional. Metoda yang dipergunakan adalah deskriptif-naturalistik, yaitu suatu cara untuk mencari dan memahami nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat sesuai dengan struktur komponen pada arsitektur. Kesimpulan penelitian adalah, bahwa hakikat suatu karya arsitektur mengandung fungsi-fungsi sosial dan kaidah estetika, merupakan kekuatan adikodrati yanng menjelma, sebagai ide yang terwujud, bakti kepada Tuhan, kesinambungan tradisi, wujud kreativitas, dan sebagai sarana bersenang. Hal tersebut nampak pada filsafat estetika rumah tradisional di Desa Bayung Gede.

Kata Kunci: estetika, filosofi, arsitektur tradisional Bali, rumah tradisional

Pendahuluan

Salah satu desa pegunungan yang cukup dikenal di kawasan Kintamani yakni Bayung Gede. Sebuah Desa Bali Mula yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam budaya dan arsitekturnya. Keunikan arsitektural yang ditemukan, antara lain; pada arsitektur rumah tinggal tradisional, terdiri dari tiga masa bangunan yaitu 1) Paon, 2) Bale Pagaman , 3) Jineng. Bangunan tempat peribadatan atau bangunan parhyangan/sanggah keluarga berupa pelinggih turus lumbung. Rumah tradisional di Desa Bayung Gede merupakan kebutuhan dasar sebagai tempat beraktivitas yang juga menjadi simbol khas dari masyarakatnya. Rumah tinggal tradisional di Desa Bayung Gede tidak hanya sebagai hunian yang multifungsi, melainkan juga memiliki nilai estetika, pesan-pesan filosofi, dan merupakan representasi kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau. Estetika yang nampak dari kesederhanaan rumah tradisional di Desa Bayung Gede, sejatinya mengandung nilai-nilai filosofi pada setiap detailnya.

Pemakaian bahan alam (kayu dan bambu), sebagai bahan utama pembuatan bangunan berpengaruh pada tampilan bentuk dan ragam hias/estetika arsitekturnya. Kenyataannya perwujudan estetika arsitektur di Desa Bayung Gede tidak hanya berdasarkan kepada kondisi alam, struktur dan bahan, namun ada suatu proses sosial budaya yang menyertainya. Kehidupan sosial budaya masyarakat Bayung Gede didasari oleh dasar tattwa (falsafah/filosofi) yang erat kaitannya dengan agama (Hindu). Berpijak dari uraian serta latar belakang potensi keunikan diatas, penelitian ini dilakukan untuk tujuan mengetahui lahirnya nilai-nilai estetika rumah tradisional di Desa Bayung Gede, sekaligus mengkaji konsep filosofi yang melatar belakanginya.

Dari uraian singkat diatas, beberapa hal yang dapat dirumuskan sebagai latar belakang permasalahan dalam penelitian ini adalah, bahwa penelitian tentang rumah tinggal di Desa Bayung Gede dengan kehidupan sosial budayanya mungkin sudah ada, namun belum ada yang memfokus pada estetika rumah tradisionalnya. Khususnya dari sudut filosofi dari hadirnya aspek tersebut. Dari sudut bidang ilmu arsitektur, ada kekhawatiran terhadap generasi mendatang yang tidak akan memiliki kesempatan untuk memahami estetika arsitektur rumah tradisional Bayung Gede, serta kebutuhan akan sebuah database secara inklusif menjelaskan estetika rumah tradisionalnya.

Tujuan penulisan ini adalah untuk meneliti estetika rumah tinggal tradisional di desa Bayung Gede, dalam kerangka studi konsep filosofi yang melatari perwujudan hadirnya aspek estetika arsitekturnya. Tujuan dan sasarannya adalah, sebuah proposisi tentang upaya penghargaan serta pengayaan khasanah lokal genius (Arsitektur Tradisional Bali), selaku salah satu unsur jati diri kebudayaan daerah/nasional. Untuk itu diperlukan dokumen lengkap yang menggambarkan kondisi fisik /wujud fisik serta atribut arsitektural lainnya, khususnya aspek bentuk/ estetika bentuk pada rumah tinggal, untuk kemudian dapat dikaji tentang konsep filosofi yang melatar belakangi. Dari penelitian dapat diungkap, bahwa hakikat suatu karya seni (arsitektur) mengandung fungsi-fungsi sosial dan kaidah estetika, merupakan kekuatan adikodrati yanng menjelma, sebagai ide yang terwujud, penyaluran bakti kepada Tuhan atau pemimpin, sarana kesinambungan tradisi, sebagai wujud

kreativitas, dan sebagai sarana bersenang. Hal tersebut nampak pada filsafat estetika rumah tradisional di Desa Bayung Gede.

Metode Penelitian

Metoda yang dipergunakan adalah deskriptif-naturalistik, yaitu suatu cara untuk mencari dan memahami nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat sesuai dengan struktur komponen pada arsitektur (rumah tinggal), sehingga makna di balik fakta yang ada dapat dipahami. Pendataan dilakukan melalui observasi lapangan (field research) dengan jenis kegiatan inventarisasi/dokumentasi, wawancara, disamping desk research. Penelitian berlokasi di Desa Bayung Gede. Desa ini dibatasi oleh Desa Batur di sebelah utara, Desa Sekardadi di sebelah timur, Bonyoh dan Sekaan di sebelah selatan serta Desa Belacan di sebelah barat.

Dalam pencapaian tujuannya, tulisan ini pertama-tama mempresentasikan bentuk, dan bahan estetika/ragam hias rumah tradisional yang dimiliki Desa Bayung Gede berdasarkan referensi yang sudah ada serta hasil observasi langsung. Bagian yang tidak hanya melingkup eksistensi fisik tetapi juga nilai filosofis yang melatar belakangi hadirnya aspek estetikanya. Bagian kedua, adalah inti tulisan, mendiskusikan nilai-nilai falsafah/filosofis aspek estetika tersebut melalui rujukan arsitektur tradisional Bali dan Bali Mula. Bagian ketiga menyimpulkan fakta bahwa telah terjadi ‘budaya susupan’ antara asritektur Bali dataran dengan arsitektur pegunungan (Bali Mula) di Desa Bayung Gede. Sekaligus memproposisikan kerangka kebijakan untuk pelestariannya. Bagian akhir ini dibangun melalui proses pembelajaran studi/penelitian dan tulisan yang pernah dilaksanakan.

Beberapa Penelitian Tentang Desa Bayung Gede

Desa Bayung Gede, merupakan salah satu desa pegunungan di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Propinsi Bali. Dari sudut pandang penelitian ilmiah, tampaknya desa ini memiliki daya tarik yang tiada habisnya. Bahkan sejak jaman penjajahan, desa ini telah menjadi obyek penelitian para budayawan dari luar negeri.

Tahun 1936-1939 Margaret Mead dan George Bateson, peneliti asal Belanda dalam buku “Balinese Character A Photografhic Analisis”, penerbitan tahun 1942, mengurai kesimpulan umum tentang budaya dan kharakter orang Bali. Berikutnya, Etabrooc(1942), Eissler(1944), Lewin(1945), Gill dan Brenman(1961), C.Geertz (1966 dan 1990), Mrazek(1983), dan Bock(1988), memberikan pengakuan sebagai karya terbaik Mead dan Bateson.

Poedjawiyatna (1983:56), menguraikan bahwa terjadinya akulturasi/susupan yang lebih didasarkan atas kehidupan sosial religius dengan datangnya masyarakat Bali Majapahit pada periodenya/jamannya. Implementasinya adalah kadang tersirat konsep-konsep filosofis arsitektur Hindu Majapahit pada morfologi arsitektur permukiman Desa Bayung Gede. Namun hasil penelitian Gordon D. Jensen dan Luh Ketut Suryani (1996) muncul pendapat yang bermaksud untuk membantahnya dalam buku “Orang Bali Penelitian Ulang Tentang Kharakter”. Diuraikan, pokok persoalan yang menjadi sumber perbedaan pendapat dari peneliti, menyangkut beberapa hal, yaitu; 1). Budaya Bali merupakan hasil susupan berbagai unsur yang masuk secara progresif sejak berabad-abad; 2). Desa Bayung Gede dipandang

sebagai desa yang “kurang terpengaruh oleh budaya susupan”, bila dibandingkan dengan desa-desa pegunungan lainnya.

Dwijendra, N.K.A. dan Manik, I.Wy. (2007:34), dalam “Transformasi Tipo-Morfologi Hunian di Desa Bayung Gede, Bali”, keunikan-keunikan yang tidak ditemukan di desa-desa lain, seperti; tidak mengenal seni upacara agama yang berlebihan sebagaimana ciri budaya Bali; tidak menggunakan nama dewa Hindu; tidak mengenal kasta; tidak melaksanakan upacara pembakaran mayat seperti budaya pengaruh Hindu.

Program Magister Arsitektur Unud (2008: 45), mengadakan penelitian yang berorientasi pada studi inventarisasi dan dokumentasi bertajuk “Filosofi Lingkungan Binaan Etnik Desa Bayung Gede” mencatat bahwa, tipologi bangunan rumah di Desa Bayung Gede cukup sederhana, umumnya hanya terdiri dari beberapa massa bangunan saja. Massa bangunan ditata sesuai dengan fungsi, aktivitas yang berlangsung, dan tata nilainya. Pada lay out salah satu pekarangan rumah tinggal tradisional di Bayung Gede, terlihat Bale Pegaman, Paon dan Jineng berorientasi masing-masing ke arah barat dan timur, sama-sama menuju ke ‘natah’ (court-yard) yang menjadi titik sentral dari pekarangan rumah. Kemudian beranjak dari natah ini, kearah utara dan selatan terdapat pintu penghubung (paletasan) ke pekarangan rumah lain yang bersebelahan. Orientasi lumbung ke arah barat menuju ke ruang terbuka (natah). Natah disini berfungsi utilitas dan sosial, sementara natah yang tercipta diantara bale pegaman dan dapur (paon) bermakna sebagai pusat sirkulasi dan pusat orientasi. Sewaktu-waktu kedua natah ini dapat berfungsi sebagai ruang duduk dan tempat mempersiapkan upacara yang dilakukan secara kolektif, misalnya pada saat berlangsung upacara adat.

Dari tinjauan pustaka/penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, pola permukiman tradisional di Desa Bayung Gede terbentuk dari serangkaian aktivitas masyarakatnya serta adaptasi dengan lingkungannya, dengan memperhatikan orientasi kosmologi, pola biogeofisik, dengan hirarki tata ruang sesuai keyakinan masyarakatnya, yang turun temurun diaplikasikan serta dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Kadang lebih berupa perangkat tata atur/hukum tidak tertulis (awig-wig/uger-uger), terangkum dalam apa yang disebutkan sebagai Uger-uger Sengker Taman Karang Titi Tuut. Sehingga secara fisik, konsep filosofis yang melandasi rumah tradisional Desa Bayung Gede, masih mengacu pada filsafat yang tersirat dalam tiga kerangka agama Hindu (tattwa, susila dan upacara). Tatwa/tattwa dalam filsafat agama Hindu bermakna konsep pencarian kebenaran yang paling hakiki. Di dalamnya mencakup filsafat ketuhanan, filsafat kosmos, dan filsafat hidup.

Filosofi Estetika Rumah Tradisional Di Desa Bayung Gede

a.    Konsep Kesucian, Kebenaran dan Keseimbangan

Konsep kesucian, konsep kebenaran dan konsep keseimbangan menjadi landasan dalam estetika di Desa Bayung Gede. Kesucian paon nampak pada fungsi yang menyangkut nilai-nilai ketuhanan mencakup yadnya dan sosial. Adanya aktivitas yadnya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang diwujudkan dalam tata ruang paon dan elemennya seperti adanya lengatan yang berada di atas sebagai penghormatan kepada Tuhan.

Penggunaan bahan kayu sakti yaitu dapdap pada lambang dan lengatan sebagai perlambang pendekatan diri kepada Tuhan.

Nilai kebenaran yang terkandung dalam estetika hunian nampak pada nilai kejujuran, ketulusan dan kesungguhan yang diyakini masyarakat di dalam menjalankan “Uger-uger Sengker Taman Karang Titi Tuut” yang diyakini telah ada sebelum pengaruh Hindu dalam zaman Mpu Kuturan. Tutur-tutur bijak yang diyakini dan diwariskan secara turun temurun, sebagai pegaman atau pedoman dalam aktivitas keseharian. Begitu juga yang mereka terapkan pada hunian untuk mendapatkan nilai yang estetis yang mengandung nilai kesucian. Oleh Jero Mangku Kendri, dikatakan dalam Uger-uger tersebut, disebutkan bahwa saka pada Paon dan Jineng dilarang melasta, itu dikarenakan adanya aktivitas duniawi/sekala atau genah manusa di dalam paon dan jineng. Sedangkan pada Bale Pegaman dan Jineng sebagai stana Tuhan/niskala dan dewata sebagai tempat yang indah sehingga banyak terdapat hiasan dan lasta.

Gambar 1. Lasta pada bale

Sumber: Sketsa 2018



Gambar 2. Ornamen pada bale

Sumber: Dokumen, 2018

Nilai suci yang dimiliki Bale Pegaman dan Jineng dengan fungsi-fungsi religi tempat melakukan upacara dewa yadnya dan sosial yang dimiliki oleh Bale Pegaman dan Jineng. Sedangkan saka melasta pada Jineng dan Bale Pegaman, dimana Jineng berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil bumi dan persembahan kepada Dewi Sri dan Bale Pegaman merupakan bale suci dimana di dalamnya terdapat kapingitan yang merupakan tempat persembahan kepada Sang Hyang Aji Sarawati ditambah lagi dilarangnya wanita yang sedang haid untuk masuk ke kedua bale. Pada Bale Pegaman dilaksanakan upacara 12 hari (ngerorasin), dimana tidak lagi berhubungan dengan manusia atau duniawi namun sebagai wujud sang Dewata. Bale Pegaman dan Jineng dengan fungsinya sebagai tempat suci yang sudah lepas dari kehidupan duniawi/niskala, maka dengan tingkatan tersebut sebagai penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Dewata maka Bale Pegaman dan Jineng dihias dengan lasta dan ukiran-ukiran sebagai wujud tempat yang indah sebagai stana Tuhan dan Dewata.

Tata ruang suatu hunian mempengaruhi perletakan tempat tidur, dimana dalam paon dan bale pegaman yang juga memiliki fungsi sebagai tempat tidur selain fungsi-fungsi sosial dan fungsi religi yang dimilikinya. Letak kepala pada tempat tidur atau taban pada bale pegaman dan paon berada pada arah utara, timur sebagai hulu untuk pekarangan yang berada di timur gang sedangkan pekarangan yang berada di barat gang arah kepala saat tidur adalah utara

dan barat sebagai hulu. Memungkinkannya pada ketiga arah tersebut adalah karena adanya Pretima Nyatur Muka yang artinya Maluan Pat. Maluan pat adalah mengakui empat arah sebagai arah yang lebih tinggi atau suci. Arah selatan hanya untuk arah kepala saat penguburan mayat. Sehingga ada konsep hulu-teben, yaitu kepala pada arah hulu pada saat masih hidup sedangkan kepala pada arah teben pada saat sudah meninggal.

Sumber: Sketsa, 2018


Gambar 4. Parba pada paon

Sumber: Dokumentasi, 2018


Gambar 5. Persembahan pada lengatan Sumber: Dokumentasi, 2018


Namun umumnya arah tidur masyarakat desa Bayung Gede adalah arah utara. Pada Bale Pegaman, parba yang merupakan bed head (taban) berada menempel dengan kapingitan berada pada arah utara yang merupakan bale yang memiliki nilai suci, sehingga parba tidak berhadapan langsung dengan dinding bale. Begitu juga pada Paon, dimana letak parba tepat di bawah lengatan yang berfungsi sebagai pemujaan kepada Pesimpangan Bhatara Brahma, Pesimpangan Bhatara Wisnu, Pesimpangan Guru Rupaka, Pesimpangan Guru Reka, Pesimpangan Bhatara Dalem, dan Pesimpangan Bhatara Surya.

Parba sebagai arah kepala merupakan hal yang sakral karena menjadi konsentrasi utama, dimana memiliki pengaruh luas pada perletakannya di dalam bangunan. Perletakan parba menentukan kesejahteraan dari penghuni bangunan tersebut dengan berada di arah utara sebagai arah sakral. Parba tidak dapat diletakkan di sembarang arah karena akan mempengaruhi kehidupan si penghuni. Arah utara merupakan penghormatan kepada gunung.

Wujud bedeg sebagai bagian dari estetika juga menampilkan adanya nilai sakral yang dikandungnya, dimana hanya bedeg besi yang menjadi parba. Bedeg besi dikatakan memiliki nilai seni yang tinggi, dengan pengerjaan yang lebih rumit sehingga ditempatkan

pada tempat yang agung dan sakral. bedeg besi merupaka bedeg yang paling indah dan agung yang dipercaya sebagai kesempurnaan dari suatu bambu. Karena dii yang dipergunakan merupakan bambu bagian perut yang paling halus. Bedeg besi juga dipergunakan pada parba, dimana parba merupakan bagian kepala dari suatu bale. Kepala dianggap sebagai bagian teragung dari tubuh manusia dimana dalam konsep Tri Angga sebagai perwujudan tubuh manusia kepala dengan nilai utama, badan dengan nilai madya dan kaki dengan nilai nista.

eg besi pada Parba di Bale Pegaman ntasi, 2018

Nilai keseimbangan tercipta dari estetika hunian di Desa Bayung Gede, terwujud dengan adanya jumlah dii dan pake bedeg yang harus selalu ganjil. Jumlah ganjil dimaksudkan adalah untuk menghindari pertemuan pada ulatan pertama dan terakhir tidak saling membelakangi atau ngalah tundu atau meadu basang. Konsep Ngalah tundu bermakna bermusuhan sehingga haruslah dihindari. Pakan atau paduraksa sebagai vertikal yang selalu ngraksa adalah laki-laki sehingga dilambangkan sebagai lanang dan dii yang horizontal sebagai perlambang wanita atau wadon. Dimana lanang dan wadon atau konsep Rwa Bhinneda dua hal yang berbeda vertikal dan horizontal, namun harus tetap bersatu. Ngalah tundu akan menyebabkan bedeg tidak harmonis dalam kesatuan dan cepat rusak atau lepas-lepas. Dalam kehidupan rumah tangga bersuami isteri, ngalah tundu akan menimbulkan ketidakharmonisan kehidupan rumah tangga sehingga tercerai berai. Sehingga perlu dihindari segala sesuatu yang menyebabkan ngalah tundu seperti jumlah yang ganjil.

Simbolisme Lanang-Wadon atau Rwa Bhinneda tersebut juga nampak pada struktur atap dimana disebutkan penyuluh sebagai laki atau lanang dan pengangkup sebagai perempuan atau wadon. Pada kemodi dan rajegan serta penepes juga terkandung simbolisasi lanang-wadon. Kemodi sebagai perlambang lanang dan lobang kemodi pada rajegan sebagai wadon. Rajegan yang vertikal selalu sebagai lanang karena hanya lanang yang selalu ngraksa sebagai paduraksa dinding. Sedangkan penepes yang horizontal sebagai wadon selalu menepes rajegan. Sehingga kesatuan antara kemodi dengan lobang pada rajegan dan rajegan dengan penepes akan menghasilkan kekuatan pada struktur dinding. Konsep lanang-wadon yang mewujudkan keseimbangan dalam ketidaksejajaran namun dalam interaksi yang bersifat saling mengisi.

Wujud lain keseimbangan nampak pada wujud bangunan sebagai bagian dari alam semesta. Bangunan pada hunian di Desa Bayung Gede dipengaruhi oleh penghuninya, dimana pada arsitektur tradisional Bali dikenal dengan konsep Tri Angga yang artinya tiga bagian dari tubuh fisik manusia. Tiga bagian tubuh manusia yang terdiri dari bagian kaki/nista angga sebagai bataran dan bagian badan/madya angga sebagai bagian badan bangunan, dan kepala/utama angga sebagai atap bangunan. Lantai bangunan yang mempergunakan material tanah merupakan suatu bentuk penyesuaian terhadap lingkungannya. Beberapa bangunan memiliki ketinggian lantai yang berbeda, dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakatnya yang bernuansa religi. Ketinggian bangunan yang merupakan adaptasi iklim setempat, dimana dengan ketinggian tersebut dapat memberikan kehangatan di dalam bangunan. Bangunan-bangunan dengan minimal bukaan juga merupakan efiesiensi bentuk juga salah satu bentuk adaptasi terhadap iklim setempat. Bentuk atap yang sederhana ( bentuk segitiga), yang curam akan memudahkan dalam aliran air hujan.

Kayu tunjang langit sebagai tiang penguat pada bedeg jaro yang berfungsi sebagai penyengker karang. Karang sebagai bhuana alit merupakan bagian dari alam sebagai bhuana agung. Pekarangan sebagai ruang luar menjadikan langit sebagai atap yang melindungi bhuana alit. Kayu tunjang langit sebagai perkuatan penyengker yang menumpu atap atau langit yang melindungi pekarangan. Seperti pada saka yang menumpu atap yang melindungi ruang dalam. Kayu tunjang langit dengan bahan bambu yang berujung runcing menghadap ke atas, sebagai wujud keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit.

Rumah tradisional di desa Bayung Gede yang minimal ornamen sangat berbeda dengan bangunan arsitektur tradisional Bali pada umumnya. Rumah tradisional di desa Bayung Gede hanya mempergunakan dinding anyaman bambu, atap bambu menyerupai sirap dan ekpos bagian dalam bangunan, serta hiasan sederhana pada beberapa elemen struktur bangunan. Ornamen yang menghiasi rumah tradisional di desa Bayung Gede menampilkan keindahan dalam kesederhanaan. Hiasan tersebut merupakan manifestasi dari alam sekitar desa Bayung Gede. Hiasan tersebut selain mengandung estetika, juga terkandung nilai simbol di dalamnya. Dimana simbol yang nampak adalah dari nama-nama yang diberikan kepada ragam hias tersebut dan penempatanya pada bgian dari bangunan sesuai dengan kehidupannya di alam. Seperti baong kambing pada waton, dimana waton sebagai leher yang menumpu. Begitu juga dengan hiasan jongkok asu yang berada pada bagian bawah saka Bale Pegaman dan ukiran kuping guling atau kuping celeng pada bintang aring.

  • b.    Konsep Orientasi Simbolisme Vertikal dan Horizontal

Masyarakat (manusia) memiliki rasa keindahan, selalu ingin mencapai kepuasan dengan menciptakan bentuk yang memiliki tata nilai dan fungsinya disesuaikan dengan kepuasan yang ingin dicapainya. Demikian halnya dengan penciptaan keindahan pada rumah tradisional di desa Bayung Gede yang terbentuk dari rasa sebgai manusia serta adaptasi dengan lingkungannya, dengan memperhatikan orientasi sikap keterikatan kosmos dan Peng-Esa-annya, sekaligus sikap bersestetika, dimana manusia merasa terikat pada penguasa alam semesta (keterikatan vertikal), merasa terikat pada alam sekelilingnya dan tanah tempat ia berpijak, sehingga timbul sikap rasa syukur, yaitu berterimakasih pada alam dan memuja

penguasanya (keterikatan vertikal), dan merasa terikat pada masyarakat lingkungannnya, sesama manusia yang hidup dalam lingkungannya (keterikatan horizontal).

Keterikatan ini secara simbolik tergambar dalam dari segala sikap hidup dan kehidupannya. Dalam rumah tradisional di desa Bayung Gede yang kita anggap sebagai suatu karya rohani suatu masyarakat, tergambarkan dalam ungkapan simbolisme. Gaya ungkapan simbolisme ini merupakan pengejawantahan alam rohani (ekspresi) manusia yang terbentuk melalui proses spiritualis. Bentuk perlambangan (simbolistis) dilandasi faktor pengaruh sistem kepercayaan dan letak geografis.

Estetika Simbolisme Vertikal. Sombolisme Vertikal merupakan segala bentuk simbolisme berdasarkan keterikatan manusia dengan Tuhan dan alamnya. Begitu juga pada rumah tradisional di desa Bayung Gede. Adanya keterikatan yang kuat antara masyarakat desa Bayung Gede dengan Tuhannya. Ungkapan simbolis vertikal nampak pada bagian atap, yaitu pada keindahan bentukan runcing ujung atap yang melambangkan hubungan antara atas yaitu Tuhan atau bapa akasa dan bawah yaitu alam/bumi atau ibu pertiwi. Bagian ujung yang runcing diarahkan ke bawah yang menunjuk ke bawah, sedangkan bentuk runcing keseluruhan atap menunjuk ke atas. Bangunan rumah tradisional di desa Bayung Gede memiliki bentuk atap segitiga yang merupakan simbolisasi gunung Batur (sebagai orientasi kehidupan masyarakat Bayung Gede) maupun melambangkan hubungan yang vertikal antara penghuni dengan Tuhan, dimana sebagai ucapan syukur pada Tuhan dan alamnya.

Estetika simbolis vertikal yang terungkap pada rumah tradisional di Desa Bayung Gede antara manusia dengan pencipta dan alamnya, dimana pasangan dua unsur ini tidak dapat dipisahkan merupakan satu kesatuan. Kesatuan sebagai sumbu antara bhuana agung dan bhuana alit dalam manifestasi aksis mundi yang menghubungkan manusia di bumi dengan Tuhan di langit. Kesatuan tersebut mewujudkan suatu bentukan sederhana yang mengandung nilai estetika.

Simbolisme Horizontal merupakan segala bentuk simbolisme berdasarkan keterikatan manusia dengan manusia lainnya atau masyarakat. Dari kedua komponen ini dapat disadari pola berpikir serba dua yang lain secara manusiawi, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Refleksi estetis dengan konsep keseimbangan yang menghasilkan simbol lanang-wadon atau jalinan yang harmonis dan disharmonis yang lazim disebut dengan Rwa Bhineda.

Kesimpulan

Hakikat karya seni mengandung fungsi-fungsi sosial dan kaidah estetik mempunyai kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut, sebagai kekuatan adikodrati yanng menjelma, sebagai ide yang terwujud, penyaluran bakti kepada Tuhan atau pemimpin, sarana kesinambungan tradisi, sebagai wujud kreativitas, dan sebagai sarana bersenang. Hal tersebut nampak pada filsafat estetika di rumah tradisional desa Bayung Gede yang mengandung fungsi-fungsi sosial, religi dan kaidah estetik yang tercermin pada :

  • 1.    Kekuatan masyarakat Desa Bayung Gede dengan melalui ide kesucian, kebenaran dan keseimbangan yang terwujud dengan penyaluran bakti kepada Tuhan. Nilai kesucian terlihat pada konsep Maluan Pat sebagai perlambang dari Pretima Nyatur Desa, sehingga arah kepala saat tidur sesuai dengan letak pekarangan pada gang yaitu kaja, kangin dan

kauh. Sesuai dengan konsep hulu-teben, yaitu kepala pada arah hulu pada saat masih hidup sedangkan kepala pada arah teben pada saat sudah meninggal. Penghormatan kepada Tuhan dengan mewujudkan keindahan pada Bale Pegaman dan Jineng sebagai stana Tuhan dan Dewata dalam dunia niskala lepas dari duniawi dengan saka melasta. Sedangkan pada Paon dan Jineng dengan fungsi sosial dalam kehidupan duniawi atau sekala sebagai genah manusa sehingga saka tidak melasta. Penggunaan kayu dapdap dengan nilai sakral sebagai kayu sakti pada lambang dan lengatan yang berfungsi sebagai tempat menghaturkan sesaji kepada betara-betari, wujud pendekatan diri kepada Tuhan.

  • 2.    Nilai keseimbangan nampak pada simbolisasi lanang-wadon pada pake dan dii bedeg, penyuluh dan pengangkup, kemodi dengan lobang pada rajegan dan rajegan dengan penepes sebagai wujud estetis dengan konsep keseimbangan yang menghasilkan jalinan yang harmonis dan disharmonis yang lazim disebut dengan Rwa Bhineda. Tri Angga sebagai perwujudan tubuh manusia kepala dengan nilai utama sebagai penempatan bedeg besi pada parba, badan dengan nilai madya dan kaki dengan nilai nista. Kayu tunjang langit dengan bahan bambu yang berujung runcing menghadap ke atas, sebagai wujud keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit. Dimana bhuana alit merupakan bagian dari bhuana agung yang tak bisa terpisahkan.

  • 3.    Nilai kebenaran yang diyakini dan dijalankan sesuai Uger-uger Sengker Taman Karang Titi Tuut, larangan melasta pada saka Paon dan Jineng.

  • 4.    Uger-uger yang diyakini dan dijalankan merupakan sarana kesinambungan tradisi Desa Bayung Gede sebagai wujud kreativitas masyarakatnya yang diwujudkan dalam estetika pada rumah tradisionalnya.

Daftar Pustaka

Gelebet, I N., dkk. (2002). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar:   Badan

Pengembangan Kebuadayaan dan Pariwisata

Gie, T. L. (1983). Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Supersukses Kartika, D. S. (2004). Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains

Kein. (1985). Estetika.

Sachari, A. (2002). Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB

Sulistyawati, dkk. (2007). Jelajah Karya Ida Bagus Tugur Dari Tradisi Menuju Post Modern (Sebuah Bunga Rampai). Denpasar: CV. Massa

Triguna, I. B. G. Y. (2003). Estetika Hindu Dan Pembangunan Bali. Denpasar: Widya Dharma

Wisnumurti, A. A. G. O. (2008). Elite Lokal Bali. Denpasar: Arti Foundation.

Nara Sumber :

Jero Mangku Kendri (penduduk Desa Bayung Gede pada saat ini sebagai Mangku di Desa Bayung Gede)

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada Tim Pengelola Jurnal “RUANG-SPACE”, Program Studi Magister Arsitektur yang telah mengeluarkan Surat Layak Terbit sebagai bukti telah memenuhi persyaratan untuk diterbitkan di Jurnal Ruang (Space) Vol. 6 No. 1

April 2019. Artikel di atas telah melalui proses review dan telah diperbaiki sesuai dengan arahan dari para reviewer dan penyunting Jurnal Ruang.

Tidak lupa terima kasih atas kerjasama anggota tim peneliti, serta rekan dosen di Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana atas pinjaman literatur, dan masukan yang telah diberikan, serta semua pihak yang telah membantu, baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terakhir, ucapan terima kasih kepada Jero Mangku Kendri (penduduk Desa Bayung Gede pada saat ini sebagai Mangku di Desa Bayung Gede), selaku narasumber atas segala informasi, petunjuk dalam idal wawancara tidak terstruktur (informal), yang telah diberikan guna penyusunan artikel ini.

48

SPACE - VOLUME 6, NO. 1, APRIL 2019