PENGARUH KONVERSI RELIGI

PADA TATA BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL BALI
DI BANJAR UMACANDI BUDUK

Oleh: Ni Luh Putu Meiasih1, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra2, I Wayan Kastawan3

Abstract

Data shows that since 1930 many residents of Banjar Umacandi of Buduk Village, in Badung Regency, Bali Province, have converted from Hinduism into Christianit. This happens for various reasons including health, economic, educational and environmental stimulus. This shift has entailed modifications in the layout of ones' houses. Some buildings which existed when they believe in Hinduism are no longer retained once it's they decide to convert into Christianity. The objective of this study is to develop a database that records all this changes. It implements a qualitative-phenomenology research method, focusing on the description of both the original and current setting of each chosen case (house). Data collection is carried out by conducting field observations, documentations and interview. Data is presented in the form of tables, graphs, maps and images. Study results show the implementation of the 'sanga mandala' conception that guides spatial formation of a Balinese traditional house is no longer observable in houses of the converts. While the sacred zone and the bale adat, the two fundamental structural elements of a Balinese traditional home, are omitted from the converted homes, the angkul-angkul remains conserved. The richness of these conversions will be further detailed in the following text.

Keywords: religious conversion, building layout, Balinese traditional houses

Abstrak

Konversi religi terjadi pada warga di Banjar Umacandi di Desa Buduk, Kabupaten Badung Provinsi Bali sejak tahun 1930 sampai sekarang. Sebagian besar warga Banjar Umacandi melakukan konversi religi dari agama Hindu ke Kristen karena faktor kesehatan, ekonomi, pendidikan dan lingkungan. Konversi religi mengakibatkan perubahan pada tata bangunan rumah tradisional Bali. Beberapa bangunan yang biasa terdapat dalam rumah tradisional Bali tidak ada lagi di rumah umat Kristen. Studi ini bertujuan untuk mengetahui tata bangunan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi sebelum dan sesudah konversi religi. Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu kualitatif fenomenologi. Dengan metode ini didiskripsikan fenomena yang ada secara murni dalam hal pengaturan ruang. Data pendukung didapatkan dengan observasi, dokumentasi dan kegiatan wawancara. Data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, peta dan gambar kemudian dibahas dengan teori. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa rumah tradisional Bali sebelum konversi religi terdiri dari: tempat suci, bale daje, bale adat, dapur, jineng, angkul-angkul, natah dan teba, yang berdasarkan konsep sanga mandala tetapi setelah konversi religi konsep tata bangunan berubah. Bangunan tempat suci dan bale adat tidak ada pada rumah umat Kristen, tetapi angkul-angkul masih dilestarikan di masa sekarang. Penelitian ini bermanfaat bagi dunia akademik untuk memperluas khasanah pengetahuan tentang pengaruh konversi religi pada tata bangunan rumah tradisional Bali.

Kata kunci : konversi religi, tata bangunan, rumah tradisional Bali

Pendahuluan

Perubahan merupakan sesuatu yang konstan di dalam alam semesta ini (Jacobus, 2014). Salah satu fenomena perubahan terjadi di dalam masyarakat Banjar Umacandi Desa Buduk Kabupaten Badung yaitu konversi religi dari Hindu ke Kristen yang disebabkan oleh berbagai faktor pada tahun 1930 sampai sekarang. Konversi religi ini mengakibatkan terjadinya perubahan pada tata bangunan rumah tradisional Bali. Beberapa bangunan seperti pemerajan (tempat suci) dan bale delod (bale adat) tidak ada lagi di rumah umat Kristen, namun ada satu bangunan yang dipertahankan yaitu angkul-angkul yang masih mencerminkan arsitektur tradisional Bali.

Banjar merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah setingkat dengan rukun warga. Penduduk Banjar Umacandi mengalami konversi religi pada tahun 1930 sampai saat ini yang disebabkan oleh faktor kesehatan, faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor lingkungan karena letak Banjar Umacandi berbatasan langsung dengan Desa Tuka yang merupakan salah satu daerah penyebaran agama Kristen yang pertama di Bali, disamping faktor perkawinan (Laksmi, 2008). Konversi religi secara besar-besaran terjadi karena faktor ekonomi pada tahun 1965 sehingga jumlah penduduk yang beragama Kristen lebih banyak dari yang beragama Hindu. Berdasarkan data Monografi Desa Buduk, penduduk Banjar Umacandi yang beragama Kristen mencapai 80% dari jumlah penduduk di banjar ini, (Monografi, 2017). Konversi religi yang dilakukan oleh warga di Banjar Umacandi mengakibatkan terjadinya perubahan pada tata bangunan rumah tradisional Bali yang ada sebelumnya.

Konversi religi dari Hindu ke Kristen di Banjar Umacandi mengakibatkan perubahan pada sosial budaya dan ada beberapa elemen budaya masih dipertahankan. Dari segi seni budaya mereka tetap melakukan aktivitas seperti seni tabuh, seni tari, wayang, rindik dan pakaian adat. Mereka tetap melakoni seni tersebut di gereja. Begitu pula halnya dengan kebiasaan memasang penjor di depan angkul-angkul pada saat ada hari raya, tetapi bentuk penjor sudah mengalami perubahan yaitu menjadi pendek setinggi 1.5 m.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di Banjar Umacandi Desa Buduk, dapat dirumuskan pokok permasalahan yaitu: bagaimanakah tata bangunan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi sebelum dan setelah konversi religi? Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tata bangunan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi sebelum dan sesudah konversi religi. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia akademik untuk memperluas khasanah pengetahuan tentang pengaruh konversi religi pada tata bangunan rumah tradisional Bali.

Landasan Teori

Konversi religi adalah tindakan seseorang atau kelompok orang yang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya (Daradjad, 2005; Heinrich, 1977; D. Hendropuspito, 1984). Religi adalah bagian dari kebudayaan, ada tujuh unsur yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini. Itu semua dirangkum dalam unsur-unsur kebudayaan universal, antara lain: (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3)

Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian hidup, (7) Sistem teknologi dan peralatan, (Koentjoroningrat, 2009). Konversi religi dapat merubah unsur-unsur kebudayaan lainnya.

Religi berperan penting dalam arsitektur tradisional yang dilatar belakangi oleh norma-norma agama. Sistem religi sebagai nilai budaya terkandung pula dalam arsitektur tradisional Bali yang mewadahi kegiatan sosial, ritual dan kegiatan lainnya dari pemilik, penghuni atau pemakai bangunan, (Gelebet, 2002). Bangunan yang ada dalam rumah tradisional bali terdiri dari pemerajan, bale daje, bale delod, bale dangin, bale dauh, jineng, dapur, natah, teba, angkul-angkul dan pagar. Semua bangunan tersebut diwarisi secara turun-temurun berdasarkan aktivitas warga yang beragama Hindu.

Rumah dapat dilihat sebagai suatu bentang lahan budaya (cultural landscape feature) terutama rumah tradisional yang wujud fisiknya sangat besar kaitannya dengan budaya, (Rapoport, 1983). Turgut (2001) menyatakan bahwa komponen dari budaya permukiman menyangkut empat hal, yaitu: 1) Setting budaya; 2) Setting perilaku; 3) Setting spasial; 4) Setting sosial ekonomi. Turgut menyatakan bahwa keempat setting ini membentuk suatu housing pattern alias pola perumahan. Menurut Ronald (2005) unsur spasial pada hunian terdiri dari: arah (orientation), tata letak (setting), tingkatan (hierarchy), keterbukaan (transparancy), dan besaran ruang (size).

Metode Penelitian

Metode kualitatif fenomenologi dipakai dalam penelitian ini karena peneliti sering melintasi lokasi penelitian dan melihat fenomena yang ada di lapangan. Dengan menggunakan metode kualitatif fenomenologi didiskripsikan segala fenomenologi secara murni apa adanya, tanpa ada manipulasi. Penelitian kualitatif ini cenderung lebih sensitif dan adaftif terhadap peran dengan berbagai pengaruh timbal-balik (Muhadjir, 2002). Peneliti mengumpulkan data penting secara terbuka terutama dimaksudkan untuk mengembangkan tema-tema dari data (Emzir, 2017).

Observasi, wawancara dan dokumentasi dilakukan dengan warga Banjar Umacandi untuk mendapatkan data pendukung penelitian ini. Untuk mendapatkan data tersebut di tetapkan 20 sample rumah dan narasumber dengan teknik purposive (bertujuan), yaitu memilih informan kunci yang mempunyai pengalaman berkaitan dengan terjadinya konversi religi dan mengetahui terjadinya perubahan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi. Kriteria rumah yang dijadikan sample adalah rumah warga yang telah melakukan konversi religi dari Hindu ke Kristen. Data yang didapat dari wawancara disajikan dalam bentuk tabel, grafik, peta dan gambar. Selanjutnya dilakukan pembahasan yaitu data dibahas dengan teori. Teori yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu: teori tata bangunan yang diungkapkan oleh Ronald (2005) yang meliputi tata letak, hierarchy, orientasi, teori dari Koenjoroningrat (1986) tentang 7 unsur kebudayaan, beberapa teori yang ada kaitannya dengan tata bangunan serta konsep Sanga Mandala. Pada penelitian ini menggunakan satuan waktu sebagai acuan dalam penelusuran suatu kronologis perkembangan tata bangunan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi Desa Buduk.

Hasil Dan Pembahasan

A.    Gambaran Umum Banjar Umacandi

Banjar Umacandi termasuk ke dalam wilayah Desa Buduk Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Provinsi Bali dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara Banjar Umategal, sebelah timur Desa Tuka, di sebelah selatan Banjar Umakepuh, dan di sebelah barat adalah sawah. Peta Banjar Umacandi dapat dilihat pada Gambar 1.

Sarana keagamaan yang terdapat di Banjar Umacandi Buduk yaitu pura sebanyak 4 buah yaitu: Pura Blongcatu, Pura Padonan, Pura Pande dan Pura Prajapati. Disini juga terdapat 1 buah gereja bagi umat Kristen Protestan yang dikenal dengan Gereja GKPB Efrata Buduk.

Gambar 1. Peta Banjar Umacandi

Sumber: Pencitraan Satelit, diakses Tgl.29-5-2018 pukul 17.30 Wita

  • B.    Penduduk dan Sosial Budaya Masyarakat

Golongan penduduk beragama Kristen (Katolik maupun Protestan) muncul di Banjar Umacandi setelah penjajah Belanda menguasai Bali kira-kira pada tahun 1930-an. Berdasarkan Monografi 2017 jumlah penduduk di Banjar Umacandi sebanyak 468 jiwa, terdiri dari 107 KK. Dari jumlah tersebut 80% beragama Kristen dan 20% beragama Hindu. Mata pencaharian penduduk Umacandi sebagian besar sebagai petani dan produsen kembang rampai yang bahannya dari daun pandan. Dari wawancara dengan I Nyoman Rustika yang berprofesi sebagai polisi dikatakan bahwa 90% warga Banjar Umacandi bekerja sebagai produsen kembang rampai, dan 75% lahan yang dimiliki ditanami pohon pandan. Hal serupa juga dikatakan oleh pemangku padonan. Mereka mengatakan bahwa hasil dari menanam pandan jauh lebih banyak dari hasil menanam padi.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Banjar Umacandi

Tahun

Jumlah Penduduk

JumlahKepala Keluarga

Hindu

Kristen Protestan

Kristen Katolik

2016

484 orang

106 orang

161

285

8

2017

486 orang

107 orang

286

286

8

2018

530 orang

110 orang

176

312

9

Sumber: Monografi Desa Buduk Tahun 2017

  • C.    Keadaan Tata Bangunan Sebelum dan sesudah Konversi Religi

Disini diuraikan tentang data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara sehinga didapat hasil mengenai keadaan rumah tradisional sebelum konversi religi dan setelah konversi religi. Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan dapat dihasilkan gambar peta rumah dan fasilitas umum yang ada sebelum konversi religi, dapat dilihat pada Gambar 2. Jenis rumah yang terdapat di Banjar Umacandi dapat dikelompokkan menjadi 4 dan beberapa fasilitas umum yaitu:

  • 1.    Rumah Penduduk asli yang beragama Hindu (arsiran miring kanan)

  • 2.    Rumah penduduk asli yang beragama Kristen (arsiran miring kiri)

  • 3.    Rumah penduduk pendatang (arsiran vertikal)

  • 4.    Rumah penduduk asli yang membuat rumah baru (arsiran horisontal)

  • 5.    Bangunan fasilitas umum seperti: balai banjar, Gereja, Pura (arsiran hexagonal).

Gambar 2. Peta Tata Bangunan Rumah Tradisional Bali di Banjar Umacandi Sebelum Konversi Religi Sumber: Hasil penelitian Tahun 2018

Pada peta terlihat semua rumah diarsir miring kanan yang artinya seluruh warga Banjar Umacandi beragama Hindu. Pada peta juga tidak terlihat adanya arsiran vertical maupun horisontal yang artinya belum adanya pengembangan pembangunan. Peta keadaan rumah warga setelah konversi religi dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar terlihat sebagian besar rumah diarsir miring kiri yang artinya rumah milik umat Kristen.

Gambar 3. Peta Tata Bangunan Rumah Tradisional Bali di Banjar Umacandi Setelah Konversi Religi Sumber: Hasil Penelitian Tahun 2018

Berdasarkan wawancara dengan I Nyoman Rustika dan ibunya Jro Mangku Istri Pura Blongcatu mengatakan bahwa warga Banjar Umacandi pada tahun 1930 rata-rata beragama Hindu dan memiliki rumah yang berisi: pemerajan (tempat suci), bangunan adat Bali (bale daje, bale delod), jineng, dapur, angkul-angkul (pintu masuk), natah dan teba. Hal serupa juga diungkapkan oleh I Made Musa (ex kepala dusun Banjar Umacandi). Dari hasil observasi dan wawancara dengan 20 orang warga Banjar Umacandi didapat data yang dituangkan dalam tabel. Data tersebut berupa jenis bangunan yang ada sebelum konversi religi dan setelah konversi religi. Data sebelum konversi religi dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 dan Tabel 3 dapat digambarkan dalam grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat perubahan pada rumah tradisional Bali yang dijadikan sample yaitu:

  • •  2 bangunan bertahan = 5 rumah

  • •  3 bangunan bertahan = 7 rumah

  • •  4 bangunan bertahan = 7 rumah

  • •  5 bangunan bertahan = 1 rumah

Selanjutnya berdasarkan 4 macam perubahan ini dipakai untuk mewakili 20 sample rumah yang akan dibahas selanjutnya

Tabel 2. Jenis Bangunan Sebelum Konversi Religi

No

Nama Pemilik Rumah

Angkul-angkul

Merajan

Bale Daje

Bale Delo d

Bale Dangin

Bale Dauh

Dapur

Jinemg

Natah

Teba

Perubahan

01.

I Wayan Herman

1

1

0

1

0

0

1

0

1

0

0

02.

Ni Luh Wardani

1

1

1

1

0

0

1

0

1

0

0

03.

Ellya Cahya

1

1

1

1

0

0

1

1

1

0

0

04.

I Gede Siaga

1

1

1

1

0

0

1

0

1

0

0

05.

Ni Ketut Jedeng

1

1

1

1

0

0

1

0

1

0

0

06.

I Made Ratmadi

1

1

1

1

0

0

1

1

1

1

0

07.

I Ketut Rewid

1

1

1

1

0

0

1

0

1

1

0

08.

Ni Wayan Abe

1

1

1

1

0

0

1

1

1

1

0

09.

I Made Suprapto

1

1

1

1

0

0

1

1

1

1

0

10.

I Nyoman Yahya

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

0

11.

I Made Epafras

1

1

1

1

1

1

1

0

1

0

0

12.

I Made Sender

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

0

13.

I Made Sunata

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

0

14.

I Made Sudarsana

1

1

1

1

0

0

1

1

1

0

0

15.

I Made Musa

1

1

0

0

0

0

1

0

1

0

0

16.

I Ketut Rupus

1

1

1

1

1

0

1

1

1

0

0

17.

Ibu Shanti

1

1

1

1

1

0

1

1

1

0

0

18.

Dr. I Made Nyandra

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

0

19.

I Made Darmanta

1

1

0

0

0

0

1

0

0

0

0

20.

I Nyoman Lukas

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

20

20

17

18

8

4

20

12

19

7

0

Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara Tgl.25-4-2018

Tabel 3. Jenis Bangunan Setelah Konversi Religi

No

Nama Pemilik Rumah

Angkul-angkul

Merajan

Bale Daje

Bale

Delo d

Bale Dangin

Bale Dauh

Dapur

Jinemg

Natah

Teba

Perubahan %

01.

I Wayan Herman

0

0

0

1

0

0

1

0

1

0

80

02.

Ni Luh Wardani

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

70

03.

Ellya Cahya

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

80

04.

I Gede Siaga

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

70

05.

Ni Ketut Jedeng

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

80

06.

I Made Ratmadi

0

0

0

0

0

0

1

1

1

1

60

07.

I Ketut Rewid

1

0

0

1

0

0

1

0

1

1

50

08.

Ni Wayan Abe

0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

70

09.

I Made Suprapto

1

0

0

0

0

0

1

0

1

1

60

10.

I Nyoman Yahya

1

0

0

0

0

0

1

0

1

1

60

11.

I Made Epafras

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

70

12.

I Made Sender

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

70

13.

I Made Sunata

1

0

0

0

0

0

1

1

1

0

60

14.

I Made Sudarsana

0

0

0

0

0

0

1

0

1

0

80

15.

I Made Musa

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

70

16.

I Ketut Rupus

1

1

0

0

0

0

1

0

1

0

60

17.

Ibu Shanti

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

70

18.

Dr. I Made Nyandra

1

0

0

0

0

0

1

1

1

1

60

19.

I Made Darmanta

1

0

0

0

0

0

0

0

1

0

80

20.

I Nyoman Lukas

1

0

0

0

0

0

0

1

1

1

60

14

1

0

1

0

0

18

4

20

6

Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara Tgl.25-4-2018


Gambar 4. Grafik Jenis Bangunan Sebelum Konversi Religi Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara Tgl. 25-4-2018

  • ■ ANGKUL-ANGKUL

    25


    20

    15

    10

    5

    0

    ■ MERAJAN

    ■ BALE DAJE

    ■ BALE DELOD

    ■ BALE DANGIN

    ■ BALE DAUH

    ■ DAPUR

    ■ JINENG

    ■ NATAH

    ■ TEBA

    JENIS BANGUNAN


Gambar 5. Grafik Jenis Bangunan Setelah Konversi Religi Sumber: hasil observasi dan wawancara tgl.25-4-2018

Rumah yang terdapat di Banjar Umacandi buduk sebelum konversi religi adalah rumah tradisional Bali. Rumah tradisional Bali adalah keseluruhan massa bangunan di dalam pekarangan yang dibatasi oleh panyengker karang di keempat sisinya (Runa, 2003). Penghubung antara ruang di dalam pekarangan dengan ruang luar adalah pamesuan. Pamesuan mempunyai pengertian ke luar dari tempat yang satu ke tempat yang lain, yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda (Saraswati, 2002). Salah satu pemesuan yang dimaksud adalah angkul-angkul.

C. Tata bangunan (Tata letak, Orientasi, Hierarchy)

Pembahasan tata bangunan dalam tulisan ini meliputi tata letak, orientasi dan hierarchy. Tata bangunan sebelum konversi religi dan sesudah konversi religi ditampilkan pada 4 sample rumah yang mewakili 20 sample. Pembahasan tata bangunan dibahas dengan teori tata letak, orientasi dan hierarchy serta konsep Sanga Mandala yang merupakan penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional Bali (Dwijendra, 2010).

  • Tata letak

Sample 1, Rumah Ni Ketut Jedeng (2 Bangunan bertahan). Sebelum konversi religi pada pekarangan ini terdiri dari 4 jenis bangunan, yaitu: merajan (tempat suci), bale daje, bale delod dan dapur. Pada saat itu pemilik rumah masih beragama Hindu. Mereka melakukan konversi religi sekitar tahun 1965. Keadaan tata bangunan sebelum tahun 1965 seperti terlihat pada Gambar 6.

Rumah tradisional Bali adalah salah satu manifestasi dari budaya dan tradisi-tradisi masyarakat Bali. Rumah tradisional Bali merefleksikan pengalaman-pengalaman umum dari masa lalu dan pewarisan aspek-aspek budaya. Hal ini dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan identitas budaya (Derek & Japha, 1991; Hall, 1990). Identitas ini mengekspresikan kesamaan tradisi dan budaya diantara anggota masyarakatnya dan mengungkapkan perbedaan dengan yang bukan anggotanya (Dwijendra, 2016). Pernyataan tersebut terlihat pada rumah I ketut Jedeng setelah keluarga ini melakukan konversi religi.

Gambar 6. Rumah Ni Ketut Jedeng Kondisi Awal Sebelum Tahun 1965 Sumber: Hasil Wawancara Tgl. 25-4-2018


Gambar 7. Rumah Ni Ketut Jedeng Kondisi Setelah Tahun 1965

Sumber: Hasil Observasi Tgl. 25-4-2018


Pada Gambar 6 terlihat bangunan tempat suci terletak pada arah timur laut, bale delod terletak di Selatan, bale daje terletak di utara dan dapur terletak di barat daya. Setelah melakukan konversi religi mereka mengosongkan bangunan merajan/ tempat suci dan mereka membangun bangunan baru sesuai kebutuhan dan kemampuan ekonomi mereka. Bangunan baru ada yang lengkap berisi ruang tamu, ruang tidur dan dapur. Ada pula penambahan bangunan untuk usaha yaitu warung bahan makanan. Perubahan tata letak bangunan dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada Gambar 8 terlihat perubahan dilakukan pada bangunan bale delod yang sebelumnya berfungsi sebagai bale adat yaitu untuk melakukan kegiatan adat yang biasa dilakukan oleh keluarga ini sebelum konversi religi. Setelah konversi religi bangunan bale delod tidak diperlukan lagi dan direnovasi menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai tempat tidur dan ruang tamu. Bale daje juga direnovasi menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai ruang tidur. Ada pula penambahan bangunan baru ke arah timur yang berfungsi sebagai ruang tidur, dan penambahan bangunan baru kearah barat yang berfungsi sebagai ruang tidur. Pola pengembangan bangunan tidak lagi berdasarkan asta kosala kosali. Bangunan dibangun sesuai dengan kebutuhan akan ruang. Bangunan baru dibangun pada

areal yang masih ada di pekarangan dan tidak berdasarkan tata nilai sebuah area yang diyakini sebelumnya.

Sample 2, Rumah I Gede Siaga (3 bangunan bertahan). Rumah I Gede Siaga pada awalnya seperti terlihat pada Gambar 8. Di dalam pekarangan berisi: tempat suci, bangunan ruang tidur 3 buah, dapur dan kamar mandi/wc, ditengah terdapat natah, dan terdapat pintu masuk berupa angkul-angkul. Tempat suci terletak di timur laut, bale daje dan tempat tidur terletak di utara, bale delod terletak di selatan, dapur dan km/wc terletak di barat daya, angkul-angkul terletak di timur. Keluarga ini mengalami konversi religi dari Hindu ke Kristen pada tahun 1965 yang mengakibatkan perubahan tata bangunan. Bangunan tempat suci tidak diperlukan, bale delod berubah menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai ruang tidur. Perubahan dilakukan berdasarkan fungsi bangunan.. Bale delod tidak diperlukan lagi karena kegiatan adat seperti upacara keagamaan tidak lagi dilakukan. Bale daje dirubah menjadi bangunan modern dengan dimensi lebih besar yang berfungsi sebagai ruang tidur. Hal ini karena adanya pertambahan jumlah penghuni rumah. Pada pekarangan bagian barat terdapat bangunan khas Bali yaitu bale bengong tempat untuk bersantai. Pintu masuk pekarangan (angkul-angkul) tetap ada, ditambah dengan adanya garase di sebelah selatan. Keadaan tata bangunan saat ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8. Tata Bangunan Rumah I Gede Siaga Kondisi awal sebelum 1965

Sumber: Hasil Wawancara Tgl. 25-4-2018



Gambar 9. Tata Bangunan Rumah

I Gede Siaga

Kondisi Setelah Konversi Religi

Sumber: Hasil observasi Tgl. 25-4-2018

Sample 3, Rumah I Made Ratmadi ( 4 bangunan bertahan). Rumah I Made Ratmadi pada awalnya terdiri dari: tempat suci/ merajan. Bale daje, bale delod. Jineng, dapur, dan teba. Tata bangunan sebelum konversi religi dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar 10 terlihat bangunan tempat suci terletak di timur laut, bale delod letaknya di selatan, bale daje letaknya di utara, jineng letaknya di tenggara dan dapur di barat daya, angkul-angkul/ pintu gerbang terletak di barat.

Pada tahun 1965 keluarga ini melakukan konversi religi dari Hindu ke Kristen. Setelah konversi religi tata letak bangunan ada yang berubah dan ada yang tetap masih seperti semula namun bangunan mengalami perubahan yaitu dimensinya lebih besar dari sebelumnya dan

ada pengurangan dan penambahan jumlah bangunan. Pengurangan terjadi yaitu tempat suci dihilangkan. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ekonomi keluarga maka dilakukan pembangunan bangunan baru yang lebih besar. Pengembangan bangunan baru ke area tempat suci. Bangunan bale daje dan bale delod juga direnovasi untuk memenuhi kebutuhan ruang tidur. Bangunan bale delod dirubah menjadi bangunan modern yang berisi ruang tamu, ruang tidur dan dapur. Terdapat pula bangunan untuk kegiatan usaha yaitu gudang pandan dan tempat membuat kembang rampai. Terdapat juga bangunan baru berupa bale bengong dan garase. Pintu gerbang rumah ini berbentuk angkul-angkul. Tata letak bangunan rumah setelah konversi religi dapat dilihat pada Gambar 11. Pada gambar terlihat bangunan lama seperti jineng tetap dipertahankan.



Gambar 10. Rumah I Made Ratmadi


Kondisi Awal Sebelum Tahun 1965 Sumber: Hasil Wawancara Tgl.25-4-2018


Gambar 11. Rumah I Made Ratmadi

Kondisi Setelah Tahun 1965

Sumber: Hasil Observasi Tgl.25-4-2018


Sample 4, Rumah I Ketut Rewid (4 bangunan bertahan). I Ketut Rewid pada mulanya beragama Hindu dan memiliki rumah tradisional Bali yang berisi: merajan, bale delod, bale daje dan dapur. Merajan letaknya di timur, bale daje letaknya di utara, bale delod letaknya di selatan, dapur letaknya di barat daya dan angkul-angkul letaknya di timur. Sketsa rumah sebelum konversi religi dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Rumah I Ketut Rewid Kondisi Awal Sebelum Tahun 1965 Sumber: Hasil Wawancara Tgl. 25-4-2018


Gambar 13. Rumah I Ketut Rewid Kondisi Setelah Tahun 1965

Sumber: Hasil Observasi Tgl. 25-4-2018


Pada saat itu keluarga ini melakukan aktivitas sebagai umat hindu yang melakukan upacara keagamaan pada bangunan adat yaitu bale delod. Keluarga I Ketut Rewid melakukan konversi religi dari Hindu ke Kristen sekitar tahun 1965. Setelah itu merajan yang terdapat pada rumahnya diginggsir (dipindahkan secara agama Hindu) ke desa Semanik oleh keluaganya. Setelah I Ketut Rewid menikah maka pekarangan dibagi menjadi 2, dan I Ketut Rewid menempati area sebelah utara. Setelah melakukan konversi religi, area suci (utamaning utama) tidak diyakini lagi. Saat ini area merajan sudah dijadikan toko untuk berjualan bahan makanan. Ada penambahan jumlah bangunan seperti adanya bangunan baru dan garase. Denah perubahan tata bangunan dapat dilihat pada Gambar 13.

  •    Hierarchy

Hierarchy dalam hal ini adalah tingkatan tata nilai sebuah area pada bangunan tradisional Bali. Disini akan ditinjau dengan konsep Sanga Mandala yaitu pembagian area bangunan menjadi 9 yang terdiri dari utamaning utama, utamaning madya, utamaning nista, madyaning utama, madyaning madya, madyaning nista, nistaning utama, nistaning madya dan nistaning nista.

Tata bangunan rumah Ni Ketut Jedeng sebelum konversi religi yaitu tempat suci berada pada area utama mandala yaitu area yang paling utama yang mempunyai nilai kesucian paling tinggi dilihat dari keyakinan umat Hindu. Bale daje terletak pada area madyaning utama, bale delod terletak diarea madyaning nista. Kedua bangunan ini terletak di area madya/ tengah dan dapur berada di area nistaning nista. Tata nilai area ditinjau dari konsep Sanga Mandala dapat dilihat pada Gambar 6. Setelah konversi religi area tempat suci dikosongkan. Bangunan bale daje dirombak menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai ruang tidur. Bangunan bale delod juga direnovasi menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang tidur. Bangunan dapur tetap posisinya di barat daya namun sudah direnovasi menjadi dapur modern. Terdapat juga penambahan bangunan di arah timur yaitu adanya warung yang berfungsi sebagai tempat berjualan bahan makanan. Perluasan bangunan tidak berdasarkan konsep sanga mandala.

Tata bangunan rumah I Gede Siaga sebelum konversi religi sesuai dengan konsep sanga mandala yaitu: tempat suci berada di area utamaning utama, bale daje berada di area madyaning utama, bale delod berada di area nistaning madya, dapur berada di area nistaning nista. Tata bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Setelah konversi religi dilakukan, keyakinan akan tata nilai area tempat suci ikut berubah setelah memeluk agam Kristen. Perubahan terjadi pada tata bangunan rumah I Gede Siaga, bangunan tempat suci tidak ada lagi, dan bangunan tempat tidur diperluas kearah area tempat suci. Dapur dan kamar mandi/wc tetap ada namun mengalami perluasan dan ditambah adanya tempat tidur disebelah dapur. Hal ini karena adanya pertambahan jumlah penghuni rumah. Pada natah terdapat bangunan khas Bali yaitu bale bengong tempat untuk bersantai. Pintu masuk pekarangan (angkul-angkul) tetap ada, ditambah dengan adanya garase. Bale delod tidak ada lagi, dan berubah menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai ruang tidur. Pintu gerbang saat ini berbentuk angkul-angkul. Keadaan tata bangunan saat ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Tata bangunan rumah I Made Ratmadi sebelum konversi religi masih memakai konsep Sanga Mandala seperti terlihat pada gambar 10. Pemerajan terletak pada area utamaning utama, yaitu area yang bernilai paling suci. Bale daja dan bale delod terletak di area madya mandala dan dapur terletak di area nista mandala. Setelah konversi religi tata nilai area pekarangan tidak diyakini lagi. Bangunan tradisional Bali yang ada sebelumnya direnovasi menjadi bangunan modern. Tempat suci tidak diperlukan lagi. Area tempat suci dibangun bangunan baru yang berfungsi sebagai tempat usaha yaitu produksi kembang rampai yang memakai bahan daun pandan. Bangunan tempat tidur juga diperluas kearah timur, kearah bekas area tempat suci. Dapur berada pada bangunan baru yang letaknya di tenggara. Hal ini bertentangan dengan konsep sanga mandala dimana dapur berada pada arah barat daya.

Tata bangunan rumah I Ketut Rewid, pada awalnya mengikuti konsep Sanga Mandala yaitu: merajan berada di area utamaning utama, bale daje berada di area madyaning madya, bale delod berada di area madyaning nista dan dapur berada di area nistaning nista. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar 12. Setelah konversi religi tempat suci tidak diperlukan lagi dan di area tersebut dibangun bangunan modern berlantai 2. Bangunan ini berfungsi sebagai toko makanan. Hal ini berarti keluarga ini tidak meyakini adanya tata nilai pada pekarangan rumahnya. Bangunan bale daje berubah menjadi bale delod karena posisinya diselatan namun fungsinya sebagai tempat tidur.

  •    Orientasi

Orientasi bangunan-bangunan yang ada pada pekarangan sample 1, sample 2 dan sample 3 dan sample 4 sebelum konversi religi adalah pada natah. Natah adalah halaman yang letaknya ditengah-tengah pekarangan yang merupakan poros pekarangan rumah tradisional Bali. Natah juga tempat sirkulasi menuju bangunan-bangunan yang ada di pekarangan. Bangunan bale daje, bale delod, dan dapur berorientasi pada natah. Sedangkan tempat suci berorientasi pada matahari terbit dan gunung. Posisi gunung yang ada di Bali adalah di utara dari rumah ini sehingga tempat suci berorientasi pada arah utara dan timur atau dalam bahasa Bali disebut arah kaja kangin.

Setelah konversi religi dilakukan bangunan-bangunan pada pekarangan sample 1, sample 2 dan sample 3 tetap berorientasi pada halaman tengah. Sedangkan sample 4 bangunan-bangunan pada pekarangannya ada yang berorientasi pada natah ada pula yang menghadap ke jalan.

Pembahasan keempat sample diatas memperlihatkan tata bangunan setelah konversi religi tidak mencerminkan konsep Sanga Mandala. Teori yang diungkapkan oleh Koentjoroningrat (1986) tentang tujuh unsur kebudayaan bahwa religi mampu mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan yang ada dibawahnya tidak sepenuhnya terjadi pada tata bangunan rumah tradisional yang ada di Banjar Umacandi. Ada bangunan angkul-angkul yang tetap bertahan pada rumah warga dan orientasi bangunan sebagian besar kearah halaman tengah. Teori yang diungkapkan oleh Jacobus (2014) bahwa sangat sulit merubah suatu kebudayaan memang benar adanya. Kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun masih tetap dipertahankan keberadaannya.

Teori yang diungkapkan oleh Rapoport (1969) bahwa rumah tradisional terbentuk dari adat kebiasaan yang turun-temurun memang benar, hal itu. yang terjadi di Banjar Umacandi pada

jaman sebelum konversi religi. Disini terdapat rumah tradisional Bali, namun sekarang setelah warga melakukan konversi religi menyebabkan adat istiadat berubah sehingga ada beberapa bangunan tidak diperlukan lagi. Tata nilai pada pekarangan tidak diyakini lagi. Rumah tradisional Bali yang berdasarkan konsep sanga mandala tidak ada lagi pada pekarangan umat Kristen. Rumah tradisional beserta tradisi-tradisi adalah saling berkaitan dan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sebuah bangunan vernacular, rumah dan kawasan permukiman dapat dilihat sebagai sebuah persimpangan dari “The inheritance of property and the heritage of traditions” (Lozanovska, 2011). Pernyataan tersebut hanya ada pada rumah tradisional Bali sebelum konversi religi. Setelah Konversi religi keadaan banyak berubah, perilaku warga berubah, aktivitas berubah, bangunan berubah dan tata bangunan beradaptasi dengan keyakinan baru.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh konversi religi pada tata bangunan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:

  • 1.    Keadaan rumah tradisional Bali di Banjar Umacandi sebelum konversi religi rata-rata terdiri dari: pemesuan, merajan, bale daje, bale delod, bale dauh, bale dangin, dapur, jineng, natah dan teba. Penduduk di Banjar Umacandi sebelum tahun 1930 semua beragama Hindu. Pada saat itu tata bangunan berpedoman pada konsep sanga mandala yang mempunyai 9 tata nilai pada masing-masing area bangunan yaitu utamaning utama, utamaning madya, utamaning nista, madyaning utama, madyaning madya, madyaning nista, nistaning utama, nistaning madya dan nistaning nista. Semua bangunan berorientasi pada natah atau halaman tengah. Tempat suci terletak pada area yang mempunyai nilai paling utama yaitu di arah Utara dan timur atau Timur Laut, yang berorientasi pada matahari terbit dan gunung. Dapur terletak pada arah Barat daya yang mempunyai nilai nistaning nista.

  • 2.    Keadaan rumah tradisional Bali setelah konversi religi beradaptasi dengan keyakinan baru. Perubahan terjadi pada tata bangunan, namun ada satu hal yang masih dipertahankan oleh warga yaitu adanya pemesuan berupa angkul-angkul di masing-masing rumah warga. Ditinjau dari tata bangunan pada pekarangan umat Kristen tidak ada merajan/ tempat suci, bale adat (bale delod, bale dauh, bale dangin). Tata letak bangunan berubah dan tidak berdasarkan konsep sanga mandala. Bekas area merajan dibangun bangunan modern yang berfungsi sebagai ruang tidur, ada yang dibangun toko, dan ada pula yang dikosongkan dijadikan kebun. Tidak adanya keyakinan akan tata nilai kesucian sebuah area (hierarchy) pada warga yang sudah melakukan konversi religi. Orientasi bangunan sebagian besar kearah halaman tengah setelah konversi religi.

  • 3.    Teori yang dikemukakan oleh Koentjoroningrat (1986) bahwa religi dapat merubah unsur-unsur yang ada dibawahnya tidak seluruhnya benar. Unsur kebudayaan yang ada di bawah religi salah satunya adalah kesenian yang menyangkut arsitektur. Meskipun terjadi konversi religi namun bangunan arsitektur tradisional Bali di Banjar Umacandi tetap dipertahankan, salah satunya adalah angkul-angkul.

Daftar Pustaka

Daradjad, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Derek & Japha, V. (1991). Identity Through Detail: An Architecture and Cultural aspiration in Montagu (Vol. II). South Africa: TDSR.

Dwijendra, N. K. A. (2003). Perumahan Permukiman Tradisional Bali. Denpasar: Universitas Udayana.

Dwijendra, N. K. A. (2010). Arsitektur Rumah Tradisional Bali di Ranah Publik. Denpasar: Universitas Udayana

Dwijendra, N. K. A. (2016). Transformasi Rumah Tradisional di Desa Pakraman Gunung Sari, Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Denpasar: Universitas Udayana.

Gelebet, I. N. (2002). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata.

Hall, S. (1990). Cultural identity and diaspora. London: Lawrence and Wishart.

Heinrich, M. (1977). Change Of Heart : Test of Some Widely Held Theories About Religious

Conversation. American Journal Of Sociology, 83, 667.

Hendropuspito, D. (1983). Sosiologi Agama. Jakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.

Hendropuspito, D. (1984). Sosiologi Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta.

Hobart, A., Ramseyer, U & Leemann, A (2001). The people of Bali. Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd.

Jacobus. (2014). Perubahan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Koentjaraningrat. (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Laksmi, N. K. P. A. (2008). Integrasi Kebudayaan dalam Kehidupan Beragama Dan Implikasinya. Denpasar: Wedatama Widya Sastra.

Lozanovska, M. (2011). Holy days after migration. Barecelos: Green Lines Instituto.

Monografi, D. B. (2017). Monografi Desa Buduk.

Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. University of Winconsin-Milwaukee: Pergamon Press.

Ronald, A. (2005). Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Runa, I. W. (2003). Sistem Spasial Rumah Tinggal Desa Pegunungan di Bali dalam Perspektif Sosial Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Saraswati, A. A. O. (2002). Pemesuan. Denpasar: Universitas Udayana.

Turgut, H. (2001). Culture, Continuity and Change: Structural Analysis of Housing Pattern in Squatter Settlement dalam Agusintadewi,N. K. (2016). Menguak Tradisi Masyarakat Desa Bali Aga di Kabupaten Sekardadi dalam Jelajah Arsitektur. Denpasar: Universitas Udayana.

Ucapan Terimakasih

Dalam kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada, Ibu Dr., Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri dan Ibu Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD atas bimbingan, nasehat dan kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan jurnal ini. Terimakasih pula kepada Dr. Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ST., MA. dan Dr. Eng. I Wayan Kastawan ST., MA., yang telah membimbing dalam penyelesaian jurnal ini.

Lampiran Daftar istilah

Angkul-angkul   : Bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai pintu gerbang.

Bale Daja        : Bangunan tradisional Bali yang posisinya terletak di bagian Utara dari

lahan hunian, yang memiliki fungsi sebagai ruang tidur orang tua (yang dituakan) dalam keluarga.

Bale Dangin

: Bangunan tradisional Bali yang posisinya terletak di bagian Timur dari lahan hunian, yang memiliki fungsi sebagai tempat upacara.

Bale Delod

: Bangunan tradisional Bali yang posisinya terletak di bagian Selatan dari lahan hunian, yang memiliki fungsi sebagai tempat upacara dan kegiatan adat.

Bale Dauh

: Bangunan tradisional Bali yang posisinya terletak di bagian Barat dari lahan hunian, yang memiliki fungsi sebagai tempat melakukan kegiatan sehari-hari.

Jineng

: Bangunan tradisional Bali yang fungsinya sebagai tempat untuk menyimpan padi.

Natah

Sanga Mandala

: Halaman tengah dalam rumah tradisional Bali.

: Konsep arsitektur tradisional Bali yang berdasarkan atas 8 orientasi arah mata angin dan sebuah titik focus (sumbu).

Pamesuan Pemerajan Spasial setting Teba Pekarangan

: Pintu gerbang

: Tempat suci bagi umat hindu yang terletak di pekarangan rumah.

: Pengaturan/ tata ruang

: Halaman belakang dalam rumah tradisional Bali.

: Areal tanah yang menjadi bagian tak terpisahkan dengan bangunan yang kepemilikannya dalam satu persil.

36      SPACE - VOLUME 6, NO.1, APRIL 2019