RUANG


SPACE


KONSEP KERUANGAN PADA PERMUKIMAN INTI DESA PAKRAMAN GUNUNGSARI

Oleh: Gusti Ayu Cantika Putri1

Abstract

This article discusses the strategic plan for Gunungsari Village. As a desa wisata (village (community)-based tourism), the intention is to guide the industry while conserving the social, cultural, and spatial environments. It is based on a research study that employed qualitative method and naturalistic paradigm. Data collection was carried out through physical observations, interviews, and study to relevant literatures. Result of this study proposes the implementation of a community based economy by conserving the existence of Gunungsari agricultural land and the full engagement of its community members in the process. It is also underlined the need to isolate tourism related activities to a specific zone. This is to isolate damaging impacts of tourism on local resources. This strategy also anticipates a possibility in which the industry is participated by investors who inevitably come with less/no intention to protect local culture, social interactions, and space. This is a pivotal aspect of the strategic plan, since Gunungsari has been well-known for its natural beauties decorated by beautifully laid paddy fields and resourceful water springs everywhere.

Keywords: desa wisata, strategic plan, economic development

Abstrak

Artikel ini mendiskusikan tentang pembangunan rencana strategis untuk Desa Pakraman Gunungsari. Sebagai salah satu desa wisata, tujuannya adalah penyusunan panduan bagi pembangunan industri kepariwisataan, yang pada saat yang sama, melestarikan tatanan sosial, budaya dan keruangan yang dimiliki Desa Gunungsari. Keberadaan tulisan ini didasari oleh sebuah penelitian yang menerapkan metode riset kualitatif dan paradigma naturalistik. Proses pencarian data dilaksanakan melalui pelaksanaan observasi lapangan, interview terhadap para responden yang potensial dan kajian terhadap literatur. Hasil studi memproposisikan bahwa, diperlukan penerapan ekonomi berbasis masyarakat melalui pelestarian lahan pertanian dan keterlibatan penuh anggota masyarakat di dalam prosesnya. Di sini juga digarisbawahi bahwa dibutuhkan proses pengisolasian terhadap kegiatan-kegiatan yang dimunculkan dengan oleh dibangunya industri kepariwisataan. Saran ini dipandang fundamental penerapannya dalam rangka mengisolasi dampak yang tidak diinginkan dari pembangunan ekonomi ini. Dan ini juga untuk mengantisipasi keadaan ketika pariwisata dipartisipasi oleh para pemilik modal yang menaruh perhatian yang minim (atau bahkan nol) terhadap keberlangsungan interaksi sosial, budaya dan sumber daya fisik lokal yang ada. Semua ini merupakan aspek penting dari rencana strategis yang seyogyanya dibangun, mengingat Desa Gunungsari merupakan komunitas yang sudah dikenal baik dengan kecantikan alamnya, yang dihiasi oleh hamparan padi serta beragam sumber air yang bermanfaat.

Kata Kunci: desa wisata, rencana strategis, pembangunan ekonomi

1


Pendahuluan

Bali merupakan pulau yang memiliki alam dan budaya masyarakat dengan keunikan tiada duanya di dunia. Bali memiliki pantai dan pegunungan yang indah, sungai dan tebing yang menjadi suatu tempat wisata alam. Bali juga memiliki lembah hijau yang diolah oleh para petani dengan subak sebagai sistem irigasinya menjadi sebuah persawahan yang indah, yang mana dapat menghasilkan pangan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Bali memiliki permukiman tradisional yang unik dan sarat akan budaya menjadi sebuah inspirasi kehidupan yang dapat menciptakan keselarasan.

Kabupaten Tabanan dikenal sebagai wilayah agraris di Bali, karena sektor pertanian merupakan potensi unggulannya. Penggunaan lahan wilayah Kabupaten Tabanan masih didominasi dengan lahan pertanian. Keindahan lahan pertanian berupa sawah-sawah terasering dan cara pengolahan pertanian secara tradisional menjadi suatu daya tarik wisatawan yang berkunjung. Desa Jatiluwih merupakan salah satu desa tradisional Bali di Kabupaten Tabanan yang memiliki persawahan terasering yang indah dengan subak sebagai metode pengairan tradisionalnya.

Desa Jatiluwih merupakan desa tradisional Bali yang terdiri dari dua desa pakraman, yaitu Desa Pakraman Jatiluwih dan Desa Pakraman Gunungsari. Penetapan Desa Jatiluwih sebagai World Cultural Heritage atau Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun 2012 mengakibatkan peningkatan kunjungan wisatawan ke desa ini. Hal ini dikarenakan wisatawan ingin melihat, merasakan dan menikmati langsung keberadaan sistem subak sebagai sistem pengairan tradisional yang berkelanjutan untuk lingkungan. Peningkatan kunjungan wisatawan ini menyebabkan peningkatan perekonomian masyarakat dan upaya dalam peningkatan perekonomiannya. Berkembangnya pariwisata di Desa Jatiluwih juga menyebabkan desa ini menjadi sasaran dalam pengembangan investasi pada bidang pariwisata. Tanpa adanya pengendalian dan pengawasan desa ini dapat berubah seperti kawasan desa tradisional di Bali yang kurang memperhatikan kelestarian budayanya.

Desa Pakraman Gunungsari adalah suatu desa adat yang merupakan bagian dari Desa Jatiluwih. Menurut sejarah Desa Jatiluwih, Desa Pakraman Gunungsari merupakan awal mula terbentuknya Desa Jatiluwih dengan kata lain desa ini merupakan desa pakraman tertua di Desa Jatiluwih. Desa yang merupakan cikal bakal terbentuknya Desa Jatiluwih ini mulai terbentuk pada 1072 masehi melalui perjalanan pendeta Ida Rsi Cakra. Desa Pakraman Gunungsari terdiri dari tiga banjar, yaitu Banjar Gunungsari Desa, Banjar Gunungsari Umakayu dan Banjar Gunungsari Kelod. Desa ini memiliki pola permukiman tradisional Bali yang masih cukup terjaga kelestariannya. Desa Pakraman Gunungsari terletak wilayah pada bagian utara Desa Jatiluwih. Desa ini memiliki luas wilayah 215 ha, yang terdiri dari wilayah petegalan 116 ha, sawah 75 ha, dan permukiman 26 ha. Desa ini memiliki hamparan sawah yang indah sehingga menjadi suatu daya tarik wisata. Selain itu, Desa Pakraman Gunungsari juga memiliki sungai, mata air dan air terjun yang masih sangat alami. Terdapat dua potensi wisata air terjun, yaitu Air Terjun Giri Kusuma, dan Air Terjun Umakayu, kedua air terjun tersebut merupakan sumber air yang potensial untuk mengairi subak di desa ini, selain itu air terjun ini juga dapat menjadi potensi wisata yang dapat dikembangkan.

Desa Pakraman Gunungsari memiliki pola awal permukiman menyebar, dan kemudian terbentuk suatu kawasan permukiman inti dengan pola mengelompok. Pola permukiman menyebar masih terlihat pada permukiman Gunungsari Umakayu dan sebagian Gunungsari Desa dan Gunungsari Kelod yang terletak diluar wilayah permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari dilandasi dengan konsepsi Tri Hita Karana. Kawasan permukiman inti di desa ini terdiri dari Banjar Gunungsari Desa dan Banjar Gunungsari Kelod. Kawasan permukiman inti di Desa Pakraman Gunungsari terdapat 30 rumah tinggal yang terdiri dari 223 kepala keluarga. Permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari menerapkan konsep ruang Tri Mandala yang membagi ruang sesuai dengan hirarki dan fungsinya, dapat terlihat dari pola permukiman yang serasi dan harmonis sesuai dengan tata nilai ruangnya. Selain itu permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari juga menerapkan konsep Hulu-Teben sebagai tata nilai orientasi dalam mencapai keselarasan antara Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Perkembangan jumlah penduduk dan adanya keterbatasan luasan lahan perumahan pada permukiman inti di desa ini dapat menyebabkan sebagian masyarakat pada permukiman inti untuk memperluas lahan perumahan ataupun membangun perumahan atau tempat tinggal diluar kawasan permukiman inti. Sedangkan perkembangan pariwisata di desa ini juga dapat mengakibatkan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang berdampak pada kelestarian konsep ruang di permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari.

Gambar 1. Wilayah Desa Pakraman Gunungsari Sumber: Google Earth dimodifikasi, 2017

Konsepsi Tri Hita Karana

Kebudayaan tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan tingkah laku dilandasi oleh agama Hindu dengan tiga aspek dasar, yaitu; Tatwa (filsafat), Susila (etika), dan Upacara

(ritual). Kebudayaan ini merupakan perwujudan dalam pencapaian hubungan yang harmonis antara manusia (Bhuana Alit) dengan Tuhan (Bhuana Agung), yang kemudian melahirkan konsepsi Tri Hita Karana. Konsepsi Tri Hita Karana mengatur keseimbangan antara manusia sebagai Bhuana Alit dengan alam semesta (makrokosmos) sebagai Bhuana Agung. Tri Hita Karana memiliki makna Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran, gembira, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab atau sumber. Jadi Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi: (1) Atma (Roh/jiwa), (2) Prana (Tenaga), (3) Angga (Jasad/fisik). Konsepsi Tri Hita Karana dalam pola ruang dan pola permukiman tradisional, yaitu: (1) Parahyangan atau Khayangan Tiga sebagai unsur Atma, (2) Krama atau masyarakat sebagai unsur Prana, (3) Palemahan atau tanah sebagai unsur Angga.

Konsepsi Tri Hita Karana dalam aspek pengaturan keseimbangan manusia dengan alam, tersusun dalam susunan Angga yang kemudian menurunkan konsep ruang yaitu Tri Angga. Tri Angga memiliki arti Tri berarti tiga, dan Angga berarti badan, sehingga Tri Angga menekankan pada tiga nilai fisik, yaitu: (1) Utama Angga (kepala), (2) Madya Angga (badan), (3) Nista Angga (kaki). Dalam Bhuana Agung konsepsi Tri Angga sering disebut Tri Loka didasarkan secara vertikal atau Tri Mandala yang didasarkan secara horizontal. Pembagian Tri Loka, yaitu Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (surga). Penilaian ketiga hal tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai Utama terletak di bagian teratas (sakral), Madya sebagai posisi tengah, dan Nista sebagai posisi terendah atau kotor. Konsep Tri Mandala menekankan pada tiga nilai fisik secara horizontal yaitu : Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Dalam Bhuana Agung, pembagian ini disebut dalam skala wilayah di Bali yaitu gunung memiliki nilai Utama, dataran memiliki nilai Madya, dan lautan memiliki nilai Nista. Kemudian dalam skala permukiman bali dapat dijabarkan Kahyangan Tiga (Utama), permukiman penduduk (Madya), dan kuburan (Nista). Berikut Penjabaran konsepsi Tri Hita Karana dalam susunan kosmos pada Tabel 1, dan Konsep Tri Mandala dalam susunan kosmos pada Tabel 2.

Tabel 1. Konsepsi Tri Hita Karana dalam Susunan Kosmos

Susunan

Atma (Jiwa/roh)

Prana (Tenaga)

Angga (Fisik)

Alam

Paramatman (Tuhan

Tenaga (yang

Unsur-unsur

Semesta

Yang Maha Esa)

menggerakan alam)

anca  a a

Bhuta

Desa

Kahyangan Tiga

Pawongan (krama

Palemahan

(pura desa)

desa)

(wilayah Desa)

Banjar

Parhyangan (pura

Pawongan (krama

Palemahan

banjar)

banjar)

(wilayah banjar)

Rumah

Sanggah

Penghuni rumah

Pekarangan rumah

Manusia

Atman

Prana(tenaga,

Angga (badan

sabda, bayu, idep)

manusia)

Sumber: Dwijendra, 2009

Tabel 2. Konsep Tri Mandala dalam Susunan Kosmos

Susunan

Utama Madala

Madya Madala

Nista Madala

Alam Semesta

Swah Loka

Bhuah Loka

Bhur Loka

Wilayah

Gunung

Dataran

Laut

Permukiman/Desa

Kahyangan Tiga

Permukiman

Kuburan

Rumah Tinggal

Sanggah

Tegak Umah

Tebe

Bangunan

Atap

Kolom/dinding

Lantai

Manusia

Kepala

Badan

Kaki

Masa/Waktu

Watamana

Nagata

Atita

Sumber: Dwijendra, 2009

Konsep Tri Mandala juga memiliki tata nilai yang berkaitan dengan orientasi yang disebut konsep Hulu-Teben. Konsep Hulu-Teben merupakan pedoman tata nilai dalam mencapai keselarasan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Konsep Hulu-Teben memiliki orientasi, antara lain:

  • 1.    Orientasi berdasarkan Konsep Sumbu Ritual, Kangin-Kauh.

Kangin (matahari terbit) sebagai nilai Utama.

Kauh (matahari terbenam) sebagai nilai Nista.

  • 2.    Orientasi berdasarkan Konsep Sumbu Bumi, Kaja-Kelod.

Kaja (ke arah gunung) sebagai nilai Utama.

Kelod (kearah laut) sebagai nilai Nista.

  • 3.    Orientasi berdasarkan konsep Akasa-Pertiwi, Atas-Bawah.

Alam Atas-Akasa, sebagai Purusa.

Alam Bawah-Pertiwi, sebagai Pradana.

Konsep Hulu-Teben merupakan konsep tata nilai warisan leluhur orang Bali pegunungan pada masa yang lalu dan hingga saat ini diaplikasikan pada pengaturan desa adat sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Pada desa adat Bali pegunungan menempatkan zona sakral atau suci dengan tata nilai Utama pada arah gunung sebagai kaja dan Hulu desa, sedangkan tata nilai Nista atau rendah pada arah laut atau lawan dari arah gunung sebagai kelod dan Teben desa. Pada desa adat Bali dataran menerapkan konsep Hulu-Teben berdasarkan arah gunung dan laut sebagai Hulu dan Tebennya, selain itu pada desa adat Bali dataran juga menempatkan zona Hulu pada arah matahari terbit sebagai kangin dengan nilai Utama, dan zona Teben pada arah matahari tenggelam (Gelebet, 1982).

Pura Khayangan Tiga merupakan tiga tempat suci yang digunakan sebagai indikator religius keberadaan sebuah desa adat di Bali. Pura Khayangan Tiga ini terdiri dari:

  • 1.    Pura Desa sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma yang merupakan manifestasi Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Pura Desa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pura Bale Agung ditempatkan pada zona Hulu desa (Parimin, 1986).

  • 2.    Pura Puseh ditempatkan di zona Hulu desa, sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu yang merupakan manifestasi Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta.

  • 3.    Pura Dalem, ditempatkan pada zona Teben sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa dalam manifestasinya sebagai pelebur alam semesta. Keberadaan Pura Dalem dalam desa adat selalu dilengkapi dengan Prajapati dan Setra desa adat.

Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pengembangan desa wisata merupakan salah satu pengembangan pariwisata yang berpihak pada masyarakat dan ramah terhadap lingkungan. Adanya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan dapat terjadinya pemerataan perekonomian pada masyarakat. Pengembangan desa wisata dapat menjaga kelestarian budaya dikarenakan adanya pengembangan desa wisata menyebabkan meningkatnya nilai suatu budaya pada desa sehingga masyarakat lebih baik menjaga budaya desa tersebut daripada mengubah atau merusaknya (Ardika, 2007). Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang diuraikan dalam struktur kehidupan masyarakat dan dengan tata cara serta tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1992). Terdapat lima komponen dalam suatu desa wisata baik yang bersifat tangible maupun intangible, yaitu:

  • 1.    Atraksi, yaitu seluruh kehidupan masyarakat yang merupakan keseharian masyarakat setempat berlatar fisik lokasi desa. Hal ini memungkinkan wisatawan berinteraksi dan bertindak sebagai partisipan aktif, seperti kursus tari, bahasa, melukis, ataupun hal-hal lain yang menjadi budaya pada suatu desa.

  • 2.    Akomodasi, yaitu sebagian tempat tinggal masyarakat setempat atau unit-unit yang dikembangkan sesuai dengan tempat tinggal masyarakat sekitar.

  • 3.    Aksesbilitas, yaitu mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan selama di daerah wisata tersebut.

  • 4.    Amenitas, yaitu merupakan infrastruktur yang tidak berhubungan langsung dengan pariwisata, namun menjadi kebutuhan wisatawan, seperti bank, telekomunikasi dan penyewaan kendaraan.

  • 5.    Ancillary, yaitu merupakan lembaga kepariwisataan (Damanik dan Weber, 2006).

Masyarakat lokal sangat berperan dalam pengembangan suatu desa wisata dikarenakan sumber daya dan keunikan budaya suatu desa telah melekat pada komunitas masyarakat, dengan kata lain masyarakat desa merupakan unsur penggerak utama desa wisata.

Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan paradigma naturalistik. Penelitian ini memusatkan pada konsep ruang yang diterapkan dalam wilayah permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Perkembangan jumlah penduduk dan masuk serta berkembangnya pariwisata ke Desa Pakraman Gunungsari mengakibatkan adanya kekhawatiran masyarakat desa ini terhadap kelestarian konsep ruang pada wilayah permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke wilayah Desa Pakraman Gunungsari, wawancara kepada masyarakat desa tersebut dan studi pustaka. Tahap selanjutnya pada analisis data dilakukan dengan penyusunan data secara sistematik, kemudian data diolah, dan dimaknai sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan. Data yang telah dianalisis dapat disajikan dalam bentuk sketsa peta dan dalam bentuk narasi sebuah paragraf.

Hasil dan Pembahasan

Penetapan Desa Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun 2012 mengakibatkan adanya peningkatan kunjungan wisatawan. Berdasarkan wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Jatiluwih, terdapat peningkatan kunjungan wisatawan yang cukup tinggi, yaitu 2900-3100 orang/bulan menjadi 9000-11000 orang/bulan setelah adanya penetapan Desa Jatiluwih menjadi Warisan Budaya Dunia. Desa Jatiluwih terdiri dari dua desa pakraman, yaitu Desa Pakraman Jatiluwih dan Desa Pakraman Gunungsari. Melihat adanya potensi dan peningkatan jumlah wisatawan, masuklah investor-investor yang ingin mendapatkan keuntungan dengan membangun bangunan akomodasi dan fasilitas penunjang pariwisata di Desa Jatiluwih. Terlihat dari bangunan akomodasi dan fasilitas penunjang pariwisata banyak dibangun pada wilayah Desa Pakraman Jatiluwih oleh investor. Bangunan akomodasi tersebut berupa hotel, bungalow dan vila-vila. Beberapa pembangunan vila dan hotel telah melanggar Peraturan Bupati Tabanan Nomor 9 Tahun 2005 Pasal 14 ayat (5) mengenai RDTR kawasan pelestarian alam dan budaya Desa Jatiluwih. Pelanggaran pada beberapa pembangunan vila dan hotel tersebut terkait terhadap radius kesucian Pura Petali dan tampilan sebagian besar bangunan-bangunan tersebut kontras dengan lingkungan sekitar sehingga dapat mengurangi keaslian dan kelestarian lingkungan tradisional Desa Pakraman Jatiluwih. Pembangunan bangunan akomodasi dan fasilitas pariwisata berbanding terbalik dengan perawatan saluran-saluran irigasi di desa ini, sedangkan lahan pertanian dan cara pengelolaan lahan pertanian ini di Desa Jatiluwih merupakan aspek yang menjadikan desa ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO yang seharusnya dijaga dan dilestarikan.

Permukiman Inti Desa Pakraman Gunungsari

Permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari memiliki konsep keruangan yang diterapkan untuk mengatur tata nilai ruangnya yaitu konsep Tri Mandala. Konsep ruang tersebut membagi ruang menjadi zona-zona agar sesuai dengan fungsi ruang tersebut. Penerapan konsep Tri Mandala pada permukiman inti desa ini ditunjukkan dengan tiga pembagian zona ruang, yaitu:

  • 1.    Utama Mandala merupakan kawasan yang suci atau disakralkan pada permukiman inti, dimana pada zona Utama Mandala pada permukiman inti desa ini terdapat Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Gunungsari serta Pura Manikan.

  • 2.    Madya Mandala merupakan zona tengah yang mewadahi kegiatan masyarakat yang bersifat keduniawian, seperti kegiatan ekonomi, sosial, dan tempat tinggal. Pada Permukiman Inti Desa Pakraman Gunungsari, zona ini terdiri dari tempat tinggal masyarakat Desa Pakraman Gunungsari, Bale Banjar, Pempatan Agung, sekolah dan juga tempat masyarakat bersosialisasi lainnya.

  • 3.    Nista Mandala merupakan kawasan yang dianggap kotor, dan mengandung limbah sehingga pada zona ini diletakkan Setra, Pura Dalem, Prajapati, dan tempat masyarakat melakukan aktivitas pertanian serta peternakan.

    Gambar 2. Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Gunungsari Sumber: Observasi, 2016


    Gambar 3. Pura Manikan di Desa

    Pakraman Gunungsari

    Sumber: Observasi, 2016


    Gambar 4. Bale Banjar pada Kawasan Permukiman Inti Desa Pakraman Gunungsari

    Sumber: Observasi, 2016


    Gambar 5. Wilayah Tempat Tinggal atau Perumahan pada Kawasan Permukiman Inti Desa Pakraman Gunungsari

    Sumber: Observasi, 2016


    Gambar 6. Pura Prajapati Desa

    Pakraman Gunungsari

    Sumber: Observasi, 2016


    Gambar 7. Setra Desa Pakraman

    Gunungsari

    Sumber: Observasi, 2016


    Gambar 8. Pura Dalem Desa Pakraman

    Gunungsari

    Sumber: Observasi, 2016


Keterangan:

  • 1.    Pura Puseh dan Bale Agung

Desa Pakraman Gunungsari,

  • 2.    Pura Manikan,

  • 3.    Bale Banjar Lama,

  • 4.    Perumahan,

  • 5.    Pempatan Agung,

  • 6.  Sekolah,

  • 7.    Prajapati,

  • 8.    Setra,

  • 9.    Pura Dalem, dan

  • 10.    Peternakan Ayam.


Gambar 9. Permukiman Inti di Desa Pakraman Gunungsari Sumber: Google Earth dimodifikasi, 2017

Permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari memiliki topografi alami pada pola Hulu-Tebennya. Pada permukiman inti desa ini memiliki areal Hulu yang lebih tinggi, dan lebih rendah pada area Tebennya. Areal Hulu yang merupakan areal tersakral atau suci terdapat Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Gunungsari, serta Pura Manikan. Sedangkan pada areal Teben yang merupakan areal kotor atau nista terdapat Pura Dalem, Prajapati dan Setra. Areal permukiman terdapat diantara areal Hulu dan Teben. Konsep Hulu-Teben yang diterapkan pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari juga berorientasi pada sumbu bumi, yaitu arah Utama pada arah kaja atau pada arah Gunung Batukaru, dan arah Nista kearah kelod atau pada arah laut.

Gambar 10. Kondisi Topografi Desa Pakraman Gunungsari Sumber: Observasi, 2016


Pelestarian Konsep Keruangan pada Permukiman Inti Desa Pakraman Gunungsari

Desa Pakraman Gunungsari sebagai bagian dari Desa Jatiluwih juga memiliki potensi yang besar baik pada lingkungan alam maupun kebudayaan masyarakatnya. Potensi-potensi yang dimiliki desa ini antara lain:

  • 1.    Potensi Pemandangan Persawahan

Desa Pakraman Gunungsari memiliki hamparan sawah terasering yang subur dan indah seperti halnya Desa Pakraman Jatiluwih. Pemandangan persawahan di desa ini berubah sesuai dengan tahapan masa bercocok tanam padi, yaitu:

  • a.    Masa Metekap atau pengolahan sawah, pada masa ini pemandangan yang terlihat adalah sawah yang digenangi oleh air, dan terlihat bersih.

  • b.    Masa Pertumbuhan Padi, pada masa ini akan terlihat padi mulai tumbuh dan akan terlihat pemandangan hamparan sawah berwarna hijau yang indah.

  • c.    Masa Panen, pada masa panen akan terlihat hamparan sawah tanaman padi berwarna kuning seiring dengan tumbuhnya bulir-bulir padi yang menguning pertanda telah siap untuk dipanen.

  • d.    Masa Pasca Panen, pada masa pasca panen hamparan sawah terlihat akan padi yang telah dipotong dan tertutup dengan jerami sisa dari hasil panen.

  • 2.    Potensi Air Terjun

Desa Pakraman Gunungsari memiliki daya tarik wisata selain pada keindahan persawahannya, yaitu obyek wisata air terjun. Terdapat dua lokasi air terjun pada Desa Pakraman Gunungsari. Kedua obyek wisata air terjun pada desa pakraman yang terletak pada wilayah bagian utara desa, berada diluar dari wilayah permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari yaitu pada area pategalan. Selain sebagai sumber air irigasi, air terjun di desa ini dapat menjadi potensi perkembangan pariwisata yang baik. Air terjun di desa ini masih alami karena belum banyak wisatawan yang mengetahui keberadaan lokasi air terjun ini. Akses menuju obyek wisata air terjun di Desa Pakraman Gunungsari ini melewati perumahan, sawah dan pategalan masyarakat desa. Proses perjalanan untuk mencapai obyek wisata air terjun ini juga merupakan potensi yang dapat dikembangkan. Hal itu dikarenakan dalam perjalanan menuju obyek wisata air terjun, wisatawan dapat melihat dan menikmati alam serta kebudayaan dari desa ini. Kegiatan tersebut dapat menjadi peluang usaha bagi masyarakat terkait peningkatan perekonomian masyarakat desa dalam pengembangan pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari yang ramah terhadap lingkungan.

  • 3.    Potensi Sungai

Desa Pakraman Gunungsari banyak dilewati oleh sungai. Sungai-sungai tersebut memiliki peran yang sangat penting pada pertanian yaitu untuk mengalirkan air ke areal persawahan. Kondisi sungai yang masih alami dan belum tercemar serta adanya batu-batu besar membuat sungai di desa ini sangat indah. Sungai-sungai ini merupakan potensi wisata yang dapat dikembangkan.

  • 4.    Potensi Sumber Mata Air

Desa Pakraman Gunungsari memiliki banyak sumber mata air yang mendukung kelancaran pada bidang pertanian. Sumber-sumber mata air tersebut tersebar pada wilayah Desa Pakraman Gunungsari. Lokasi sumber mata air tersebut beragam, ada yang

terletak di areal persawahan, adapula terletak di petegalan desa ini. Sumber- sumber mata air tersebut merupakan hal terpenting dalam pengelolaan sistem irigasi pertanian tradisional di desa ini, oleh karena itu kelestariannya perlu dijaga. Sumber mata air ini juga dapat menjadi suatu obyek wisata. Sumber mata air tersebut yaitu:

  • a.    Sumber Air Selatan Giri Kusuma,

  • b.    Sumber Air Giri Kusuma,

  • c.    Sumber Air Suranadi,

  • d.    Sumber Air Yeh Gembrong,

  • e.    Sumber Air Samping Yeh Gembrong,

  • f.    Sumber Air Tuwuran Kauh,

  • g.    Sumber Air Beji Bedugul Umakayu,

  • h. Sumber Air Beji Taman Sari,

  • i. Sumber Air Baat Gedong,

  • j. Sumber Air Yeh Lis,

  • k. Sumber Air Yeh Saab

Gambar 11. Lokasi Sumber Mata Air di Desa Pakraman Gunungsari Sumber: Google Earth dimodifikasi, 2017

Selain potensi alam, Desa Pakraman Gunungsari juga memiliki potensi pada kebudayaannya, dimana potensi kebudayaan di desa ini berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari dan kegiatan upacara-upacara adat baik dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia ataupun dengan alam. Potensi-potensi tersebut, antara lain:

  • 1.    Kegiatan masyarakat dalam pertanian yaitu pada organisasi subak dimana terdapat pembagian kerja, pembagian sumber air dan kegiatan lainnya seperti mengolah sawah, memperbaiki saluran air, menanam, penyiangan dan memanen padi. Hal tersebut dapat manjadi potensi wisata karena proses kebudayaan tersebut merupakan atraksi yang menarik bagi wisatawan.

  • 2.    Adanya upacara-upacara adat dalam kehidupan masyarakat juga dapat menjadi atraksi kebudayaan yang sangat menarik bagi wisatawan seperti upacara adat dalam kegiatan pertanian di desa ini. Terdapat 13 tahapan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat dari tahapan mencari air irigasi, pengolahan lahan sawah, pembibitan, menanam bibit padi, memelihara, memanen, menyimpan hasil panen hingga upacara saat pemanfaatan hasil panen tersebut, yaitu :

  • a.    Mapag Toyo, Upacara ini dilakukan di bendungan air atau tempat pembagi air. Upacara ini dilakukan untuk menjemput air irigasi yang akan dipergunakan untuk mengairi sawah.

  • b.    Ngendagin, Upacara ini dilakukan pada saat petani akan mengolah areal sawah. Upacara ini bertujuan untuk meminta anugrah kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri agar memberikan kelancaran dan kehidupan.

  • c.    Ngawit Nambah, Upacara ini dilakukan di sawah atau di Ulun Carik. Upacara ini dilakukan untuk meminta ijin kepada Sang Hyang Ibu Pertiwi karena petani akan memulai mencangkul areal sawah.

  • d.    Ngurit atau Mewinih, Upacara ini dilakukuan pada saat petani menyemai padi di pembibitan. Melalui Upacara Ngurit, petani memohon kehidupan atas bibit yang akan ditanam kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Banaspati dan Sang Hyang ibu Pertiwi.

  • e.    Ngerasakin, Upacara ini dilakukan pada saat areal sawah dibersihkan, sebelum benih padi mulai ditanam.

  • f.    Nandur atau menanam padi, Upacara ini dilakukan untuk meminta anugerah kepada Dewi Sri agar bibit padi yang ditanam dapat tumbuh sesuai harapan.

  • g.    Memelihara Tanduran, Upacara dilakukan saat padi berumur 12 hari, satu bulan, dua bulan, tiga bulan, dan umur tanaman 122 hari (Upacara Biyukukung). Upacara-upacara tersebut dilakukan agar padi tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat dipanen pada saatnya nanti.

  • h.    Memotong Padi, Upacara ini dilakukan untuk berterima kasih kepada Dewi Sri sebagai rasa syukur petani karena diberikan kelancaran dalam bertani. Dalam upacara ini dibuatkan simbul Nini dan Kaki Manuh.

  • i.    Menyimpan Padi di Lumbung, Upacara ini dilakukan untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi agar padi yang disimpan dengan aman dan dapat dipergunakan sebagai bahan makanan hingga panen berikutnya.

  • j.    Menurunkan Padi dari Lumbung, Upacara ini dilakukan saat padi diturunkan dari lumbung untuk diolah sebagai bahan pangan. Upacara ini bertujuan memohon anugerah agar padi yang diolah sebagai nasi ini dapat memberikan kebaikan bagi siapa saja yang memakannya.

  • k.    Ngentegang Beras, Upacara ini dilakukan agar beras yang dihasilkan selama panen dapat digunakan dengan sehemat mungkin sehingga dapat memenuhi kebutuhan sampai dengan panen selanjutnya.

  • l.    Yadya Sesa, Upacara yang dilakukan sebagai wujud syukur kepada semua mahluk.

  • m.    Peneduh Penangkluk Merana, Upacara ini dilakukan untuk menyucikan roh hama dan penyakit agar kembali ke asalnya, dan tidak kembali menjelma sebagai pengganggu yang merusak tanaman.

Konsep tata nilai Tri Mandala dan Hulu-Teben merupakan konsep ruang yang menjadi pedoman penataan ruang pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Konsep ruang tersebut digunakan sebagai hirarki dalam penataan fungsi ruang dalam wilayah permukiman inti ini. Pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari dapat menjadi faktor pemicu berkurangnya kelestarian konsep-konsep ruang yang telah diterapkan pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari sejak awal. Pertambahan jumlah penduduk dapat menyebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap ruang dan berakibat adanya pemadatan bangunan dalam unit perumahan, perluasan unit perumahan ataupun pembukaan lahan baru untuk dijadikan perumahan atau tempat tinggal masyarakat Desa Pakraman Gunungsari.

Pengembangan pariwisata di desa ini juga dapat menjadi pemicu masyarakat dan investorinvestor untuk membangun fasilitas pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari. Melihat adanya kebutuhan masyarakat terhadap ruang khususnya masyarakat yang tinggal pada wilayah permukiman inti dan untuk tetap berkembangnya potensi wisata di desa ini, maka dirasa perlunya suatu antisipasi guna menjaga kelestarian konsep-konsep ruang pada kawasan permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Pelestarian konsep ruang pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

  • 1.    Perlu adanya pengaturan mengenai zona-zona yang dapat dikembangkan sebagai zona perumahan dan zona pengembangan pariwisata. Pengaturan zona tersebut dilakukan agar pengembangan yang terjadi lebih terarah sehingga dapat menghindari berkurangnya atau lunturnya keaslian dan kelestarian konsep-konsep ruang pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Pengaturan zona-zona perkembangan perumahan dan pariwisata tersebut, antara lain:

  • a.    Zona pengembangan areal perumahan atau tempat tinggal direncanakan di luar wilayah permukiman inti. Pengembangan perumahan diluar permukiman inti ini dikarenakan adanya keterbatasan luasan lahan perumahan pada wilayah permukiman inti. Perkembangan tersebut direncanakan pada wilayah utara Desa Pakraman Gunungsari. Pada wilayah ini masih berupa pategalan di Desa Pakraman Gunungsari. Pengembangan areal perumahan pada wilayah bagian utara juga dapat mempermudah akses menuju obyek-obyek wisata alam yang berada pada wilayah ini seperti air terjun dan sumber mata air.

  • b.    Zona pengembangan fasilitas pariwisata pada dalam wilayah permukiman inti adalah pemanfaatan sebagian perumahan atau rumah tinggal masyarakat sebagai akomodasi wisata. Sedangkan pengembangan diluar wilayah permukiman inti dapat dilakukan

pada wilayah bagian utara dan selatan Desa Pakraman Gunungsari. Pengembangan tersebut yaitu:

  •    Pengembangan fasilitas pariwisata pada wilayah bagian utara desa guna mewadahi aktivitas wisatawan yang mengunjungi obyek wisata sumber mata air, air terjun, tracking mengikuti sungai, dan wisata alam lainnya serta wisata kebudayaan mengenal permukiman tradisional desa ini. Dua fasilitas pariwisata dikembangkan pada wilayah sekitar obyek wisata Air Terjun Giri Kusuma dan Air Terjun Umakayu.

  •    Sedangkan fasilitas pariwisata pada wilayah bagian selatan diperuntukkan mewadahi kegiatan wisatawan dalam wisata alam dan kebudayaan. Pada wilayah bagian selatan desa ini terdapat kantor subak, dan tempat penggilingan padi. Sehingga wisatawan dapat mengenal dan menambah wawasan mengenai kebudayaan pengolahan lahan pertanian dengan sistem tradisional Bali yang menjadikan Desa Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. Pada wilayah ini wisatawan juga dapat mengunjungi sumber mata air yang terletak ditengah persawahan, dan tracking mengikuti sungai yang berakhir pada bagian hulu sungai yaitu pada wilayah bagian utara desa.

  • 2.    Perlu adanya aturan mengenai perluasan lahan perumahan pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari. Upaya ini dimaksudkan agar tidak ada perluasan lahan perumahan kearah areal pertanian sehingga lahan pertanian tidak berkurang. Hal tersebut penting dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan status Warisan Budaya Dunia. Status Warisan Budaya Dunia yang diberikan oleh UNESCO ini menyebabkan peningkatan wisatawan yang berakibat pada peningkatan perekonomian masyarakat desa.

  • 3.    Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Pakraman Gunungsari dapat menjadi sumber pemasukan bagi masyarakat yang dapat meningkatkan perekonomian dan juga sebagai usaha dalam pemerataan perekonomian ekonomi masyarakat desa. Pengembangan ini juga dapat mencegah pengembangan fasilitas pariwisata oleh investorinvestor yang kurang peduli terhadap lingkungan. Hal tersebut terlihat pada kondisi pengembangan fasilitas pariwisata oleh investor-investor pada Desa Pakraman Jatiluwih yang cenderung mengabaikan radius kesucian pura, kelestarian budaya dan lingkungan desa. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian konsep ruang dan lingkungan dapat dilakukan, antara lain:

  • a.    Pengembangan harus sesuai dengan konsepsi Tri Hita Karana, hal ini dimaksudkan agar dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat atau desa wisata di Desa Pakraman Gunungsari ini tetap tercipta keharmonisan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan) dan dengan lingkungan alamnya (Palemahan).

  • b.    Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan Desa Pakraman Gunungsari menjadi desa wisata. Pengembangan desa wisata di desa ini menjadikan alam dan kebudayaan masyarakat desa sebagai suatu potensi yang harus dijaga kelestariannya.

  • c.    Masyarakat Desa Pakraman Gunungsari harus terlibat dalam perencanaan, implementasi dan pengawasan pengembangan pariwisata di Desa Pakraman

Gunungsari. Keterlibatan masyarakat tersebut dapat menjaga kelestarian konsep ruang dan lingkungan serta kesakralan wilayah pura dan tempat-tempat yang disakralkan oleh desa ini.

  • d.    Sebagian perumahan atau tempat tinggal masyarakat Desa Pakraman Gunungsari dapat dimanfaatkan sebagai akomodasi pariwisata. Hal ini sangat bermanfaat karena melihat kehidupan budaya masyarakat dan upacara keagamaan serta berbaur didalamnya dapat menjadi suatu atraksi budaya yang menarik bagi wisatawan. Pengembangan perumahan masyarakat desa menjadi akomodasi pariwisata juga dapat mencegah pembangunan akomodasi baru oleh investor-investor yang dapat merusak tata ruang desa.

  • e.    Pengembangan potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa pakraman Gunungsari baik potensi alam maupun kebudayaan sebagai daya tarik wisata. Pengembangan potensi tersebut juga harus diiringi dengan pelestarian, sehingga potensi-potensi tersebut tidak rusak dengan pengembangan pariwisata yang dilakukan oleh masyarakat.

  • f.    Perlu adanya perbaikan dan perawatan terhadap saluran irigasi agar debit air yang mengalir lebih maksimal, sehingga tidak ada ancaman kekeringan pada persawahan lebih kecil. Hal ini sangat penting dikarenakan pertanian merupakan daya tarik utama dari Desa Pakraman Gunungsari.

Gambar 12. Zona Pengembangan Perumahan dan Pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari Sumber: Google Earth dimodifikasi, 2017

Kesimpulan

  • 1.    Pelestarian konsepsi ruang pada permukiman inti Desa Pakraman Gunungsari saat ini perlu dilakukan dikarenakan adanya perkembangan jumlah penduduk dan berkembangnya pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari. Perlu pelibatan masyarakat secara langsung pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengembangan pariwisata di desa ini. Hal tersebut merupakan upaya dalam mempertahankan kelestarian konsep ruang pada permukiman inti dan meningkatkan pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari.

  • 2.    Pengaturan zona perkembangan perumahan dan pariwisata sangat perlu dilakukan agar perkembangan yang terjadi kedepannya terarah dan tidak merusak kebudayaan dan lingkungan di Desa Pakraman Gunungsari.

  • 3.    Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat menjadi solusi agar perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Gunungsari dapat berkembang dengan baik dan tidak mengubah atau merusak konsep ruang yang telah diterapkan pada Permukiman Inti desa ini sejak awal.

  • 4.    Desa wisata sebagai perwujudan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat menjaga kelestarian konsep ruang yang merupakan kebudayaan di Desa Pakraman Gunungsari. Hal ini juga menjaga keberlangsungan Warisan Budaya Dunia yang dinobatkan oleh UNESCO.

Daftar Pustaka

Ardika, I W. (2007). Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Damanik, J. & Weber, H. (2006). Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: PUSPAR UGM dan Andi.

Dwijendra, N. K. A. (2009). Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Dwijendra, N. K. A. (2016). Transformasi Rumah Tradisional di Desa Pakraman Gunungsari. Denpasar: Udayana University Press.

Dinas Pekerjaan Umum. (2003). Penyusunan RDTR Kawasan Pelestarian Budaya Jatiluwih di Kabupaten Tabanan. Badan Penerbit Pekerjaan Umum.

Gelebet, I N. (1982). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Nuryanti, W. (1999). Heritage, Tourism and Local Communities. Yogyakarta: UGM Press.

Parimin A.P. (1986). Fundamental Study on Spasial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of S acred – Profane Concept in Bali. (Doctoral dissertation), University of Osaka, Japan.

Pitana, I G. & Gayatri, P. G. (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: CV Adi Offset.

Wearing, S.L. & Donald, Mc. (2001). The Development of Community Based Tourism: ReThinking The Relationship Between Tour Operator and Development Agents as Intermediaries in Rural and Isolated Area Communities. Journal of Sustainable Tourism.

Daftar Wawancara

  • 1.    I Wayan Tama (Sekretaris Desa Jatiluwih)

  • 2.    I Ketut Kekeran (Masyarakat Desa Pakraman Gunungsari)

  • 3.    I Nengah Sirka (Masyarakat Desa Pakraman Gunungsari)

  • 4.    I Wayan Sukarya (Masyarakat Desa Pakraman Gunungsari)

  • 5.    I Gede Made Muratmaja (Bendesa Adat Desa Pakraman Gunungsari)

  • 6.    I Gede Suweden (Masyarakat Desa Pakraman Gunungsari)

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Pertama Saya ucapkan terima kasih banyak kepada keluarga Saya yaitu Papa, Mama dan Kakak atas dukungan dalam segala bidang.

Secara khusus terima kasih Saya ucapkan atas saran dan masukkan yang telah diberikan oleh Ibu Dr. Ir. Widiastuti, MT., Bapak Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA., Ibu Dr. Gusti Ayu Made Suartika, ST.,MEngSc.,Ph.D., Ibu Dr. Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri, MT., dan Bapak Dr. Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ST., MA.

Kepada seluruh masyarakat Desa Pakraman Gunungsari, Saya ucapkan terima kasih atas bantuannya serta semua pihak yang membantu dalam kelancaran dalam proses penyelesaian penelitian ini.


Keteiangaii:

  • 1    Pura Puseh dan Bale Agung Desa Paknunan Guiiungsari,

  • 2.    Pura Slanikan.

  • 3.    Bate Banjar Lama.

  • 4.    Pcnimahan.

  • 5.    Pempatan Agung,

  • 6.    SekolaK

  • 7.    Prajapari,

  • 8.    Serra,

  • 9.    Pura Dalemf dan

  • 10.    PctcmakanAyam.


146

SPACE - VOLUME 4, NO. 2, OCTOBER 2017