RUANG


EDITORIAL

SUSTAINABILITY AND DEVELOPMENT

SPACE


By: Gusti Ayu Made Suartika1

This is a continuation of my writing published in previous Ruang-Space Journal of Volume 4, No. 1, April 2017.

When we link the word sustainable and development the water becomes muddy. As a general rule, when sustainable development is referred to, what is implicit is the sustainability of the capitalist world system, not the sustainable livelihood of its population or of nature. By itself, development is a liberal term, obscuring the so-called ‘issues’ of capitalist imperialism, class division and the creation of what can only be called the dispossessed who experience actually existing capitalism as ‘nothing short of savagery’(Amin). In the Global South, food aid is its lowest in 20 years, with the UN trying to feed one billion hungry people on $USD 1.40 a day. Of the $US 5 billion promised to the U.N. by the wealthy nations, only half was delivered in 2009. It means to cut that figure to seventy cents a day.

In 1860 Marx was one of the first to draw attention to the essential unsustainability of capitalism. Correctly, he rooted his analysis to the Dialectics of Nature, probably the first meaningful text on unsustainable development ever written. Today, attempts to solve climate change at Kyoto, Cancun, Brussels, Bali, and Copenhagen have all failed disastrously, as indeed have talks to solve the pending financial Armageddon within the Euro zone. Meanwhile, the combined environmental damage of the 3000 largest global companies has been conservatively estimated at $USD 2.2 trillion. This sum equals one third of their profits, which if paid as fines could bankrupt the global financial system. Even this is trivial to American debt (personal, institutional and national) - around $US 50 trillion, a sum that can never be repaid by the world’s largest debtor nation.

So the real answers to the problem of sustainability lie in the transformation of capitalism, for no ‘environmental’ solutions begin to attack the fundamental issue of environmental justice – the moral economy that lies at the heart of a sustainable planet. Forget also the idea expressed in Natural Capitalism that the capitalist system will somehow morph into an acceptable state without any change in its fundamental structure. Let us reject the perfidious term sustainability, replacing it with the dual system it represents - environmental efficiencies to describe prior technologies, and environmental justice to denote the exploitation of nature and the distortion of social relations and oppression in all its forms. Then perhaps we might avoid what Madeleine Bunting predicts as ‘the real story of the next few years’ – potentially ‘the savage dismantling of social democracy.’

1


In its Volume 4 No 2, October 2017, Ruang-Space Journal publishes seven articles. Detailed publications are as follows. The first article is composed by Diah Paramitha, I Wayan Kastawan, Widiastuti, entitled Nilai Signifikansi Cagar Budaya Hotel Inna Bali, Jalan Veteran Denpasar (The Significances of Hotel Inna Bali-A cultural Heritage Located in Jalan Veteran Denpasar). The second publication is written by Gusti Ayu Cantika Putri, entitled Konsep Keruangan pada Permukiman Inti di Desa Pakraman Gunungsari (Spatial Concept of the Core Settlement of Gunungsari Village). The third article is contributed by I Gusti Ayu Canny Utami, entitled Place Attachment pada Kawasan Komersial di Jalan Danau Tamblingan, Sanur (Place Attachment on a Commercial Zone of Jalan Danau Tamblingan, Sanur). The fourth article is submitted by A. A. Ayu Sri Ratih Yulianasari entitled Rumah Tinggal Berbasis Green Building di Kota Denpasar (Green Building Houses in Denpasar City). The fifth arcticle is authored by I Wayan Yogik Adnyana Putra entitled Perilaku Pengunjung dalam Memanfaatkan Fungsi Ruang Publik di Area Monumen Ground Zero Legian Kuta (Visitors' Behaviors in Using Public Spaces surrounding the Ground Zero Monument of Legian Kuta). The sixth article is by Ni Ketut Ayu Siwalatri, entitled Representasi Sistem Sosial Masyarakat pada Pola Permukiman Desa Trunyan (The Representations of Social Systems on Spatial Pattern of Trunyan Village). The seventh article is contributed by I Nyoman Susanta entitled Makna dan Konsep Arsitektur Tradisional Bali dan Aplikasinya dalam Arsitektur Masa Kini (Meanings and Principles in Traditional Balinese Architecture and Their Applications in Today's Architecture).

■■■

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari publikasi sebelumnya yang berjudul 'Sustainability is in Question' yang dipublikasi di Jurnal Ruang-Space Volume 4, No 1, April 2018.

Belakangan ini telah terjadi pengaburan makna ketika kata berkelanjutan-sustainable dan pembangunan-development disambung. Istilah pembangunan berkelanjutan telah dimanfaatkan sedemikian rupa dalam beragam konteks, sampai (seolah-olah) makna aslinya yang begitu mendalam menyiratkan pesan umum yang tidak mendalam lagi, sakeng terlalu sering dilontarkan tanpa dimaknai dengan arti yang sesungguhnya. Pemanfaatan terminologi ini seringkali terbalut beragam agenda yang lebih sering menyiratkan keberlanjutan dari praktek-praktek yang didasarkan pada prinsip-prinsip men-generasi keuntungan dari proses penanaman dan pengembangan modal - kapitalisme. Dalam kenyataannya, pemanfaatan kata ini tidak mengimplikasikan keberlanjutan dari umat manusia beserta alam dan lingkungnnya, tetapi keberlangsungan dari proses pertumbuhan modal yang diinvestasikan. Sementara itu, kata pembangunan memiliki pengertian yang luas, melingkup beragam proses, termasuk perluasan praktek-praktek yang berorientasikan pada pertumbuhan ekonomi dan keuntungan, proses terjadinya divisi sosial serta penggolongan dalam satuan kemasyarakatan tertentu, dan terciptanya kelompok-kelompok yang terlalaikan. Pada konteks pembangunan global south - dunia belahan selatan - terekam jika dalam dua dekade terakhir ini bantuan makanan berada pada level terendah. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha keras untuk memberi makan 1 milyar orang di muka bumi ini

dengan perhitungan $US 1.40/orang/hari. Di tahun 2009 misalnya, dari 5 milyar US dollar yang dijanjikan oleh negara-negara kaya di dunia kepada PBB, hanya setengahnya yang terealisasikan. Ini mengimplikasikan bahwa, PBB hanya bisa menghidupi penduduk di belahan bumi selatan yang belum menikmati keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dunia ini, dengan $US 0.70/orang/hari.

Di tahun 1860, Karl Marx, salah satu pemikir dunia yang menjelaskan tentang ketidakberlanjutan dari sistem yang melandasi pertumbuhan ekonomi dunia saat ini -kapitalisme. Marx mendasarkan analisanya pada tulisan Dialectics of Nature, Ini kemungkinan sumber bacaan pertama yang sangat bermanfaat dan yang pernah ditulis, yang membahas tentang pembangunan yang tidak berkelanjutan. Saat ini, beragam usaha telah dilaksanakan untuk memecahkan isu global terkait perubahan iklim. Ini termasuk pertemuan level dunia yang diselenggarakan baik di Tokyo, Cancun, Brussels, Bali, dan Copenhagen. Sayang sekali semuanya tidak menghasilkan kesepakatan yang diharapkan, alias telah gagal total. Pertemuan-pertemuan ini pada akhirnya hanya membicarakan bagaimana meminimalisir dampak perubahan iklim ini terhadap permasalahan ekonomi khususnya yang dialami oleh negara-negara di Eropa. Berdasarkan estimasi global, kerusakan lingkungan yang telah disebabkan oleh 3000 perusahaan terbesar di dunia, telah mencapai angka nominal $US 2.2 trilyun. Jumlah ini sebanding dengan sepertiga dari keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan besar ini di tahun yang sama. Jika kerugian ini harus dibayarkan, dikhawatirkan akan berakibat pada bangkrutnya sistem finansial global. Kondisi yang sama juga dialami oleh negara adidaya Amerika Serikat yang memiliki hutang (personal, institusional, dan nasional) sekitar $US 50 triliun - jumlah yang relatif besar yang kemungkinan juga tidak akan bisa dibayarkan oleh negara penghutang terbesar di dunia ini.

Jawaban pasti terhadap permasalahan terkait pembangunan keberlanjutan dunia ini adalah adanya transformasi dari mekanisme kapitalisme menuju praktek-praktek yang mengedepankan lingkungan. Ini harus dilihat sebagai sebuah proses yang mencari keadilan bagi lingkungan - wajib dijadikan moral pembangunan ekonomi, serta motor kehidupan bagi keberlanjutan planet bumi kita. Kita juga wajib melupakan ide-ide yang dimunculkan dalam Natural Capitalism yang mengatakan jika, sistem kapitalisme akan menuju kondisi yang bisa diterima tanpa secara fundamental merubah strukturnya. Lebih lanjut, kita juga wajib menolak proses pengaburan makna dari kata berkelanjutan, dengan memperkenalkan dual sistem yang direpresentasikan melalui pencapaian efisiensi lingkungan - untuk menjelaskan kegagalan dari pemanfaatan teknologi-teknologi yang tidak ramah lingkungan, dan mekanisme pencarian keadilan bagi lingkungan, yang menjelaskan beragam kegiatan eksploitasi terhadap alam, proses distorsi hubungan sosial, dan praktek-praktek penindasan dalam berbagai wujudnya. Mudah-mudahan kita bisa menghindari apa yang Madeleine Bunting prediksi sebagai ‘the savage dismantling of social democracy’ di masa yang akan datang.

Dalam publikasinya di Volume 4 No. 2, Oktober 2017 ini, Jurnal Ruang-Space mempublikasikan 7 artikel, dengan detil publikasi sebagai berikut. Artikel pertama disusun oleh Diah Paramitha, I Wayan Kastawan, Widiastuti, dengan judul Nilai Signifikansi Cagar Budaya Hotel Inna Bali, Jalan Veteran Denpasar. Publikasi kedua ditulis oleh Gusti Ayu Cantika Putri, dengan judul Konsep Keruangan pada Permukiman Inti di Desa Pakraman

Gunungsari. Artikel ketiga dikontribusikan oleh I Gusti Ayu Canny Utami, dengan judul Place Attachment pada Kawasan Komersial di Jalan Danau Tamblingan, Sanur. Artikel keempat oleh A. A. Ayu Sri Ratih Yulianasari yang diberi judul Rumah Tinggal Berbasis Green Building di Kota Denpasar. Artikel kelima disusun oleh I Wayan Yogik Adnyana Putra yang diberi judul Perilaku Pengunjung dalam Memanfaatkan Fungsi Ruang Publik di Area Monumen Ground Zero Legian Kuta. Artikel keenam ditulis oleh Ni Ketut Ayu Siwalatri, dengan judul Representasi Sistem Sosial Masyarakat pada Pola Permukiman Desa Trunyan. Artikel ketujuh dikontribusikan oleh I Nyoman Susanta dengan judul Makna dan Konsep Arsitektur Tradisional Bali dan Aplikasinya dalam Arsitektur Masa Kini.

112

SPACE - VOLUME 4, NO. 2, OCTOBER 2017