ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA TANAH OBJEK SERTIFIKAT HAK MILIK YANG TERIKAT HAK PRIORITAS
on
ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA TANAH OBJEK SERTIFIKAT HAK MILIK YANG TERIKAT HAK PRIORITAS
Owen Dihardja
Putu Gede Arya Sumertayasa I Nyoman Satyayudha Dananjaya
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
Sengketa tanah merupakan sengketa yang marak terjadi terutama di Provinsi Bali sebagai destinasi pariwisata. Dalam kegiatan usaha tidak lepas dari perjanjian-perjanjian dengan objek tanah telah ditentukan administrasinya. Demi dapat beralihnya hak milik atas tanah, pendaftaran status tanah wajib dilakukan sesuai prosedur dan memerhatikan kepentingan orang lain yang mengikat objek maupun subjek dari suatu peristiwa hukum demi terhindarnya sengketa yang dapat merugikan hak-hak orang yang berkepentingan. Meskipun telah ditentukan administrasinya maupun aturan-aturan yang menjadi dasar melalui hukum, sering kali terdapat celah-celah untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang tidak patut. Pada penerapannya, hak-hak penyewa dilindungi meskipun hak milik atas tanah telah beralih dengan terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM), namun jika peralihan tersebut mengabaikan hak prioritas untuk membeli yang dimiliki penyewa akan melanggar perjanjian dengan klausul pemberian hak prioritas tersebut. Maka dari itu perlu ditinjau lebih lanjut mengenai prosedur yang menjadi pertimbangan hakim untuk menyatakan keberlakuan SHM tidak berkekuatan hukum terkait hak prioritas yang dilanggar melalui penelitian di lapangan.
Kata Kunci: Hak Prioritas, Peralihan Hak Milik Atas Tanah, Pertimbangan Hakim, Pengadilan Negeri Denpasar
ABSTRACT
Land based dispute is very common, especially in Bali Province as a tourism destination. Business activity can not be separated from agreements or contracts concerning lands that has been determined in administration. To transfer the land ownership, registration of the lands’ status is an obligation by law to prevent injury or disregard to the rights of other party. Although the administration and other regulation has been determined by law, there often gaps to self-benefit with minimum regards to the law or procedures that are law-unrecognized. In practice, leasors’ rights is
protected even if the ownership of the land that is leased has been transferred to another owner by the published Land Certificate, but if the transfer of land ownership is disregarding the leasors’ rights to be in priority to buy the land will also disregarding the agreement with clause that grant the leasor the rights to be in priority. Thus, it needs further review about Judge’s consideration to declare that the Land Certificate is not legally enforcable related to the damage of priority rights purchase the land through field research.
Key words : Priority Rights, Land Ownership Transfer, Judge’s Consideration, Denpasar District Court
Manusia menciptakan paradoks yang sangat umum dalam konteks hukum. Di samping manusia mencita-citakan hukum untuk menjadi sarana mencegah dan menyelesaikan sengketa, di sisi lain sengketa diperlukan untuk mengembangkan hukum. Manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari individu yang berkembang di segala aspek kehidupannya melalui permasalahan-permasalahan atau sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat.
Menurut Abdul Manan, “hukum haruslah dinamis dan tidak boleh statis dan harus dapat mengayomi masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketenteraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi kepada masa depan (forward looking), tidak boleh hukum itu dibangun dengan berorientasi kepada masa lampau (backward looking). Oleh karena itu, hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah kehidupan masyarkaat kepada yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua pihak”1. Moralitas hukum yang selaras
dengan salah satu adagium dari Roscoe Pound yaitu law as a tool of social utilitarianism2 (hukum sebagai sarana memenuhi kebutuhan sosial) dan law is a tool of social engineering3 (hukum merupakan alat rekayasa sosial).
Berbicara mengenai interaksi antar manusia yang dilandasi dengan fungsi hukum tidak lepas dari pendapat John Locke yang mengemukakan bahwa semua kontrak berlaku dengan didasari prinsip hukum alam, yaitu ‘semua janji harus ditepati’ (keeping of faith)4. Pada mulanya manusia berhimpun untuk menciptakan keadaan yang menjamin haknya dengan menyerahkan sebagian sifat-sifat primitif kepada apa yang menjadi otoritas dalam menegakkan hukum, yaitu negara5.
Di Indonesia dapat kita ketahui suatu penyelenggaraan keadilan hukum privat di Indonesia dengan berlakunya Burgerlijk Wetboek yang saat ini secara resmi dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata). Dalam penyelenggaraan tersebut perlu mengingat satu pasal yang menjadi esensi hukum perjanjian, yaitu sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut:
Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi 4 (syarat):
-
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
-
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
-
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
-
4. Suatu sebab yang tidak dilarang.
Meskipun berbagai pengaturan-pengaturan dan doktrin-doktrin dalam hukum perjanjian telah tersedia untuk mencegah
sengketa sedemikian rupa, hukum privat masih tidak lepas dari potensi permasalahan yang timbul akibat ketidaksempurnaan pemikiran manusia dalam menuangkan maksud dan kehendak dalam perjanjian, kepatuhan terhadap hukum atau perjanjian, maupun dalam mencegah timbulnya sengketa melalui kesalahpahaman, atau bahkan dalam menahan diri untuk menutupi kebenaran atas keadaan tertentu yang berkaitan dan mengikat subjek maupun objek dalam suatu perjanjian demi keuntungan diri sendiri.
Hubungan hukum dari sewa-menyewa hanya sebatas antara pihak yang menyewakan dan yang menyewa penyewa6. Maka dari itu akan dibahas berdasarkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan terhadap objek penelitian.
Dalam teori Asas-asas Perjanjian, terdapat 4 (empat) asas yang menjadi dasar dalam menentukan kualitas daripada suatu perjanjian yang akan diteliti. Teori tersebut antara lain adalah asas kebebasan berkontrak yang diikuti asas perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (pacta sunt servanda), asas konsensualitas, asas kedudukan yang seimbang, dan asas perjanjian mengikat para pihak7.
Dalam teori conflict of interest terdapat 3 (tiga) faktor utama yang menjadi sebab suatu sengketa, yaitu8:
-
1. Kepentingan (interest),
-
2. Hak-hak (rights),
-
3. Status kekuasaan (power).
Karya tulis ini membahas dua permasalahan sebagai berikut:
-
1. Sejauh mana hak prioritas berlaku terkait terbitnya Sertifikat Hak Milik atas objek yang terikat hak prioritas tersebut?
-
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik tidak berkekuatan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar?
Kajian ini bertujuan untuk mempraktekkan cara berpikir ilmiah berdasarkan metodologi penelitian mengenai keberlakuan hak prioritas yang bersengketa dengan Sertifikat Hak Milik dalam penyelesaian secara litigasi kemudian disajikan dalam bentuk karya tulis ilmiah.
Metode penelitian yang digunakan untuk karya tulis ini adalah metode Penelitian Yuridis Empiris melalui efektivitas hukum. Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat9. Penelitian ini mensyaratkan penelitinya disamping mengetahui ilmu hukum juga mengetahui ilmu sosial, dan memiliki pengetahuan dalam penelitian ilmu sosial (social science research)10.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Status Hak Milik Atas Objek Tanah Yang Terikat Hak Prioritas Untuk Membeli
Conflict of interest terjadi melalui penguasaan objek yang sebenarnya belum dapat dialihkan karena terikat prestasi tertentu melalui perjanjian sewa-menyewa yaitu hak prioritas penyewa untuk membeli objek perjanjian tersebut.
Klausula dalam akta jual-beli yang disebutkan dalam putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena meniadakan perikatan lain yang dihormati dengan adanya Pasal 1339 KUH Perdata tentang kekuatan mengikat dengan frasa “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Status penguasaan tanah berada di pihak pembeli melalui SHM yang dimilikinya dari jual-beli otentik. Objek perjanjian sewa-menyewa juga merupakan objek perjanjian jual-beli. Penyewa sebagai pemegang hak prioritas untuk membeli merasa keberatan karena haknya tidak terpenuhi karena pemilik tanah dalam perjanjian sewa-menyewa atau penjual dalam perjanjian jual-beli tidak melaksanakan prestasi sesuai ketentuan klausula yang disepakati, yaitu memrioritaskan pihak penyewa terlebih dahulu untuk membeli objek sewa.
Objek sewa yang telah dijual telah berlangsung tanpa adanya informasi mengenai peralihan hak milik atas tanah tersebut kepada penyewa, sehingga hak prioritas penyewa untuk membeli tidak lagi dapat dilaksanakan karena gugurnya hak prioritas penyewa tersebut akibat hak milik atas tanah yang telah beralih. Hal ini merupakan hal mendasar sebagai hal yang turut terikat berdasarkan klausula dengan prestasi untuk mengutamakan suatu pihak dalam membeli, namun diabaikan sehingga
memberikan kesan itikad tidak baik untuk mengabaikan prestasi hak prioritas yang dimiliki penyewa.
Klausula hak prioritas yang diberikan oleh pemilik tanah merupakan prestasi dan sebagai undang-undang bagi pihak yang bersangkutan. Pasal-pasal di KUH Perdata yang berkaitan dengan keberlakuan perjanjian sebagai perikatan terdapat dalam Pasal 1257, 1273, 1338, dan 1339 KUH Perdata.
Tentu saja setelah memenuhi persyaratan Pasal 1320 KUH Perdata tidak serta-merta menjadi satu-satunya hal yang menjadi perhatian dalam merancang suatu kontrak atau perjanjian, namun tanggung jawab wajib dilanjutkan selama belum ada sebab yang menghapuskan suatu perikatan atau membatalkan perjanjian sesuai ketentuan perundang-undangan atau kesepakatan sebagai itikad baik dalam bentuk memegang teguh perikatan yang bersumber dari perjanjian yang bersangktuan.
Perjanjian jual-beli adalah sah ketika memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, namun masih sangat berpotensi terjadi sengketa karena cerobohnya pembuatan perjanjian dengan tidak memerhatikan apa yang seharusnya mengikat dan dipenuhi sebelum membuat suatu perjanjian lain yang mengikatkan objek yang sama.
Penyewa sangat jelas dilindungi hak-haknya untuk menikmati hingga hapusnya perikatan karena syarat yang dipenuhi sesuai kesepakatan, namun dalam pekara yang menjadi penelitian penulis, hak penyewa tidak diperhatikan dan bahkan diabaikan hingga dibuatnya perjanjian jual-beli. Hal tersebut juga merupakan bentuk dari tidak diperhatikannya Pasal 1576 KUH Perdata dimana sewa tidak putus akibat barang sewa telah dijual, maka dari itu perikatan pun masih berlaku bagi pemilik tanah dan penyewa atas objek perjanjian.
Hak-hak penyewa patut dihormati dan diutamakan sesuai prinsip hukum perikatan. Pemilik tanah dalam melakukan perjanjian lainnya wajib menyelesaikan kewajibannya terlebih dahulu.
Meskipun terbit SHM dengan dasar jual-beli yang sah dan otentik pun dapat dinyatakan tidak berkekuatan hukum apabila terdapat hak-hak yang seharusnya dihormati namun tidak diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian lain.
Fenomena yang menjadi sumber suatu sengketa ini merupakan pengabaian terhadap prinsip dalam perjanjian yang menuntut terikatnya sesuatu berdasarkan keadilan dan itikad baik yang tercantum dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata.
Pasal 1338 KUH Perdata mewajibkan para pihak untuk menerapkan itikad baik dalam membuat dan melaksanakan perjanjian dengan frasa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Pasal 1576 KUH Perdata menjadi dasar hakim dalam melindungi hak penyewa dengan frasa “dengan dijualnya barang yang disewa, sewa yang dibuat sebelumnya tidak diputuskan kecuali telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Jika ada perjanjian demikian, penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi bila tidak ada suatu perjanjian yang tegas, tetapi jika ada perjanjian demikian, maka ia tidak wajib mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi”.
Pasal ini menjadi dasar utama saat suatu objek sewa telah beralih hak milik, namun tidak dengan beralihnya hak milik tersebut memutuskan perjanjian sewa apabila tidak ditentukan demikian
Pasal 1320 KUH Perdata sudah tentu memberikan keabsahan kepada penyewa sehingga haknya dilindungi oleh perjanjian yang masih mengikat para pihak, yaitu pemilik tanah dan penyewa sendiri. Hak-hak penyewa dilindungi berdasarkan keabsahan perjanjian sewa-menyewa, terutama dari peralihan hak milik melalui jual-beli yang berdampak terhadap hak penyewa untuk menikmati penguasaan sewa atas objek tanah yang bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan keadilan dalam hukum perdata dan asas keterbukaan yang memerhatikan hak mana yang menjadi prioritas berdasarkan itikad baik, prinsip kepatutan dan keadilan.
Pertimbangan hakim bahwa penyewa memiliki hak yang telah jelas diuraikan dalam klausula tersebut untuk mendapat prioritas dalam menentukan apakah penyewa akan membeli objek yang disewanya.
Dari bukti-bukti yang diajukan dihadapan hakim, terdapat bukti surat otentik yang menjadi bukti utama dari perkara yang menjadi rujukan penelitian penulis yaitu Akta Sewa-Menyewa Nomor 31 dan 32 dari pihak penyewa yang termasuk pemilik tanah sebagai pihak di dalamnya, Akta Jual-Beli Nomor 38 dari pihak pembeli yang termasuk pemilik tanah yang sama sebagai pihak didalamnya, dan SHM atas nama pembeli dari pihak pembeli yang didapat melalui hak milik yang dialihkan berdasarkan Akta Jual-Beli Nomor 38.
Berdasarkan persangkaan hakim terhadap bukti-bukti tersebut, hakim menganggap bahwa bukti menyatakan keabsahan surat-surat otentik tersebut adalah sesuai yang sebenarnya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan isinya oleh para pihak.
Yang menjadi landasan sengketa adalah prosedur perolehan dari surat-surat tersebut, sehingga SHM dapat dianggap tidak berkekuatan hukum karena terdapat hak prioritas yang belum dilaksanakan saat dibuatnya SHM atas objek yang terikat hak prioritas tersebut.
Peralihan hak milik atas tanah tersebut sebagai akibat dari prestasi yang tertuang dalam Akta Jual-Beli Nomor 38 yang dibuat secara otentik dihadapan notaris dan selaku PPAT untuk membuat akta tanah selanjutnya didaftarkan kepada BPN untuk penerbitan SHM.
Kesimpulan persangkaan hakim yang menjadi kewenangan hakim dalam memutus mengenai prestasi yang masih mengikat pemilik tanah untuk dapat selesai sesuai kesepakatan sebelum dapat membuat perjanjian atas objek yang sama karena menurut sifat dan isi dari perjanjian sewa-menyewa antara pemilik tanah dengan penyewa yang berisi klausula hak prioritas penyewa untuk membeli objek tanah. Prestasi tersebut sebagai implementasi hukum perikatan haruslah selesai sesuai kesepakatan dalam klausula tersebut.
Saat suatu jual-beli mengabaikan hak pihak lain yang masih berlaku sebagai perikatan terhadap salah satu pihak terkait objek yang sama dimana seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, maka gugatan tidak dapat dihindari. Dari putusan yang menjadi bahan rujukan penulis, penyewa mengklaim dalam bentuk gugatan dan gugatan intervensi terkait haknya untuk diprioritaskan atau diutamakan dalam menentukan jual-beli terhadap objek perjanjian dalam perjanjian sewa-menyewa antara penyewa dengan pemilik tanah.
Pertimbangan hakim bahwa penyewa memiliki hak yang telah jelas diuraikan dalam klausula tersebut untuk mendapat prioritas
dalam menentukan apakah penyewa akan membeli objek yang disewanya dinyatakan sebagai hak yang diabaikan dalam pembuatan Akta Jual-Beli Nomor 38. Pembuktian tersebut melampirkan perjanjian sewa-menyewa dan bukti transaksi seperti yang tertulis dalam putusan atas perkara tersebut, sehingga akhirnya hakim memutus Akta Jual-Beli Nomor 38 tidak berkekuatan hukum atas dasar prestasi yang belum selesai untuk dapat dilakukanya perjanjian jual-beli terebut yaitu hak prioritas pertama untuk membeli tanah tersebut.
Hak penyewa yang diabaikan direstorasi oleh hakim untuk dapat dilaksanakan sesuai perikatan dalam perjanjian sewa-menyewa mengenai hak prioritas demi keadilan berdasarkan putusan pengadilan.
Sahnya peralihan hak atas tanah berdasar pada ketentuan perundang-undangan. Berkaitan dengan peralihan hak milik atas tanah, syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan peraturan mengenai dialihkannya suatu hak atas tanah wajib dilaksanakan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu PPAT, dan penerbitan tanda hak yang sah oleh BPN. Saat suatu perjanjian atau akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang tersebut, dalam hal perjanjian peralihan hak milik atas tanah tersebut beserta pencatatannya adalah sah selama tidak dibuktikan lain oleh pihak yang mengakui hak atas hak orang tersebut sesuai 572 KUH Perdata.
Selain Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat sahnya perjanjian, para pihak perlu memerhatikan keabsahan suatu perikatan yang masih berlaku yang mempengaruhi perjanjian yang akan dibuat agar terlepas dari ancaman sengketa.
Bagi PPAT dan BPN dalam mendaftarkan dan menerbitkan SHM akan mengikuti prosedur yang menjadi lingkup tugasnya dan
bukan untuk mengawasi adanya suatu hak perdata yang diabaikan dalam proses pendaftaran dan penerbitan SHM. Tugas tersebut terletak pada para pihak untuk mencegah permasalahan dikemudian hari, terutama apabila mereka menggunakan kuasa hukum.
Akta jual-beli dibuat secara otentik dihadapan notaris dan keberlakuannya diakui oleh BPN dengan terbitnya SHM atas nama pembeli. Prinsip jual-beli telah dipenuhi dan permohonan penerbitan SHM telah diterima dan tidak terdapat suatu persyaratan yang kurang sehingga BPN sesuai kewenangannya menerbitkan (balik nama) SHM atas nama pembeli.
Hal tersebut tetaplah sah selama tidak ada permasalahan yang membuktikan sebaliknya. BPN dalam menerbitkan SHM tidak bertugas untuk meninjau apabila terdapat hak yang dikesampingkan dimana seharusnya menjadi prioritas dalam suatu proses peralihan hak seperti hak penyewa untuk menentukan pembelian terhadap objek tanah tersebut.
Benarlah menurut Wirjono Projodikoro bahwa tetap dirasakan benar-benar, bahwa ada kalanya isi dari nasehat itu dipandang dari sudut yang benar-benar objektif, tidak memuaskan rasa keadilan dan rasa kepatuhan11, sebab itu pengadilan bertindak sebagai lembaga penyedia keadilan melalui proses litigasi.
Kesimpulan
-
1. Penerapan hukum dalam penelitian ini telah sesuai dengan pengaturan sehingga dapat ditinjau melalui putusan bahwa keadilan telah sesuai dengan harapan dalam penyelesaian sengketa perdata di wilayah Pengadilan Negeri Denpasar. SHM maupun akta otentik peralihan hak atas tanah
merupakan surat berharga untuk membuktikan status kepemilikan dan peralihan hak atas tanah terutama dalam suatu sengketa di persidangan. Namun dalam keadaan tertentu, akta otentik maupun SHM dapat dinyatakan tidak berkekuatan hukum apabila dibuat dengan prosedur yang mengabaikan hak-hak tertentu yang menurut sifatnya mengikat suatu objek perjanjian yang wajib dipenuhi sebagai prestasi.
-
2. Pertimbangan hakim terkait sengketa hak prioritas yang mengikat objek SHM disimpulkan dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara dalam persidangan, sehingga hakim membangun persangkaan berdasarkan apa yang disaksikan sehingga memutus sesuai wewenangnya untuk menentukan keadilan.
Saran
-
1. Hendaknya masyarakat sadar akan prosedur perolehan suatu surat tanda kepemilikan seperti SHM haruslah dibuat dengan memerhatikan selesainya prestasi-prestasi yang mengikat objek yang bersangkutan menurut cara yang telah ditentukan oleh para pihak untuk dapat melakukan perikatan lainnya yang sepatutnya perlu menyelesaikan perikatan yang mengikat objek atau subjek yang bersangkutan.
-
2. Hendaknya para pihak dalam perjanjian memiliki andil dalam mencegah suatu sengketa atau dalam membuat perjanjian yang tidak menimbulkan permasalahan apabila
memerhatikan prinsip-prinsip hukum perjanjian dan
memiliki rasa keadilan yang objektif. Konsep dari pola pikir hukum masyarakat dan praktisi serta penegak hukum perlu evaluasi dan persepsi hukum mereka perlu revaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adbul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, KENCANA, Jakarta.
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,
Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar.
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2010, Ahli Pikir Tentang Negara Dan Hukum Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Abad 20, cet. I, NUANSA, Bandung.
Roscoe Pound, 1996, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta R. Wirjono Projodikoro, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.
Suyud Margono, 2000, ADR Alternative Dispute Resolution & ARBITRASE Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, cet. I, Penerbit Ghalia Indonesia
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal/ Artikel
Dian Pertiwi, 2013,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=130793&val =5455 , Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Yang Objeknya Dikuasai Pihak Ketiga Berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya.
Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
HIR.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tantang Pendaftaran
Tanah, Lembaran Negara Nomor 3318.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.
14
Discussion and feedback