MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID DI DENPASAR BALI
on
MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID
DI DENPASAR BALI
Oleh: Ardiansyah 1
Abstract
The mosque is the sacred building of Moslems and its architectural design is influenced by its environment. As a result, mosques in every area have a unique morphology. In South-East Asia roofs tend to be layered as in Indonesia. As such, many debates occur as to its origins. Three basic theories exist. Firstly, the design may be affected by peripheral elements, such as Malabar. Secondly, Javanese mosques have affected Indonesian style, even in Asia. Thirdly, local wisdom is an essential element in Mosque design. The study reveals local cultures have affected the morphology of the mosque in Denpasar. For instance, it can be identified through the concept of open space; the use of wantilan and bale; colours of building performance, ornaments, and interior decorations. Qualitative methodology is used in data analysis. Furthermore, the study discoveres that an understanding of the hadist plays an important role in th ecreation of mosque morphology in Denpasar.
Keywords: mosque, morphology, culture, environment, hadist
Abstrak
Masjid merupakan bangunan suci umat Islam yang tampilan arsitekturalnya dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga tiap daerah memiliki morfologi masjid yang berbeda-beda. Salah satu morfologi masjid yang mewakili Asia Tenggara adalah masjid beratap tumpang yang banyak ditemukan di Indonesia. Namun demikian, terdapat banyak perdebatan mengenai asal-usul tipologi masjid tersebut. Beberapa penelitian morfologi masjid di Indonesia menunjukkan tiga teori dasar mengenai asal-usul bentuk masjid di Indonesia. Pertama, masjid di Indonesia dipengaruhi oleh arsitektur dari luar, seperti Malabar. Kedua, arsitektur masjid di Indonesia, bahkan di Asia, dipengaruhi oleh arsitektur masjid Jawa; sedangkan ketiga, arsitektur masjid lahir dari kearifan lokal setempat. Studi ini mengungkapkan bahwa budaya lokal Kota Denpasar mempengaruhi morfologi masjid, seperti konsep ruang terbuka, penggunaan bentuk bale dan wantilan, warna, dan ragam hias. Metode kualitatif deskriptif digunakan untuk mengeksplorasi data dan menganalisisnya. Studi ini juga mengungkapkan bahwa pemahaman terhadap hadist berperan penting dalam menciptakan morfologi masjid di Denpasar.
Kata kunci: masjid, morfologi, budaya, lingkungan, hadist
1
Pendahuluan
Kota Denpasar mayoritas penduduknya beragama Hindu sehingga Arsitektur Tradisional Bali menjadi kesatuan didalam kehidupan masyarakatnya. Didalam Arsitektur Bali tidak lepas dari elemen relief atau patung yang berwujud dewa , manusia dan fauna yang terdapat pada bangunan suci, publik maupun pribadi. Di dalam Arsitektur Islam khususnya masjid keberadaan elemen tersebut sangatlah dilarang sehingga akan menjadi pertanyaan bagaimana arsitektur masjid beradaptasi terhadap pengaruh tersebut.
Morfologi arsitektur masjid di Denpasar pada umumnya berbeda dengan bangunan Masjid yang ada di Jawa dan Wilayah lain di Indonesia pada umumnya, hal ini disebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi morfologi Masjid tersebut. Bentuk denah bangunan Masjid di Denpasar memilliki kecendrungan menyesuaikan bentuk tanah hal ini bertujuan agar pemanfaatan lahan optimal selain itu terbatasnya lahan di Denpasar melahirkan masjid yang cenderung memiliki dua sampai tiga lantai. Elemen masjid di denpasar tidak sebanyak masjid di Timur Tengah atau di Jawa Hanya beberapa masjid di denpasar yang menggunakan menara dan untuk ragam hias ada beberapa masjid yang menggunakan ornamen dan warna bergaya Arsitektur Bali akan tetapi terjadi sedikit modifikasi terhadap bentuk elemen ragam hias tersebut dengan mencampurkan bentuk simbol-simbol Islam berupa kubah persia dan bulan sabit. Masjid di Kota Denpasar umumnya tidak memiliki pagar melainkan dinding terluar bangunan berbatasan langsung dengan batas tanah, akan tetapi untuk masjid yang memiliki lahan cukup luas justru menunjukan pengaruh yang kuat arsitektur lokalnya yaitu terdapat bangunan masjid dengan dinding terbuka menyerupai wantilan atau bale yang dikelilingi oleh pagar, hal ini merupakan menguatkan teori bahwa lingkungan mempengaruhi arsitektur dan memang bentuk tipologi masjid di Indonesia mengambil bentuk wantilan atau pendopo yang ditambah dinding disekelilingnya akan tetapi di Bali justru tidak terdapat dinding sehingga apakah awal berdiri masjid memang menggunakan wantilan dan perkembangan berikutnya baru ditambahkan dinding disekelilingnya.
Penelitian masjid tradisional di Indonesia belum banyak dilakukan oleh para arsitek dan ahli akademik. Sebagian besar penelitian datangnya dari sejarawan dan para ahli anthropologi. Sehingga terlalu sedikit juga penemuan penulisan akademik yang mencoba menyatukan antara fakta sejarah, keadaan sosio masyarakat suatu kawasan dengan produk arsitektur yang dihasilkan. Kajian ini sangat penting dalam usaha memahami aspek morfologi dan perkembangan bentuk masjid di nusantara secara keseluruhan (Utaberta dkk, 2009). Berdasarkan rujukan yang dikemukakan oleh Utaberta penelitian masjid di Denpasar Bali menjadi penting dilakukan karena seolah menjadi mesin waktu kembali dimasa awal masuknya agama Islam ditengah pengaruh budaya Hindu yang kuat, sehingga hasil temuan penelitian bisa menjadi pedoman atau menguji penelitian mengenai morfologi masjid tua di Indonesia, meliputi morfologi ruang, bentuk bangunan dan perkembangan elemen masjid yang menyangkut penggunaan dan perkembangan lambang atau simbol Islam di tengah kuatnya pengaruh Arsitektur Tradisional Bali.
Fungsi ruang utama bangunan masjid adalah ruang sholat, sehingga setiap bangunan masjid selalu berupaya untuk mengoptimalkan luasan ruang utamanya baru kemudian diikuti ruang penunjang. Ruang utama masjid juga sering digunakan untuk mendengar khotbah dan ceramah agama sehingga secara fisik dituntut menampung luasan yang optimal.
Pengurus atau pendiri masjid umumnya memiliki pandangan berbeda terhadap bentuk ruang sholat yang ideal, Secara fisik mereka memiliki pandangan yang sama yaitu memiliki ruangan yang luas, penerangan alami yang cukup dan ventilasi udara yang baik, tetapi berdasarkan pemahaman pengurus atau pendiri masjid terhadap tuntunan Al Quran dan hadist mereka memiliki pandangan yang berbeda. pandangan yang memegang tuntunan Al-Quran dan Hadist Rancangan ruang sholat yang baik adalah tidak terdapat penghalang ditengah ruangan baik itu berupa dinding ataupun tiang karena sholat berjamaah makmun harus merapatkan shaf sehingga apabila terdapat sesuatu yang menghalangi maka harus mengulang kembali shalatnya:
“Di dalam shalat berjemaah hanya ada satu imam dan jumlah makmum tidak terbatas. Posisi Shalat Berjamaah sangat menentukan perkembangan bentuk ruang bangunan masjid dimana didalam shalat berjemaah deretan makmun harus lurus rapat dan tidak boleh ada penghalang antar makmum baik itu berupa dinding atau tiang bangunan“ (Hamidy, Fachruddin, Thaha,dkk 1993:227)
Rancangan masjid yang berpegang teguh pada hadist tersebut umumnya tidak memiliki tiang yang akan memotong susunan shaf serta tidak memiliki serambi keliling yang dibatasi oleh dinding agar tidak digunakan untuk ruang sholat (lihat Gambar 1). Yayasan atau pengurus masjid yang memegang teguh aturan ini umumnya menempel pada papan pengumuman di luar masjid sebelum pintu masuk ruang sholat berisikan aturan shalat berjemaah yang benar berdasarkan Al-Quran dan Hadist.
Gambar 1. Fungsi Serambi yang dijadikan Ruang Sholat Sumber : Penulis
Terdapat dua macam bentuk ruang masjid di Denpasar yang pertama susunan shaf makmum tidak ada yang menghalangi baik itu berupa dinding atau tiang kemudian bentuk yang kedua shaf terputus oleh tiang atau dinding. Bentuk ruang pertama dibagi lagi menjadi dua yaitu ruangan yang bebas tiang dan ruangan bertiang tetapi jarak baris shaf jemaah diatur agar tidak sejajar dengan tiang (lihat tabel 1). Bentuk ruang utama masjid didenpasar umumnya berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang adapun permainan bentuk lainnya hanya pada ruang penunjang atau dinding diluar ruang sholat saja. Bentuk bujur sangkar atau persegi panjang yang simetris selain memudahkan struktur atapnya juga penggunaan ruang lebih optimal.
Tabel 1. Bentuk Susunan Sholat Masjid di Denpasar
No |
Ragam Susunan Sholat |
Penjelasan |
1. |
* 2'.-: Imari ⅛⅛⅛∣^⅛⅛ HOl-Irun . Makairin |
Susunan shaft berjemaah ini merupakan susunan sholat yang paling dianggap ideal karena shaft lurus dan rapat tanpa ada penghalang. |
2. |
Imam . . HnKrvum B ■ I— 'H,.∣T IlT |
Susunan shaft berjemaah ini merupakan susunan sholat yang masih mempertahankan susunan shaft meskipun terdapat tiang di tengah ruang karena shaf makmum disesuaikan posisinya. |
3. |
η ⅛[LJ -man | ElUL -LILI ■t'^‘ r^ t⅛3 H T^ ⅛ HaKrurr t i t I t f ■X.1 ,X l⅛? Mafeiiun |
Susunan shaft berjemaah ini merupakan susunan sholat dimana posisi tiang bangunan memutus shaft makmum berbeda dengan kasus sebelumnya dimana posisi shaf disesuaikan. |
No |
Ragam Susunan Sholat |
Penjelasan |
4. |
E JlJ JXJJ........ ≡≡T 1IH -------------------I □—Djm-.s |
Bentuk susunan terakhir adalah shaft benar-benar terputus oleh dinding permanen, dimana umumnya peralihan ruang sholat utama terhadap selasar atau serambi masjid. |
Sumber: Penulis
Ruang sholat pada bangunan masjid terbagi menjadi dua yakni ruang sholat untuk makmum laki-laki dan ruang sholat untuk wanita. Pada ruang utama masjid di denpasar ruang sholat wanita terletak pada bagian belakang makmum laki-laki baik itu sebelah kiri atau sebelah kanan, akan tetapi yang membedakan pandangan mereka adalah mengenai pembatas atau hijab antara makmum laki-laki dan wanita sehingga dapat dilihat sejauh mana keyakinan atau pemahaman mereka mengenai hal tersebut dapat dilihat dari pembatas yang mereka buat antara makmum laki-laki dan perempuan. Semakin permanen atau semakin tertutup hijab jemaah laki-laki dan perempuan berarti menggambarkan pengurus semakin paham atau memegang teguh aturan tersebut
Terdapat empat jenis pembatas ruang sholat laki-laki dan wanita pada bangunan masjid di denpasar yaitu; berupa tirai , partisi kayu atau rotan, dinding pembataspermanen dan perbedaan lantai bangunan. Partisi berupa tirai merupakan pembatas yang digunakan dengan menggunakan kain dimana pembatas ini bisa dipindahkan dan dibuka pada kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum’at dimana kaum wanita tidak diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat wanita digunakan untuk keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa digeser atau dipindahkan.
Partisi berupa tirai merupakan pembatas yang digunakan dengan menggunakan kain dimana pembatas ini bisa dipindahkan dan dibuka pada kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum’at dimana kaum wanita tidak diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat wanita digunakan untuk keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai (lihat Gambar 3) bisa digeser atau dipindahkan. Pembatas hijab yang menggunakan tirai dan partisi bergerak memiliki keuntungan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan jemaah karena pada saat sholat fardu memang tidak terlalu besar akan tetapi pada saat tarawih jumlahnya bisa berimbang sehingga tirai bisa digeser posisinya membelah jemaah laki-laki dan wanita. Untuk masjid berukuran cukup besar maka pembatas ruang makmun laki-laki dan wanita dipisahkan secara tegas akan tetapi pembatasnya dibuat transparan atau memanfaatkan bangunan lantai atas untuk jemaah wanita sehingga kontak langsung dapat dihindarkan.
Gambar 2. Partisi berupa panel kayu yang bisa dipindahkan Sumber: Penulis
Gambar 3. Partisi berupa tirai kain Sumber: Penulis
Pengaruh Arah Kiblat dan Bentuk lahan terhadap Ruang Masjid
Arah kiblat mempengaruhi bentuk ruang dan susunan ruang Masjid di Denpasar, pada dasarnya yang menjadi pedoman didalam merencanakan ruang masjid adalah menghadap kiblat dan mampu menampung banyak jemaah dan tidak memutus shaf sholat. Di kota denpasar didalam menentukan kiblat maka sebelum membangun masjid panitia pembangunan masjid menghubungi BMG (Badan Metereologi Geofisika untuk menentukan kordinat arah kiblat dimana berdasarkan data yang didapatkan dilapangan masjid di denpasar memiliki arah kiblat 34,50o dari arah barat menuju utara, setelah ditemukan kordinat tersebut maka diajukan ke pengadilan agama untuk mendapatkan keabsahan data.
Terdapat tiga bentuk orientasi arah kiblat pada masjid di denpasar yaitu; pertama, bangunan masjid tetap menghadap arah barat akan tetapi arah shaf tetap mengarah ke kiblat, kedua orientasi ruang sholat utama atau masjid keduanya menghadap arah kiblat kemudian bentuk yang ketiga arah bangunan berbeda tipis terhadap arah kiblat sehingga shaf tetap sejajar dengan dinding depan bangunan. Berdasarkan analisa data dilapangan kecendrungan orientasi masjid dengan melihat melihat arah perkembangan bentuk masjid, bangunan masjid berupaya untuk mensejajarkan antara orientasi bangunan dan
orientasi sholat (lihat Gambar 4). Penentuan konsep arah kiblat adalah dasar didalam membentuk morfologi ruang masjid di Denpasar sehingga setelah melihat bentuk tapak orientasi dan bentuk ruang saling mengisi dan menyesuaikan agar penggunaan lahan optimal. Ruangan sholat yang ideal adalah orientasi bangunan dan arah kiblat sejajar sehingga selain ruang terkesan terencana juga memberikan nilai yang lebih terhadap bentuk ruang dalam yang justru lebih optimal penggunaannya.
Gambar 4. Orientasi arah kiblat terhadap orientasi bangunan Sumber: Penulis
Analisis Bentuk Arsitektural
Analisis arsitektural meliputi analisis morfologi terhadap bagian dasar, tubuh, atap, serta komponen-komponen pendukung yang terdapat pada masjid di Denpasar Bali. Analisa terhadap bagian tersebut diperinci lagi menjadi bagian dasar (pondasi), tubuh (ruang utama, mihrab, mimbar, dinding bangunan, kolom atau portal, serambi), atap dan komponen-komponen tambahan (gerbang,menara dan tempat wudhu’).
Ketebalan pondasi berperan menentukan ketinggian lantai dasar dari tanah dimana menjadi ciri bangunan di Bali baik itu Bale maupun rumah tinggal. Konsep penebalan ini juga diterapkan bangunan masjid di Denpasar. Perbedaan ketinggian lantai yang jauh dari tanah digunakan karena dapat menjaga kesucian masjid dan membentuk ruang pembatas semu antara ruang dalam dan luar masjid. Pada dasarnya tidak ada filosofi dari arsitektur Islam yang mengatur mengenai ketinggian pondasi sehingga beberapa masjid memiliki pondasi yang tinggi. Bagian dasar bangunan yaitu berupa kaki bangunan pada arsitektur bali terdapat ragam hias yang melengkapinya, hal ini juga terdapat pada beberapa kasus bangunan masjid di Denpasar.
Gambar 5. Orientasi arah kiblat terhadap orientasi bangunan Sumber : Penulis
Analisis pada bagian tubuh masjid meliputi analisis terhadap bagian-bagian komponen yang berada pada tubuh masjid seperti; ruang utama, mihrab, mimbar, dinding bangunan, kolom atau portal, dan serambi, berikut ini merupakan pembahasan dari komponen-komponen dari bagian tubuh masjid tersebut.
Masjid di Denpasar Bali memiliki bentuk denah bujur sangkar dan persegi panjang dibagian dalam masjid biasanya terdiri dari beberapa ruangan sehingga memiliki perbedaan dengan ruang sholat pada masjid di Indonesia pada umumnya dimana ruangan tidak terbagi-bagi. Ruangan Utama pada bangunan masjid di Bali memiliki pendekatan bagaimana untuk menampung jemaah semaksimal mungkin dan mengatur sirkulasi udara yang optimal sehingga rancangan masjid banyak yang menyesuaikan bangunan arsitektur bali dimana bangunan di dalam tapak dibuat tanpa dinding. Karena tidak ada aturan konsep dinding didalam Islam maka bentuk tersebut di pakai pada beberapa bangunan Masjid di Denpasar, sehingga bangunan masjid dibuat pagar keliling kemudian ruangan utamanya dibuat terbuka. Konsep tanpa dinding pembatas membuat kapasitas sholat lebih optimal sehingga jemaah bisa memanfaatkan ruang serambi atau selasar karena tidak ada dinding yang bisa memutus shaf sholat.
Gambar 6. Konsep Dinding terbuka Masjid di Denpasar Sumber: Penulis
Gambar 7. Denah masjid tanpa pembatas dinding Sumber: Penulis
Pengertian mihrab yang dikenal sekarang adalah sebuah ruangan didalam masjid tempat imam memimpin sholat, terletak disisi barat laut masjid sebagai arah tanda kiblat. Pada umumnya mihrab masjid di Indonesia terletak pada dinding barat masjid tepatnya dibagian tengah dibagian barat masjid dan berjumlah satu buah. Di negara-negara Islam, jumlah mihrab didalam sebuah masjid terkadang lebih dari satu dan mihrab tersebut tempat para imam dari masing-masing mazhab yang terdapat disana (Aboebakar dalam Fanani,2009)
Berdasarkan kasus masjid Di Kota Denpasar tidak ditemukan masjid yang memiliki dua buah mihrab dan memiliki bentuk ruang mihrab yang relatif sama yaitu berupa bujur sangkar dan persegi panjang yang melintang terhadap arah kiblat yang menjorok keluar. Bentuk tampak mihrab pada masjid di Denpasar umumnya terdiri dari lima tipe bentuk dasar pertama bentuk portal melengkung dengan kubah bawang tidak bertingkat dan bertingkat yang kedua bentuk lengkung berupa setengah lingkaran tidak bertingkat dan bertingkat.bentuk ketiga gabungan kubah bawang dan setengah lingkaran, bentuk keempat bentuk segitiga dan yang kelima berbentuk datar.
Bentuk dasar tipe pertama merupakan bentuk portal mihrab yang menggunakan bentuk lengkung yang dikenal dengan kubah bawang dimana terdiri dari dua jenis yaitu bentuk kubah satu tingkat dan bentuk kubah yang bertingkat dua atau lebih. Bentuk dasar mihrab tipe kedua merupakan bentuk portal yang berupa lengkungan setengah lingkaran dimana terbagi menjadi dua bentuk lengkung yaitu tidak bertingkat dan bertingkat. Bentuk dasar tipe tiga merupakan bentuk mihrab dengan memiliki bentuk dasar gabungan dari tipe satu dan dua, dimana. Bentuk tipe keempat adalah mihrab yang berbentuk segitiga. Sedangkan bentuk terakhir adalah berbentuk datar berupa persegi panjang.
Gambar 8. Bentuk ambang mihrab masjid di Denpasar Sumber : Penulis
Mimbar merupakan tempat yang digunakan untuk berkhotbah atau memberikan ceramah untuk menyampaikan suatu berita (pengumuman) pada jemaah sholat. Umumnya hal ini diberikan khotib yang menyampaikan khotbah sebelum menyelenggarakan sholat Jum’at. Umumnya didalam khotbah dikemukakan masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan.
Pada umumnya mimbar terbuat dari bahan kayu yang dipenuhi dengan hiasan dan ukiran. Mimbar dinegara-negara Islam atau mimbar tua di Indonesia umumnya berbentuk kursi yang tinggi dan memiliki tangga. Akan tetapi tidak seperti mimbar pada Masjid di Denpasar Bali dimana pada umumnya mimbar hanya berupa kotak yang terdapat tempat duduk dibaliknya yang tidak memiliki anak tangga untuk mencapai keatas mimbar dan tidak memiliki atap penutup mimbar yang biasanya berbentuk setengan kubah pengaruh dari seni timur tengah dan biasanya terdapat pada masjid tua di Indonesia.
Gambar 9. Bentuk mimbar masjid di Denpasar Sumber: Penulis
Serambi merupakan teras yang memanjang di sekeliling dinding luar masjid atau pada bagian sisi tertentu. Banyak penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia dilengkapi dengan serambi keliling seperti yang dikemukakan oleh de graff dalam Nas dan Vletter (2009), bahwa salah satu ciri dari masjid di Jawa memiliki serambi keliling, hal serupa juga dikemukakan oleh Pijper dalam Nas dan Vletter bahwa masjid di Jawa memiliki beranda baik di sebelah depan (timur) atau samping yang disebut Surambi atau Siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda).
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Tjandrasasmita (2009) ,dimana menurut beliau masjid-masjid kuno di Indonesia mempunyai serambi di depan atau disamping ruangan utama masjid. Sedangkan Setiabudi (2006), menyebutkan masjid di Jawa dilengkapi dengan Serambi atau pendopo, serambi pada masjid di Jawa umumnya berupa bangunan dengan massa terpisah dengan bangunan masjid yaitu menyerupai pendopo seperti pada Masjid Demak. Penelitian yang manjadi petunjuk tranformasi bentuk masjid dari masjid kuno sampai saat ini dikemukakan oleh Rosniza (2008), dimana dalam penelitian nya terhadap masjid di Malaysia ditemukan serambi keliling umumnya ditemukan didalam masjid tua sedangkan untuk masjid yang baru cenderung tidak memiliki serambi keliling.
Serambi pada masjid tua di Indonesia lebih digambarkan sebagai tempat untuk bersantai dan duduk duduk bagi para jemaah sebelum atau sesudah melaksanakan sholat bahkan pada kondisi jemaah yang banyak serambi dimanfaatkan sebagai tempat sholat. Meskipun demikian keberadaan serambi bukan hal wajib didalam masjid , berdasarkan hasil penelitian masjid di Denpasar hanya ditemukan kasus masjid yang memiliki serambi sedangkan masjid lainnya tidak memiliki serambi melainkan hanya teras depan yang tidak dibatasi kolom dan hanya berfungsi sebagai sirkulasi karena kurang nyaman atau tidak bisa digunakan untuk duduk duduk oleh jemaah , sedangkan ada beberapa kasus dimana serambi dan ruang dalam menjadi satu kesatuan karena bangunan tidak memiliki dinding pembatas melainkan terbuka.
Temuan pada penelitian masjid di Denpasar keberadaan serambi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu keterbatasan lahan dan pemahaman pengurus maupun pendiri masjid terhadap Al-Quran dan Hadist. Faktor keterbatasan lahan cukup kuat didalam keberadaan serambi pada bangunan masjid di Denpasar, keberadaan serambi pada lahan yang terbatas dianggap tidak diperlukan karena ruang utama masjid kekurangan menampung jumlah jemaah sehingga bangunan diperlebar mengoptimalkan lahan dengan menggunakan ruangan ysng seharusnya bisa berfungsi sebagai serambi tersebut.
Meskipun bangunan masjid tidak memiliki serambi bangunan masjid memiliki teras depan terutama di pintu utama masjid. Faktor kedua yang mempengaruhi keberadaan serambi pada masjid di Denpasar adalah pemahaman pengurus maupun pendiri masjid terhadap Al-Quran dan Hadist dimana aturan sholat berjemaah menghendaki shaf sholat tidak boleh terputus baik oleh tiang ataupun dinding, sedangkan serambi memiliki posisi diluar bangunan yang dibatasi dinding. Masjid yang memiliki serambi umumnya sering digunakan makmum untuk melaksanakan sholat berjemaah pada saat ruang dalam tidak menampung padahal dari aturan Al-Quran dan Hadist mereka harus mengulang sholat
mereka karena dianggap tidak sah, untuk itulah pendiri masjid tidak membuat serambi di sekililing masjid karena di khawatirkan akan digunakan oleh jemaah untuk sholat.
Atap merupakan komponen penting didalam memberikan karakter gaya suatu Arsitektur. Frishman, Khan dalam Fanani, (2009), membagi tujuh tipologi Arsitektur masjid di dunia dimana salah satunya tipologi Masjid di Asia Tenggara dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua, tiga atau lebih yang menyerupai wantilan. Dari teori yang dibangun salah satu faktor pertimbangan adalah bentuk atap dimana atap tumpang menjadi karakter masjid di Asia Tenggara.
Banyak teori yang di bangun mengenai asal usul morfologi masjid di Nusantara dengan menitik beratkan pada analisis bentuk atap bangunan. Stutterheim (1953), menyatakan bahwa bangunan masjid tidak mungkin dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil dan sempit didalam candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan sebuah masjid dimana sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar oleh karena itu beliau berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) bangunan yang sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum Islam yang masih ada keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat, memiliki bumbung dan sisinya tidak memiliki dinding. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh H.J de Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih bangunan yang dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena kegiatan tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung wantilan hanya satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid tradisional di Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid tradisional di Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar (India).
Nas dan Vletter (2009) dan Setiabudi (2006) juga memberikan keterangan bahwa ciri dari masjid tua di Jawa memiliki bentuk atap tumpang sedangkan secara lebih luas Tjandrasasmita (2009), mengatakan bahwa salah satu cirri masjid tua di Nusantara memiliki bentuk atap tumpang, pendapat beliau dirasakan membuka peluang penelitian bahwa atap tumpang belum tentu berasal dari Jawa hal ini diperkuat dengan penelitian Rosniza (2008), dimana didalam penelitiannya menyimpulkan bentuk atap masjid tua di Nusantara lahir dari kearifan lokal budaya masing-masing daerah dimana penelitiannya terhadap masjid minang dan daerah lainnya memiliki bentuk atap tumpang yang berbeda dengan masjid di Jawa. Kearifan lokal berperan penting didalam bentuk arsitektur masjid di setiap daerah diperkuat oleh penelitian Aufa (2010), dimana didalam temuan penelitiannya bentuk atap tumpang Masjid Sultan di Kalimantan selain memiliki bentuk dan sudut kemiringan yang berbeda dengan masjid di Jawa juga memiliki makna bentuk yang berbeda pula termasuk symbol-simbol yang terdapat pada atap masjid.
Di dalam buku yang sama Nas dan Vletter (2009), menyatakan bahwa kehadiran bentuk atap kubah di Nusantara disebabkan pengaruh dari luar seperti Timur Tengah dan India hal ini dipengaruhi faktor politik dan keinginan para ulama atau petinggi umat muslim membangun masjid di Nusantara dengan gaya arsitektur masjid di Timur Tengah karena mereka sering mengunjungi tempat tersebut baik dalam kunjungan dagang, politik maupun saat menunaikan ibadah Haji. Kehadiran bentuk atap masjid kubah di Nusantara
diawali oleh masjid Agung di Aceh yang menggunakan atap kubah yang kemudian menyebar sampai saat ini sehingga bangunan masjid yang didirikan saat ini cenderung menggunakan bentuk atap kubah. Berdasarkan beberapa kutipan teori diatas memang sulit untuk membenung atau mengatur gaya masjid yang akan didirikan khususnya bentuk atap karena tidak ada aturan yang melarang penggunaan bentuk atap tertentu di dalam bangunan masjid.
Walaupun umat islam berkiblat dari segi akidah kepada negeri Arab bukan berarti juga berlaku pada bentuk arsitekturnya hal ini sesuai dengan penelitian Surat (2011), dimana ia menganggap asas pemikiran bentuk atap bumbung meru yang terdapat di alam Melayu sesungguhnya didasari oleh gagasan masjid di Timur Tengah.
Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa bentuk memiliki posisi tidak terlalu penting asalkan tidak bertentangan dengan filosofi dasar aturan Agama Islam. Dari banyak penelitian belum banyak yang bisa menyimpulkan makna bentuk atap tumpang atau mengapa mesjid menggunakan atap tumpang tersebut dari penelitian yang sudah dilakukan kebanyakan alasan mengapa menggunakan bentuk atap tersebut dikarenakan bentuknya menunjang untuk ruang yang memerlukan bentang lebar akan tetapi didalam merumuskan teori yang tepat kita harus melihat kembali bangunan yang memiliki bentuk menyerupai atap tumpang sebelum masuknya agama Islam di Nusantara. Terdapat dua jenis bangunan yang pada masa sebelum masuknya agama Islam yang memiliki bentuk atap tumpang yaitu wantilan (Bali) atau pendopo(Jawa) dan Meru (bangunan suci Hindu) atau Pagoda (bangunan suci umat Budha).
Beberapa peneliti sebelumnya kurang sepakat kalau masjid mengadopsi bentuk wantilan karena bangunan ini sering digunakan sebagai sarana judi, sedangkan bentuk atap meru atau pagoda tidak memiliki ruang yang cukup besar didalamnya akan tetapi hal yang paling mendasar dimiliki oleh nenek moyang di Nusantara sebelum masuknya Islam bahwa bentuk atap bangunan memiliki nilai dan makna yang tinggi sebagai contoh hampir semua rumah adat yang ada menganggap bagian atap merupakan area paling suci sehingga bagian atap diletakan simbol atau tempat penyimpanan barang pusaka. Atap bertingkat pada bangunan tradisional juga memiliki makna yang berbeda makin banyak tingkatannya maka semakin tinggi nilai bangunan tersebut. Seperti di bugis rumah yang memiliki atap tingkat makin banyak menunjukan tingkat sosial pemiliknya.
Kepercayaan Hindu juga mengatakan jumlah tingkatan atap lebih dari dua merupakan bentuk yang hanya boleh digunakan untuk bangunan suci bagi para dewa. Dari pandangan nenek moyang Nusantara bentuk atap bertingkat pada meru dan pagoda memiliki nilai yang sakral sehingga bentuk atap tumpang pada masjid tua di Indonesia bukan karena kebutuhan akan struktur atap semata melainkan setelah masuk Islam mereka tetap memandang bahwa atap tumpang memiliki nilai sakral yang cocok untuk diterapkan pada atap masjid, akan tetapi mereka juga menggunakan konsep wantilan atau pendopo di dalam bentuk atap karena wantilan atau pendopo memiliki fungsi yang sama dengan ruang sholat dimana sama-sama perlu menampung jumlah orang banyak didalamnya sehingga bentuk atap tumpang masjid di Nusantara mengadopsi bentuk yang sering digunakan sebelumnya, bentang lebar yang dibutuhkan ruang sholat dirasakan sesuai dengan wantilan atau pendopo sedangkan nilai sakral bangunan masjid meminjam bentuk meru. Dari dugaan mengenai bentuk atap masjid yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti sebelumnya penelitian masjid di Denpasar bali dianggap peneliti sebagai perwakilan dari proses terbentuknya arsitektur masjid di Nusantara hal ini karena di Bali penganut agama Hindu masih mendominasi dan pengaruh budaya luar baik Islam maupun Modern cukup kuat ditengah masyarakat lokal yang berusaha teguh mempertahankan Budaya dan Kepercayaannya.
Gambar 10. Bentuk atap 30 kasus masjid di Kota denpasar Sumber: Penulis
Penggunaan atap tumpang pada masjid di Kota Denpasar Bali masih banyak digunakan (lihat Gambar 9), berdasarkan penelitian dilapangan setiap pendiri masjid berusaha untuk membaur dengan budaya lokal sehingga bentuk atap tumpang dinilai memiliki bentuk yang sesuai dengan bentuk atap bangunan lokal . uniknya dari kasus yang ditemui atap tumpang Masjid di Denpasar rata-rata bertumpang dua, hanya pada beberapa kasus yang menggunakan atap tumpang tiga, berdasarkan hasil wawancara mendalam para pendiri masjid berusaha menjaga hubungan baik dengan etnis lokal yaitu penganut agama Hindu dimana atap tumpang tiga hanya boleh digunakan pada bangunan suci mereka sehingga para pendiri bangunan masjid menghindari menggunakan atap bertumpang tiga. Hal ini justru memperkuat pendapat peneliti bahwa bentuk atap tumpang masjid di Nusantara juga dipengaruhi bentuk bangunan meru.
Gerbang merupakan pintu masuk sebelum kehalaman dalam masjid atau ruang dalam masjid. Menurut Pijper dalam Nas dan Vletter (2009), bangunan masjid di Nusantara memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya (gerbang) di bagian muka sebelah timur. Tjandrasasmita (2009) juga mengungkapkan disekitar masjid diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Hal yang sama juga ditemukan olehUtaberta dkk (2009), dimana mereka
mengungkapkan bahwa Gerbang yang tidak berbumbung biasanya disebut Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang berbumbung biasanya disebut Gapura (Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit disebut Gopura. Fanani (2009), didalam tulisanya juga mengatakan selain didalam masjid terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada masjid juga sering terdapat gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada posisi gerbang masuk kedalam masjid.
Kota Denpasar sebagai kota Budaya masih memegang teguh keberdaan gerbang, dimana hampir semua bangunan baik itu bangunan suci, publik sampai bangunan tempat tinggal tidak lepas dari keberadaan gerbang. Keadaan lingkungan di sekitar secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan gerbang pada masjid di Denpasar Bali. Sejatinya keberadaan gerbang merupakan bagian yang yang terpisahkan dari masjid hal ini dapat ditemukan pada masjid di Timur Tengah dan Asia. Akan tetapi gerbang pada bangunan mereka cenderung menyatu dengan badan bangunan sehingga gerbang berfungsi sebagai pintu masuk utama bukan bagian yang menyatu dengan pagar keliling. Walaupun Kota Denpasar didominasi penggunaan gerbang didalam bangunan tidak semuanya mempengaruhi keberadaan gerbang pada masjidnya.
Gambar 11. Gerbang masjid bergaya Arsitektur Bali pada masjid di Denpasar
Sumber : Penulis
Keberadaan gerbang pada Arsitektur Bali selain sebagai batas peralihan juga berfungsi sebagai pembatas area profan dan sakral. Sedangkan menurut Nasr (2003), Arsitektur Islam tidak mengenal istilah profan dan sakral melainkan semua ruang memiliki nilai yang sama. Hal ini juga sejalan dengan data dan analisa yang diperoleh dari lapangan bahwa keberadaan gerbang hanya merupakan pembatas dan kreasi seni di dalam menciptakan keindahan Arsitektur Masjid.
Gambar 12. Gerbang masjid bergaya timur tengah dan modern Sumber : Penulis
Menara merupakan elemen tambahan pada masjid , keberadaan menara merupakan elemen yang diadopsi dari kebudayaan agung Persia dan Romawi, adapun fungsi dari menara adalah elemen vertikal yang berfungsi memberikan nilai keagungan kepada suatu bangunan. pada ciri-ciri masjid tua di Indonesia tiak ada yang menyebutkan salah satunya memiliki menara sehingga menara bukanlah bagian dari masjid di Indonesia. Akan tetapi keberadaan mulai muncul setelah beberapa lama bangunan masjid tersebut berdiri hal ini sesuai tulisan schouten dalam Nas dan Vletter (2009), menyebutkan bahwa masjid di Banten, Ternate, Makasar, dan Jepara telah dilengkapi menara, saya menduga dari ketiga masjid sebelumnya yang ia maksud adalah atap tumpang susun tiga atau lima. Ia menyebutkan bahwa menara itu digunakan untuk mengumandangkan azan. Keberadaan menara pada masjid di Denpasar Bali juga hampir sama dengan masjid yang disebutkan Schouten yaitu dibangun menyusul setelah bangunan masjid tersebut berdiri. Untuk gaya arsitektur menara masjid umumnya selalu menyesuaikan gaya arsitektur masjid itu sendiri akan tetapi melihat pada teori yang diungkapkan Iskandar (2004), perancangan masjid terkadang tidak ada skenario atau terencana dengan baik melainkan mengalir apa adanya, ditambah kemunculan menara beberapa tahun setelah masjid tersebut berdiri.
Dari beberapa kutipan diatas sangatlah jelas keberadaan menara benar-benar merupakan elemen tambahan dimana keberadaanya bukanlah suatu keharusan. Dari 30 kasus Masjid di kota Denpasar terdapat dua jenis menara pada masjid, pertama menara yang berdiri terpisah dari bangunan yang biasanya berada disisi bangunan dan menara yang menyatu pada badan bangunan. keberadaan menara pada Masjid di Denpasar salah satunya dikarenakan peraturan yang membatasi ketinggian bangunan sehingga ketinggian menara kurang optimal sehingga pemilihan menara yang menyatu dengan badan bangunan lebih menjadi pilihan. Keberadaan menara pada masjid di Indonesia sebelumnya berfungsi untuk mengumandangkan azan fungsi ini sebenarnya tidak berubah hal ini dapat dilihat fungsi menara masjid di Denpasar saat ini digunakan untuk meletakan pengeras suara
pada bagian puncak menara. Begitupula pada bentuk menara sudut atau menara yang menyatu dengan badan bangunan.
Gambar 13. Bentuk menara tunggal dan menara sudut pada masjid di Denpasar Sumber : Penulis
Lingkungan sekitar berperan untuk mempengaruhi gaya arsitektur masjid di Denpasar hal ini terbukti dari banyak penggunaan ragam hias bergaya Bali pada komponen bangunan masjid baik itu gerbang, pagar, kolom, dinding, plafón, sampai bagian atap bangunan. Gerbang dan pagar merupakan elemen paling terdepan dari bangunan masjid dan umumnya menjadi titik tangkap mata sebelum memasuki masjid, sehingga baik gerbang maupun pagar pada Masjid di Denpasar Bali banyak yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali. Selain pada pagar penggunaan elemen tersebut juga banyak terdapat pada ornamen yang melekat pada dinding , kolom dan balok
Gambar 14. Ragam hias pada elemen bangunan masjid di Denpasar Sumber : Penulis
Pengaruh arsitektur Bali yang hampir terdapat pada semua kasus yang digunakan adalah pengguaan bentuk plafón yang menonjolkan kasau yang sering ditemukan pada bangunan Bale pada Arsitektur Tradisional Bali. Meskipun dari segi tampilan bangunan tersebut menggunakan konsep modern maupun Timur Tengah. Bagian atap juga sedikitnya terpengaruh karena terdapat penggunaan ragam hias pada jurai luar atap yang umumnya terdapat pada bangunan Tradisional Bali.
Perpaduan dan Modifikasi Ragam Hias Arsitektur Bali dengan gaya arsitektur Timur tengah dan etnik lain merupakan temuan unik didalam penelitian ini karena hal ini merupakan tolak ukur dari beberapa teori yang dikaji karena selain lingkungan berpengaruh terhadap gaya Arsitektur lingkungan juga bisa melahirkan perpaduan gaya arsitektur yang unik seperti aplikasi ragam hias arsitektur Bali yang dikawinkan dengan Arsitektur Minang (lihat Gambar 12) dimana kelompok etnik minang berupaya
mempertahankan budaya mereka didalam penggunaan ragam hias arsitektur Bali. Kemudian hal ini juga ditemukan pada kasus 18 dan 26 dimana terjadi modifikasi elemen ragam hias Arsitektur Bali dan ragam hias yang dikenal pada Arsitektur Islam pada umumnya seperti bentuk kubah. Seperti pada gerbang masjid Al Hikmah pada bagian puncak gerbang diganti bentuk kubah dan lambang bulan sabit dan bintang (lihat Gambar 10).
Dari semua kasus yang dijumpai termasuk bangunan masjid yang di dominasi Arsitektur Tradisional Bali uniknya tetap mempertahankan Arsitektur Timur Tengah atau tampilan Arsitektur Modern yang sederhana pada bagian interior masjid sehingga apabila dibuat hirarki penggunaan Arsitektur Bali pada bangunan masjid terdapat tiga tingkatan dimana yaitu ruang dalam bangunan, kulit luar bangunan, dan pagar atau gerbang bangunan. Penggunaan ragam hias Bali hanya terjadi di Kulit Luar dan Pagar bangunan.
Gambar 15. Hirarki penggunaan elemen ragam hias dan bentuk arsitektur Bali Sumber: Penulis
Simpulan
Lingkungan berpengaruh terhadap arsitektur masjid di Denpasar. Walaupun masjid di Indonesia saat ini umumnya dipengaruhi arsitektur masjid bergaya Timur Tengah dan India, masih ada masjid di Denpasar yang mengambil konsep lokal dan diterapkan didalam bangunan masjid. Konsep lokal tersebut ditemukan pada konsep bangunan tanpa dinding seperti bale atau wantilan dan dikelilingi oleh pagar, keberadaan dinding hanya pada bagian sebelah barat. Keunikan morfologi arsitektur masjid di Denpasar adalah penerapan elemen ragam hias bali banyak ditemukan pada bagian terluar bangunan yaitu pagar dan dinding luar bangunan masjid akan tetapi semakin mendekati bangunan inti yaitu ruang sholat utama dan mihrab elemen arsitektur Bali tidak ditemukan, sehingga terlihat jelas walaupun arsitektur masjid terpengaruh oleh Arsitektur Bali terdapat resistensi budaya didalam nya.
Bentuk ruang sholat utama pada masjid di Denpasar umumnya memiliki bentuk dasar persegi dan setiap ruang berupaya menghindari keberadaan tiang di tengah ruang sholat. Selain itu orientasi ruang sholat seiring waktu berupaya agar tegak lurus dengan arah
kiblat. Bentuk lainnya adalah atap tumpang, dari beberapa kasus umumnya masjid di Denpasar menggunakan atap tumpang akan tetapi umumnya memiliki tumpang dua, berdasarkan hasil wawancara atap tumpang dua ini digunakan untuk menjaga toleransi terhadap kepercayaan Hindu dimana jumlah atap tumpang tiga sering digunakan pada bangunan suci umat hindu. Berdasarkan pengamatan dilapangan terdapat dua kecendrungan dasar arah perkembangan bentuk arsitektur masjid di Denpasar yang pertama adalah berusaha untuk mengadopsi dan memodifikasi Arsitektur Bali pada rancangan masjidnya dan kedua bangunan masjid mengarah kepada bentuk arsitektur masjid bergaya Timur Tengah dan India hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus seperti masjid yang menambahkan elemen tambahan yang menyerupai masjid di Timur Tengah walaupun hanya pada bagian tertentu masjid.
Berkaitan dengan perkembangan teori morfologi masjid di nusantara pada penelitian ini ditemukan bahwa lingkungan lokal berpengaruh terhadap pembentuan morfologi masjidnya, sehingga pendapat yang dikemukakan oleh De Graaf bahwa masjid tua di Indonesia dipengaruhi bentuk masjid Malabar kuranglah kuat. Begitu juga pendapat Pijper yang mengatakan bahwa morfologi masjid di Jawa mempengaruhi masjid di nusantara juga sulit untuk diterima. Dari hasil pengamatan peneliti sependapat dengan Stutterheim dalam nas & vletter (1953), dimana secara fungsi masjid memerlukan ruangan yang lebar dimana wantilan atau pendopo merupakan bangunan yang memiliki ukuran yang sesuai untuk dijadikan masjid dan untuk menambahkan nilai sakralnya para pendiri masjid mengambil bentukan meru sehingga tidak heran masjid di nusantara beratap tumpang. Selain atap didalam perkembangannya wantilan tersebut dibuat dinding keliling sehingga terciptalah bentuk dasar masjid-masjid di Nusantara. Pada arsitektur masjid di Bali ditemukan lagi masjid yang menyerupai bentuk wantilan tanpa ada dinding akan tetapi memiliki pagar keliling dan ini memberikan makna bahwa pengaruh lokal sanga kuat pada pembentukan karakter masjid. Masjid di Denpasar umumnya sesuai dengan Arsitektur Islam berdasarkan teori yang direferensi dimana umumnya arsitektur islam menjaga hubungan yang baik dengan alam dan sesama manusia sehingga penggunaan elemen arsitektur Bali tidak dipermasalahkan asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Daftar Pustaka
Fanani, A (2009) Arsitektur Masjid. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Gardiner, S (1983) Introduction to architecture. Oxford: Equinox Ltd.
Hamidy, Fachruddin, Thaha, dkk (1993) . Terjemahan Hadist Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya , Cetakan ke-13 Vol 415 hal 227.
Iskandar, S. B (2004) Tradisionlitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid. Universitas Kristen Petra, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol.32, No. 2.
Aufa, N (2010) Tipologi Ruang dan Wujud Arsitektur Masjid Tradisional
Kalimantan Selatan, Bandung: Journal of Islamic Architecture Vol I,2010.
Rosniza Binti Othman & Inangda, N & Ahmad, Y (2008) A Typological Study Of Mosque Internal spatial Arrangement : A Case Study on Malaysian Mosque 1700-2007, Kuala Lumpur : Journal Of Design and the Built Environment University of Malaya.
Salain, R (2011) Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar”(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Nas, P.J.M & Vletter,M.D (2009). Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Setiabudi, B (2006) A Study on the History and development of the Javanese Mosque typology of The Plan and Structure of The Javanese Mosque and It’s Distribution Journal of Asian Architecture and Building engineering. Vol.5, No 2 pp 229-236.
Tjandrasasmita. 2009. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta:Cetakan pertama. Kepustakaan Populer Gramedia.
Utaberta, N & Kosman, K,A & Tazilan A, S, M (2009) Tipologi rekaBentuk Arsitektur Tradisional di Indonesia, International Journal of the malay world and Civilization :229-245.
Utaberta, nangkula (2004) Konsep Arsitektur Islam dan perumahan islam dari Perspektif Sunnah, Surakarta: Simposium Nasional Arsitektur Islam 2004 Universitas Muhammadiyah
200 SPACE - VOLUME 2, NO. 2, OCTOBER 2015
Discussion and feedback