PERUMAHAN MULTI-LANTAI DAN

RUANG


SPACE


DIMENSINYA: PEMBANGUNAN HUNIAN

MASYARAKAT PERKOTAAN

BERPENGHASILAN RENDAH DI INDONESIA

Oleh: Gusti Ayu Made Suartika 1

Abstract

This article questions the idea that multi-storey housing is an appropriate solution to the demand for affordable houses in urban areas, including Indonesian cities. It holds that problems pertaining to urban settlements cannot be separated from a high and uncontrolled flow of people into the city for economic reasons. In addition, it also promotes the idea that development of housing units does not merely address the problem of shelter. More importantly is the principle of constructing a flourishing community. Thus, the instigation of appropriate policies and strategies in handling a need for low income homes should be approached holistically. Following from this, consideration of political, legal-judicial, economic, technological, health, socio-cultural aspects should be included. Other items might include personal security, sustainability, and the provision of basic infrastructure. The basic principle here is the idea of constructing 'homes' not 'housing.' This article is structured into four sections. The first part lays out the context. The second section outlines practices involved in the provision of public housing in Indonesia including multi-storey development. The third section discusses the pros and cons of this process, using relevant experiences and case studies worldwide. The final section summarises prior discussions towards appropriate policy making in low income housing provision. The article concludes with a suggestion that the development of high-rise housing units should be thoroughly examined before adopting it as a general policy.

Keywords: Urbanisation, urban density, multi-storey housing unit, policies and strategies in housing provision

Abstrak

Artikel ini mempertanyakan ide tentang pembangunan perumahan multi-lantai sebagai solusi yang tepat dalam menangani kebutuhan perumahan yang layak di daerah perkotaan, termasuk kota-kota di Indonesia. Tulisan ini memandang bahwa, permasalahan perumahan di perkotaan berkaitan erat dengan terjadinya perpindahan penduduk yang tidak terkontrol menuju ke kota, untuk alasan ekonomi. Selain itu, paper ini mempromosikan ide bahwa pembangunan perumahan tidak hanya menangani masalah perumahan. Tetapi prinsip yang lebih penting disini adalah proses membangun sebuah komunitas serta mengakomodasi perkembangannya. Sehingga, instigasi kebijakan dan strategi berkenaan penanganan kebutuhan akan perumahan untuk golongan kurang mampu di daerah perkotaan harus didekati secara holistik. Beranjak dari ide ini, maka prosesnya harus melibatkan pertimbangan atas aspek politik, legal-judisial, ekonomi, teknologi, kesehatan, dan sosial-budaya. Elemen lain yang juga penting untuk diperhatikan disini adalah pertimbangan akan keamanan, sustanabilitas, dan ketersediaan infrastruktur pokok permukiman. Satu lagi prinsip dasar yang diusung disini adalah usaha untuk membangun 'rumah,' bukan 'tempat tinggal.' Artikel ini distrukturisasi menjadi empat bagian. Bagian pertama memaparkan konteks diskusi. Bagian kedua menjelaskan praktek-praktek yang terlibat dalam pengadaan perumahan untuk publik di Indonesia, termasuk pembangunan multi-lantai. Bagian ketiga mendiskusikan potensi dan hambatan dalam pembangunan perumahan multi-lantai, dengan memakai pengalaman serta be

berapa kasus dari beberapa negara di dunia. Bagian terakhir menyimpulkan diskusi-diskusi sebelumnya menuju pembangunan kebijakan yang tepat berkenaan pengadaan perumahan untuk kelompok berpendapatan rendah di kota. Artikel ini menyarankan bahwa pebangunan unit perumahan bertingkat tinggi harus secara seksama dikaji sebelum mengadopsinya sebagai sebuah kebijakan yang umum.

Kata kunci: Urbanisasi, urban densitas, rumah susun, kebijakan dan strategi dalam pengadaan perumahan

Pendahuluan

Pengadaan perumahan, khususnya untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di daerah perkotaan telah menjadi permasalahan dunia. Ini khususnya menjadi permasalahan yang mensyaratkan penanganan dengan urgensi tinggi bagi kota-kota di negara yang sedang berkembang. Namun, belum banyak negara yang telah secara sukses menangani kebutuhan ini, seperti halnya Singapore dan Hong Kong. Response terhadap masalah penyediaan tempat bermukim yang layak berkompetisi dengan permasalahan serta kepentingan lain yang juga dipandang memiliki urgensi penanganan tinggi. Ini termasuk: intensifnya arus urbanisasi, tingginya kepadatan penduduk, keberadaan pemukiman kumuh (slums dan squaters), kemacetan, peningkatan tindak kejahatan, polusi, dan keterbatasan infrastruktur pendukung operasional perkotaan sehari-hari (Suartika 2010a, 2013). Kondisi ini malah telah menjadi bagian dari rentetan pemandangan yang menjadi karakter kehidupan perkotaaan di negara-negara berkembang, termasuk Asia (Jack 2006).

Daya tarik kota telah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Berduyun-duyunnya penduduk memadati daerah perkotaan untuk berbagi sumber kehidupan, memang diakui berdampak positif terhadap ketersediaan tenaga kerja (murah) dalam mendukung berbagai proses produksi yang ada di kota dan sekitarnya. Perpindahan penduduk yang berkelanjutan dalam jumlah yang tidak terkontrol akan tetapi telah memunculkan beragam kebutuhan dasar yang seringkali melebihi kapasistas kota untuk memenuhinya (Lloyd 1979, Mehta 2000).

Urbanisasi dapat terjadi melalui:

  •    Pertumbuhan alami penduduk

  •    Migrasi desa-kota

  •    Reklasifikasi desa menjadi kota

(United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific dan United Nations Human Settlements Programme 2008:7)

Sebagai salah satu implikasi langsung dari kondisi ini adalah terjadinya peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal (temporer maupun permanen) sebagai akibat urbanisasi Jenkins, Smith dan Wang 2007). Level peningkatannya seringkali tidak berjalan beriringan dengan peningkatan pengadaan perumahan yang bisa diakses oleh penduduk kota, baik secara fisik, finansial, maupun sistem kebijakan. Jika permasalahan ini adalah bagian dari tugas negara (melalui badan pemerintahan yang ditunjuk untuk membawahi bidang perumahan), maka negara berpacu dengan laju urbanisasi yang saban waktu semakin tidak terkontrol. Sehingga tidak jarang penanganan kebutuhan akan tempat bernaung yang layak menjadi usaha yang jika diistilahkan ‘bak rumput di musim hujan, dicabut satu muncul seribu.’

Urbanisasi dan permasalahan akan perumahan telah menjadi dua kondisi yang tidak terpisahkan, – dua sisi mata uang yang berbeda tetapi terpadu menjadi satu. Bahkan beketerlanjutan pemenuhan tempat bernaung yang layak di daerah perkotaan tidak akan bisa dilaksanakan, kecuali arus urbanisasi juga pada saat yang sama dikontrol (UNHabitat dan UN-ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) 2008, Suartika 2010, Payne 1977). Pernyataan ini dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa dalam tiga dekade terakhir, level urbanisasi di seluruh dunia menunjukan tingkat peningkatan yang signifikan, khususnya di Benua Asia (Tabel 1).

Seiring pesatnya arus urbanisasi, permasalahan pemenuhan kebutuhan akan rumah di perkotaan menjadi salah satu tantangan pembangunan yang generik yang dihadapi berbagai satuan daerah perencanaan di seluruh dunia (Anzorena1996). Seperti halnya dengan pemenuhan kebutuhan akan pangan, kebutuhan akan tempat bernaung juga mensyaratkan pemenuhan yang mutlak. UN-Habitat sebagai Badan Perserikatan bangsa-Bangsa yang menangani bidang perumahan dan pemukiman bersama-sama dengan UNESCAP menggarisbawahi hal ini dengan menyatakan bahwa ‘akses terhadap rumah yang layak merupakan bagian dari hak setiap umat manusia’ (Bratt, Stone, dan Hartman 2006). Sementara itu, Summit Perserikatan Bangsa-Bangsa di bulan September 2005 kembali menekankan urgensi penanganan permasalahan ini. Dalam rumusan ke-7 – sasaran 11 dari rangkaian tujuan pembangunan global untuk millinium ketiga yang dihasilkan dalam Summit ini telah mentargetkan tercapainya pembangunan perumahan yang terjangkau bagi 100 juta jiwa penduduk perkotaan di tahun 2020. Pembangunan ini khususnya ditujukan bagi mereka yang bertempat tinggal di pemukiman kumuh. Target ini bisa dilaksanakan dengan pembangunan tempat bermukim yang baru atau dengan merevitalisasi permukiman informal yang ada. Summit ini juga menekankan bahwa yang manapun alternatif solusi yang dipilih, realisasi program ini harus dilengkapi dengan pembangunan infrastruktur permukiman yang memadai.

Tabel 1. Urbanisasi di Asia dan pertumbuhan kota

ASIAN URBANIZATION RATE AND URBAN GROWTH (1950-2025)

Urbanization rate

(% of population reside in urban areas)

Urban Growth (% per annum)

1950

1975

2000

2025

1950-1955

2000-2005

Asia (overall

16.8

24.0

37.1

51.1

3.57

2.61

Japan

34.9

56.8

65.2

71.7

3.62

0.36

Korea

21.4

48.0

79.6

85.2

1.79

1.03

Kampuchea

10.2

10.3

16.9

33.2

2.24

5.06

Laos

7.2

11.1

18.9

30.6

2.98

4.10

Nepal

2.7

4.8

13.4

27.2

4.12

5.29

Sumber: Disunting dari United Nations, Population Division 2006

Target yang dicanagkan melalui program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini tidak terlepas dari kenyataan di lapangan dimana urbanisasi telah secara signifikan mningkatkan jumlah penduduk kurang mampu di perkotaan. Kondisi ini merupakan konsekuensi lagsung dari tingginya jumlah tenaga kerja di sektor informal (sebagai akibat urbanisasi) yang tidak dibarengi dengan peningkatan ketersediaan lapangan kerja.

Inilah cikal bakal peningkatan tingkat kemiskinan di kota. Amartya Sen (2000), seorang pemenang Nobel Prize dari India dalam bukunya yang berjudul ‘Development as Freedom’ memahami kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk menjadi atau berada pada kondisi yang diharapkan. Ini tidak hanya melingkup keterbatasan dalam mencapai sumber daya finansial yang diinginkan, tetapi kemiskinan disini dipahami secara lebih luas, yang ditilik dari beragam dimensi. Dimensi-dimensi tersebut melingkup: (i) ketidakmampuan untuk memiliki mata pencaharian yang stabil; (ii) tidak memiliki akses terhadap tempat tinggal yang layak – laik huni maupun laik hukum-keadministrasian; (iii) absennya fasilitas pelayanan publik maupun infrastruktur pendukung; (iv) ketidakberadaan akses terhadap koneksi-koneksi sosial dan beragam hak yang secara legal telah diakui; (vi) ketidakmampuan untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan dari orang/pihak lain (Sen 2000). Amartya Sen juga menekankan bahwa, keterbatasan akses terhadap rumah merupakan salah satu dimensi kemiskinan.

Jika dikaitkan dengan hukum Piramida Maslow terkait klasifikasi kebutuhan maka pemenuhan kepentingan akan rumah menempati urutan yang paling bawah, bersama-sama dengan sandang dan pangan. Namun jika dikaitkan dengan kondisi kemiskinan diatas, keterbatasan menyebabkan pemenuhan akan kebutuhan untuk tempat berteduh ini jauh dari jangkauan. Sebagai jalan keluarnya, kelompok masyarakat berekonomi rendah ini akan berupaya memenuhi kebutuhan ini dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Misalnya, pemanfaatan (i) petak ruang dalam kota sebagai tempat bermukim; (ii) sumber daya pendukung seadanya untuk dipakai dalam mewujudkan tempat untuk tinggal. Inilah yang menjadi cikal bakal pemunculan pemukiman kumuh dan pemukiman ilegal perkotaan. Sebagai gambaran variasi jumlah penduduk yang bermukim di permukiman informal di Asia, Tabel 2 (di atas) mendemonstrasikannya secara statistik. Data telah dikelompokan berdasarkan empat area geografis di Benua Asia yang disesuaikan dengan kondisi di tahun 2001.

Tabel 2. Permukiman kumuh di Asia

INFORMAL SETTLEMENTS IN ASIA (Year 2005)

Region

Total population (in million)

Total urban population (in million)

Percentage of total population

Total slums population (in million)

Percentage of total urban population

East Asia

1,364

533

39.1

193.8

36.4

Middle Asia

1,449

429

29.6

253.1

59.0

Southeast Asia

530

203

38.3

56.8

28.0

West Asia

175

115

65.7

29.7

25.7

Total in Asia

3,519

1,280

36.4

533.4

41.7

Sumber: Disunting dari UN-HABITAT 2006/2007, 2006

Jika kita simak data yang dipresentasikan dalam Tabel 2 di atas, bisa diidentifikasi jika jumlah populasi Asia yang memiliki keterbatasan akses terhadap rumah tinggal yang layak cukup menggugah kesadaran kita akan seriusnya permasalahan ini. Di tahun 2005, lebih dari 40% dari penduduk pekotaan bernaung di bawah atap yang tidak aman. Tidak aman karena tempat tinggal mereka sewaktu-waktu rentan akan penggusuran; rentan

akan bahaya banjir; rentan akan penyebaran penyakit karena kondisi sanitasi yang tidak higienis; rentan akan kemungkinan mengidap penyakit tertentu, sebagai akibat dari pemanfaatan bahan bangunan yang yang berbahaya terhadap kesehatan (asbes misalnya); rentan akan kejahatan; dan rentan akan hal-hal lainnya. Jika kita pantau trend peningkatan level urbanisasi yang terjadi (Tabel 1), dan jika kita asumsikan bahwa pemukiman kumuh adalah salah satu konsekuensi dari proses urbanisasi, maka prosentase populasi yang menempati pemukiman informal sangat berpotensi untuk menanjak ke depannya.

Gambar 1. Daravi Slums

Sumber: Http://www.flicker.com, diakses tanggal 10/11/2013

Pengadaan Tempat Tinggal di Indonesia dan Perumahan Multi-Lantai

Menteri Perumahan Rakyat (dari Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudiono), Suharso Manoarfa dalam sebuah pers-conferencenya di tanggal 10 Oktober 2010 menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan (kekurangan) 8 juta rumah. Dalam setiap tahunnya, Indonesia membutuhkan 710.000 rumah untuk mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal yang diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk secara alami – faktor kelahiran. Lebih lanjut Bapak Menteri menginformasikan bahwa luas permukiman informal pada tahun yang sama telah mencapai 57.000 hektar. Data ini menunjukan penambahan sebesar 3000 hektar dibanding luasan pemukiman kumuh dan ilegal yang terdata di tahun 2009. Pengadaan 8 juta rumah tinggal untuk menutupi kebutuhan di tahun 2010 tersebut bukanlah tugas yang mudah. Ini harus ditambah lagi dengan pembangunan tempat tinggal untuk mengakomodasi peningkatan penduduk akibat kelahiran per-tahunya.

Sampai saat ini, pengadaan perumahan di Indonesia secara garis besar dilaksanakan melalui dua mekanisme, (i) pengadaan yang diusahakan oleh masing-masing rumah tangga/keluarga secara individu; dan (ii) pengadaan yang ditangani secara formal oleh pemerintah dan atau bekerjasama dengan piha non pemerintah yang berperan sebagai partner pemerintah dalam pembangunan. Dalam konteks ini peran pengadaan secara individu jauh melampaui kapasitas perumahan formal dalam berkontribusi dalam

pemenuhan kebuuhan akan tempat tinggal. Mekanisme pengadaan yang pertama telah beranggung jawab terhadap 80% dari keseluruhan perumahan yang dibangun di negeri ini (Struyk, Hoffman, Katsura 1990). Sisa yang 20% ditangani oleh sektor formal, baik melalui program pemerintah maupun yang dilakukan oleh para pengembang. Struyk, Hoffman, Katsura (1990) dalam bukunya yang berjudul ‘Housing Market in the Indonesia Cities,’ mengidentifikasi ini sebagai keunikan yang membedakan pembangunan perumahan di Indonesia dari praktek-praktek sejenis di negara lain.

Pada kondisi yang telah berjalan, pembangunan perumahan formal lebih diperuntukan untuk mengakomodasi kebutuhan pegawai-pegawai negeri, khususnya bagi mereka yang bekerja di kepolisian, ketentaraan, dan pegawai negeri dari departemen-departemen tertentu. Hanya pada skala kecil mekanisme ini memfasilitasi pembangunan perumahan untuk masyarakat umum atau mereka yang kurang mampu. Kota Jakarta misalnya sudah menggalakan program pembangunan rumah susun, baik yang aksesnya didasari atas hak milik (rusunami) maupun haksewa (rusunawa).

Gambar 2. Kepadatan kota di Indonesia

Sumber: Penulis

Pembangunan perumahan yang dilaksanakan oleh masing-masing rumah tangga tidak hanya melingkup pengadaan rumah semata, tetapi juga melingkup pengadaan infrastruktur pendukungnya. Ini termasuk pengadaan listrik, sambungan telepon, pengadaan air bersih, saluran pembuangan, drainase dan sanitasi, jalan lingkungan, penanganan sampah, dan fasilitas bangunan umum kemasyarakatan. Infrastruktur pemukiman dalam praktek umum menjadi tanggung jawab negara/pemerintah untuk mengadakannya sebelum sebuah area siap dikembangkan sebagai sebuah kawasan permukiman. Struyk, Hoffman, Katsura (1990) mengidentifikasi kondisi ini sebagai praktek positif yang berpotensi untuk dijadikan salah satu best practices dalam pembangunan perumahan dunia ke depannya.

Terkait dengan pembangunan perumahan melalui mekanisme formal di Indonesia dilaksanakan dengan melibatkan: (i) pihak swasta (para pengembang perumahan); dan

(ii) perusahaan negara (Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional – Perumnas). Keduanya bisa dilaksanakan dengan atau tanpa subsidi negara. Perumahan yang disubsidi negara lebih dialokasikan untuk aparatus negara sedangkan pembangunan untuk dari non kelompok ini bisa saja difasilitasi peerintah tetapi bukan berada pada skala prioritas. Dalam mekanisme ini pembanungan perumahan pada mekanisme formal melingkup perumahan untuk golongan kurang mampu dan juga golongan menengah ke atas. Dalam rangka memfasilitasi kemampuan masyarakat dalam membiayai pengadaan perumahan, pemerintah telah menunjuk insitusi finansial khusus yaitu Bank Tabungan Negara sebagai partner negara dan masyarakat dalam menyediakan investasi di bidang perumahan.

Gambar 3. Permukiman kumuh disepanjang rel kereta api di Jakarta Sumber: Penulis

Dalam upaya mempercepat pemenuhan kekurangan akan perumahan, pada tahun 2007 pemerintah melalui Kementrian Perumahan Rakyat mencanangkan ‘Program 1000 Tower.’ Program ini menyasar pembangunan unit-unit tempat tinggal secara vertikal di berbagai kota besar di Indonesia. Dalam bahasa umumnya, ini merupakan pembangunan rumah susun di daerah-daerah yang menjadi destinasi proses urbanisasi (daerah berkepadatan tinggi dengan backlog (kekurangan) perumahan yang juga tinggi). Realisasi program ini sedang berjalan, dan prosesnya difasilitasi negara melalui aparat kepemerintahan yang terkait. Mekanisme fasilitator yang telah ditawarkan pemerintah sampai saat ini adalah dari segi kebijakan dan kemudahan dalam proses aplikasi perijinan.

Pembangunan rumah susun (rusun) ini diklasifikasikan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah rumah susun hak milik – Rusunami. Sedangkan yang kedua adalah rumah susun sewa – Rusunawa. Pembangunan Rusunami dilaksanakan dengan mempartisipasikan pengembang/developer perumahan. Sedangkan rusunawa dibangun dan dikelola oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan Departemen Perumahan Rakyat dan departemen lain yang terkait. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sampai saat ini program ini sudah berjalan di beberapa kota seperti misalnya, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Makasar. Pada dasarnya misi dari pembangunan kedua kategori rusun ini ditujukan untuk memediasi aksesibilitas kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah terhadap tempat tinggal yang layak di perkotaan.

Realisasi dan pembangunan program rusun ini datang dengan beragam permasalahan. Banyak berita yang telah dipublikasi terkait pembangunannya. Sekitar 40 orang yang mengaku warga dari Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan menolak pembangunan rumah susun di Jalan Bintaro Permai RT 05 RW 03, Pesanggrahan

(http://properti.kompas.com/read/2009/10/20/04192776/Warga.Tolak.Pembangunan.Rus unami diakses tgl 12 Juli 2013). Proyek rusunami ini dicemaskan warga karena dipandang berpotensi menimbulkan banjir yang parah (http://properti. kompas.com/read/2009/10/23/04413590/Hentikan.Proyek.Rusunami diakses tgl 12 Juli 2013). Kemudian sejumlah warga RW 04 mengaku tidak bisa tidur nyenyak lagi sejak adanya proyek pembangunan Rumah Susun Hak Milik Kalibata City atau Rusunami Kalibata City http://properti.kompas.com/read/2010/02/20/09405736/Lho.Rusunami. Hadir. Warga.Jadi.Sering. Terkejut, diakses 11 Juli 2013).

Banyak tower-tower perumahan yang dibangun yang sepi penghuni. Menurut Harian Pos Kota: layaknya rumah hantu, sebanyak 11 menara rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jakarta tidak berpenghuni, karena belum tersambungnya aliran listrik dan air menjadi penyebab kondisi tersebut (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/02/17/11-menara-rusunawa-mirip-rumah-hantu, diakses 11 Juli 2013).

Gambar 4. Rusun-rumah hantu

Sumber: (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/02/17/11-menara-rusunawa-mirip-rumah-hantu, diakses 11 Juli 2013)

Sementara itu kondisi rusunawa di Surabaya banyak yang memprihatinkan. Dari enam rusun yang telah dioperasikan, empat di antaranya tampak kumuh seperti di rusunawa Warugunung, Penjaringansari I, Dupak Bangunrejo, dan Sumbo (http://economy.okezone.com/read/2010/08/09/ 320/360961/rusunawa-surabaya-merana, diakses 11 Juli 2013). Setelah terbengkalai sejak 2007, tahun ini Depok mentargetkan akan segera memiliki Rumah Susun Sewa (Rusunawa). Kemudian lebih lanjut diberitakan bahwa sebanyak 63 unit rusunawa milik pemerintah tidak laku http://economy.okezone.com/read/2011/03/04/320/431512/63-unit-rusunawa-pemerintah-tak-laku, diakses 11 Juli 2013).

Kondisi-kondisi di atas meminculkan pertanyaan “jika rusun merupakan alternatif jawaban terbaik dalam memediasi daya aksesibilitas masyarakat terhadap perumahan yang layak?” Seperti yang telah dipaparkan di awal bahwa paper ini tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan ini tetapi akan memberikan landasan pikir kontekstual terkait pembangunan rumah tinggal bersama yang berlantai banyak, beserta permasalahan-permasalahan umum yang berkorelasi dengan eksistensi perumahan berlantai banyak ini.

Perumahan Multi-Lantai – Strategi dan Kosekuensi Pembangunannya

Dalam sejarahnya pembangunan perumahan multi lantai (bersusun) memang dilaksanakan untuk menanggulangi kebutuhan perumahan yang tinggi, khususnya di perkotaan. Di satu sisi, kesuksesan beberapa negara seperti Singapura dan Hongkong dalam pembangunan rumah berkepadaan tinggi bisa dijadikan gambaran positif dari implementasi kebijakan semacam dalam praktek di lapangan. Sedangkan di sisi lain, pengalaman yang dimiliki Prancis dan Inggris menunjukan bahwa pembangunan rumah bersusun telah memunculkan beragam permasalahan sosial yang kompleks. Kerusuhan berkepanjangan yang serius yang terjadi di beberapa ghetto di Paris di bulan Oktober-November 2005 membangunkan kesadaran kita akan relevansi pembangunan rumah susun sebagai strategi dalam menaggulangi kebutuhan tempat hunian bagi masyarakat kurang mampu di perkotaan. Atau apakah pembangunan semacam malah menjadi sumber permasalahan baru daripada sebagai jawaban atas kebutuhan perumahan yang ingin dipecahkan dari awalnya?

Tentunya jawaban atas pertanyaan ini akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang berbeda. Ini sangat tergantung dari kondisi serta sirkumstansi pembangunan yang dimiliki masing-masing satuan daerah perencanaan, termasuk mekanisme pengelolaan pasca pembangunan rumah susun, serta kharakteristik pemakainya. Latar belakang pembangunan rumah susun di Singapura berbeda dengan latar belakang pembangunan rumah susun di Hong Kong, Prancis, Inggris, Swedia, Selandia Baru, dan lain-lain. Namun semua satuan kenegaraan ini diikat oleh satu kesamaan tujuan yaitu, menyediakan perumahan yang terjangkau bagi warga negaranya yang perpenghasilan rendah. Masing-masing negara memiliki peristilahan tertentu untuk mengidentifikasi program perumahan ini. Akan tetapi secara umum, perumahan serupa ini sering diberi nama dengan social housing (Payne 1977). Di Indonesia belum ada peristilahan yang baku, namun sering kita diperkenalkan dengan terminologi rumah susun untuk mengidentifikasi rumah bersubsidi yang dibangun berlantai banyak sedang istilah perumahan nasional (perumnas) sering dipakai untuk mendiskripsikan rumah bersubsidi yang dibangun secara masal dan berlantai tunggal.

Dengan merangkum beberapa pendapat dari beragam sumber yang memfokuskan bahasannya dalam bidang pemukiman dan perumahan, penulis mengidentifikasi tujuh landasan fundamental dalam pembangunan rumah berlantai banyak di Indonesia – rumah susun, yaitu:

  • 1    Menyediakan perumahan yang murah, baik yang bisa dibeli maupun disewa. Faktor ini telah menjadi landasan pikir utama di benak para pengambil keputusan (pemerintah). Seringkali dasar pertimbangan ini menyebabkan perwujudan perumahan yang diadakan dengan kualitas fisik dan desain yang seadanya. Ini dilaksanakan untuk menekan biaya pembangunan sehingga harga bisa ditekan dan/atau untuk meningkatkan keuntungan pihak pengembang. Kondisi ini berdampak pada image perumahan bersubsidi, sebagai tempat tinggal yang murah-an dan tidak layak huni. Sebagai konsekuensi, kondisi ini akan membawa dampak terhadap image sosial dari penghuni yang menempatinya.

  • 2    Menghemat pemanfaatan lahan dengan mengkonsolidasikan pembangunan. Pengadaan bangunan tinggi merupakan wujud penghematan ruang-ruang yang ada. Alternatif pertimbangan ini akan sangat sesuai untuk diperhatikan dalam pembangunan perumahan di satuan daerah perencanaan, dimana lahan

merupakan sumberdaya yang sangat minim. Dalam konteks ini lahan bernilai ekonomis tinggi. Akan tetapi, implememtasi dari pertimbangan ini berimplikasi pada terjadinya peningkatan kepadatan (densitas) daerah dan peningkatan beban terhadap eksisting infrastruktur yang telah ada (McLoughlin 1970, Newman dan Kenworthy 1989, 1999, Cuthbert 1985). Namun jika dilihat dari korelasi efisiensi pemanfaatan lahan dan harga unit hunian, pertimbangan ini menjadi salah satu elemen yang mampu menekan harga rumah per-unit, seperti yang dipaparkan pada point no (1) di atas.

  • 3    Efisiensi dalam pemanfaatan infrastruktur kota melalui konsentrasi pemakaian dan akses terhadap jaringan infrastruktur yang telah ada. Peningkatan densitas perkotaan sebagai akibat dari efisiensi penggunaan lahan akan mengarah pada maksimalisasi pemanfaatan fasilitas fisik yang dimiliki sebuah daerah perencanaan. Dasar pertimbangan ini perlu disikapi secara bijaksana, karena seringkali daerah perencanaan tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap batas kepadatan yang sesuai dengan carrying capacity dari infratruktur yang dimiliki. Kemacetan, polusi udara, degradasi lingkungan, pemukiman kumuh, dan lain-lainnya merupakan representasi dari over-densitas karena absennya (atau tidak mungkinnya) dilaksanakan pengendalian.

  • 4    Meningkatkan efisiensi dalam pengadaan perumahan dan pengelolaannya. Ini bisa dikonotasikan dengan pembanguna perumahan masal – pembangunan perumahan secara besar-besaran. Jika diasosiasikan dengan sebuah industri, produksi masal merupakan wujud penghematan, baik dari segi teknis, finansial, maupun administrasi penangannya. Tujuan ini akan tercapai jika didukung oleh level profesionalisme yang memadai dengan ditopang oleh sistem kebijakan yang tidak memihak, serta menunjukan simpati pada kelompok yang memang membutuhkan rumah untuk memenuhi kebutuhan dasar.

  • 5    Berkaitan dengan poin ke-3 di atas, pengadaan perumahan berlantai banyak (kepadatan tinggi) dalam sebuah permukiman akan lebih memungkinkan terjadinya maksimalisasi pemanfaatan infrastruktur sosial dibanding jika insfrastruktur yang sama diadakan untuk melayani masyarakat yang bermukim pada kepadatan rendah, sporadis, atau menyebar. Permukiman berkepadatan tinggi akan meningkatkan jumlah masyarakat yang membutuhkan pelayanan sosial permukiman. Sehingga jika pemerintah harus berinvestasi untuk membangun infrastruktur sosial permukiman, efisiensi investasi tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat yang lebih luas yang bermukim di lokasi yang saling berdekatan.

  • 6    Meningkatkan pendapatan dari pajak. Pada negara-negara dengan sistem regulasi yang sudah mapan, maka setiap aktivitas pembangunan dan pemanfaatan lahan akan memunculkan kewajiban membayar pajak kepada negara oleh para wajib pajak. Pada kondisi di Indonesia saat ini misalnya, setiap keluarga yang memiliki rumah di sebidang tanah berkewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Secara logika, pada standar luasan satuan unit rumah tinggal yang sama dan dengan luasan site permukiman yang sama maka, perumahan berlantai banyak akan menampung lebih banyak unit rumah tinggal dibanding perumahan berlantai tunggal. Jika masing-masing unit tunggal memiliki kewajiban membayar pajak, maka secara langsung bisa dikatakan bahwa pembangunan rumah berlantai banak akan mengenerasi pendapatan dari pajak yang lebih besar

dari pembangunan rumah berlantai rendah. Pertimbangan ini pulalah yang dipakai landasan penerapan prinsip konsolidasi pembangunan perumahan di Hong Kong dan Singapura. Namun untuk banyak negara yang sistem perpajakannya belum terregulasi secara ketat, pertimbangan ini kemungkinan belum bisa memberikan kontribusi finansial sperti yang dipaparkan disini.

  • 7    Memaksimalkan efisiensi dalam pembangunan serta pemanfaatan transportasi perkotaan. Poin ini sangat berkaitan dengan pertimbangan no 3 di atas. Konsolidasi pembangunan berarti konsolidasi aktivitas. Ini juga berarti konsolidasi pergerakan civitas dalam sebuah daerah perencanaan. Kondisi yang terakhir ini akan mengisolasi sirkulasi yang memanfaatkan jalur transportasi di daerah. Pengetahuan akan hal ini akan memungkinkan pihak perencana keruangan daerah untuk mendeteksi waktu sibuk dan tidak sibuk, dimana/kapan sirkulasi orang dan kendaraan berada pada pemanfaatan maksimum dan dimana/kapan terjadi pemanfaatan yang minimum. Ini akan menjadi landasan dalam pengaturan lalu lintas maupun dalam perencanaan pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan di masa yang akan datang. Tentunya aktivitas konsolidasi dalam konteks ini tidak hanya mengandung pengertian peningkatan kepadatan, tetapi yang lebih penting adalah konsolidasi yang mensinergikan beragam sektor penentu dari roda kehidupan di daerah.

Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, secara realitas di lapangan, pengadaan perumahan berlantai banyak juga menyiratkan praktek maupun strategi tersembunyi, yang kemunculannya ditentukan oleh berbagai alasan. Adapun alasan-alasan tersembunyi dalam pembangunan perumahan berlantai banyak adalah:

  • 1    Membuka kesempatan untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap para penghuni. Ini biasanya dilakukan dengan mengatur desain gedung. Di era kolonial Hong Kong misalnya, perumahan semacam dibangun dengan satu (pintu) akses masuk dan keluar dari para penghuni yang menempati apartemen bersangkutan. Desain serupa juga bisa dimanfaatkan untuk alasan keamanan, dengan mengawasi siapa yang keluar dan memasuki area gedung perumahan.

  • 2    Di beberapa negara, pengadaan perumahan bagi para pekerja ditujukan untuk menghilangkan kewajiban pemilik modal (perusahaan) untuk membayar insentif gaji yang dialokasikan untuk pengadaan tempat tinggal. Strategi ini diterapkan di banyak negara termasuk Hong Kong, Cina, Singapore, Taiwan, dan Korea Selatan.

  • 3    Membuka peluang bagi para arsitek profesional untuk mengembangkan kreatifitasnya dalam mendesain tempat tinggal yang memiliki karakter tertentu. Ini juga bisa dijadikan sebagai wujud kontribusi para arsitek profesional dalam ikut serta memecahkan permasalahan-permasalahan fisik dan sosial yang ada di masyarakat. Ini khususny terjadi di berbagai negara maju seperti misalnya di Europa dan Amerika (Dunleavy 1981). Contoh, Project Permukiman Bruno Taut’s Hufeisensiedlung di Berlin, 1925-30; Perumahan oleh arsitek Moshe Safdie Expo 67 Montreal (Gambar 5 di bawah ini).

  • 4    Pembangunan rumah berlantai banyak akan membuka peluang untuk mengenerasi keuntungan yang diperoleh oleh pemilik modal dan pengembang. Sangat sering terjadi dimana pengembang membangun unit hunian dengan kualitas yang diturunkan dengan tujuan untuk menekan biaya konstruksi.

Pengurangan biaya tanpa mengurangi harga jual per-unit rumah akan meningkatkan keuntungan. Kadang-kadang pada saat yang sama, modifikasi sekecil apapun akan berimplikasi pada penggelembungan harga rumah Praktek-praktek penurunan kualitas fisik bangunan ini tidak hanya mengganggu penampilan fisik bangunan, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya kompromi terhadap kekuatan dan keamanan gedung secara keseluruhan. Kondisi ini akan menjadi latar belakang pemunculan permasalahan yang ke berikutnya di bawah ini.

  • 5    Membuka peluang terhadap praktek-praktek korupsi dalam pembangunan perumahan. Ini khususnya sangat umum terjadi di negara-negara dengan sistem perijinan pembangunan yang belum teregulasi secara ketat. Ini berakibat pada kemungkinan terjadinya intervensi pengadaan perumahan oleh berbagai pihak untuk tujuan keuntungan semata. Pada konteks ini, seringkali juga terjadi intervensi pada sistem judisial yang memeiliki kekuatan legal dalam menengahi jika terjadi konflik.

Gambar 5. Moshe Safdie Expo 67 Montreal

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Habitat67July2010.JPG, diakses 11

September 2013

  • 6    Dalam beberapa kasus, pembangunan perumahan akan diikuti oleh proses privatisasi. Bagi negara/pemerintah, ini dilakukan untuk mengurangi pengeluaran untuk perawatan dan manajerial operasional perumahan. Sementara kelompok masyarakat kurang mampu yang sebelumnya menempati unit-unit perumahan akan memiliki peluang untuk memperoleh dana extra dari proses jual-beli unitnya. Namun tidak semua unit memiliki kesempatan yang sama untuk dilempar kepasaran. Ada unit rumah yang memiliki potensi tinggi untuk diperjualbelikan, ada yang tidak dan/atau kurang berpotensi. Perbedaan ini akan dan telah terbukti menyebabkan munculnya unit-unit rumah yang terbengkelai. Kita bisa belajar banyak akan hal ini dari perkembangan pembangunan council housing di Inggris.

Lebih lanjut, kontribusi perumahan multi-lantai dalam mengakomodasi pelonjakan kebutuhan akan tempat bernaung, memang sudah diakui. Namun pembangunan perumahan berlantai banyak dalam operasionalnya juga membawa beragam

permasalahan. Dalam penulisan ini, keragaman permasalahan disini diklasifikasikan ke dalam lima kategori umum, yaitu:

  • 1.    Permasalahan desain

Desain bangunan perumahan bersama berlantai banyak sangat jarang merangkum ruang-ruang publik yang cukup dalam rancangannya. Kondisi ini akan memberi kesempatan yang kecil kepada para penghuninya untuk melaksanakan beragam aktivitas bersama. Permasalahn parkir dan akses keluar masuk gedung juga menjadi komponen desain yang tidak mudah untuk dipecahkan. Elemen ini akan berpengaruh pada keamanan gedung. Banyak kejadian di berbagai public housing di beragam negara yang menunjukan seringnya terjadi pemerkosaan dan pencurian pada bangunan permukiman bersama berlantai banyak. Sistem pengelolaan permukiman gedung tinggi juga memberikan kesempatan yang sangat kecil bagi penghuninya untuk mengkspresikan diri pada lingkungan tempat tinggalnya. Mekanisme dan sistem pengelolaan gedung biasanya tidak mengijinkan para penghuninya untuk melakukan perubahan terhadap tempat tinggalnya maupun lingkungan sekitarnya. Ini berimplikasi terhadap rendahnya/tidak adanya kesempatan untuk mengekspresikan ide ‘rumah adalah refleksi diri penghuninya’ (Cooper-Marcus 1995). Jikapun ada, kesempatan ini diatur sedemikian rupa agar tidak membebani kinerja pengelola gedung/permukiman.

  • 2.    Permasalahan sosial

Permasalahan sosial terjadi sebagai konsekuensi dari dari absennya ruang-ruang bersama, dimana para penghuni bisa berinteraksi antara satu dengan yang lain. Ini lebih lanjut akan berpengaruh pada wujud hubungan sosial yang kemungkinan terjadi di dalam sebuah pemukiman berkepadatan tinggi yang dibangun secara vertikal (Cuthbert 1985, 2006). Lebih lanjut, perumahan berlantai banyak ini juga dipandang sebagai wujud diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang tidak memiliki kekuatan atau memiliki keterbatasan fisik serta kondisi-kondisi tertentu lainnya yang mempengaruhi mobilitas mereka. Konstruksi bangunan tinggi juga membuat perumahan semacam dilihat sebagai wadah yang tidak tepat bagi kelompok manula (kelompok berusia lanjut); keluarga dengan anak-anak yang perlu pengawasan intensif; keluarga yang memiliki hewan peliharaan; atau kelompok masyarakat dengan cacat fisik yang menghambat pergerakan mereka.

  • 3.    Permasalahan lingkungan

Seperti halnya bangunan-bangunan tinggi lainnya, eksistensi perumahan muli-lantai akan membawa permasalahan berkenaan kemampuannya untuk mengakomodasi sinar matahari. Selain itu, gedung tinggi karena eksistensinya yang menjulang juga akan memunculkan bayangan yang berpotensi menghalangi kapasitas gedung atau bangunan di sekitarnya untuk memperoleh sinar matahari. Ini pada akhirnya akan mempengaruhi iklim mikro di lingkungan permukiman itu sendiri dan lingkungan di sekitarnya (Alexander 1970, Hardoy, Mitlin, and Satterthwaite (2001). Jika tidak terkelola dengan baik, permukiman berlantai banyak akan mempengaruhi kualitas serta image lingkungan sekitarnya. Permasalahan sampah, sanitasi, kebersihan, dan lain-lain yang terjadi di permukiman berkepadatan tinggi, seringkali berdampak negatif yang tidak bisa diisolasi sehingga juga berdampak buruk terhadap lingkungan di sekitar permukiman.

  • 4.    Permasalahan medis dan psikologis

Bangunan tinggi memunculkan beragam permasalahan, khususnya yang berasosiasi dengan masalah: sirkulasi udara yang kurang lancar yang menyebabkan masalah pernafasan bagi para penghuni bangunan tinggi, claustrophobia, agoraphobia, dan bunuh diri (Barker 1968). Pada kasus yang lebih ekstrim, Barker (1986) lebih lanjut

mengungkapkan bahwa menurut survey perumahan berlantai banyak juga membuka peluang terhadap terjadinya praktek-praktek pelecehan seksual.

  • 5.    Permasalahan ekonomi

Biaya pembangunan gedung berlantai banyak biasanya jauh lebih besar dari biaya pembangunan gedung berlantai tunggal. Perawatan dan administrasi pengelolaan juga akan memunculkan biaya-biaya tambahan yang harus diperhitungkan. Kadang-kadang kondisi ini dimanfaatkan sebagai alasan kemunculan permukiman yang berpenampilan kurang kondusif terhadap pembangunan kalitas kehidupan di daerah perencanaan/kota. Misalnya, pemerintah data/atau pihak pengembang memnafaatkan tingginya biaya konstruksi untuk menjustifikasi tindakannya dalam membangun perumahan berlantai banyak dengan kualtas yang dipertanyakan (rendah) (Suartika 200b). Kemudian, tingginya biaya perawatan dan operasional, juga sering dipakai sebagai alasan kemunculan perumahan berlantai banyak yang berpenampilan kumuh dan tidak terurus (Ellen dalam Retsinas dan Belsky 2008).

Demikianlah strategi dan permasalahan yang mungkin muncul yang perlu dipertimbangkan sebelum kesahihan keputusan untuk membangun permukiman vertikal bagi masyarakat perkotaan dengan keterbatasan akses terhadap tempat tinggal layak huni diinstigasi.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas telah dipresentasikan bahwa over-populasi di daerah perkotaan tidak terlepas dari proses urbanisasi yang secara langsung berdampak pada peningkatan backlog perumahan di sebuah satuan daerah perencanaan/perkotaan. Tidak tertanganinya kondisi ini telah mempengaruhi level livabilitas kota termasuk juga pengaruh kondisi ini terhadap proses pen-degradasi-an image kota. Malahan, sirkumstansi ini telah menjadi permasalahan yang berkepanjangan yang harus ditangani berbagai urban area di dunia. Pemilihan alternatif solusi untuk memediasi kekurangan tempat bernaung (Suartika dan Cuthbert 2006) dengan membangun pemukiman multi lantai bukanlah keputusan yang bisa diambil begitu saja. Kebijakan ini secara ideal difinalisasi berdasarkan beragam pertimbangan, baik yang bisa terungkapkan secara harfiah maupun yang tidak terpaparkan secara eksplisit. Selain itu perlu juga dipertimbangkan bahwa pembangunan perumahan berlantai banya bukanlah sebuah usaha yang terbebas dari permasalahan. Beragam kondisi yang tidak diharapkan berasosiasi dengan wujud pemukiman berlaintai majemuk ini.

Semua ini merupakan elemen-elemen yang akan menentukan kompleksitas dari konteks pembangunan perumahan, yang harus dikuasai dan dikaji secara seksama sebelum pada akhirnya dianalisa untuk menjawab pertanyaan terkait relevansi pembangunan pemukiman bertingkat di sebuah daerah perencanaan (Hamdi 1995, Carmona, Carmona, dan Gallent 2003).

Daftar Pustaka

Alexander, C (1970) ‘The implications for environmental form of social and psychological demands’ Ekistics.

Amartya Sen (2000), Development is Freedom London: Anchor.

Anzorena, E J S J (1996) (2nd ed.) Housing for the Poor: The Asian Experience Cebu Philippines: Pagtambayayong Foundation.

Barker, R (1968) Ecological Psychology USA: Stanford University Press.

Bratt, G B, Stone, M E, Hartman, C (Eds.) (2006) A right to Housing: Foundations for a New Social Agenda Philadelphia: Temple University Press.

Carmona, M, Carmona, S, Gallent, N (2003) Delivering New Homes: Process, Planners, and Providers New York: Routledge.

Cooper- Marcus, C (1995) House as a Mirror of Self Berkely Ca: Conari Press.

Cuthbert, A R (1985) ‘Architecture, Society and Space – The High-Density Question ReExamined’ Progress in Planning Volume 24, Part 2, USA: Pergamon Press.

Cuthbert, A R (2006) Introduction to Part One, Home, Sydney: Millennium Press.

Dunleavy, P (1981) The Politics of Mass Housing in Britain, 1945–75 — A Study of Corporate Power and Professional Influence in the Welfare State Oxford: Clarendon Press.

Ellen, I G dalam Retsinas, N P dan Belsky, E S (Eds.) (2008) 'Spillovers and Subsidized Housing: The Impacts of Subsidized Rental Housing on Neighborhoods'Revisiting Rental Housing: Policies, Programs, and Priorities Washington DC: The Brooking institution.

Hardoy, J E, Caincross, S and Satterthwaite, D (Eds.) (1990) The Poor Die Young: Housing and Health in Third World Cities London: Earthscan Publications.

Hardoy, J E, Mitlin, D, and Satterthwaite, D (2001) Environmental Problems in an Urbanizing World London: Earthscan Publications.

Hamdi, N (1995) Housing without Houses: Participation, Flexibility, Enablement London:Intermediate Technology Publications Ltd.

Jack, M (2006) ‘Urbanization, sustainable growth, and poverty reduction in Asia’ IDS Bulletin Vol. 37, Number 3, May.

Jenkins, P, Smith, H, Wang, Y P (2007) Planning and Housing in the Rapidly Urbanising World Oxon: Routledge.

Lloyd, P (1979) Slums of Hope Shanty Towns of the Third World United Kingdom: Manchester University Press.

Mehta, D (2000) ‘The urbanization of poverty’ Habitat Debate Vol. 6, Number 4, Nairobi.

McLoughlin, J B (1970) Urban and Regional Planning: A System Approach London: Faber and Faber.

Newman, P, and Kenworthy, J (1989) Sustainability and Cities Overcoming Automobile Dependence DC: Island Press.

Payne, G (1977) Urban Housing in the Third World London: Leonard Hill.

Struyk, HM, Hoffman, R J, Katsura, M L (1990) The Market for Shelter in Indonesian Cities USA: University Press of America.

Suartika G A M dan Cuthbert, A R (2006) Chapter 1. Home as Nature, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika, G A M (2009) ‘Re-housing slum dwellers: a conceptional approach’ Proceedings for International Conference on Sustainable Slum Upgrading in Urban Area CIB Report Publication Surakarta: Unit of Research and Empowerment of Housing and Human Settlements Resources PIPW LPPM UNS and Program Study of Regional and Urban Planning PWK FT UNS and Department of Architecture ITS, 16 April 2009.

Suartika, G A M (2010a) ’Indicator of sustainable practices in housing provision’ Proceeding for 1st International Conference on Sustainable Technology Development Based on Environmental and Cultural Awareness, Denpasar 7-8 October 2010, Faculty of Engineering, Udayana University.

Suartika, G A M (2010b) ’Teknologi dan pembangunan perumahan yang berkelanjutan di Indonesia’ Proseding Seminar Nasional Teknik, Inovasi dan Teknologi Rancang Bangun, 29 Oktober 2010, Fakultas Teknik Universitas Warmadewa.

Suartika, G A M (2013) 'The metonymic slum: home in the developing world' Journal of Basic and Applied Scientific Research January 2013, p: 400-406.

United Nations Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2006) World Urbanization Prospect, United Nations 2005 Revision New York.

United Nations Economics and Social Commission for Asia and the Pacific and United Nations Human Settlements (2008) Housing the Urban Poor in Asian Cities, Quick Guide 1 Bangkok: UNESCAP.

http://properti. kompas.com/read/2009/10/23/04413590/Hentikan.Proyek.Rusunami diakses tgl 12 Juli 2013.

http://www.flicker.com, diakses tanggal 10/11/2013.

http://properti.kompas.com/read/2009/10/20/

04192776/Warga.Tolak.Pembangunan.Rusunami diakses tgl 12 Juli 2013.

http://properti.kompas.com/read/2010/02/20/09405736/Lho.Rusunami.Hadir.Warga.Jadi.

Sering. Terkejut, diakses 11 Juli 2013.

http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/02/17/11-menara-rusunawa-mirip-rumah-hantu, diakses 11 Juli 2013.

http://economy.okezone.com/read/2010/08/09/320/360961/ rusunawa-surabaya-merana, diakses 11 Juli 2013.

http://economy.okezone.com/read/2011/03/04/          320/431512/63-unit-rusunawa-

pemerintah-tak-laku, diakses 11 Juli 2013.

http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/02/17/11-menara-rusunawa-mirip-rumah-hantu, diakses 11 Juli 2013.

http://www.housing-the-urban-poor.net: accessed on 10/11/2013.

114 SPACE - VOLUME 1, NO. 1, APRIL 2014