EDITORIAL
on
EDITORIAL

Oleh: Gusti Ayu Made Suartika 1
Pada kunjungan terakhir ke Kota Sydney (Australia), kami terkagum akan pilihan yang dimiliki warga kota dalam memanfaatkan ruang terbuka publik. Tidak hanya akses terhadap ruang publik tersedia secara luas, tetapi juga kesempatan untuk memanfaatkan taman kota, lapangan golf, pedestrian, jalan kota yang tertata dengan tamannya yang cantik. Dari segi kuantitas, ruang publik di Kota ini bisa ditemukan dimana-mana, dan keberadaannya telah dilengkapi dengan beragam fasilitas yang mendukung pemanfaatannya. Contoh yang bisa diambil disini adalah pengadaan kursi taman yang merupakan elemen wajib, walau untuk sebuah ruang terbuka di kantung pojokan kota sekalipun, ataupun untuk taman publik berukuran kecil di sudut sebuah bus-stop, street furniture ini bisa kita temukan. Ruang-ruang publik yang ada mewadahi aktivitas yang sangat beragam. Jika kita observasi potongan melintang dari Centennial Park, salah satu taman kota terluas di Kota Sydney, kita bisa menyimak beragam zona yang masing-masing telah diperuntukan untuk fungsi khusus, termasuk hewan peliharaan (khususnya anjing), bersepeda, skateboarding, lalu lintas satu arah, pejalan kaki dan lari, menunggang kuda, dan hamparan ruang terbuka hijau (RTH) yang sangat luas. Ruang yang dialokasikan untuk RTH ini mengakomodasi beragam akvitas lainnya, seperti misalnya aktivitas olah raga (sepakbola, rugby, tennis, cricket); ruang bersantai (duduk-duduk, bercengkerama, membaca sambil tidur-tiduran), ruang rekreasi keluarga (piknik di sela-sela beragam spesies pohon yang asli dari daerah setempat, tempat bermain anak, dan acara pertemuan keluarga/teman sejawat); dan ruang untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu (adanya kolam berskala besar yang selain bermanfaat untuk mengatur kondisi thermal dari taman dan untuk rekreasi, juga dimanfaatkan sebagai site untuk melakukan studi tentang beragam ikan, bebek, angsa, burung dan hewan-hewan liar lainnya).
Selain itu, tempat untuk barbecue, salah satu kegiatan yang merefleksikan kehidupan multi-kultur di Negeri Kangguru ini beserta tempat duduk-duduknya juga disediakan. Fasilitas ini telah dilengkapi dengan tempat pembuangan sampah yang memadai. Pemanfaatan semua fasilitas yang ada di taman ini diatur oleh sebuah peraturan pemanfaatan taman yang wajib ditaati oleh setiap pemakai taman. Pelanggaran terhadap peraturan ini akan memunculkan denda yang harus ditangguh oleh si pelanggar, tanpa ada pengecualian.
Semua bahan buangan yang muncul dari semua aktivitas publik yang terjadi di Centennial Park ini akan didaur ulang. Para pemakai taman bisa memperoleh informasi terkait kondisi pemanfaatan serta tata aturan untuk keluar-masuk ruang publik ini melalui papan informasi yang ada maupun media digital secara online. Taman kota ini akan tetapi tidak terbuka untuk para penjaja makanan. Hanya ada beberapa stand makanan/minuman dan satu restaurant yang diijinkan untuk beroperasi di dalamnya. Taman ini juga dilengkapi dengan toilet-toilet yang bersih yang letaknya berdekatan dengan pintu masuk/keluar taman. Kondisi ini tidak terlepas dari pola tingkah laku pemakai taman yang menjaga kebersihan fasilitas publik ini. Walau taman ini dikunjungi dan dimanfaatkan secara luas oleh beribu-ribu orang warga kota, dalam keseharianya kita tidak temukan sampah yang berserakan dimana-mana.
Pencapaian kondisi-kondisi di atas memerlukan lima komponen penting. Pertama, adanya kesadaran akan sebuah prinsip bahwa pengadaan serta pemeliharaan ruang publik merupakan bagian dari tugas negara. Dan menjadi tugas negara pulalah untuk menjamin hak setiap warganya untuk mengakses sumber daya keruangan ini. Kedua, adanya kemauan yang kuat dari pemerintah untuk mengakomodasi dan memelihara skala serta kompleksitas dari aktivitas rekreasi, baik yang bersifat pasif maupun aktif, yang diwadahi di dalam ruang publik perkotaan. Ketiga, diberlakukannya sistem perencanaan yang memiliki fungsi utama untuk mengadakan ruang terbuka publik serta memprioritaskan peran ini di atas kepentingan swasta yang seringkali memiliki tujuan yang berlawanan. Keempat, adanya kesadaran masyarakat akan hak mereka terhadap ruang-ruang publik, dan selalu siaga untuk memperjuangkan hak ini melalui mekanisme serta sikap yang tepat. Akhirnya, disyaratkan adanya jaminan akan pemberlakuan kebijakan publik - law enforcement - yang mengatur praktek-praktek pembangunan spasial secara menyeluruh, tidak diskriminatif atupun selektif. Ketika kita melihat seseorang tidur di taman kota dengan ditemani beragam binatang liar tidak bisa diinterprestasikan sebagai hal yang biasa. Hal ini bisa terjadi ketika tatanan demokrasi yang menjadi alasan dasar pentingnya keberadaan ruang publik telah menjadi bagian perjalanan historis serta tradisi dari perkembangan sebuah satuan kenegaraan.
Pertanyaan besar disini adalah, kenapakah kesadaran akan pentingnya ruang publik jarang menjadi perhatian dalam pertumbuhan kota di negara-negara yang sedang membangun? Malahan yang sering terjadi adalah ruang publik dialihfungsikan menjadi area terbangun, daripada dijaga atau ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Sebuah argumentasi yang bisa diajukan disini ialah, konsep ruang terbuka publik belum menjadi elemen fundamental dari perencanaan kota di negara-negara yang secara mendasar tidak memiliki sejarah perjalanan kehidupan berdemokrasi yang sebenarnya, misalnya negara-negara Asia. Kondisinya akan berbeda ketika kita melihat USA, Canada, Australia, dan negara-negara di Eropa, dimana kehidupan bernegara secara dominan dimotori oleh keinginan serta keterlibatan rakyat. Sehingga eksistensi ruang 'publik,' menjadi sangat penting. Contohnya keberadaan polis di Yunani, sebuah ruang dimana ide ditumbuhkan; perubahan politik diproposisikan; wujud-wujud pembangunan di masa depan dikembangkan; dan tindakan-tidakan revolusioner yang penting juga dibangun disini, seperti halnya yang terjadi di tanah Arab belakangan ini.
Dalam konteks negara-negara di Asia, keberadaan ruang terbuka publik sering diasosiasikan dengan warisan dari penguasa zaman dahulu - kerajaan, dinasti, dan kekaisaran. Misalnya, taman-taman di Negeri Tiongkok merupakan peninggalan dari
dinasti-dinasti Cina masa lampau. Publik seringkali hanya memiliki akses setelah terjadinya revolusi, walau pada kenyataannya banyak juga dari taman-taman ini (misalnya yang ada di Suzhou) tidak memenuhi kriteria untuk dikunjungi publik dalam jumlah yang besar. Dalam era pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi seperti saat ini, makna historis, sosial serta budaya yang dimiliki taman-taman yang semacam ini, seringkali dipandang sebagai elemen simbolik yang dengan mudah dilalaikan oleh pemerintah dalam rangka mencapai kepentingan ekonomi, baik untuk tujuan personal, pencegahan inflasi, atau secara teoritis, untuk kebaikan masyarakat umum.
Edisi Jurnal Ruang - Space kali ini menyajikan 7 artikel yang secara menyeluruh ataupun sebagian mengulas beragam wujud ruang publik, baik yang berada di kawasan pesisir, permukiman kumuh, aliran sungai, dan ruang-ruang komunal. Artikel pertama ditulis oleh I Wayan Yudiartana, yang memiliki tujuan penelitian wujud partisipasi pelaku bisnis dalam menjaga kualitas Kawasan Pesisir Pantai Kuta, khususnya dalam menangani bahan-bahan buangan. Artikel kedua ditulis oleh Desak Made Sukma Widiyani mengulas tentang pengadaan infrastruktur di tiga permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar Barat. Artikel ketiga oleh Ayu Wadhanti memfokuskan bahasannya pada pembangunan karakteristik dari site-site yang memiliki kecenderungan berkembang menjadi permukiman informal di Kota Denpasar.
Artikel keempat disusun oleh Anak Agung Gede Raka Gunawarman. Dengan mengambil Candi Tebing Gunung Kawi, artikel ini mengkaji proporsi dari sebuah candi, yang dipandang sebagai sebuah bangunan suci peninggalan zaman Hindu-Budha. Yang keberikutnya, artikel kelima ditulis oleh Nyoman Gema Endra Persada. Tulisan ini menganalisa sebuah hasil positif dari proses revitalisasi Sungai Badung di Kota Denpasar. Kegitan ini secara sukses telah berhasil menciptakan ruang publik di sepanjang daerah aliran sungai yang dimanfaatkan sebagai wadah beragam kegiatan rekreasional. Artikel keenam dikomposisikan oleh Kadek Wisnawa. Paper ini menginvestigasi perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura, salah satu wujud lahan komnal di Indonesia, untuk tujuan-tujuan finansial, sebuah tindakan yang tidak beriringan dengan nilai simbolis yang dimiliki oleh lahan semacam. Artikel terakhir dari edisi ini ditulis oleh I Gede Surya Darmawan. Dengan mengambil studi kasus Serangan, sebuah pulau yang direklamasi oleh P.T. Bali Turtle Island Development (BTID), paper ini mendiskusikan tentang patrun perubahan tata guna lahan dan faktor-faktor mendasar, baik yang terjadi sebelum maupun pasca reklamasi.
□□□
During my recent visit to Sydney (Australia), I was fascinated by the range of choices people have when it comes to using public open space. Not only are large green spaces readily available such as parks and golf courses, as well as pedestrianised and landscaped urban streets, but an entire hierarchy of space continues down to the provision of individual benches in small vest-pocket parks across the city, even at all bus stops. The sheer variety of activities catered for is immense. For example, if we take a cross section through the main road which encompasses Centennial Park, we have designated areas for pets, a cycle and skateboarding track, a unidirectional traffic system, a wide pedestrian pathway used for walking and running, a horse-riding track and then wide expanses of
open space. In these areas other activities are then catered for – football, rugby, tennis, seating for conversation, picnic areas beside indigenous plants and trees, and bodies of water where wildlife such as fish and a great variety of bird life can be studied.
In addition, barbecue stands and seating areas are provided with appropriate collection of all waste, an activity that chimes with Australia’s multicultural population. Everything is properly regulated, laws are enforced, fines are allocated for infringements, and provision made for recycling all waste. The public is informed of the rule system at all gates into the park, and provision is made for a limited but adequate number of food outlets, coffee stalls, and one first class restaurant. Clean toilets are provided close to all entrances and these are respected by everyone. Of note is that no trash can be seen anywhere, despite the park being used by thousands of people on a daily basis.
All of this of course begins with five necessary features. First the consciousness of a public realm ensured by the state with access for all citizens. Second, a willingness by government to accommodate and maintain the scale and complexity of recreational activity, both active and passive, as a right, for the whole population – children, young and old people, individuals with disability and others. Third, a planning system whose primary function is to cater for these needs as a priority which overrides private sector encroachment into the public realm. Fourth, a public that insists on its rights to a public realm, and is prepared to enforce such rights by its own correct attitudes and behaviour. Finally there must be a guaranteed enforcement of public policy across the entire extent of spatial practices. While someone sleeping in a park beside a lake full of wild life in Sydney might seem meaningless, this is indeed not the case. It actually reflects an entire history of open space tradition-public parks.
The big question of course is why such a public space awareness and provision rarely occur in developing nations. Instead it often occurs when existing open space is converted to development, rather than being preserved or even improved both in scale and quality. One argument here is that the concept of a public realm has been weakly developed in countries that do not have a fully-fledged democratic history, i.e. most Asian Countries. The history of most developed countries e.g. the United States, Canada, Australia and the whole of Europe has been in majority driven by people's will and engagement. Thus the existence of "public space, i.e the polis in Greek" where ideas are generated; revolutionary actions are proposed; and necessary forms of future accomplishment are evolved, becomes ubiquitous.
In the case of Asian states however, existing public open space is often associated with past governance, i.e monarchy and dynasty. For example, Chinese garden associated with the emperor private use and then later to be granted public access as today. The remaining historical, social and cultural importance of such spatial forms often becomes a symbolic attribute easily disregarded by government in power in order to achieve economic goals either for personal gain, or in theory, for the good of the common people.
The current edition of Journal Ruang - Space presents 7 articles. The first article is authored by I Wayan Yudiartana, whose research aims at determining corporate environmental (CER) responsibilities along Kuta Beach (Bali) in relation to future forms of development, specifically the disposal of waste. The second article is written by Desak Made Sukma Widiyani and based on a study of problems pertaining to infrastructure in
three different slums areas in the West Denpasar Regency. Still discusses slums settlements of Denpasar City, the third article is by Ayu Wadhanti. It focuses on typhlology of sites/areas that have a tendency to develop into informal settlements.
The fourth article is authored by Anak Agung Gede Raka Gunawarman. Taking a case study of a rock-cut Candi Gunung Kawi, it examines the proportion of a ''candi'' which is considered a sacred structure of Hindu-Budha's legacy in Indonesia. Next, the fifth article is authored by Nyoman Gema Endra Persada. It analyses a winning outcome of the revitalization of the Badung River in Denpasar. The development has indeed successfully created a public waterfront widely used for numerous recreational activities. The sixth article is by Kadek Wisnawa. It investigates the development of tanah pelaba pura, a form of communal land in Indonesia, for financial goals, a practice that is not in line with symbolic value such land holds. The last article of this edition is by I Gede Surya Darmawan. Taking a case study of Serangan, a reclaimed Island, the paper discusses the pattern of land use changes and underlining factors have caused it, before and after reclamation carried out by Bali Turtle Island Development (BTID).
6 SPACE - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015
Discussion and feedback