PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. 23 NO. 1 • PEBRUARI 2023

Strategi Perpustakaan terhadap Peningkatan Minat Baca dan Budaya Baca

Siswa di Perpustakaan SMA Negeri 2 Sukoharjo

Clarissa Salsabila Ifany Sari, Zainal Arifin  1

Analisis Etnografi dalam Tradisi Kenduri Sko Masyarakat Adat Tarutung Kerinci Jambi

Priazki Hajri  7

Diplomasi Budaya Indonesia melalui Tari Kecak Bali

Adhistira Azka Kencana  11

Kajian Literatur: Kebudayaan dan Kearifan Lokal Suku Badui dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Anisatul Khanifah, Sugeng Harianto  15

Manusia yang Beradab Menurut Tri Kaya Parisudha

Felix Mahendra  20

Variation of Karonese Language in Tanah Karo

Jenheri Rejeki Tarigan, Siti Aisyah Ginting, Rahmad Husein  31

Kebudayaan Indis: Hasil Akulturasi Budaya antara Jawa dengan Kolonial Belanda

Wahyu Agil Permana, Andini Shira Putri, Rinaldo Adi Pratama  35

Pelestarian Nilai Kearifan Lokal Melalui Kesenian Reog Kendang di Tulungagung

Bina Andari Nurmaning, Nik Haryanti  42

Sejarah dan Profil Wisatawan Jepang

Ida Bagus Ketut Astina  49

Figurative Language Used in Bible Old Testament

Felisita Ronsmin, Ni Putu Cahyani Putri Utami  56

Pengaruh Adanya Gojek Terhadap Pengemudinya di Kota Denpasar pada

Tahun 2015-2020

Samuel Calvin Situmorang, Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo,

Anak Agung Inten Asmiriati  62

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. 23 NO. 1 • PEBRUARI 2023

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Editorial Board

Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Editor in Chief

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Editors

I Gusti Ngurah Parthama, SS., M.Hum.

Ni Putu Candra Lestari, S.S., M.Hum.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum.

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S., M.Hum.

Aliffiati, S.S., M.Si.

Sri Junandi (Universitas Gadjah Mada)

Reviewers

Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA

Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt

Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University)

Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A (Universitas Pendidikan Ganesha)

Prof. Dr. Susantu Zuhdi (Universitas Indonesia)

Prof. Dr. lrwan Abdulah (Universitas Gadjah Mada)

Maharani Patria Ratna, M.Hum. (Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro)

Fitri Alfarisy, M.Hum. (Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro) Taqdir, S.Pd., M.Hum. (Universitas Hasanuddin)

Nunuk Endah Srimulyani, S.S., M.A., Ph.D. (Universitas Airlangga)

Lay Out Editor

I Komang Juniarta, S.T.

Site Technical Management l Gusti Ayu Puspawati, S.Sos., M.H.

Naskah dikirim ke alamat : [email protected] Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

PUSTAKA VOL. 23, NO.1 • 35 – 41

p-ISSN: 2528-7508

e-ISSN: 2528-7516


Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

Kebudayaan Indis: Hasil Akulturasi Budaya antara Jawa dengan Kolonial Belanda

Wahyu Agil Permana, Andini Shira Putri, Rinaldo Adi Pratama

Universitas Lampung

Bandarlampung, Lampung, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstract

Indische culture is a culture that results from a combination of European (Dutch) culture and local (Javanese) culture. Starting from the arrival of the Dutch to Indonesia which resulted in a cultural contact. Caused by this cultural contact, then led to acculturation between Dutch culture and local culture resulting in a new culture called Indische culture. This article was written with the aim of finding out about how Indische culture can enter and develop in Indonesia. The method used is literature study, namely by collecting historical sources and data consisting of archives, documents, books, journals, newspapers and magazines.

Keywords: Indische culture, acculturation, Java, Dutch Colonial

Abstrak

Kebudayaan Indis merupakan sebuah budaya yang dari hasil perpaduan antara budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal (Jawa). Bermula dari kehadiran bangsa Belanda ke Indonesia yang mengakibatkan terjadinya sebuah kontak budaya. Disebabkan oleh adanya kontak budaya tersebut, kemudian menyebabkan terjadinya akulturasi antara budaya Belanda dengan budaya lokal sehingga menghasilkan kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan Indis. Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mencari tahu tentang bagaimana kebudayaan Indis ini dapat masuk dan berkembang di Indonesia. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan sumber dan data sejarah yang terdiri dari arsip, dokumen, buku, jurnal, surat kabar, dan majalah.

Kata Kunci: kebudayaan Indis, akulturasi, Jawa, Kolonial Belanda

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan aneka ragam kebudayaannya. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing daerah di Indonesia yang memiliki kebudayaan lokalnya masing-masing. Kendatipun, kebudayaan yang di Indonesia tidak semuanya merupakan asli budaya lokal, ada juga yang merupakan hasil dari akulturasi antara kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Kebudayaan Indis merupakan salah satu hasil dari akulturasi tersebut.

Kebudayaan Indis merupakan sebuah kebudayaan yang muncul akibat adanya percampuran budaya Belanda dengan Jawa. Kata Indis sendiri merupakan serapan dari kosa kata Belanda, Indische. Yang pada masa kolonial Belanda, nama tersebut dipakai untuk menamai seluruh kebijakan yang dicetuskan oleh Belanda, seperti Indische Vereeniging, Indische Partij, Indische Katholike Partij atau Indische Sosial-Denokratische Verenigiing (Bastian, 2018).

Kebudayaan Indis bermula dari kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, namun disertai dengan larangan bahwa tidak boleh mendatangkan wanita dan tidak boleh membawa istri, kecuali para pemangku kekuasaan tertinggi. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pernikahan antara lelaki Belanda dengan wanita pribumi (Jawa) dan melahirkan anak-anak campuran, sehingga menimbulkan sebuah gaya hidup baru yaitu percampuran antara Belanda dengan Jawa yang kemudian disebut sebagai kebudayaan Indis. Kebudayaan Indis selalu mendapatkan dedikasi dari kebudayaan Jawa dan kebudayaan Eropa (Belanda).

Kedua kebudayaan tersebut masing-masing dipengaruhi oleh perbedaan etnik serta struktur sosial yang juga berbeda, sehingga mempengaruhi proses percampurannya menjadi semakin erat dan mendalam. Seiring berjalannya waktu, dampak dan pengaruh tersebut semakin meluas dan mulai merambah ke berbagai bidang dan unsur

kebudayaan. Kebudayaan Indis terus-menerus mengalami perubahan dan perkembangan yang selalu beradaptasi dengan kondisi sekitar.

Kebudayaan Indis ini tampak sebagai sebuah bentuk kehidupan tingkat tinggi, menunjukkan ciriciri dan keistimewaan yang sombong, aristokrat dan angkuh yang berasal dari peradaban campuran Indonesia dengan menggunakan model masyarakat Eropa yang material, teknologis dan elite. Seiring berjalannya waktu, proses perkembangan kebudayaan Indis ini lambat laun membentuk sebuah citra elite yang bersumber dari kehidupan budaya Indis tersebut. Kenyataannya, budaya Indis sendiri dapat terbentuk disebabkan oleh golongan kelas bawah Belanda yang kemudian didukung oleh penduduk pribumi yang pada saat itu relatif kurang berpendidikan. Mereka termotivasi untuk dapat menyaingi dan meniru gaya hidup elit golongan kelas atas bangsa Eropa.

Namun, perkembangan kebudayaan Indis ini kemudian berakhir sejak jatuhnya kekuasaan Belanda ke pihak Jepang. Kebudayaan Indis yang semula dianggap mewah mulai mengalami kemerosotan, dikarenakan Perang Dunia II semakin menggelora dan membuat kebudayaan Indis perlahan mengalami kelumpuhan. Kondisi yang sulit pada saat perang menyebabkan seluruh aktivitas kebudayaan Indis menjadi berhenti. Kendatipun eksistensi kebudayaan Indis masih ada hingga saat ini, namun para penganut kebudayaan tersebut sudah tidak ada lagi di Indonesia (Soekiman, 2014).

METODE

Dalam penulisan artikel ini, metode yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik mengumpulkan sumber-sumber berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar dan lain-lain. Terlebih pada zaman modern ini, data sejarah bisa didapatkan ataupun diperoleh melalui media elektronik dan digital. Asalkan dengan catatan seorang penulis semestinya mengetahui tentang bagaimana mengolah sumber-sumber sejarah untuk kemudian dapat dijadikan referensi.

Ada dua unsur yang harus diperhatikan agar dalam pencarian sumber dapat dilakukan secara efektif, yaitu: (1) pencarian sumber harus memperhatikan sumber berdasarkan pada paradigma permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kerangka penulisan, dan juga peneliti harus dapat mengidentifikasi sumber yang

belum diperoleh. (2) Jika pencarian data dilakukan pada perpustakaan, maka penulis patut memafhumi tentang bagaimana bentuk grafik dari perpustakaan tersebut.

Ketika menggunakan data atau sumber sejarah, penulis haruslah kritis dalam mengevaluasi sumber-sumber yang digunakan. Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah melakukan kritik terhadap sumber sejarah. Kritik terhadap sumber atau data sejarah adalah proses pengujian terhadap data atau sumber, bagaimana data tersebut dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Ada dua kategori dalam kritik sumber. Pertama kritik ekstern, yaitu menyelidiki sumber untuk memastikan keorisinalitasan sumber sejarah, yaitu dengan menerapkan metode 5W + 1H. Kedua kritik intern, merupakan proses memastikan apakah keterangan yang terdapat pada sumber sejarah tersebut dapat dibuktikan sebagai fakta sejarah (Yass, 2004).

Bisa ditarik kesimpulan bahwa kritik intern dilakukan sebagai upaya menemukan keabsahan dari data atau sumber tersebut guna mendapatkan sebuah validitas ataupun untuk mendeteksi jika ada kekeliruan yang terdapat pada sumber tersebut, sedangkan kritik ekstern bertujuan sebagai upaya yang dilakukan untuk menemukan keabsahan data tersebut melalui kritik intern (Alian, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • A.    Proses Masuk dan Berkembangnya Kebudayaan Indis di Indonesia

Kebudayaan Indis merupakan sebuah kebudayaan yang muncul dari hasil akulturasi antara kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa. Bermula dari bangsa Belanda yang datang ke Indonesia dengan tujuan untuk berdagang, namun sifat tamak yang dimiliki oleh bangsa Belanda membuat mereka mengubah pikirannya untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia. Orang-orang bangsa Belanda tersebut kemudian mulai membangun pemukiman untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, yang bercorak kebarat-baratan. Arsitektur yang bercorak kebarat-baratan tersebut secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap budaya masyarakat sekitar yang hidup masih dengan cara tradisional. Dikarenakan faktor alam sekitar, iklim, dan juga wilayah tropis membuat mereka membangun tempat tinggal yang menyesuaikan dengan kondisi sekitar dan menerapkan unsur dan budaya setempat.

Pada awalnya, kebudayaan Indis ini cenderung persis seperti kebudayaan Belanda. Hal ini dapat terjadi dikarenakan bangsa Belanda yang datang ke Indonesia turut membawa kebudayaan asli mereka dari negaranya. Mereka datang tanpa membawa istri, karena hal tersebut dilarang oleh pejabat tertinggi Belanda. Dengan demikian, mereka kemudian menmutuskan untuk menjalin perkawinan dengan wanita pribumi dan mengikuti gaya kehidupannya dengan kebudayaan pribumi. Perkawinan yang mereka jalin membuat pihak Belanda memandang perlu adanya penambahan budaya Barat pada kehidupannya dalam bermasyarakat. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya akulturasi kebudayaan ini berawal dari adaptasi kehidupan orang-orang Belanda yang menikah dengan wanita pribumi (Soekiman, 2000).

Kedatangan bangsa Belanda di Indonesia memicu terjadinya percampuran antara dua kebudayaan tersebut menjadi semakin erat. Kedua kebudayaan tersebut masing-masing dipengaruhi oleh perbedaan etnik dan struktur sosial yang bercampur semakin erat dan mendalam. Seiring dengan berjalannya waktu, pengaruh itu menjadi kian besar dan mulai merambah ke berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Luasnya pengaruh kebudayaan Belanda terhadap kebudayaan Jawa mencetsuskan kebudayaan baru yang disebut sebagai kebudayaan Indis (Djoko Soekiman, 2000).

Sebelum adanya arsitektur kebudayaan Indis, awalnya bangsa Belanda mendirikan pemukiman yang bercorak kebarat-baratan di dekat pantai atau pusat kota. Mereka membangun gudang-gudang yang digunakan sebagai penyimpanan rempah-rempah dan sekelilingnya dibangun benteng pertahanan sekaligus digunakan untuk tempat tinggal mereka. Benteng ini juga yang kemudian dijadikan sebagai sentral dari segala aktivitas perdagangan dan kehidupan sehari-hari mereka. Jika keadaan di luar kota dirasa sudah aman, barulah mereka berpindah secara bertahap kemudian mendirikan tempat tinggal di luar benteng kota. Mereka membangun rumah yang disebut landhuis dengan corak Belanda dari abad 18, dengan ciri-ciri yaitu kamar-kamarnya memiliki ukuran yang luas dan banyak. Gaya hidup seperti ini, menandakan bahwa bangunan tersebut ditempati oleh segenap anggota keluarga yang berjumlah banyak, yang terdiri dari keluarga inti dan beberapa pembantu rumah tangga.

Kemudian seiring perjalanan akulturasi yang cukup panjang, terciptalah sebuah arsitektur kebudayaan Indis. Bentuk bangunan ini memiliki

ciri-ciri yaitu adanya unsur perpaduan antara bangunan Belanda dan bangunan tradisional. Ciri khas ini menunjukan identitas jati diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang berkuasa dan juga sebagai pembeda dengan masyarakat pribumi (Kartodirjo, 1990). Perkembangan kebudayaan Indis ini mengalami masa emas pada abad ke-20, tidak pada kota-kota besar saja, tetapi juga pada kota-kota kecil. Taman kota, perumahan dan bangunan-bangunan perkantoran adalah contoh dari akulturasi kebudayaan Indis ketika Indonesia sedang berada dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Namun, setiap daerah memiliki perkembangan arsitektur yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh keadaan geografis dan kepentingan setiap daerah yang berbeda pula (Prastiwi, Saraswati dan Witasari, 2019).

  • B.    Akulturasi antara Budaya Jawa dengan Belanda

Budaya merupakan sebuah pola hidup secara keseluruhan yang bersifat abstrak, luas dan kompleks. Beberapa aspek budaya juga ikut serta memastikan tingkah laku dalam berkomunikasi. Unsur-unsur sosial budaya ini tertebar dan melingkupi banyak agenda sosial manusia (Anik Susanti, 2013). Budaya merupakan sebuah metode dalam kehidupan yang muncul dan dimiliki oleh suatu golongan orang, lalu diwariskan secara genetis atau turun temurun. Budaya sendiri dapat terbentuk oleh beberapa faktor, seperti politik, agama, adat istiadat, tradisi, arsitektur, karya seni, dan makanan ataupun minuman.

Kehadiran bangsa Belanda ke Indonesia telah mengakibatkan terjadinya kontak budaya, hal ini yang kemudian menjadi penyebab untuk menghasilkan perpaduan budaya. Hasil dari akulturasi kebudayaan oleh sekelompok golongan Belanda dengan Jawa dinamakan sebagai kebudayaan Indis. Perpaduan budaya tersebut melingkupi segala bidang dan unsur kebudayaan. Perpaduan budaya ini juga mengakibatkan kebudayaan Jawa banyak didominasi oleh kebudayaan barat.

Perpaduan budaya antara Belanda dengan Jawa memiliki unsur yang saling mengambil dan mengisi, antara budaya Belanda dan budaya Jawa, keduanya memiliki hubungan yang erat dan saling ketergantungan (Anik Susanti, 2013). Keduanya pun saling membutuhkan yang kemudian memicu terjadinya pertukaran mental. Orang Belanda mengikuti dan menyerap kebudayaan Jawa dan orang Jawa pun sebaliknya. Kendatipun terjadi

transformasi mental, orang Jawa tetap pandai dalam menyortir kebudayaan barat. Orang Jawa dapat beradaptasi dengan budaya baru tersebut dan dapat menerimanya dengan tidak menghilangkan unsur kebudayaan Jawa yang telah melekat pada diri mereka.

Percampuran antara kebudayaan Jawa dengan Belanda ini dapat ditinjau dari perubahan gaya hidup, baik gaya hidup orang Jawa maupun orang Belanda. Seperti adanya pembaruan dalam perabotan rumah tangga, seperti meja, kursi, tempat tidur yang dilengkapi bantal beserta dengan guling. Kemudian dari segi pakaian dimana pria Indis mengenakan celana piyama yang bahan dasarnya terbuat dari batik dan baju dengan kain putih shantung yang biasa dikenakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan wanita Indis mengenakan sarung yang dikombinasikan dengan overblouse putih (Handinoto, 1994).

Tradisi-tradisi yang sudah melekat pada kalangan orang-orang Jawa memang sangat kontras jika dibandingkan dengan tradisi orang-orang Eropa (Belanda). Akan tetapi, kepandaian orang Jawa dalam menyortir kebudayaan asing juga membuat kehidupan orang-orang Belanda didominasi oleh kebudayaan Jawa (Mahardika Dwi Wardani, 2010). Salah satu contohnya adalah pada aspek kuliner atau makanan, kebiasaan makan orang Belanda tentu sangat berbeda dibandingkan dengan kebiasaan atau selera makan masyarakat Jawa. Para bangsa Belanda tentu memerlukan sebuah pembiasaan atau adaptasi untuk menyesuaikan lidah mereka dengan cita rasa khas makanan Jawa. Kebiasaan mengonsumsi nasi dalam kehidupan rumah tangga kaum Indis khususnya bagi pihak Belanda seakan menjadi hal yang baru namun juga tidak bisa dipisahkan. Meskipun awalnya mereka sedikit aneh dan tidak terbiasa memakan nasi, karena pada dasarnya makanan pokok orang Belanda adalah gandum atau roti, namun lama-kelamaan akhirnya nasi menjadi hal yang seolah-olah tidak bisa dipisahkan dalam makanan pokok sehari-hari para kaum Indis.

  • C.    Pengaruh Kebudayaan Indis Terhadap Kehidupan dan Beberapa Aspek Kesenian

Kebudayaan Indis merupakan hasil dari percampuran kebudayaan pribumi Indonesia dengan kebudayaan Eropa yang ditunjang oleh para golongan bangsa Belanda yang meliputi tujuh bidang dan unsur kebudayaan (Adam Zaki Gultom, 2020). Percampuran antara budaya Belanda dengan Jawa ini menandakan adanya sebuah proses

historis. Kebudayaan campuran ini menunjukan bahwa beberapa teknologi, material, dan modelmodel elite merupakan hasil serapan dari golongan Eropa (Belanda). Budaya Indis berakar dari masyarakat Eropa yang berada pada kelas bawah dan orang Indonesia yang kurang berpendidikan. Mereka memiliki sebuah ide untuk berusaha menyaingi masyarakat elite atau golongan kelas atas dengan cara meniru atau menjiplak gaya hidup mereka.

Kebudayaan Indis ini dalam perkembangannya selalu menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Sepanjang waktu mereka secara terus-menerus selalu menerima sumbangsih dari kebudayaan Eropa (Belanda) dan Indonesia. Hal demikian dapat menjadi kesimpulan bahwa kebudayaan Indis ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada beberapa aspek kehidupan dan bidang kesenian dan kebudayaan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh kebudayaan Indis ini terlihat pada beberapa aspek kehidupan seperti agama dan pendidikan, sedangkan dalam bidang kesenian dan budaya, seperti seni kriya, seni pertunjukan (film), seni musik, seni sastra dan seni lukis. Pada bidang seni kriya, terlihat pada dekorasi seni ukir yang dipakai sebagai interior bangunan dan juga furniture atau mebel seperti kursi, meja makan dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1888, pemerintah Hindia Belanda memberikan sumbangan berupa bantuan kepada para pengrajin untuk mendirikan sebuah sekolah kriya, dan tentu saja dengan kepentingan untuk mengembangkan seni kriya yang bercorak Eropa (Bastian, 2018).

Pada bidang seni pertunjukan (film), terjadinya perpaduan antara seni teater yang merupakan kebudayaan Indis dengan budaya lokal adalah sebagai cikal bakal adanya perfilman di Indonesia. Salah satunya yaitu pembuatan film pertama pada tahun 1928 yang diselenggarakan di Bandung dengan konsep mengadopsi dari mitologi Sunda yang berjudul Loetong Kasaroeng. Produksi film ini dilakukan oleh Java Film Company yang merupakan sebuah perusahaan gabungan milik orang Jerman dan Orang Belanda. Kemudian dua tahun setelahnya perusahaan tersebut kembali memproduksi film kembali. Dari perkembangan tersebut menunjukan bahwasanya di Indonesia terdapat sebuah penayangan cerita dalam bentuk film dan seni teater, hal ini berlangsung hingga akhir abad ke-20 (Soekiman, 2014).

Kemudian pada bidang seni musik, gaya Indis memiliki ciri-ciri identik musiknya, yaitu perpaduan antara musik brass-band dari Eropa

dengan musik Cina yang terangkum dalam gambang kromong. Perpaduan kedua unsur tersebut tersimpul dalam musik yang saat ini dikenal dengan sebutan musik keroncong. Dalam bentuk musik orkes keroncong ini melahirkan hal baru yang diikenal dengan nama komedi stamboel. Lagu tersebut sengaja dibuat dengan tujuan untuk mengiringi adegan-adegan dari komedi stambul itu sendiri (Adam Zaki Gultom, 2020). Bahkan, komedi stambul tersebut sudah banyak dijadikan sebagai film, sehingga transmisi informasi tentang komedi stambul ini sudah menyebar luas dan sudah tidak lagi dilegitimasi oleh kaum Indis saja, tetapi sudah berkembang luas kepada masyarakat pribumi (Soekiman, 2014).

Selanjutnya, kebudayaan Indis juga berpengaruh terhadap seni lukis pada masa itu. Dimana para pelukis pada saat itu membuat lukisannya secara alami, dimana mereka melukiskan apa adanya sesuai dengan apa yang mereka lihat, tanpa menambahkan sedikit pun pengaruh dari jiwanya. Beberapa hasil lukisan pada masa itu yang dapat dikategorikan sebagai lukisan kebudayaan Indis antara lain yaitu lukisan-lukisan yang menggambarkan bangunan benteng dan kota, juga rumah-rumah para pejabat di Batavia dan rumah-rumah di sepanjang pantai pulau Jawa. Selain itu, terdapat pula lukisan yang menggambarkan pemandangan kota Batavia, pasar, bahkan Keraton Yogyakarta pada tahun 1776. Kemudian pada tahun 1908 bertempat di Batavia, Delettanten Tentoonstelling sempat menyelenggarakan sebuah pameran hasil lukisan dari orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia.

Sedangkan dalam aspek pendidikan dan pengetahuan, kebudayaan Indis turut memberikan pengaruh terhadap sekelompok masyarakat Jawa yang masih menjunjung tinggi nilai adat istiadat. Dengan demikian, tahapan dalam belajar dan pendeklamasian ilmu pengetahuan yang dilakukan secara genetis atau turun-temurun dinilai memiliki perang yang penting. Pendidikan tradisional Jawa yang awalnya memiliki fungsi untuk melestarikan budaya dan kontinuitas generasi, perlahan mulai berubah dengan adanya kebudayaan Indis. Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat pribumi pada masa itu bisa dikatakan masih sangat minim, dikarenakan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu menginginkan bahwa rakyat Indonesia tetap berstatus sebagai rakyat yang terjajah. Mereka khawatir jika rakyat Indonesia diberikan pendidikan, maka akan menyebabka perlawanan

terhadap mereka sendiri. Namun, pada pertengahan abad ke-19, setelah adanya konflik politik di Belanda membuat pemerintah kolonial Belanda merubah sistem politiknya, salah satunya yaitu dalam bidang pendidikan. Pemerintah kolonial Belanda mulai mengadakan pendidikan, meskipun dapat dikatakan pelaksanaannya masih belum optimial (Bastian, 2018).

Pada aspek religi, kaum Indis mulai tampak dengan adanya proses enkulturasi, yang mana proses ini merupakan esensi dari kesadaran yang digerakkan oleh adat dan istiadat setempat. Bentuk enkulturasi ini pernah terjadi pada sebuah gereja yang bernama Gereja Katolik Ganjuran. Gereja tersebut merupakan bentuk dari perpaduan kebudayaan Jawa dengan Katolik (Eropa). Sebagai upaya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal, gereja tersebut menggunakan gamelan sebagai pengiring lagu-lagu rohani gereja, dan juga adanya figur dari raja-raja Jawa yang diukir menjadi patung untuk melambangkan tokoh-tokoh dari agama Katolik dan Nasrani.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi tersebut dapat dijadikan sebagai patokan bahwa kedatangan bangsa Eropa (Belanda) ke Indonesia membuat Indonesia menjadi negara yang kaya akan kebudayaannya. Adanya budaya Eropa terkhusus Belanda, telah memicu timbulnya perpaduan atau percampuran kebudayaan sehingga menghasilkan sebuah kebudayaan baru yang kemudian disebut dengan kebudayaan Indis (Bastian, 2018).

  • D.    Eksistensi Kebudayaan Indis Pada Masa

    Sekarang

Pada masa Perang Dunia II, kebudayaan Indis turut mengalami kemerosotan, hal ini disebabkan oleh runtuhnya kekuasaan Belanda ke pihak Jepang yang juga membuat lumpuh kebudayaan Indis. Kondisi yang sulit pada saat perang menyebabkan terhentinya seluruh aktivitas dari kebudayaan Indis. Meskipun eksistensi bangunan Indis masih ada hingga saat ini, tetapi para penganut kebudayaan tersebut sudah tidak ada lagi di Indonesia (Soekiman, 2014).

Pada masa sekarang, dapat dilihat bahwa bangunan-bangunan Indis yang usianya sudah tua merupakan saksi bisu dari panjangnya perjalanan kebudayaan Indis di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa usia bangunan bergaya Indis yang masih berdiri hingga saat ini hampir sama tuanya dengan usia kota tersebut. Sejumlah bangunan yang berdiri di kota-kota besar yang bergaya Indis memiliki karakteristik yang mudah diidentifikasi. Mulanya

bangunan Indis yang banyak berdiri di Jawa menyesuaikan dengan kondisi budaya sekitar dan juga iklim tropis di Indonesia. Arsitektur Indis ini disertai dengan paviliun di kedua sisinya kiri dan kanan. Kemudian pada sisi atas bagian pintu terdapat sebuah cermin kecil yang mengisyaratkan bahwa bangunan tersebut memiliki ciri khas atap pelana, arsitektur asimetris, lalu adanya bebatuan yang tertempel di bagian dinding dan juga adanya lubang-lubang kecil dibagian atas dindingnya. Adanya pengaruh kebudayaan Barat juga dapat dikenali dari pintu yang terletak di tengah tepat di apit oleh kedua jendela di sisi kanan dan kirinya, dengan bangunan sampingnya yang berbentuk letter “L” dan “U”. Kebudayaan Indis tidak hanya mempengaruhi arsitektur bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi juga meliputi seperti kantor pos, stasiun kereta api, gedung pertemuan atau gedung serba guna, gedung perkantoran dan juga toko-toko. Bangunan dengan kebudayaan Indis juga tidak hanya selalu dimiliki oleh pemangku jabatan pemerintah Belanda.

Hal lainnya juga dapat dilihat dari model baju untuk anak yang baru akan lahir, dilengkapi dengan tempat tidur bayi, perlengakapan untuk persalinan dan kamar tidur bayi. Selanjutnya, ketika bayi sudah dilahirkan, para kaum Indis mengadakan upacara untuk memberi nama dan proses pembaptisan di gereja. Kemudian si orang tua dari anak tersebut memanggil pendeta untuk membaptis si bayi tersebut (Soekiman, 2014). Hingga saat ini pun tradisi itu masih tetap dilaksanakan dan dilestarikan oleh hampir seluruh elemen masyarakat Indonesia, namun terdapat perbedaan disebabkan oleh faktor agama yang memiliki metodenya masing-masing.

Kemudian pada aspek upacara pernikahan, mulanya sebelum akad nikah dilaksanakan, calon mempelai laki-laki melakukan penggantungan mahkota kecil di atas pintu depan rumah atau tempat kerjanya. Dan sebelum menikah, biasanya mereka mengadakan resepsi terlebih dahulu. Lalu, pada saat malam harinya, mahkota yang semula diletakkan di atas pintu dibawa dan ditaruh di depan pintu rumah calon pengantin wanita dengan ditambah dengan hiasan-hiasan dan aksesoris yang mewah.

Hingga saat ini, tradisi upacara pernikahan tersebut masih kerap dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Ketika prosesi akad nikah, mereka melakukannya tidak hanya di tempat peribadatan, tetapi mereka juga melakukan prosesi tersebut di kediaman pengantin atau di sebuah

tempat yang mereka sepakati sebelumnya. Tradisi pengantin pria mendatangi kediaman pengantin wanita juga masih dilakukan hingga saat ini, namun perbedaannya sekarang cara tersebut dilakukan dengan menggunakan kendaraan. Resepsi yang dilakukan pada hari libur atau hari minggu juga masih diterapkan oleh masyarakat Indonesia pada saat ini dengan tidak memandang latar belakang agama, ras dan juga suku. Hari minggu yang dipilih sebagai pelaksanaan resepsi bukan tanpa alasan, melainkan agar para sanak kerabat, teman, dan rekan kerja dari masing-masing pihak pengantin dapat turut hadir dalam acara tersebut.

Dahulu, pada saat upacara kematian, para pemangku otoritas kekuasaan tertinggi justru dijadikan sebagai ajang untuk pamer kemewahan dan juga kemegahan. Upacara kematian yang hakikatnya sebagai momentum untuk mempererat tali silaturrahmi justru malah terkesan penuh gengsi dan kemegahan. Hal semacam pula dapat dilihat pada peti mati yang dihias sedemikian rupa sehingga terlihat mewah dan indah. Kemudian setelah selesai mengantarkan jenazah ke pemakaman, para orang-orang Indis menggelar makan bersama sebagai bentuk terima kasih kepada para sanak saudara dan juga orang-orang yang ikut serta dalam upacara kematian tersebut. Tradisi upcara kematian ini juga masih dilaksanakan hingga saat ini, namun ada beberapa perubahan yang diterapkan, seperti menghilangkan unsur-unsur kemewahan dan kemegahan yang hanya menyusahkan dan membuat ribet keluarga yang sedang berduka, dengan pertimbangan bahwa tidak semua orang mampu untuk melaksanakan upacara yang terkesan mewah tersebut.

SIMPULAN

Kebudayaan Indis merupakan sebuah kebudayaan yang muncul akibat adanya percampuran budaya Belanda dengan Jawa. Kata Indis sendiri merupakan serapan dari kosa kata Belanda, Indische. Yang pada masa kolonial Belanda, nama tersebut dipakai untuk menamai seluruh kebijakan yang dicetuskan oleh Belanda, seperti Indische Vereeniging, Indische Partij, Indische Katholike Partij atau Indische Sosial-Denokratische Verenigiing (Bastian, 2018).

Kebudayaan Indis bermula dari kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, namun disertai dengan larangan bahwa tidak boleh mendatangkan wanita dan tidak boleh membawa istri, kecuali para pemangku kekuasaan tertinggi. Hal inilah yang

kemudian memicu terjadinya pernikahan antara lelaki Belanda dengan wanita pribumi (Jawa) dan melahirkan anak-anak campuran, sehingga menimbulkan sebuah gaya hidup baru yaitu percampuran antara Belanda dengan Jawa yang kemudian disebut sebagai kebudayaan Indis.

Kehadiran bangsa Belanda ke Indonesia telah mengakibatkan terjadinya kontak budaya, hal ini yang kemudian menjadi penyebab untuk menghasilkan perpaduan budaya. Hasil dari akulturasi kebudayaan oleh sekelompok golongan Belanda dengan Jawa dinamakan sebagai kebudayaan Indis. Perpaduan budaya tersebut melingkupi segala bidang dan unsur kebudayaan. Perpaduan budaya ini juga mengakibatkan kebudayaan Jawa banyak didominasi oleh kebudayaan barat.

Kebudayaan campuran ini menunjukan bahwa beberapa teknologi, material, dan modelmodel elite merupakan hasil serapan dari golongan Eropa (Belanda). Budaya Indis berakar dari masyarakat Eropa yang berada pada kelas bawah dan orang Indonesia yang kurang berpendidikan. Mereka memiliki sebuah ide untuk berusaha menyaingi masyarakat elite atau golongan kelas atas dengan cara meniru atau menjiplak gaya hidup mereka.

Kebudayaan Indis ini dalam perkembangannya selalu menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Sepanjang waktu mereka secara terus-menerus selalu menerima sumbangsih dari kebudayaan Eropa (Belanda) dan Indonesia. Hal demikian dapat menjadi kesimpulan bahwa kebudayaan Indis ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada beberapa aspek kehidupan dan bidang kesenian dan kebudayaan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh kebudayaan Indis ini terlihat pada beberapa aspek kehidupan seperti agama dan pendidikan, sedangkan dalam bidang kesenian dan budaya, seperti seni kriya, seni pertunjukan (film), seni musik, seni sastra dan seni lukis.

Namun, perkembangan kebudayaan Indis ini kemudian berakhir sejak jatuhnya kekuasaan Belanda ke pihak Jepang. Kebudayaan Indis yang semula dianggap mewah mulai mengalami kemerosotan, dikarenakan Perang Dunia II semakin menggelora dan membuat kebudayaan Indis perlahan mengalami kelumpuhan. Kondisi yang sulit pada saat perang menyebabkan seluruh aktivitas kebudayaan Indis menjadi berhenti.

Kendatipun eksistensi kebudayaan Indis masih ada hingga saat ini, namun para penganut kebudayaan tersebut sudah tidak ada lagi di Indonesia (Soekiman, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Alian, Sair. (2012). Metodologi Sejarah dan Historiografi. Palembang: Proyek SP4 Universitas Sriwijaya.

Bastian, R. B. (2018). Perkembangan Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarta Abad Ke-19. Skripsi. Prodi Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Gultom, A. Z. (2020). Kebudayaan Indis Sebagai Warisan Budaya Era Kolonial. Warisan: Journal of History and Cultural Heritage, 1(1), 20-26.

Hadinonto. (1994). Indische Empire Style: Gaya Arsitektur “Tempoe Doeloe” yang Sekarang Sudah Mulai Punah. UK Petra: Perpustakaan Pusat UNEJ (Berkala).

Kartodirjo, S. (1990). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dan Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia.

Prastiwi, R. E, Saraswati, U, dan Witasari, N. (2019). Sejarah Perkembangan Arsitektur Bangunan Indis di Purworejo Tahun 19131942. Journal of Indonesian History, 8(1), 88-95.

Soekiman, D. (2018). Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.

Susanti, A. (2013). AKULTURASI BUDAYA BELANDA DAN JAWA (Kajian Historis pada Kasus Kuliner Sup dan Bistik Jawa Tahun 1900-1942). Avatara, 1(3).

Wardani, M. D. (2010). Kebudayaan Indis di Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Yass, Marzuki. (2004). Metodologi Sejarah Dan Historiografi. Palembang: Proyek SP4 Universitas Sriwijaya.

41