Mengurai Ingatan Kolektif Suara Perempuan Maluku Dua Generasi di Belanda dalam Mentjari Djalan Sendiri
on
PUSTAKA VOL. 22, NO.2 • 65 – 74
Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022
p-ISSN: 2528-7508
e-ISSN: 2528-7516
Mengurai ingatan kolektif suara perempuan Maluku dua generasi di Belanda dalam Mentjari Djalan Sendiri
Indira Ismail
Universitas Indonesia
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Remembering is a social action that cannot be separated from the context of the identity of both individuals and groups with the same background. Interpretation and reinterpretation of self-image, individual and group identities emerge from fragments of memories regarding events that occurred in the past. This study aims to show the representation of selfidentity as a Moluccan in the collective memory of the first and second generation Moluccan women in the Netherlands. This research uses descriptive analytical method and literature study using Halbwachs (1980) approach, regarding the memory of social actions which are not only personal in nature but adhere to its collective and dynamic nature as well as a basic form of identity. The results of this study show that there are three elements of collective memory presented by the first and second generations of Moluccan women, namely interpreting the first generation as a rigid and hard generation, the Moluccan camps in the Netherlands are considered as the 'space' of Maluku as well as Maluku's inferiority in front of the Netherlands, Moluccan women are fighters and mediators in the family. This study also shows how the two generations interpret their identity: the first generation feels like Moluccans, while the second generation is in chaos of dual identity: Moluccan’s and Netherlands.
Keywords: collective memory, Maluku women, the Moluccan diaspora in the Netherlands, KNIL, identity
Abstrak
Upaya mengingat merupakan suatu tindakan sosial yang tidak terlepas dari konteks identitas baik individu maupun kelompok dengan latar belakang yang sama. Pemaknaan dan pemaknaan ulang atas citra diri, identitas individu dan kelompok muncul dari fragmen-fragmen ingatan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Penelitian ini bertujuan mengurai representasi identitas diri sebagai orang Maluku dalam ingatan kolektif perempuan generasi pertama dan generasi kedua diaspora Maluku di Belanda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dan studi pustaka dengan pendekatan Halbwachs (1980) mengenai ingatan tindak sosial yang tidak hanya bersifat pribadi namun berpegang pada sifatnya yang kolektif dan dinamis sekaligus sebagai suatu bentukan dasar dari identitas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terangkum tiga elemen ingatan kolektif yang dihadirkan oleh perempuan Maluku generasi pertama dan kedua, yaitu memaknai generasi pertama sebagai generasi yang kaku dan keras, kamp-kamp Maluku di Belanda dianggap sebagai ‘ruang’ Maluku sekaligus inferioritas Maluku atas Belanda, perempuan Maluku adalah pejuang dan mediator dalam keluarga. Penelitian ini juga memperlihatkan cara kedua generasi memaknai identitas: generasi pertama tetap merasa sebagai orang Maluku, sementara generasi kedua berada dalam chaos identitas ganda, Maluku dan Belanda.
Kata kunci: ingatan kolektif, perempuan Maluku, diaspora Maluku di Belanda, KNIL, identitas
PENDAHULUAN
Lebih dari 70 tahun yang lalu orang-orang Maluku telah memulai hidup di Belanda dan berkembang menjadi sebuah diaspora. Diaspora Maluku dalam jumlah besar pertama kali tiba di Belanda dengan menumpang sepuluh kapal1 dalam
sebelas pelayaran antara bulan Maret-Juni 1951.2 Orang-orang Maluku yang berangkat menuju Belanda ini terutama merupakan kelompok bekas pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) dan pasukan Koninklijke Marine beserta keluarga yang seluruhnya berjumlah sekitar 12.500
Australia, Somersetshire, Groote Beer, Skaubryn, Asturias, Fairsea, dan Goya. (Pessireron, 2003).
2 Pessireron 2003
jiwa. Pada masanya, tentara-tentara ini pernah menjadi pasukan garda depan Belanda di Hindia Belanda yang sepenuh hati berperang demi membela kepentingan Belanda.
Seturut dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 oleh Belanda, pada tanggal 26 Juli 1950 KNIL dibubarkan dengan sebuah surat keputusan yang ditandatangani oleh Ratu Juliana. Pembubaran ini secara otomatis memberikan dua pilihan kepada pasukan yang tergabung di dalamnya yakni, bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) atau demobilisasi (bebas tugas dinas militer).3 Diantara pasukan KNIL asal Maluku ada yang memilih bergabung dengan APRIS, namun ada pula yang menolak dipecat dari dinas militer KNIL sebab tuntutan hak demobilisasi untuk dikembalikan ke wilayah-wilayah yang diinginkan yaitu Seram, Maluku, atau Papua ditolak oleh pemerintah RIS. Keberatan dari pemerintah RIS dipicu oleh kekhawatiran bahwa para mantan tentara ini akan bergabung dan memperkuat gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) yang baru memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 25 April 1950.4
Oleh karena keterbatasan waktu yang diperbolehkan untuk berada di wilayah Indonesia dan setelah negosiasi panjang yang berujung deadlock antara pemerintah Belanda, pemerintah Indonesia dan tentara KNIL Maluku, pemerintah Belanda mau tidak mau memutuskan untuk memberangkatkan mereka ke Belanda. Tanpa diduga, ketika tiba di pelabuhan Rotterdam dan Amsterdam, para mantan KNIL ini menerima surat pemecatan kedinasan mereka. Selanjutnya mereka ditempatkan di woonoorden atau pemukiman-pemukiman Maluku yang tersebar di seluruh penjuru Belanda, terletak jauh dan terisolir dari pemukiman masyarakat Belanda. Pemukiman-pemukiman ini sebagian besar merupakan bekas kamp konsentrasi yang digunakan ketika Perang Dunia ke-2, barak-barak, biara-biara yang sudah tidak lagi digunakan, serta rumah-rumah tinggal ala kadar yang semula diperuntukkan bagi para pekerja bangunan Belanda sesaat setelah Belanda
merestrukturisasi negaranya setelah porak poranda akibat Perang Dunia ke-2. Pemerintah Belanda menjanjikan orang-orang Maluku ini hanya akan ditempatkan sementara waktu di pemukiman-pemukiman tersebut, yakni selama tiga sampai maksimal enam bulan lamanya. Setelah waktu yang ditetapkan mereka akan dipulangkan kembali ke Maluku. Namun, janji tersebut tidak pernah terwujud dan berakhir dengan integrasi total masyarakat Maluku ke dalam masyarakat Belanda.
Perlakuan pemerintah Belanda yang dinilai menyepelekan orang-orang Maluku ini telah memicu kemarahan dan kekecewaan. Sementara itu usaha-usaha perundingan dan penyelesaian tidak membuahkan hasil. Pada dasarnya kemarahan dan kekecewaan para mantan tentara KNIL memuat tiga hal utama, yaitu pemecatan sepihak dari dinas militer oleh pemerintah Belanda, tidak diakuinya eksistensi Republik Maluku Selatan oleh pemerintah Belanda, serta janji pemerintah Belanda yang tidak kunjung terealisasi untuk membawa kelompok diaspora Maluku ini kembali pulang ke Maluku.
Suara-suara kemarahan dan kekecewaan mantan pasukan KNIL ini pada akhirnya disampaikan oleh keturunan mereka yaitu generasi kedua5 Maluku melalui aksi-aksi kekerasan yang diantaranya berujung pada korban jiwa, yaitu pendudukan dan penyekapan rumah Duta Besar Indonesia untuk Belanda oleh 33 pemuda Maluku pada tanggal 31 Agustus 1970, pembajakan kereta api, penyanderaan, dan pendudukan sekolah dasar yang dilakukan pada tahun 1975, 1977, dan 1978 di Belanda6. Aksi-aksi kekerasan ini pada akhirnya menjadi pemicu dalam membuka mata masyarakat dan pemerintah Belanda akan ‘keberadaan’ orangorang Maluku di Belanda.
Bartels (1986) mengatakan bahwa setelah aksi-aksi kekerasan tersebut, masyarakat Maluku secara perlahan berintegrasi secara utuh ke dalam masyarakat Belanda dan telah membentuk settled community di Belanda sejak tahun 2006.7 Menurut Steijlen (2008) pada sekitar akhir tahun 1970-an dan 1980-an yakni setelah aksi-aksi pendudukan, pembajakan kereta api dan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak muda Maluku, masyarakat Maluku di Belanda mulai memaknai
pada tanggal 23 Mei 1977 – 11 Juni 1977. Aksi ini kemudian diulangi pada tahun 1978 di De Punt (Provinsi Drenthe) dan di Boven-Smilde (menduduki sebuah sekolah dasar).
7 Steijlen 2008
ulang posisi mereka di dalam masyarakat Belanda, serta mulai melakukan gerakan pemaknaan ulang identitas diri dengan menggiatkan kembali budaya Maluku secara sadar dan progresif. Gerakan ini diistilahkan Steijlen sebagai ‘ledakan budaya kreatif’.
Realisasi dari kesadaran gerakan pemaknaan ulang budaya kreatif ini dilakukan pada banyak lini, antara lain dengan menerbitkan bacaan-bacaan komunitas atas inisiatif dari anak-anak muda Maluku (generasi kedua), membentuk kelompok-kelompok bermusik yang bertujuan mendorong kreativitas dan memperkenalkan musik dan pemusik Maluku secara luas termasuk pada publik Belanda, menyelenggarakan kegiatan sastra dan budaya, dan sebagainya. Perempuan Maluku juga tidak tinggal diam dan berinisaitif untuk terlibat aktif dalam gerakan ini, baik yang berasal dari generasi pertama (istri mantan pasukan KNIL) maupun generasi kedua. Secara progresif mereka melakukan gerakan-gerakan budaya dan sastra, salah satunya dengan membentuk Kelompok Aktivitas Umum untuk Wanita-Wanita Maluku. Pada tanggal 16 dan 17 November 1985 Kelompok Aktivitas Umum untuk Wanita-Wanita Maluku menyelenggarakan sebuah workshop menulis yang bertujuan untuk memberikan stimulasi kepada perempuan Maluku di Belanda agar dapat turut melantangkan suara dan aspirasi perempuan Maluku di Belanda khususnya, dan masyarakat Maluku di Belanda umumnya. Hasil dari workshop tersebut adalah sebuah bundel berjudul Mentjari Djalan Sendiri yang ditulis oleh 35 perempuan Maluku dari dua generasi dengan beragam genre meliputi cerita pendek, sajak, pantun, lagu, dan interview yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Belanda, namun ada diantaranya yang ditulis dalam bahasa Melayu-Ambon.
Kajian-kajian yang ditemukan mengenai diaspora Maluku di Belanda kebanyakan berupa kajian ilmiah yang terutama membahas persoalan migrasi, identitas dan integrasi diaspora ini. Kajian mengenai karya-karya (baik sastra maupun nonsastra) yang dihasilkan oleh diaspora ini belum banyak mendapat sorotan untuk diulas. Sejauh penulusuran studi pustaka mengenai masyarakat Maluku di Belanda ditemukan beberapa kajian yang mengulas karya-karya yang dihasilkan oleh diaspora ini.
Pertama, artikel jurnal karya Rahantoknam (1995) memberikan ulasan singkat mengenai karya-karya sastra apa saja yang telah dihasilkan oleh diaspora Maluku di Belanda dengan
menggarisbawahi aspek khusus sebagai pembeda antara karya generasi pertama dan generasi kedua. Menurutnya karya generasi pertama lebih cenderung bersifat fatalisme (memaknai kehidupan yang dijalani di Belanda sebagai bagian dari takdir yang harus dijalani) dibandingkan karya generasi kedua.
Kedua, artikel jurnal karya Giesen (2015) menelaah dua karya fiksi yang ditulis oleh generasi kedua, yakni Snijden een stikken, het verhaal van kleermaker Boeng (2008) karya Yvon Muskita dan Gesloten Koffers (2008) karya Sylvia Pessireron, serta sebuah otobiografi Korban (1998) karya Cornelis Thenu. Giesen membatasi analisisnya pada bagaimana sejarah orang-orang Maluku direpresentasikan melalui analisis unsur-unsur intrinsik yang kemudian dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan poskolonial dari Ponzanesi dan Merola, Boehmer, serta Korsten. Giesen menggarisbawahi aspek-aspek penelitiannya pada aspek-aspek tertentu meliputi asal negara vs negara tujuan, marge vs centrum, dan hibriditas.
Ketiga, artikel karya Praamstra (2018) menguraikan bahwa generasi kedua Maluku adalah generasi penulis dibandingkan generasi pertama, meskipun menurutnya pada akhirnya, secara kuantitas, tidak banyak karya sastra yang mampu dihasilkan oleh diaspora ini.
Sebagai makhluk sosial, manusia terlibat dengan pengalaman-pengalaman dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Pengalaman-pengalaman ini selanjutnya dirasakan dan kemudian diinterpretasikan. Interpretasi atas pengalaman-pengalaman yang demikian pada gilirannya menjadi fragmen-fragmen yang dapat direkatkan satu sama lain untuk melengkapi narasi mengenai suatu kelompok sosial. Selain itu, dari narasi tersebut dapat kemudian dipahami bagaimana fragmen-fragmen yang memuat pengalaman dari peristiwa-peristiwa dikonstruksikan ulang dan membentuk gabungan kesadaran suatu kelompok masyarakat tentang masa lalu. Sumardjo dan Saini (1998) mengatakan bahwa karya sastra mampu menyampaikan aspek-aspek pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan. Seturut dengan hal tersebut, Saryono (2009) juga menyampaikan bahwa karya sastra mampu berfungsi sebagai media yang merekam semua pengalaman sehingga dapat bersaksi dan berkomentar mengenai kehidupan manusia. Karya sastra yang ditulis oleh diaspora Maluku mengenai sejarah, pengalaman, dan rasa yang dialami, termasuk di dalamnya
sebagai imigran dan selanjutnya sebagai diaspora Maluku di Belanda sesungguhnya dapat memberikan sumbangan untuk lebih jauh menelaah mengenai persoalan-persoalan apa saja yang telah dialami diaspora ini dalam beragam peristiwa hidup yang dialami. Mentjari Djalan Sendiri dapat ditawarkan sebagai salah satu karya yang dapat menjalankan fungsi di atas yakni sebagai saksi mengenai bagaimana masyarakat Maluku di Belanda, dalam konteks ini diwakili oleh perempuan Maluku, membangun memori kolektif diri dan kelompok mengenai persoalan-persoalan yang dialami dan yang harus dihadapi terutama pada tahun-tahun awal tinggal di Belanda (antara tahun 1951-1970). Sebuah bagian dari periode kehidupan yang terkait erat dengan warisan kolonial.
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, belum ada penelitian pada ranah sastra Maluku yang ditulis oleh diaspora Maluku di Belanda yang secara khusus menyelami narasi-narasi yang ditulis oleh perempuan Maluku di Belanda dan mengaitkannya dengan pendekatan memori kolektif. Penelitian ini akan menelisik bagaimana perempuan Maluku dari generasi pertama dan generasi kedua menarasikan ingatan historis mengenai persoalan migrasi pascakolonial dan integrasi yang dialami oleh orang-orang Maluku di Belanda (dalam konteks ini adalah proses pindah dari woonoorden ke woonwijken). Penelitian ini bertujuan memaparkan aspek-aspek pengalaman dan rasa yang disampaikan perempuan Maluku generasi pertama dan generasi kedua seturut ingatan historis mereka mengenai persoalan yang dialami terkait migrasi pascakolonial dan integrasi diaspora Maluku di Belanda. Pemilihan corpus Mentjari Djalan Sendiri sebagai sumber utama penelitian ini didasarkan pada beberapa hal. Pertama belum ada penelitian yang menelisik karya ini; kedua, meskipun jumlah penulis yang terlibat (35 orang) di satu sisi memiliki kekurangan pada segi kurang dalamnya penyampaian narasi pada masing-masing karya, namun kelebihannya adalah aspek-aspek pengalaman dan rasa yang dihadirkan menjadi lebih kaya dari segi kuantitas; ketiga, selain menyajikan narasi dari perempuan Maluku generasi kedua, corpus ini juga menyajikan narasi dari perempuan Maluku generasi pertama (istri mantan tentara KNIL) yang biasanya lebih dikenal sebagai generasi lisan.
METODE
Corpus penelitian ini adalah sebuah kumpulan tulisan berjudul Mentjari Djalan Sendiri (MDS) (1985) yang merupakan karya gabungan perempuan generasi pertama dan generasi kedua Maluku di Belanda. Secara keseluruhan karya ini berjumlah 24 karya dan ditulis oleh 35 penulis dalam beragam genre, meliputi cerita pendek, sajak, pantun, lagu, dan wawancara. Karya ini diterbitkan pada akhir workshop yang diselenggarakan oleh Kelompok Aktivitas Umum untuk Wanita-Wanita Maluku.
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yang cara kerjanya memanfaatkan penafsiran dan menyajikannya dalam bentuk deskriptif, dirangkai dengan studi pustaka untuk pemaparan kesejarahan yang lebih mendalam dan pendekatan memori kolektif yang diuraikan oleh Marice Halbwachs (1980). Menurut Halbwachs ingatan kolektif dapat dipergunakan untuk memahami makna dari sebuah peristiwa dengan lebih baik. Pikiran dan imajinasi individu bukan merupakan hal yang bersifat pribadi semata melainkan selalu memiliki akar yang bersifat kolektif atau tertanam di dalam konteks sosial tertentu. Sehingga, terdapat keterkaitan erat antara ingatan kolektif sebuah masyarakat dengan identitas personal dari anggota masyarakatnya. Ingatan kolektif ini pada hakikatnya berperan penting dalam membentuk identitas dari sebuah kelompok masyarakat.
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti membaca kumpulan karya Mentjari Djalan Sendiri secara close reading untuk mendapatkan gambaran umum dan permasalahan utama dalam karya tersebut. Kedua, peneliti melakukan reduksi data dengan cara memilih data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yakni aspek-aspek pengalaman dan rasa yang disampaikan perempuan Maluku generasi pertama dan generasi kedua seturut persoalan migrasi pascakolonial dan integrasi yang dialami diaspora Maluku di Belanda. Ketiga, peneliti menganalisis sekaligus memberikan pemaknaan pada data yang telah direduksi dan mengaitkannya dengan pendekatan memori kolektif dari Maurice Halbwachs.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari analisis yang dilakukan pada corpus Mentjari Djalan Sendiri ditemukan aspek-aspek
pengalaman dan rasa yang dapat dipilah ke dalam tiga elemen memori yang terbangun dari narasi perempuan generasi pertama dan generasi kedua Maluku, yakni pengalaman masa remaja, kehidupan di woonoorden, kehidupan berumah tangga, dan pemaknaan identitas diri.
Generasi pertama: generasi ‘keras’
Beberapa karya di dalam Mentjari Djalan Sendiri mengangkat kisah cinta di masa muda, baik yang dialami generasi pertama sebelum berangkat ke Belanda dan yang dialami generasi kedua saat masih tinggal di pemukiman Maluku di Belanda. Kenangan yang disampaikan meliputi suka duka menemukan jodoh, pertemuan kembali dengan cinta pertama, larangan keras orang tua dalam perjumpaan diam-diam antar kekasih, serta penyesalan karena tidak mengindahkan larangan orang tua.
Suguhan kenangan mengenai cinta ini sekaligus mengangkat gambaran dan sosok orang tua baik ayah maupun ibu dalam mendidik, mengarahkan anak-anak mereka, serta mengatur jalannya rumah tangga. Ayah (terutama dari generasi pertama) dipandang sebagai sosok yang keras dalam hal mendidik anak. Seturut dengan Praamstra (2018) yang mengatakan bahwa di dalam keluarga Maluku di Belanda, sosok ayah adalah yang mendominasi semua keputusan keluarga dalam MDS juga digambarkan mengenai Ayah yang memiliki peran otoriter dan berfungsi sebagai penentu segala keputusan di dalam keluarga. Ayah seringkali membatasi anak-anaknya dalam pergaulan muda mudi dengan cara melarang keluar rumah, dan mengharapkan anak-anaknya pulang dari sekolah tepat waktu. Bila larangan tersebut tidak diindahkan, maka hukuman fisik pun tidak segan-segan diberikan.
Oesi Dodo die je altijd kon horen huilen. Wanneer zij weer eens te laat kwam en van haar vader slaag kreeg met de brede koppelriem.
(Herinneringen zeggen je veel)
Kau dapat selalu mendengar tangisan usi (kakak) Dodo. Ayahnya akan memukulnya dengan ikat pinggang lebar bila ia terlambat pulang ke rumah.
(Herinneringen zeggen je veel)
Disebutkan ada tiga jenis hukuman fisik yang diberikan orang tua kepada anak yang
melanggar peraturan orang tua. Pertama, memukul anak pada badan menggunakan ikat pinggang lebar. Ikat pinggang yang dimaksud merupakan bagian dari seragam pasukan KNIL, terbuat dari material kulit tebal. Kedua, memukul anak dengan rotan. Ketiga, memberikan hukuman pompa. Pompa adalah menggerakkan badan naik turun dengan menggunakan satu kaki, kedua tangan disilangkan memegang telinga, kepala menghadap ke dinding. Biasanya hukuman pompa akan diperberat dengan mengikat sebuah bangku di punggung anak.
Mijn ouders waren erg streng. Straffen, niet te geloven zeg! Pompa in de hoek, met een stoel vastgebonden achter op je rug. Met de rotan slaan ze je ook.
(sengsara)
Orang tuaku sangat keras. Menghukum, luar biasa keras! Pompa di sudut ruangan, dengan kursi yang diikatkan di punggungmu. Mereka juga memukul kami dengan rotan.
(Sengsara)
Sikap otoriter ayah sebagai penentu dalam keluarga juga dirasakan oleh ibu. Pada wawancara dengan generasi pertama Maluku dalam MDS disebutkan bahwa salah satu alasan kuat perempuan generasi pertama tidak antusias dalam mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda adalah karena mereka dilarang keras oleh suami mereka.
‘[…]. Karena banjak oom-oom itu ambil hak, dus baas (bos). Oom-oom jang tentukan ini dan itu.
(Tanja menanja)
Di sisi lain, dalam ingatan generasi kedua, sosok ibu generasi pertama digambarkan tidak jauh berbeda dengan ayah. Ibu adalah sosok yang juga keras dalam menangani anak-anaknya. Anak-anak perempuan diwajibkan membantu ibu dalam pekerjaan rumah tangga. Ibu berperan sebagai pemberi nasihat dalam menanamkan pentingnya menjaga diri sebagai seorang perempuan terutama ketika mendapati anak-anak perempuannya mengalami menstruasi yang pertama: awas, laki-laki dorang djahat! Djaga dirimu.
Generasi kedua mendeskripsikan orang tua tidak bersikap adil terhadap anak-anak mereka. Orang tua seringkali mengutamakan anak laki-laki,
anak tertua, dan anak-anak yang menurut mereka berprestasi. Anak-anak yang diutamakan itu, biasanya dibebaskan dari tugas-tugas membantu rumah tangga dan diperbolehkan keluar rumah menghadiri pesta muda mudi atau berjumpa dengan lawan jenis.
Mijn oudste zus mocht alles, want zij was de oudste. Mijn tweede zus zat op de MULO; sekolah pintar, dus zij mocht ook alles. En wie was de pineut, de pechvogel? … dat was ik dus. Ik moet van alles doen..
(Sengsara)
Kakak perempuan tertuaku boleh melakukan apa saja, sebab ia yang tertua. Kakak perempuan keduaku duduk di MULO; sekolah pintar, jadi dia juga boleh melakukan apa saja. Lalu siapakah si sial itu? Si takberuntung? … itu adalah aku. Aku harus menyelesaikan semuanya.
(Sengsara)
Ini kemudian menimbulkan rasa frustasi dan cemburu yang dirasakan oleh anak-anak yang tidak mendapatkan perlakuan istimewa sehingga muncul keinginan untuk memberontak dan bahkan kabur dari rumah. Bagi generasi kedua yang kala itu masih remaja bahkan anak-anak, pekerjaan rumah menjadi hal yang tidak ringan antara lain dikarenakan kondisi pemukiman yang tidak memadai. Kamar mandi, kamar cuci, serta dapur adalah ruang-ruang bersama yang terletak di luar kamar barak. Apabila musim dingin tiba, akses menuju ruang-ruang bersama tersebut menjadi kendala tersendiri.
Woonoorden: ‘ruang’ Maluku dan inferioritas Maluku
Memori yang terbangun mengenai woonoorden atau pemukiman atau kamp-kamp Maluku dalam Mentjari Djalan Sendiri meliputi memori akan kehidupan dan suasana di kamp dan kedudukan atau posisi orang-orang Maluku dalam relasinya dengan Belanda. Dalam MDS generasi pertama dan generasi kedua menyampaikan pandangan yang berbeda mengenai kamp Maluku.
Ketika orang-orang Maluku tiba di Belanda, mereka kemudian disebar ke berbagai pemukiman di seluruh penjuru Belanda. Pemukiman-pemukiman tersebut pada umumnya terisolir dan terletak jauh dari pemukiman masyarakat Belanda. Dalam MDS, generasi
pertama Maluku menganggap kondisi pemukiman-pemukiman tersebut jauh dari layak untuk dihuni, oleh karena fasilitas yang terbatas dan bahkan sangat tidak memadai. Kondisi pemukiman yang digambarkan adalah barak-barak kayu tipis yang disediakan sebagai rumah tinggal, berukuran kecil dan bisa ditembus hawa dingin dan suara. Marijanan (2021) menyebutkan bahwa setiap keluarga Maluku di dalam kamp menempati satu kamar barak berukuran 6x4 m2 yang tidak cukup menampung seluruh anggota keluarga dengan layak. Tentara KNIL asal Maluku yang datang ke Belanda pada umumnya telah berkeluarga, yang jumlahnya kemudian bertambah secara signifikan dengan anak-anak yang dilahirkan di kamp-kamp tersebut. Biasanya satu keluarga Maluku dapat memiliki 6-10 anak. Bila musim dingin tiba, barak-barak kayu berdinding tipis tersebut dapat ditembus oleh dingin yang menusuk dan seringkali membuat baik orang dewasa maupun anak-anak mudah terserang pilek. Dalam MDS ingatan tentang sekolah yang terletak di wilayah pemukiman juga menyebutkan bahwa anak-anak Maluku seringkali terserang pilek akibat cuaca dingin. Ini mengganggu pelajaran di kelas sebab mereka seringkali diharuskan bolak-balik ke toilet sekolah untuk membersihkan hidung. Ketika jam istirahat tiba anak-anak Maluku seringkali digiring paksa untuk keluar kelas agar tidak berkumpul di sekitar pemanas ruangan. Kondisi rumah tinggal yang demikian itu tidak hanya memengaruhi kesehatan tetapi juga mengganggu privasi dalam rumah tangga sebab banyak hal dapat didengar tetangga melalui celah-celah kayu yang tipis.
Berkontradiksi dengan generasi pertama, generasi kedua yang kala itu masih kanak-kanak ketika tiba di Belanda sebaliknya mendeskripsikan kamp Maluku sebagai bagian dari memori masa kecil yang indah dan membahagiakan dengan tempat bermain yang menyenangkan. Terutama bila musim panas tiba anak-anak Maluku akan bermain keluar dengan riang gembira, anak laki-laki suka bermain kelereng, sementara anak-anak perempuan bermain masak-masakan.
De vele barakken, de kamar mandi, tempat air panas, de kantine, school, schouwburg, batu krikil,[…]. Het kamp Schattenberg, waar ik geboren ben, de mooiste plekken had, de mooiste herinneringen heb achtergelaten…’ (Kaki Kepala)
Barak-barak, kamar mandi, kamar air panas, dapur, sekolah, gedung pertunjukkan, kerikil, […]. Kamp Schattenberg, tempatku dilahirkan, adalah tempat terindah, tempat kutinggalkan kenangan terindah…’ (Kaki Kepala).
Bagi orang-orang Maluku, woonoorden atau pemukiman-pemukiman Maluku yang terisolir dan telah ditempati selama lebih kurang 20 tahun (sebelum mereka dipindahkan ke woonwijken) terasa bagaikan miniatur negeri Maluku atau telah menjadi ‘ruang’ Maluku. Aspek-aspek kehidupan di Maluku yang terbaca dalam ungkapan-ungkapan Maluku seperti laeng tolong laeng (saling menolong), laeng sayang laeng (saling menyayangi dan mengasihi), atau hidup masohi, terasa melekat kuat di dalam kamp dan menjadi pegangan hidup masyarakat Maluku dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masohi adalah suatu konsep budaya masyarakat Maluku yang menjunjung aspek tolong menolong dan bergotong royong saling membantu satu sama lain guna meringankan beban hidup di dalam kehidupan bermasyarakat. (Leirissa: 1989 dalam Huwae: 2011). Laeng tolong laeng, laeng sayang laeng, dan hidup Masohi yang merupakan konsep-konsep budaya Maluku di Maluku juga diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat Maluku di woonoorden. Di dalam MDS disebutkan bahwa anak-anak Maluku juga diwajibkan membantu orang yang lebih tua (tidak hanya orang tua mereka semata), misalnya dengan bergotong royong membantu mengambilkan air hangat di dapur umum yang terletak terpisah dari ruang cuci umum untuk tante-tante yang tengah mencuci baju di ruang cuci umum.
‘ […]. Tantes waren daar bezig de was te doen. Er was alleen koud water en we moisten dan af en aan warm water halen voor deze tantes.’
(Herinneringen zeggen je veel)
‘[…]. Di sana tante-tante sedang sibuk mencuci baju. Hanya ada air dingin di tempat itu, dan kami harus bolak balik mengambil air hangat untuk para tante.’
(Herinneringen zeggen je veel)
Tidak semua anggota masyarakat Maluku di kamp-kamp Maluku yang tetap setia untuk tinggal di dalam pemukiman Maluku. Ada dari
anggota diaspora ini (terutama generasi kedua) yang kemudian memilih hengkang dari pemukiman Maluku dan masuk ke dalam de witte maatschappij atau lingkungan masyarakat Belanda. Keinginan keluar dari lingkungan masyarakat Maluku terutama dilatari oleh sebuah kesadaran dan keinginan untuk menentukan jalan hidup sendiri tanpa campur tangan orang lain dalam memastikan langkah hidup selanjutnya. Di dalam MDS disebutkan bahwa mereka yang memutuskan bergabung dengan de witte maatschappij pada akhirnya menyadari bahwa konsep kehidupan bermasyarakat yang dialami di dalam pemukiman-pemukiman Maluku tidak bisa mereka temukan di dalam interaksi dengan masyarakat Belanda. Laeng tolong laeng (saling menolong), laeng sayang laeng (saling menyayangi dan mengasihi), dan hidup masohi (saling bergotong royong) di dalam ruang Maluku di Belanda telah berfungsi membentuk dan membina rasa kebersamaan, kesetiaan serta perlindungan antara satu dengan yang lainnya.
Kenangan akan kamp Maluku juga dibangun dengan pemahaman akan suatu kesadaran mengenai perbedaan posisi sosial antara orang-orang Maluku dan Belanda. Orang-orang Maluku memosisikan diri sebagai kelompok inferior dihadapan Belanda yang superior. Relasi kuasa ini diperlihatkan dengan menyebut kulit hitam (orang maluku) sebagai penghuni kamp yang bermakna inferior di satu sisi, dan kulit putih (orang Belanda) yang diwakilkan oleh pengelola kamp sebagai yang superior di lain sisi. Inferioritas orang-orang Maluku diperlihatkan dengan keharusan menggunakan Bahasa Belanda dalam sebagian besar interaksi, meskipun juga disebutkan bahwa Bahasa Melayu-Ambon masih terdengar dalam keseharian di kamp. Begitu pula yang terjadi pada anak-anak yang kedapatan menggunakan Bahasa Melayu-Ambon di sekolah. Mereka akan dihukum menghadap dinding selama jam pelajaran di sudut ruang kelas.
Perempuan Maluku sebagai pejuang keluarga
Beberapa karya dalam MDS menyampaikan ingatan individual mengenai ketegaran perempuan Maluku baik di Maluku maupun di Belanda, sekaligus mendeskripsikan beberapa aspek kehidupan dalam menjalankan rumah tangga saat berada di pemukiman-pemukiman Maluku di Belanda. Aspek-aspek tersebut meliputi hubungan vice versa antara orang tua dengan anak, dan pekerjaan rumah tangga
sebagai suatu beban yang harus dipikul perempuan Maluku yang telah berumah tangga.
Beberapa karya dalam MDS menyebut bahwa bagi perempuan Maluku, anak adalah harta benda tak ternilai yang harus juga dipahami persoalan dan kebutuhannya. Dalam segala keterbatasannya, perempuan generasi pertama Maluku memiliki keinginan kuat untuk berupaya memahami persoalan generasi kedua sebagai generasi yang lahir, tumbuh dan besar di Belanda. Di balik kerasnya perempuan generasi pertama dalam mendidik anak-anak mereka, terpatri suatu pemahaman bahwa orang tua dan anak-anak selayaknya mengambil sikap ‘saling mendengarkan’ dan mengedepankan upaya-upaya pendekatan antara orang tua dan anak. Meskipun hal tersebut tidak mudah dilakukan di dalam keluarga Maluku yang dipimpin oleh ayah yang cenderung otoriter dan ringan tangan. Di dalam keluarga Maluku, sosok Ibu penting sebagai pengendali keharmonisan, ketentraman, dan kenyamanan di dalam rumah tangga. Ibu bertindak sebagai pendengar dan menjadi mediator antara ayah dan anak, serta menjadi sosok yang tidak lelah dalam menasihati anak-anaknya. Bagi Ibu, nasihat yang disampaikan kepada anak-anak mereka diistilahkan sebagai souvenir yang kelak menjadi pusaka bagi anak-anak Maluku dan penuntun jalan hidup mereka.
Ada pula karya dalam MDS yang menarasikan ketegaran perempuan Maluku dalam mendukung rumah tangga, serta keinginan perempuan Maluku untuk didengarkan keluh kesahnya. Narasi mengenai ketegaran perempuan Maluku ini dikaitkan dengan ingatan historis individual yang menyebut ketegaran perempuan Maluku di Maluku sebagai contoh yang harus ditiru oleh perempuan Maluku di Belanda. Ketegaran perempuan Maluku di Maluku diuraikan dengan adanya ketidaksetaraan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di Maluku. Perempuan Maluku di Maluku dideskripsikan sebagai pemikul hampir seluruh beban rumah tangga yaitu mengurus anak dan keluarga serta memastikan roda kehidupan dalam rumah tangga berjalan sebagaimana mestinya. Sementara laki-laki Maluku di Maluku digambarkan lebih sering menganggur atau menghabiskan waktu bersama kawan-kawan mereka.
Ketika tiba di Belanda sebagai istri tentara KNIL, kebanyakan perempuan generasi pertama masih berusia muda, yakni sekitar 20-an tahun. Ingatan kolektif mengenai menjadi ibu rumah
tangga pada periode berada di woonoorden disampaikan sebagai sesuatu hal yang berat dan sulit untuk dihadapi. Persoalan berat dan sulit tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan internal namun juga eksternal. Persoalan internal meliputi jumlah anak yang relatif banyak sementara tidak didukung dengan fasilitas tinggal dan keuangan yang memadai. Tinggal di dalam kamar-kamar barak yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang besar mengendurkan privacy. Sementara tunjangan hidup yang diberikan pemerintah Belanda sebesar 3 gulden untuk setiap orang dewasa dan 2 gulden untuk setiap anak per minggu dirasakan tidak mencukupi. Perempuan Maluku harus pandai memutar otak dan berimprovisasi agar kebutuhan seluruh anggota keluarga terpenuhi. Persoalan internal diperberat dengan kemampuan psikologis perempuan Maluku dalam menekan rasa rindu berada jauh dari sanak keluarga di Maluku, dan menekan harapan serta mimpi-mimpi untuk dapat kembali pulang ke Maluku. Adapun persoalan eksternal meliputi kemampuan beradaptasi dengan alam, budaya, bahasa, makanan, serta mentalitas yang berbeda. Suara-suara ketegaran perempuan Maluku generasi pertama ini tersorot dalam bentuk kalimat-kalimat fatalisme atau kepasrahan dalam menghadapi persoalan hidup di Belanda: Apa jang su djadi, djadi sadjah (Apa yang sudah terjadi, memang seharusnya terjadi).
Beratnya menjadi ibu rumah tangga ketika tinggal di dalam pemukiman-pemukiman Maluku telah menyita waktu dan tenaga, sehingga tidak lagi waktu luang untuk melakukan kebiasaan dan hobi lama seperti membuat pantun, bahkan untuk mengasah diri dengan keterampilan baru melalui kursus-kursus. Ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak perempuan Maluku generasi pertama tidak antusias mengikuti kursus gratis bagi perempuan yang ditawarkan oleh pemerintah Belanda kala itu.
Maluku tanah airku, Belanda rumahku
Ingatan adalah dasar dari identitas. Citra diri dari suatu kelompok masyarakat muncul dan berkembang dari ingatannya akan apa yang terjadi pada masa lalu. Meskipun telah bermigrasi ke Belanda, serta mau tidak mau harus menjalani integrasi di Belanda, perempuan Maluku dari generasi pertama dan generasi kedua masih memaknai diri sebagai orang Maluku dan memiliki perasaan bangga menjadi orang Maluku, bahkan terucap keinginan untuk dapat menjaga dan
berjuang untuk Maluku. Dalam kalimat yang sangat berapi-api: darahku, darah Maluku di dalam MDS tercermin suatu semangat dan keyakinan menera diri dengan identitas sebagai orang Maluku. Identitas Maluku ini juga direpresentasikan dengan kerinduan akan makanan Maluku seperti ‘sagu’, dan ‘ikan kering’. Keinginan kuat untuk kembali ke Maluku (terutama bagi generasi pertama) dan identitas yang dibangun sebagai orang Maluku berparalel dengan keraguan bahwa akan dapat kembali pulang ke Maluku.
‘Is het waar, dat eens de kinderen, kleinkinderen, achterkleinkinderen en noem maar op teruggeroepen worden naar de berg Nunusaku waar wij allen vandaan komen.’ (Apa iya, suatu hari nanti anak-anak, cucu, dan cicit kami akan dipanggil pulang ke Nunusaku tempat asal kami semua).
Generasi pertama percaya bahwa Nunusaku berhubungan dengan asal-usul mereka. Leluhur Maluku bergerak menyebar dari Nunusaku untuk membangun kampung-kampung di Pulau Seram dan selanjutnya ke pulau-pulau lainnya di Maluku. Nunusaku dimaknai sebagai Ina atau Ibu yang akan memanggil anak-anaknya yang ia perkenan untuk kembali ke pangkuannya, kembali ke Maluku.
Berbeda dengan perempuan generasi pertama yang lugas mengidentifikasi diri sebagai orang Maluku, perempuan generasi kedua Maluku lebih cenderung berhati-hati. Lahir, tinggal dan dibesarkan di Belanda telah membangkitkan rasa terasing, takut, dan kecewa saat berhadapan langsung dengan Maluku sebagai sebuah wilayah maupun dengan masyarakat Maluku. Ini kemudian mengisyaratkan pertarungan diri perempuan generasi kedua dalam memaknai identitas. Pertama, negeri Maluku yang dikenal dan dirindukan adalah sebuah wilayah yang direkonstruksi dari kisah-kisah masa lalu yang dituturkan orang tua (generasi pertama) dan bukan melalui persentuhan inderawi atau pengalaman langsung dari generasi kedua. Kedua, muncul perasaan berbeda dan bukan merupakan bagian utuh dari masyarakat maluku ketika respon masyarakat Maluku dianggap lebih menunjukkan superioritas atas Maluku (antara lain, meliputi penguasaan bahasa, adat istiadat, dan kemampuan membaca alam). Keterasingan, ketakutan, dan kekecewaan terhadap ruang Maluku ini
menimbulkan kesadaran untuk memilih dan menjalani identitas ganda sebagai orang Maluku sekaligus orang Belanda. Sesuai dengan gagasan Halbwachs mengenai memori kolektif, identitas ganda yang diresapi oleh perempuan generasi kedua Maluku dalam MDS adalah suatu proses dinamisasi yang berkelanjutan dan berubah yang didukung oleh kesadaran dan kehendak untuk melestarikan ingatannya. Tafsiran generasi kedua atas minimnya pengalaman bergaul dengan alam Maluku, perasaan terdominasi atas respon masyarakat Maluku, serta pengalaman interaksi yang lebih luwes dengan masyarakat Belanda telah melahirkan pemahaman akan identitas ganda yang dimiliki: Maluku adalah tanah air, Belanda adalah rumah.
SIMPULAN
Ingatan historis perempuan penulis Maluku baik yang ikut melakukan migrasi pascakolonial ke Belanda atau yang lahir di kamp-kamp Maluku di Belanda lebih banyak merespon peristiwa-peristiwa selama periode tinggal di kamp-kamp di Belanda. Ingatan individual perempuan Maluku baik generasi pertama maupun generasi kedua di Belanda dapat ditafsirkan sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat Maluku di Belanda. Ingatan ini mendeskripsikan atau memberikan gambaran yang kuat dalam beberapa aspek penting mengenai kehidupan masyarakat Maluku di Belanda, upaya, serta cara memaknai atau memaknai ulang identitas mereka. Cara ‘keras’ orang tua (terutama ayah) Maluku bergaul dengan keturunan mereka dapat merupakan bagian dari pengalaman militer selama berada di dalam tangsi-tangsi di Hindia Belanda ketika menjadi prajurit KNIL. Ini kemudian digunakan untuk melindungi dan mendidik keturunan mereka dari kesenjangan budaya di Belanda, menjaga agar identitas Maluku tetap lestari. Kerasnya ayah diimbangi dengan pemahaman ibu mengenai pentingnya ‘saling mendengarkan’ antara orang tua dan anak. Perempuan Maluku berperan sebagai mediator dan penyeimbang dalam keluarga Maluku yang keras. Upaya menjaga identitas Maluku digerakkan dengan memfungsikan kamp-kamp Maluku atau woonoorden sebagai suatu wilayah dengan sifat-sifat Maluku. Konsep-konsep hidup masyarakat Maluku seperti laeng sayang laeng, laeng lihat laeng dan hidup masohi yang menjadi dasar kebersamaan dan ikatan kekeluargaan di
Maluku digunakan di dalam woonoorden untuk kepastian dan keberlangsungan identitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bartels. (1986). Can the train ever be stopped again? Developments in the Moluccan community in the Netherlands before and after the Hijackings. Southeast Asia Program Publications, 23-45.
Giesen, I. v. (2015). Molukkers in Nederland. De representative van hun geschiedenis in het werk van tweede generatie Moluks-Nederlandse auteurs. In Master-thesis Moderne Letterkunde. Faculty of Humanities. Leiden University.
Halbwachs, M. (2011). The collective memory. In J. Olick, The collective memory reader (pp. 139-149). Oxford University Press.
Huwae, A. (2011). Masohi, Masadingu dan Hamaren: sistem kerjasama tradisional di daerah Maluku. Kapata Arkeologi Vol. 7 No 12, 101-109.
Leirissa. (1993). Tantangan dan rongrongan terhadap keutuhan negara dan kesatuan Republik Indonesia: kasus Republik Maluku Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional.
Mentjari Djalan Sendiri. (1985). Kelompok Aktivitas Umum untuk Wanita-Wanita Maluku.
Pessireron, S. (2003). Molukkers in Nederland. 'Wij kwamen hier op dienstbevel...'
Kampverhalen uit Lage Mierde. Netherlands: Uitgeverij Waanders b.v. Zwolle.
Praamstra, O. (2018). Sylvia Pessireron. Een Molukse schrijfster uit Zeeland. Indisch Letteren, 33ste jaargang, nummer 2., 295309.
Rahantoknam, O. (1995). Moluks literair leven in Nederland. Indische Letteren, Jaargang 10.
Saryono. (2009). Pengantar apresiasi sastra. Universitas Negeri Malang.
Steijlen, F. (2008). Muziek en literatuur als schanier voor integratie. Indische Letteren, Jaargang 23.
Sumardjo, Y., & Saini, K. M. (1998). Apresiasi kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
74
Discussion and feedback