Kerukunan Antarumat Beragama di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar Tahun 2005-2021
on
PUSTAKA VOL. 22, NO.2 • 120 – 125
Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022
p-ISSN: 2528-7508
e-ISSN: 2528-7516
Kerukunan Antarumat Beragama di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar Tahun 2005-2021
Tania Dwi Andita Putri, I Wayan Tagel Eddy, Fransiska Dewi Setiowati Soenaryo
Universitas Udayana Denpasar, Bali, Indonesia
Email Korespondensi: [email protected] , [email protected], [email protected]
Abstract
This study discusses Inter-religious Harmony in West Denpasar District, Denpasar City, from 2005-2021. West Denpasar is a district with a multicultural society. The population of West Denpasar is the largest among other districts in Denpasar City. The total population of West Denpasar based on the 2020 population census is 188,131 people, includes the number of Hindus, Muslims, Christians, Catholics, Buddhists, and Confucians. The issue of religion is often considered a sensitive issue, therefore maintaining harmony in a multicultural society is not an easy matter. The purpose of this study is to determine the factors that occur inter-religious harmony. Main problem in this study: Why is inter-religious harmony occur in the people's social life in West Denpasar District? The theories used are rational choice, roles, and multiculturalism. This research is qualitative. The method used is the historical method with a comparative religious history approach. Data was collected through literature study, observation, interviews, and documentation. The factors that support the occurrence of interreligious harmony in West Denpasar District, namely menyama braya, the role of the Denpasar City Inter-Religious Harmony Forum, and religious leaders, and rational choices in preventing conflict.
Keywords: Harmony, Religion, People, Multicultural
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai Kerukunan Antarumat Beragama di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar Tahun 2005-2021. Jumlah penduduk Denpasar Barat paling banyak di antara kecamatan lain di Kota Denpasar. Total jumlah penduduk Denpasar Barat berdasarkan sensus penduduk tahun 2020 yaitu sebanyak 188.131 jiwa, meliputi umat beragama Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu. Isu agama seringkali dianggap sebagai isu yang sensitif, oleh karena itu menjaga kerukunan dalam masyarakat yang multikultural bukan suatu perkara mudah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor terjadinya kerukunan antarumat beragama. Pokok permasalahan dalam tulisan ini, yaitu Mengapa kerukunan antarumat beragama terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat di Kecamatan Denpasar Barat? Teori yang digunakan yaitu pilihan rasional, peran, dan multikulturalisme. Penelitian ini bersifat kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan pendekatan sejarah perbandingan agama. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Faktor pendukung terjadinya kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Denpasar Barat, yaitu menyama braya, peran dari Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) Kota Denpasar dan tokoh agama, dan pilihan rasional dalam mencegah terjadinya konflik.
Kata Kunci: Kerukunan, Agama, Umat, Multikultural
PENDAHULUAN
Tiap individu memiliki pandangan serta cara berbeda dalam mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Dalam kehidupan sosial, individu saling berinteraksi dalam masyarakat sehingga tercipta kerukunan antarumat beragama. Kerukunan antarumat beragama terjalin dalam lingkungan yang beragam atau multikultural.
Kerukunan antarumat beragama merupakan hubungan yang dijalin tiap individu sebagai sesama umat beragama berlandaskan
toleransi, saling menghargai, saling menghormati, dan saling pengertian dalam kesetaraan pengamalan ajaran agama yang dianut masing-masing individu sehingga terwujud kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (Sumbulah dan Nurjanah, 2013: 18)
Bali merupakan salah satu provinsi dengan masyarakat yang multikultural. Kerukunan sangat dijaga oleh setiap lapisan masyarakat. Salah satu alasan utamanya yaitu karena Bali sebagai tujuan pariwisata dan migrasi maka harus senantiasa
menjamin keamanan dalam masyarakat. Baik masyarakat setempat maupun pendatang saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, secara alamiah mereka saling berbaur dan menerima keberagaman sebagai keindahan yang diciptakan oleh Tuhan. (Wawancara dengan Sastrawan, 11 Maret 2022)
Bali yang menjadikan industri pariwisata sebagai prioritas dan andalan bagi pendapatan daerah telah mengundang penduduk pendatang tidak hanya untuk berwisata tetapi juga mencari penghidupan di Bali. Kedatangan penduduk pendatang berpengaruh terhadap munculnya masyarakat multikultural di Bali. Nilai tradisi lokal dari daerah asal turut dipraktikkan di Bali oleh para penduduk pendatang. (Ardhana, 2011: 5-6)
Denpasar merupakan ibukota dari Provinsi Bali. Kota Denpasar terdiri dari empat kecamatan, yaitu Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Barat. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020, Denpasar Barat merupakan kecamatan di Denpasar dengan total jumlah penduduk terbanyak, yaitu sebanyak 188.131 jiwa. Umat Hindu 111.344 jiwa, umat Islam 58.280 jiwa, umat Protestan 9.941 jiwa, umat Katolik 4.505 jiwa, umat Buddha 4.016 jiwa, umat Konghucu 43 jiwa, dan penghayat kepercayaan 2 jiwa. (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar, 2020)
Menjaga kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat multikultural bukan suatu perkara mudah. Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari semua golongan masyarakat bahwa hidup rukun adalah suatu keharusan. Kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Denpasar Barat yang sangat multikultural dapat dijadikan contoh bagi masyarakat di wilayah lain terutama di luar Bali tentang bagaimana mempertahankan kerukunan dan mencegah terjadinya konflik. (Wawancara dengan Budiana, 9 Maret 2022)
Fokus dari penelitian ini adalah kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar tahun 2005-2021. Kecamatan Denpasar Barat dipilih sebagai lokasi penelitian karena jumlah penduduk Denpasar Barat paling banyak di antara kecamatan lain di Kota Denpasar. Kerukunan antarumat beragama sudah berlangsung sejak lama. Namun, Tahun 2005 dipilih sebagai skup awal karena pada tahun 2005 tepatnya pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi peristiwa Bom Bali II yang mengakibatkan adanya ketegangan hubungan antara masyarakat Bali dengan masyarakat pendatang. Namun, lambat laun
kerukunan antarumat beragama tetap berusaha dikembalikan dan dijaga seperti sedia kala. Tahun 2021 dipilih sebagai skup akhir karena hingga tahun 2021 kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Denpasar Barat tetap dipertahankan oleh masyarakat. Pada tanggal 3 Maret 2021, Majelis-majelis Agama dan Keagamaan Provinsi Bali menetapkan seruan bersama terkait pelaksanaan rangkaian Hari Raya Suci Nyepi Tahun Caka 1943 yang jatuh pada Minggu, 14 Maret 2021.
Dari uraian di atas, pokok permasalahan dari penelitian ini, yaitu Mengapa kerukunan antarumat beragama terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat di Kecamatan Denpasar Barat?
Penelitian ini bertujuan ntuk memahami faktor-faktor pendukung terjadinya kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sosial masyarakat di Kecamatan Denpasar Barat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, yaitu dapat memahami faktor-faktor pendukung terjadinya kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sosial masyarakat di Kecamatan Denpasar Barat.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah dengan pendekatan Sejarah Perbandingan Agama. Metode sejarah terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (mengkritisi sumber), interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan rekonstruksi sejarah). Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini bersifat kualititatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pilihan rasional, peran, dan multikulturalisme.
HASIL DAN PEMBAHASAN
-
A. Menyama Braya
Ada sebuah kearifan lokal Bali yang berperan besar dalam menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis. Kearifan lokal tersebut biasa dikenal dengan istilah menyama braya. Istilah menyama braya berasal dari dua kata yaitu nyama yang berarti saudara yang memiliki hubungan darah dan braya berarti tetangga, orang sekitar, atau semua umat manusia. (Wawancara dengan Sastrawan, 11 Maret 2022)
Menyama braya merupakan sebuah istilah yang berarti bahwa semua manusia itu bersaudara atau sebagai cara hidup untuk memperlakukan orang lain seperti saudara sendiri. Hidup harmonis tidak hanya sesama agama, melainkan pada siapa pun tanpa memandang agama, ras, etnis, warna kulit, dan lain sebagainya. (Fatmawati, 2021: 64)
Konsep menyama braya terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman hingga saat ini dan menjadi semacam modal sosial masyarakat Bali. Menyama braya merupakan sebuah konsep kesemestaan tentang bagaimana seseorang memandang orang lain bukan sebagai “orang lain” melainkan sebagai saudara. Menyama braya adalah modal sosial yang tumbuh dan berkembang menjadi tali pengikat seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis namun dijunjung tinggi oleh masyarakat. (Suwindia, Muchasin, dan Parimartha, 2012: 101-102)
Ada dua tipe hubungan dalam menyama braya, yaitu secara vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal merujuk pada hubungan biologis, sedangkan hubungan horizontal merujuk pada hubungan kemasyarakatan. Meskipun berawal dari budaya kearifan lokal Bali, namun konsep menyama braya kian meluas untuk ditujukan pada hubungan sosial masyarakat Bali dan juga non-Bali. (Suwitha, 2016: 86)
Pentingnya menyama braya dalam mempertahankan kerukunan antarumat beragama turut dirasakan oleh seorang umat Buddha yang kini menjadi seorang Pandhita Madya bernama Sutikno Gunawan. Sutikno lahir dan besar di Bali. Semasa kecil hingga sekolah menengah atas, Sutikno menjadi satu-satunya umat Buddha diantara teman-temannya. Sutikno berbaur dengan umat lain, khususnya banyak yang beragama Hindu. Namun, tidak pernah sekalipun diperlakukan buruk karena berbeda. Begitu pula dengan lingkungan rumah Sutikno di Jalan Gunung Talang dimana menyama braya sangat kental terasa. Baik umat Hindu maupun umat agama lain saling menganggap semua manusia adalah saudara dan hidup berdampingan dengan harmonis. (Wawancara dengan Gunawan, 28 Maret 2022)
-
B. Peran FKUB Kota Denpasar dan Tokoh Agama
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan forum yang anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat sebagai perwakilan dari masing-masing agama. FKUB dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh
pemerintah daerah. FKUB dibentuk dalam rangka membangun, memelihara, serta memberdayakan umat beragama agar terpelihara kesejahteraan dan kerukunan. FKUB dibentuk di provinsi dengan maksimal anggota 21 orang dan di kabupaten atau kota dengan maksimal anggota 17 orang. (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006)
Anggota FKUB Kota Denpasar berasal dari perwakilan masing-masing Majelis Agama berjumlah 17 orang dengan pembagian sebagai berikut, tokoh Hindu 8 orang, tokoh Islam tiga orang, tokoh Kristen dua orang, tokoh Katolik dua orang, tokoh Buddha satu orang, dan tokoh Konghucu satu orang. (Wawancara dengan Budiana, 9 Maret 2022)
FKUB Kota Denpasar dalam menjalankan tugasnya menjaga kerukunan mendapatkan anggaran tahunan dari Kementerian Agama sebesar 40 juta. Anggaran tersebut digunakan untuk mengadakan acara Sarasehan berkaitan dengan moderasi agama. Sarasehan diadakan satu kali dan menghabiskan dana sekitar 21 juta. Dana anggaran yang tersisa digunakan untuk melakukan kunjungan dengan Majelis Agama atau kunjungan ke tempat ibadah setiap dua bulan sekali. FKUB Kota Denpasar melakukan rapat internal minimal satu bulan sekali atau jika ada kepentingan khusus bisa dilakukan kapan saja. Dalam rangka mempercepat pemerataan kerukunan di segala kalangan dan segala usia, maka didirikan Forum Perempuan Lintas Agama (Forpela) dan Forum Generasi Muda Lintas Agama (Forgimala) di bawah pengawasan FKUB. (Wawancara dengan Budiana, 9 Maret 2022)
Diperlukan literasi dan sosialisasi terkait kerukunan antarumat beragama melalui partisipasi aktif perempuan. Para perempuan sering kali terlibat dalam suatu perkumpulan. Oleh karena itu, dibentuklah Forpela di bawah naungan FKUB. Sedangkan untuk melibatkan pemuda dalam memegang peranan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama, maka diperlukan tujuan dan program kegiatan yang jelas sehingga tidak sekadar menjadi sebuah perkumpulan. Oleh karena itu, dibentuklah Forgimala di bawah naungan FKUB. (Kumalasari dan Guritno, 2021: 90-91)
Jumlah umat Hindu di Kecamatan Denpasar Barat paling banyak dibandingkan umat agama lain. Majelis agama Hindu bernama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Pengurus PHDI terdiri dari tiga unsur, yaitu pengurus harian, pengurus walaka, dan pengurus
pandita. Upaya PHDI dalam menjaga kerukunan umat yaitu dengan mengutamakan koordinasi kepada para pemuka agama, menjalin komunikasi dengan umat, dan mengadakan kegiatan diskusi antara umat dengan pemuka agama. Peran pemuka agama Hindu dalam menjaga kerukunan yaitu dalam setiap Dharma Wacana menyampaikan ajaran-ajaran agama yang baik, mengingatkan umat terkait konsep Karma Phala, dan tidak membahas apalagi menjelekkan agama lain. (Wawancara dengan Arka, 4 April 2022)
Setelah umat Hindu, jumlah umat Islam di Denpasar Barat berada di urutan kedua. Peran pemuka agama Islam dalam menjaga kerukunan yaitu melalui pemberian ceramah tentang toleransi, moderasi beragama, dan hidup rukun saat shalat berjamaah, pengajian, dan acara keagamaan lain. Majelis agama yang mewadahi para pemuka agama Islam di Kota Denpasar yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Denpasar. Upaya-upaya yang dilakukan MUI dalam menjaga kerukunan, yaitu menguatkan koordinasi dan konsultasi tokoh agama, memberdayakan penyuluh agama Islam non-PNS, serta meningkatkan kontribusi Masjid dan Mushola dalam berbagai kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh lingkungan sekitar. (Wawancara dengan Saefudin, 2 April 2022)
Setelah umat Islam, jumlah umat Kristen di Denpasar Barat berada di urutan ketiga. Kristen memiliki Aras dan Sinode masing-masing. Majelis agama Kristen bernama Musyawarah Pelayanan Umat Kristen (MPUK). Pemuka agama dalam Kristen digolongkan menjadi Pendeta Muda (Pdm) dan Pendeta Penuh (Pdt). Di beberapa gereja ada tambahan Pendeta Pembantu (Pdp). Setelah Pendeta Penuh ada tingkatan paling tinggi disebut Pendeta Emeritus (Em). Peran Pendeta dalam menjembatani kerukunan yaitu dalam menyampaikan siraman rohani, Pendeta memotivasi jemaat agar menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Menegaskan pada jemaat agar tidak terprovokasi berita-berita tidak mengenakan terhadap Kristen. (Wawancara dengan Suprayitno, 8 April 2022)
Berdasarkan jumlahnya, umat Katolik berada di urutan keempat. Pastor menjadi salah satu kunci bagaimana tingkah laku umat Katolik. Jika Pastor selalu memotivasi agar rukun maka biasanya umat akan mengikuti. Pastor melalui ceramahnya harus menghindari kalimat-kalimat yang provokatif, menyinggung, menjelekkan, apalagi
menghina agama lain atau umat agama lain. (Wawancara dengan Babey, 23 Maret 2022)
Urutan kelima berdasarkan jumlah pemeluk agama diisi oleh umat Buddha. Bhikku terdiri dari tiga tingkatan, yaitu Bhikku, Bhikku Thera, dan Bhikku Mahathera. Gelar keagamaan dalam Buddha terdiri dari Upacarika (Upc.), Pandita Muda (PMd.), Pandita Madya (PMy.), dan Pandita (Pdt.). Dalam agama Buddha, siapa saja berhak untuk memberikan ceramah Dhamma. Peran pemuka agama Buddha dalam menjaga kerukunan antarumat beragama terletak pada topik-topik yang dipilih untuk disampaikan saat ceramah Dhamma. Pada saat Puja Bakti, pemuka agama mengingatkan umat Buddha agar senantiasa mengamalkan Pancasila Buddhis. (Wawancara dengan Gunawan, 28 Maret 2022)
Jumlah umat paling sedikit di Denpasar Barat yaitu umat Konghucu. Majelis agama Konghucu di tingkat nasional dan provinsi bernama Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin). Di tingkat kabupaten/kota bernama Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin). Ada tiga tingkatan pemuka agama Konghucu, yaitu Xue Shi (Xs. adalah pendeta) Wen Shi (Ws. adalah guru agama), dan Jiao Sheng (Js. adalah penyebar agama). Peran majelis dan pemuka agama dalam menangani umat Konghucu agar kerukunan dalam masyarakat tetap terjaga yaitu melalui pemberian khotbah berisi ajaran agama yang berkaitan dengan kemanusiaan. (Wawancara dengan Shantiro, 2 April 2022)
-
C. Pilihan Rasional dalam Mencegah Terjadinya Konflik
Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain dengan manusia lain. Tidak semua hal dapat dilakukan sendirian. Terlepas dari agama apapun yang dianut, manusia memiliki kesadaran tersendiri untuk mencegah terjadinya konflik atau menghindari keterlibatan diri jika ada konflik dalam masyarakat dengan memilih tindakan yang rasional sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Kelompok agama merupakan salah satu kelompok sosial memiliki budaya yang berbeda dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini agama tidak dilihat sebagai identitas global melainkan sebagai kebenaran kelompok. Agama sebagai sebuah keyakinan berisi nilai kebenaran universal yang dalam praktiknya hanya dilihat melalui sudut pandang masing-masing kelompok tertentu. Perbedaan tidak menjadi halangan bagi satu sama
lain untuk menjalin hubungan, melainkan yang terpenting adalah saling memahami, beradaptasi, dan toleransi. Konflik agama dapat disebabkan oleh adanya strereotip dan etnosentrisme yang akan menjadi penghambat efektifitas komunikasi. Konflik agama dapat dicegah apabila manusia memiliki etika global. Etika global tidak hanya menjadi titik temu dari keberagaman, tetapi juga untuk mengatasi ketidakadilan. (Rizak, 2018: 99102)
Individu maupun suatu kelompok saling berbaur dengan individu dan kelompok lain. Tindakan rasional yang biasanya dilakukan yaitu saling bertegur sapa, menjalin komunikasi, menjaga sikap serta perilaku, tidak memancing keributan dalam masyarakat, kegiatan kemanusiaan, saling tolong-menolong, dan ikut dalam kegiatan gotong royong atau kerja bakti yang diadakan lingkungan sekitar tempat tinggal.
Selain untuk menjaga kebersihan lingkungan, kerja bakti juga bermanfaat sebagai wadah bagi para tetangga saling mengenal satu sama lain. Memupuk rasa persatuan dengan terlibat dalam kerja sama membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal. Kerja bakti masih rutin dilaksanakan oleh masyarakat minimal satu bulan sekali, salah satu contoh kerja bakti masih rutin dilakukan masyarakat di Jalan Pulau Batanta, Dauh Puri Kauh. (Wawancara dengan Arka, 4 April 2022)
Sejak awal tahun 2020, Covid-19 mulai masuk dan menyebar di Indonesia, tidak terkecuali di Denpasar. Salah satu program yang digaungkan oleh pemerintah adalah program vaksinasi. Gereja Katolik bekerja sama dengan umat Konghucu dalam mengadakan dan memfasilitasi vaksinasi massal. Vaksinasi diadakan beberapa kali dengan lokasi menyesuaikan. Saat bulan Ramadhan, pihak Gereja Katolik di Denpasar mengadakan buka bersama dengan anak-anak panti asuhan, termasuk panti asuhan di Kecamatan Denpasar Barat. Vaksinasi massal dan buka bersama dengan anak-anak panti asuhan adalah beberapa contoh Gereja Katolik memfasilitasi kegiatan kemanusiaan. (Wawancara dengan Babey, 23 Maret 2022)
Kegiatan kemanusiaan juga dapat dilakukan melalui kegiatan bersedekah. Berkaitan dengan sedekah, ada sebuah tradisi dalam agama Buddha menjelang Hari Raya Waisak. Tradisi tersebut dikenal dengan istilah Pindapata. Di Denpasar Barat, salah satu contoh tradisi Pindapata diadakan rutin setiap tahunnya oleh Vihara Buddha Sakyamuni hingga tahun 2019. Para Bhikku yang
biasanya berjumlah minimal tiga orang akan berjalan kaki sambil berbaris dari Jalan Gunung Agung di Lingkungan Padang Udayana sampai ke Vihara Buddha Sakyamuni. Selama berjalan, para Bhikku membawa pata untuk menampung makanan atau minuman. Umat Buddha akan berbaris di pinggir jalan menunggu para Bhikku lalu memasukkan dermanya ke dalam pata. Meskipun ini merupakan tradisi umat Buddha, tidak jarang umat agama lain pun antusias untuk ikut berderma dan membagikan makanan dan minuman ke dalam pata. Dapat dilihat bahwa sedekah adalah salah satu pilihan rasional masyarakat sebagai makhluk sosial yang menginginkan kerukunan. (Wawancara dengan Gunawan, 28 Maret 2022)
SIMPULAN
Kerukunan merupakan tanggung jawab bersama. Semua golongan masyarakat harus memiliki kesadaran dan kemauan untuk bersama-sama menjaga kerukunan. Kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Denpasar Barat tidak terlepas dari beberapa faktor pendukung.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya kerukunan antarumat beragama di Kecamatan Denpasar Barat, yaitu sebuah kearifan lokal menyama braya (memiliki makna bahwa semua manusia adalah saudara sehingga harus diperlakukan sama baik), peran dari Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) Kota Denpasar dan tokoh agama dari masing-masing agama dalam memotivasi umatnya agar rukun, serta pilihan rasional masyarakat sebagai makhluk sosial dalam mencegah terjadinya konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ardhana, I Ketut, dkk. 2011. Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Denpasar: Pustaka Larasan.
Kumalasari, Fitri dan G.A. Guritno. 2021. Menakar Potensi Kerawanan Konflik Agama di Kota Kreatif Berbasis Budaya. Jakarta: Gatra Pustaka.
Sumbulah, Umi dan Nurjanah (eds.). 2013. Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan Antarumat Beragama. Malang: UIN-Maliki Press.
Jurnal
Fatmawati, Komang. 2021. “Menyama Braya dalam Pandangan Upanisad”. Jurnal Pendidikan Agama (JAPAM), 1 (1), p. 64.
Rizak, Mochamad. 2018. “Peran Pola Komunikasi Antarbudaya dalam Mencegah Konflik Antar Kelompok Agama”. Islamic Communication Journal, 3 (1), pp. 90-102.
Suwindia, I Gede, Muchasin, dan I Gede Parimartha. 2012. “Relasi Islam dan Hindu dalam Perspektif Masyarakat Multikultur di Bali (Studi Kasus Tiga Daerah: Denpasar, Karangasem, dan Buleleng”. Jurnal Forum Ilmu Sosial, 39 (1), pp. 109116.
Suwitha, I Putu Gede. 2016. “Local Genius in the Rural Area of Bali: from ‘Menyama-Braya’ to Multiculturalism” International Journal of Linguistics, Literature and Culture, 2 (2), pp. 86-87.
Internet
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar. 2021. “Jumlah Penduduk Kota Denpasar Menurut Agama dan
Kepercayaan 2020”. Diakses dari
https://kependudukan.denpasarkota.go.id/ new/public/ckfinder/userfiles/files/agama-21.pdf, pada tanggal 1 November 2021.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
DAFTAR INFORMAN
-
1. Nama: Putu Shantiro
Tempat, Tanggal Lahir: Negara, 21 November 1959
Jabatan: Anggota FKUB Kota Denpasar / Perwakilan Majelis Agama Konghucu
-
2. Nama: Sutikno Gunawan
Tempat, Tanggal Lahir: Gianyar, 23 Maret 1961
Jabatan: Anggota FKUB Kota Denpasar / Perwakilan Majelis Agama Buddha
-
3. Nama: I Nyoman Budiana
Tempat, Tanggal Lahir: Denpasar, 9 April 1961
Jabatan: Ketua FKUB Kota Denpasar / Perwakilan Majelis Agama Hindu
-
4. Nama: Saefudin
Tempat, Tanggal Lahir: Magelang, 4 Juli 1961 Jabatan: Wakil Ketua FKUB Kota Denpasar /
Perwakilan Majelis Agama Islam
-
5. Nama: Herman Yoseph Babey
Tempat, Tanggal Lahir: Maumere, 26 Juli 1967
Jabatan: Anggota FKUB Kota Denpasar / Perwakilan Majelis Agama Katolik
-
6. Nama: Edy Suprayitno
Tempat, Tanggal Lahir: Kendal, 16 November 1967
Jabatan: Sekretaris II FKUB Kota Denpasar / Perwakilan Majelis Agama Kristen
-
7. Nama: I Made Arka
Tempat, Tanggal Lahir: Denpasar, 12 Mei 1973
Jabatan: Sekretaris FKUB Kota Denpasar / Perwakilan Majelis Agama
-
8. Nama: I Putu Hendra Sastrawan
Tempat, Tanggal Lahir: Cemagi, 8 Januari 1989
Jabatan: Ketua Forum Generasi Muda Lintas Agama (Forgimala) Provinsi Bali / Perwakilan Majelis Desa Adat (MDA) Bali
125
Discussion and feedback