PUSTAKA VOL. 22, NO.2 • 78 – 86

Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

p-ISSN: 2528-7508

e-ISSN: 2528-7516

Prosesi Tradisi dan Budaya dalam Pemeliharaan Sapi Ternak di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah

Eko Purnomo*, Atiqa Sabardila

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Surakarta, Jawa Tengah, Iindonesia

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

The tradition of raising cattle needs to be preserved. Cows are often referred to as rojo koyo animals which means cows are one of the animals that can support the economic life of the community. This study aims to explain a series of traditions in cattle rearing in Suruhkalang Village. This research is included in qualitative research with a descriptive approach. The method used is descriptive, namely the researcher describes each data found. Sources of data in this study are cattle breeders in the village of Suruhkalang. The data in this study is a tradition carried out by cattle breeders in Suruhkalang Village. The data analysis technique in this study uses content analysis. Content analysis of the characteristics of the content of a message. The results showed that the people of Suruhkalang Village still maintain the tradition of raising cattle. The traditions that run cattle breeders are (1) the tradition of choosing cattle breeds, (2) the tradition of giving birth to cows, (3) the tradition of maintaining the health of cows, and (4) the tradition of bathing cows and cow equipment on Eid al-Fitr. Results Based on this research, it is hoped that the community will continue to uphold the tradition and by itself. With this research, we are able to explore the tradition of raising cattle in Suruhkalang Village as well as being able to document future generations.

Keywords: tradition, rearing, cattle

Abstrak

Tradisi pemeliharaan sapi perlu dilestarikan. Sapi sering disebut sebagai hewan rojo koyo yang berarti hewan sapi merupakan salah satu hewan yang dapat menopang kehidupan ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan serangkai tradisi dalam pemeliharaan sapi ternak di Desa Suruhkalang. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode yang digunakan diskriptif yaitu peneliti melakukan pendeskripsian setiap data yang ditemukan. Sumber data dalam penelitian ini yaitu peternak sapi di Desa Suruhkalang. Adapun data dalam penelitian ini adalah serangkaian tradisi yang dilaksanakan peternak sapi di Desa Suruhkalang. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan konten analisis. Konten analisis menggambarkan karakteristik isi dari suatu pesan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyrakat Desa Suruhkalang masih mempertahankan tradisi dalam memlihara sapi. Tradisi yang dijalankan peternak sapi yaitu (1) tradisi memilih bibit sapi, (2) tradisi saat sapi melahirkan, (3) tradisi menjaga kesehatan sapi, dan (4) tradisi memandikan sapi dan peralatan sapi di hari raya IdulFitri. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan masyarakat tetap menjungjung tinggi tradisi dan melestarikannya. Dengan penelitian ini mampu mengeskplorasi tradisi beternak sapi di Desa Suruhkalang serta mampu menjadi dokumentasi generasi mendatang.

Kata Kunci: tradisi, pemeliharaan, sapi ternak

PENDAHULUAN

Budaya dan keanekaragaman budaya merupakan salah satu ciri khas dari Indonesia. Perkembangan budaya dan tradisi di Indonesia perlu adanya perkembangan dan pelestariannya agar tidak termakan oleh zaman modern yang serba canggih hingga melupakan keberagaman tradisi dan budaya. Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman budaya dan tradisi.

Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia meliputi seni, pengetahuan, bahasa, pola pikir, serta beberapa tradisi lokal yang berkembang di setiap daerah yang memiliki keunikan dan perbedaan setiap daerah ((Widiastuti, 2013; Gatama, 2019) Jawa merupakan salah satu pulai di Indonesia yang masih memegang teguh budaya dan tradisinya. Dijelaskan Risyanti (2021) kehidupan masyarakat Jawa memiliki beragam tradisi upacara tradisional

yang masih terjaga dan dilakukan selaras dengan siklus kehidupan manusia.

Tradisi dipertahankan karena merupakan salah satu wujud kepercayaan untuk mencapai keselamatan di dunia. Identitas suatu masyarakat daerah tertentu dalam suatu lingkungan dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan seni. Kultur masyarakat dipengaruhi oleh adanya tradisi dan kesenian yang menonjolkan seniman atas nama diri sendiri, akan tetapi lebih merupakan suatu perwakilan dari sebuah sikap kelompok atau sistem soail dari masyarakat (Fauzan dan Nashar, 2017).

Pola kehidupan masyarakat dan pandangan masyarakat di Pulau Jawa secara tidak langsung dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang sudah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu (Adiansyah, 2017). Masyarakat jawa masih mempercayai upacara tradisional. Ketercapainya keselamatan dalam masyarakat salah satunya dengan mengadakan upacara tradisional yang merupakan salah satu bagian dari kegiatan sosial (Dora, 2020; Suhupawati dan Mayasari, 2017). Tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa suatu masyarakat, yang berkembang secara turun temurun. Tradisi dan budaya sering dikaitkan dengan kepercayaan suatu masyarakat tertentu. Bagi masyarakat Indonesia yang memiliki beragam tradisi yang bertujuan untuk menjaga kedamaian, kerukunan, keselamatan dan bentuk syukur atas peristiwa tertentu (Pradanta, Sudardi, dan Subiyantoro, 2015). Praktik-praktik keagamaan yang memberikan warna dalam peraturan kebegaraan merupakan salah satu warna yang diberikan dari adanya tradisi dan budaya (Ningsih, 2019).

Setiap tradisi yang ada memiliki nilai-nilai budaya yang melekat untuk dilestarikan. Dijelaskan Hindaryatiningsih bahwa setiap suku bangsa di Indonesia memiliki budaya-masing-masing yang di dalamnya mengandung banyak nilai-nilai budaya yang dijadikan sebagai kebajikan dasar (basic goodnes) (Hindaryatiningsih, 2016). Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun hal tersebut menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat (Gunawan dan Sulistyoningrum, 2016). Nilai-nilai dalam tradisi dan budaya dijadikan masyarakat sebagai pegangan hidup. Masyarakat Indonesia, terutama Jawa masih mempercayai bahwa dalam suatu adat, tradisi, dan budaya mengandung makna yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu tradisi yang masih dilestarikan di pulau Jawa yaitu tradisi pemeliharaan sapi. Sepasaran merupakan peringatan 5 hari setelah kelahiran baik pada manusia ataupun hewan ternak. Risdianawati & Hanif menyatakan bahwa asyarakat suku Jawa memiliki upacara adat kelahiran yang terbagi menjadi beberapa tahapan diantaranya: tingkeban/mitoni pada bulan ketujuh kandungan, dan setelah kelahiran: perawatan ari-ari (plasenta), tinggalnya sisa tali pusar, sepasaran, selapanan, dan selanjutnya selamatan weton pada setiap hari kelahiran (siklus 35 hari) (Syaffa Al Liina, Ainun Fauziah, dan Nurmiyati, 2018). Tradisi sepasaran merupakan salah satu tradisi dalam pemeliharaan sapi ternak di Desa Suruhkalang.

Sapi merupakan salah satu hewan yang menguntungkan untuk dipelihara. seperti dijelaskan Purwanto bahwa masyarakat umunya masyarakat pedesaan menyebut sapi sebagai hewan “Rojo Koyo” (raja kekayaan) (Purwanto, 2013). Istilah rojo koyo tersebut berarti bahwa hewan sapi merupakan salah satu hewan yang dapat menopang kehidupan ekonomi masyarakat. Pemeliharaan sapi relative mudah dilakukan karena tidak memakan biaya banyak. Sapi hanya perlu diberi makan rumput, jerami, dan air dedak.

Penelitian mengenai tradisi pemeliharaan sapi dan kelahiran pernah diteliti oleh Safitri, Sinaga, dan Ekwandari (2018) mengenai persepsi masyarakat terhadap tradisi selamatan brokohan (Aswiyati 2015)mengenai tradisi selamatan, Widyaningrum dan Tantoro (2017) mengenai tradisi kelahiran, Shapiah (2015) mengenai nilai-nilai pendidikan islam dalam tradisi kelahiran, (Saleh 2019), (Sari 2019), (Busro and Qodim 2018), dan) (Lobo 2020). Adapun penelitian mengenai hewan ternak pernah dilakukan diantaranya Kaunang, Asyiah, dan Aprilya, (2015), Wulandari, Adha, dan Setiawan (2019), Elimartati and Purwasih (2021), dan Umassari (2018).

Penelitian mengenai tradisi pemeliharaan hewan ternak sapi/lembu belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun masalah utama yang akan diangkat dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses tradisi pemeliharaan sapi ternak di Desa Suruhkalang. Dengan begitu maka diharapkan dapat mendeskripsikan serangkaian tradisi yang dilakukan masyarakat Desa Suruhkalang dalam pemeliharaan sapi ternak. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memperkenalkan tradisi yang

berkembang di masyarakat yang masih dilaksanakan sampai saat ini.

METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mernggunakan pendekatakan kualitatif dengan teknik deskriptig untuk mendeskripsikan data. Penelitian kualitatif berusaha menggambarkan fenomena-fenomena yang ada di lapangan bersifat alamiah yang lebih menekankan atau memperhatikan karakteristik, kualitas, dan keterkaitan anatar kegiatan (Sukmadinata 2011). Data yang diguankan dalam penelitian kualitatof tidak memperhatikan perhitungan yang menggunakan rumus-rumus, tetapi lebih menekankan pada kalimat ataupun kata-kata (Mahsun 2019). Hal ini sejalan dengan pendapat Lofland dan Lofland bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata atau frasa, kalimat atau tindakan serta dapat berupa dokumen tambahan untuk memperkuat data (Moelong 2010). Sugiyono menyatakan bahwa penelitian kualitatif disebut juga dengan penelitian interprestasi yaitu penelitian yang menekankan interprestasi data yang ada di lapangan (Sumber data) (Sugiyono 2015).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu peneliti melakukan pendeskripsian setiap data yang ditemukan di lapangan berdasarkan hasil wawancara. Sumber data dalam penelitian ini yaitu peternak sapi di Desa Suruhkalang. Adapun data dalam penelitian ini adalah serangkaian tradisi yang dilaksanakan peternak sapi di Desa Suruhkalang. Wawancara dan catat secara teliti digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Wawancara mendalam dilakukan peneliti dengan peternak sapi di Desa Suruhkalang untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi ternak sapi. Kemudian data yang sudah dikumpulkan dicatat oleh peneliti. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan konten analisis. Konten analisis menggambarkan karakteristik isi dari suatu pesan. Isi dari hasil wawancara dideskripsikan oleh peneliti secara detail hingga menghasilkan deskripsi-deskripsi mengenai serangkaian tradisi dalam beternak sapi yang dilakukan oleh peternak sapi di Desa Suruhkalang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam memelihara sapi dipercayai beberapa tradisi yang masih lestari hingga saat ini. Tradisi ini perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus agar tetap lestari. Masyarakat Desa Suruhkalang masih mempercayai adanya tradisi dalam pemeliharaan sapi ternak. Sapi dianggap sebagai hewan yang dapat memberikan keuntungan kepada pemilknya. Oleh karena itu masyarakat percaya bahwa tradisi pemeliharaan sapi perlu dijaga.

  • 3.1    Tradisi Memilih Bibit Sapi

Orang Jawa masih mempercayai mengenai pemilihan hari yang baik dalam membeli sapi. Hari baik ini dilakukan dengan melalui perhitungan dengan menggunakan tanggalan jawa atau kalender Jawa. Tak terkecuali dalam membeli sapi yaitu dengan menggunakan hari baik atau hari yang dipercayai mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Perhitungan membeli sapi pada orang Jawa dikenal sebagai menghitung neptu hari dan neptu hari pasaran. Perhitungan hari baik dalam memilih bibit sapi atau membeli sapi yang setiap neptu hari dan neptu pasaran memiliki nilai yang berbeda-beda. Neptu sendiri adalah nilai dari suatu weton yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai hari dan pasaran. Misalnya neptu hari yaitu minggu neptu 5, Senin neptu 4, Selasa neptu 3, Rabu neptu 7, Kamis neptu 8, Jumat neptu 6, dan Sabtu neptu 9. Adapun neptu hari pasaran memiliki angka yang berbeda-berbeda setiap hari pasarannya yaitu: Kliwon memiliki neptu 8, Legi neptu 5, Pahing neptu 9, Pon neptu 7, dan Wage neptu 4.

Cara untuk menghitung hari baik dalam membeli sapi yaitu dengan menjumlah neptu hari dengan neptu hari pasaran kemudian dibagi dibagi 5. Setiap hasil pembagian memiliki makna yang berbeda-beda. Jika hasil penjumlahan tersisa 1 disebut suku. Suku dimaknai bahwa nilai terendah dalam membeli sapi, artinya hari yang memiliki makna suku tidak baik untuk membeli sapi, nilai terendah ini tidak dianjurkan untuk membeli sapi. Adapun jika tersisa 2 disebut dengan watu. watu ini sama dengan suku yaitu hari yang tidak baik dalam membeli sapi. Selajutnya, jika tersisa 3 disebut sebagai gajah, gajah memiliki arti yang tidak baik untuk membeli sapi, karena masyarakat menyakini bahwa neptu gajah ini sapi yang akan dipelihari diyakini tidak akan berkembang dengan baik. Karena neptu gajah merupakan hewan yang ditakuti oleh sapi. Selanjutnya, jika hasil

penjumlahan tersisa 4 disebut buta, neptu buta ini merupakan hari yang cukup baik dalam membeli sapi. Adapun perhitungan yang memiliki nilai sangat baik adalah 5. Neptu 5 yaitu ratu yang berarti hari sangat baik dalam membeli sapi. Ratu merupakan penguasa dalam sebuah kerajaan. Orang yang membeli sapi di neptu ratu ini maka sapi yang akan dipelihara banyak menghasilkan keuntungan kepada pemiliknya. Misalnya sapi akan berkembang biak dengan baik dan terus beranak. Adapun jika habis dibagi 5, maka dianggap bersisa 5.

Contoh perhitungan yaitu Pak SP ingin membeli sapi di hari Jumat Pahing. Berdasarkan penjumlahan neptu, maka diperoleh hasil Jumat 6 dan Pahing neptu 9 maka diperoleh hasil 15. Sisa dari pembagiannya yaitu 5 diperoleh dari 10 sisa 5. Jadi, hari jumat pahing berarti ratu yaitu waktu yang sangat baik untuk membeli sapi.

Berdasarkan informan yang ada di Desa Jetis Suruhkalang menyatakan bahwa dalam memilih bibit sapi masih mempertimbangkan hari-hari baik yang sudah diturunkan oleh nenek moyang. Mereka percaya bahwa dengan memilih tanggal yang baik akan dihasilkan sapi-sapi yang terbaik, namun sebaliknya apabila membeli sapi tidak mempertimbangkan hari baik diyakini sapi tersebut juga tidak dapat berkembang baik. Hari baik atau kalender jawa merupakan warisan nenek moyang zaman terdahulu. Seperti dijelaskan Permatasari dan Habsari (2015) Perhitungan nenek moyang terdahulu dengan menggunakan kalender Jawa yang didasarkan dari febomena alam yang terjadi untuk meramal hal buruk atau baik ketika akan melaksanakan sesuatu. Hal in diperkuat pendapat Iskandar (dalam Listyana dan Hartono 2015) menyatakan bahwa pertanggalan tradisional merupaakn suatu sistem pengetahuan yang diterapkan oleh masyarakat zaman dahulu sebagai penentu hari baik atau buruk yang dikaitkan dengan peramalan atau rujum untuk berbagai tujuan dan kegiatan

Selain mempercayai hari-hari baik dalam membeli sapi masyarakat Desa Jetis Suruhkalang percaya dengan warna kulit sapi, karena ada warna kulit sapi yang dipercaya tidak disenangi oleh danyang Desa Jetis. Menurut informan yang ada di Desa Jetis Suruhkalang menyatakan sapi yang memiliki warna kulit hitam tidak diperuntungkan untuk dipelihara di Desa Jetis Suruhkalang. Sapi hitam atau biasa disebut sebagai sapi brahman atau dikenal masyarakat luas sebagai jenis sapi angus. Sapi brahman diyakini merupakan sapi yang tidak

disukai oleh arwah leluhur yang ada di Desa Suruhkalang. Alasan ini dapat diperkuat lagi bahwa biasanya sapi yang berwarna hitam cenderung sapi yang agresif atau galak jika dipelihara. Kadang sapi berwarna hitam mudah mengamuk dan menyerang pemilik sapi. Masyarakat percaya bahwa sapi hitam diyakini jika dipelihara di Desa Jetis Suruhkalang akan merugikan peternak itu sendiri. Misalnya sapi tidak akan bertumbuh dengan baik. Jika sapi berwarna hitam dengan jenis kelamin betina maka bisa saja tidak bisa hamil atau mandul. Adapun jika sapi hitam berjenis kelamin jantan maka badannya tidak bisa gemuk, selain itu sapi warna hitam dipercaya akan mudah sakit-sakitan dan badannya kurus walaupun sudah dipelihara dengan baik.

  • 3.2.    Tradisi Saat Sapi Melahirkan

Sapi yang baru saja melahirkan harus segera diberi makanan tambahan berupa daun waru. Daun waru dipercaya masyarakat akan membantu persalinan sapi dengan baik. Jika sapi diberi makan daun waru maka ari-ari sapi akan cepat keluar dan tidak dimakan oleh induk sapi. Apabila sapi dimakan oleh induk sapi, maka sapi bisa saja mati, karena pencernaannya akan terlilit oleh ari-ari yang dimakannya. Berdasarkan informan yaitu bapak S daun waru berfungsi untuk mepercepat kelahiran sapi dan ari-ari sapi. Masyarakat percaya bahwa dengan memberikan daun waru kepada induk sapi yang baru saja melahirkan akan dapat mempercepat keluarnya ari-ari anak sapi dan tubuh sapi akan kembali segar setelah berjuang melahirkan anaknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Bata et al. yang telah melakukan penelitian efek berbagai pelarut terhadap komponen fitogenik yang terdapat dalam daun dan bunga Waru (Hibiscus tiliaceus) (Bata, Rahayu, and Hidayat 2016). Dalam penelitian itu. ditemukan bahwa pelarut etanol menghasilkan substansi bioaktif terbaik dibandingkan pelarut air, etil eter, etil asetat ditinjau dari kadar asam fumarat, saponin dan polifenol (total fenol dan flavonoid). Saponin ini adalah salah satu kelompok senyawa sekunder dari tanaman yang telah menunjukkan pengaruh positif untuk memodifikasi fermentasi rumen dan meningkatkan produktivitas ternak ruminansia (Francis et al. 2002). Dapat diartikan bahwa pemberian daun waru ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi yang termasuk salah satu hewan ruminansia. Tradisi masyrakat Jetis Suruhkalang dalam pemberian makan daun waru untuk ternak relevan dalam dunia peternakan

bahwa kandungan daun waru dapat memodifikasi fermentasi rumen.

Saat sapi lahir pemilik sapi langsung merapikan bagian tubuh sapi yaitu mulut dan kaki menggunakan kain bersih dan kering. Tradisi merapikan tubuh sapi ini sudah berjalan sejak zaman nenek moyang terdahulu, karena ini merupakan warisan turun-temurun yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Jetis. Membersihkan bagian tubuh sapi setlah lahir dipercaya salah satu cara menyempurnakan sapi. Cara untuk merapikan bagian tubuh sapi tersebut yaitu dengan memukul mulut sapi agar tidak monyong, selain itu kaki juga dipukul agar papak atau lurus. Ttradisi ini bertujuan untuk mendapatkan anakan sapi yang berkualitas dan tidak cacat. Cacat di maksud di sini adalah cacat sapi bagian tubuh yang tidak ideal. miasalnya mulutnya terlalu monyong dan kaki tidak lurus.

Setelah sapi lahiran peternak mengadakan syukuran yang disebut sebagai sepasaran. Selamatan sepasaran dalam adat Jawa dilakukan 5 hari setelah kelahiran bayi. Sepasaran sendiri berasal dari kata sepasar, yang artinya lima hari. Tradisi sepasaran ini juga menjadi acara untuk mengumumkan pemberian nama bayi pada para tamu. Sepasaran diambil dari kata pasaran, yang dalam penanggalan menurut Jawa ada 5 pasaran, yaitu kliwon, legi, pahing, pon, dan wage. Tradisi sepasaran dilakukan untuk memperingati kelahiran, tetapi tidak hanya kelahiran manusia, kelahiran hewan ternak, seperti sapi atau kerbau pun dilaksanakan tradisi sepasaran. Sepasaran sapi ini dilaksanakan peternak sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.

Peternak beranggapan bahwa dengan dilakukan sepasaran, maka kelak sapi yang baru saja lahir tersebut akan menghasilkan banyak keuntungan bagi sang pemiliknya. Jika sapi lahir dengan jenis kelamin betina, maka diyakini jika dipelihara terus-menerus akan dapat berkembang biak dengan baik. Adapun jika lahir sapi berjenis kelamin jantan, maka sapi akan tumbuh dengan cepat dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Pelaku tradisi sepasaran sapi ini adalah peternak sapi di Desa Suruhkalang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tradisi sepasaran sapi ini dilakukan setelah kelahiran sapi berumur 5 hari. Peternak sapi akan mengadakan syukuran atas kelahiran sapi yang dimilikinya. Ubo rampe dalam pelaksanaan tradisi sepasaran sapi ini berbeda-beda antar sapi yang berjenis kelamin jantan dengan sapi yang berjenis kelamin betina.

Sapi yang berjenis kelamin jantan akan dilaksanakan sepasaran dengan menggunakan ubo rampe jadah yang terbuat dari ketan dan campuran kelapa, serta memberikan dawet. Adapun sapi yang berjenis kelamin betina akan diberikan pondoh yang terbuat dari beras dan kelapa, serta diberikan dawet. Perbedaan ubo rambe pada sapi berjenis kelamin jantan dan betina menurut informan peternak di Desa Jetis karena sapi jantan merupakan sapi yang bernilai jual tinggi maka, diberikan ubo rampe dari jatah yang terbuat dari ketan. Harga ketan pun lebih mahal dibandingkan dengan harga beras, maka sapi betina yang harga jualnya lebih rendah diberi ubo rambe dari beras.

Setelah ubo rampe yang sudah disiapkan dan lengkap barulah pemilik sapi berdos di depan upo rampe dihadapan sapi yang baru saja melahirkan. Setelah dilakukan doa, induk sapi diberi minum air dawet. Peternak beranggapan bahwa dengan minum air dawet yang sudah didoakan itu, induk sapi betina akan sehat dan air susu yang dihasilkan akan banyak. Dawet santen ini merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan dari tradisi sepasaran sapi. sebenarnya menurut leluhur nenek moyang dahulu yang terpenting adalah santan. Dawet santan ini dua hal yang saling melekat dan saling melengkapi. Dalam hal ini dapat diambil nilai budaya berupa nilai sosial dibuktikan dari dawet santan yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Makna dari dawet santen yaitu agar air susu yang dihasilkan oleh induk sapi bancar atau lancar seperti santan yang memiliki warna putih suci yang diibaratkan air susu.

Ubo rampe yang sudah didoakan kemudian dibagikan kepada peternak sapi saja. Jadah/pondoh dan dawet tidak diberikan kepada tetangga tetapi melainkan hanya diberikan peternak sapi. Tujuan pemberian jadah/pondoh kepada peternak sapi tersebut agar peternak lain merasakan keberkahan dan sapi yang mereka miliki tumbuh dan beranak seperti sapi yang sudah dilakukan selametan sepasaran tersebut. Penikmat saparan sapi hanya peternak sapi ini merupakan wujud solidaritas antar peternak sapi.

Ubo rampe yang digunakan untuk sepasaran sapi memang berbeda. Hal ini dikarenakan sapi yang lahir berjenis kelamin betina dianggap akan banyak menghasilkan keuntungan dan cepat mendapatkan keuntungan. Sapi jantan diberikan ubo rampe dengan bahan dasar jadah ketan. Beras ketan memiliki nilai jual yang tinggi daripada dengan beras biasa. Hal ini menunjukkan adanya ketidak setaraan jender dalam melakukan ritual

sepasaran sapi. Adapun sapi betina menggunakan ubo rampe berupa pondoh yang terbuat dari bahan dasar beras, yang nilai jual beras lebih murah dibandingkan dengan ketan. Bisa disimpulkan bahwa sapi jantan lebih menguntungkan peternak sapi daripada dengan sapi betina.

Masyarakat tidak tahu pasti kapan tradisi sepasaran ini dilakukan, karena tidak diketahui tahun pasti dari tradisi sepasaran sapi dilakukan. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Warga hanya melestraikan tradisi ini karena mereka beranggapan bahwa tradisi ini dapat memberikan keberkahan terhadap hewan ternak yang mereka miliki.

  • 3.3.    Tradisi Menjaga Kesehatan Sapi

Hewan peliharaan yang baik adalah hewang yang tumbuh sehat. Masyarakat Desa Suruhkalang selalu menjaga hewan ternak mereka dengan masih mempercayai obat-obatan tradisional. Ketika sapi sakit peternak akan mencekok sapi atau memberikan sapi ramuan-ramuan tradisional. Ramuan tradisonal tersebut berisi rempah-rempah yang dicampur dengan air dan madu, rempah-rempah yang biasanya digunakan adalah jahe dan kunyit. Semua rempah-rempah dimasukkan dalam bambu yang dipotong miring agar mudah masuk ke dalam mulut sapi. Jika sapi tidak mau makan karena perut bermasalah maka akan diberikan air kelapa muda. Dipercaya bahwa air kelapa muda dapat menetralisirkan racun-racun dalam tubuh sapi. Berdasarkan informan warga Desa Suruhkalang mereka kesehatan hewan ternak sapi harus diperhatikan. Setiap pagi dan sore kandang sapi selalu dibersihkan. Kandang sellau dibersihkan untuk menjaga kesehatan sapi agar tidak mudah terserah penyakit. Kandang yang dibangun tidak boleh menghalangi sinar matahari masuk ke kandang, oleh karena itu kandang harus diberikan ventilasi untuk menjaga kesehatan sapi.

Bangunan kandang harus didesain dengan benar untuk memudahkan pembersihan. Desain kandang sapi ternak di Desa Suruhkalang dibangun menjadi 2. Satu adalah kandang untuk penjemuran dan kandang untuk berteduh dan tidur. Kadang penjemuran ini digunakan sapi untuk berjemur di bawah sinar matahari. Tujuan sapi dijemur di bawah terik sinar matahari agar sapi selalu sehat dan kotoran yang menempel di tubuh sapi kering. Adapun kandang sapi untuk bertedih dan tidur digunakan ketika malam hari. Kandang ini juga didesain menggunakan ventilasi ruangan agar sapi tidak stres. Untuk menjaga kandang agar tetap

bersih terhindar dari nyamuk peternak menggunakan jerami sisa pakan sapi yang sudah tidak dimakan. Jerami kering ini di bakar di kandang sapi agar menghasilkan asap yang banyak. Setelah menghasilkan asap yang banyak peternak percaya bahwa asap-asap tersebut mampu mengusir nyamuk, sehingga sapi-sapi tetap sehat dan nyamuk dapat dibasmi dengan cara tradisional ini.

Untuk menjaga kesehatan sapi ternak, peternak memberikan rumput hijau dan jerami kering. Rumput hijau yang diberikan adalah jenis rumput gajah. Rumput gajah dipercaya mengandung banyak protein yang baik untuk kesehatan peternak. Jerami kering yang diberikan kepada sapi dilakukan fermentasi telebih dahulu. Jerami diberi garam dan obat fermentasi selama kurang lebih tiga hari baru diberikan kepada sapi sebagai makanan pokok sapi. Untuk suplemen tambahan sapi diberi dedak yang dicampur dengan air dan ampas tahu. Pemberian suplemen tambahan ini akan mempercepat tumbuh kembang sapi sehingga badan sapi akan cepat gemuk. Tradisi menjaga kesehatan sapi ini hingga saat ini masih dilaksanakan oleh peternak sapi di Desa Suruhkalang.

  • 3.4.    Tradisi Memandikan Sapi dan Peralatan

    Sapi di Hari Raya IdulFitri

Berdasarkan informan peternak di Desa Suruhkalang menyuatakan bahwa sapi-sapi yang mereka miliki ketika IdulFitri harus dimandikan. Proses pemandian sapi ini dilakukan sebelum peternak melaksanakan salat Id. Peternak percaya bahwa sapi juga merayakan hari raya IdulFitri oleh sebab itu dihari yang suci tersebut sapi-sapi juga harus disucikan. Setelah sapi di mandindikan sapi-sapi di letakkan di depan rumah atau kandang jemuran tadi, tujuannya untuk mengeringkan badan sapi. Selain sapi, alat-alat yang diguankan sapi juga dibersihkan atau disucikan oleh peternak. Alat-alat tersebut meliputi sapu lidi, jikrak, dan arit. Setelah semua alat sapi sudah bersih dijemur dan diberi bunga. Masyrakat percaya bahwa alat-alat tersebut memiliki nyawa dan sepantasnya untuk dibersihkan.

text

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa peternak sapi masih menjunjung tinggi tradisi dalam memelihara

sapi. Tradisi yang ada tersebut merupakan warisan nenek moyang terdahulu. Tradisi peternak sapi masih berjalan hingga saat ini. Tradisi yang dijalankan peternk yaitu Tradisi yang dijalankan peternak sapi yaitu (1) tradisi memilih bibit sapi, (2) tradisi saat sapi melahirkan, (3) tradisi menjaga kesehatan sapi, dan (4) tradisi memandikan sapi dan peralatan sapi di hari raya IdulFitri. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan masyarakat tetap menjungjung tinggi tradisi dalam pemeliharaan sapi agar dapat diwariskan kepada anak cucu berikutnya. Serangkaian tradisi yang dijalankan peternak harus tetap dilestarikan. Diharapkan tradisi ini dapat diakuai oleh pemerintah daerah setempat agar keberadaannya tidak tergerus oleh perubahan zaman. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ditemukan peneliti berharap penelitian ini dapat dilanjutkan, karena penelitian ini masih bersifat dasar. Peneliti berharap tradisi pemeliharaan sapi dapay diakui oleh pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Karanganyar untuk dijadikan sebagai salah satu warisan budaya lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Adiansyah, Ryko. 2017. “Persimpangan Antara Agama dan Budaya”.   Intelektualita,

6(2):2095-310.

http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intel ektualita/article/view/1612

Aswiyati, Indah. 2015. “Makna dan Jalannya Upacara Puputan dan Selapanandalam Adat Upacara Tradisional Kelahiran Bayi Bagi Masyarakat Jawa”. Jurnal Holistik, 8(16):1– 10.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holist ik/article/viewFile/10762/10350

Bata, Muhamad, Sri Rahayu, dan Nur Hidayat. 2016. “Performan Sapi Sumba Ongole (SO) yang Diberi Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrat yang Disuplementasi dengan Tepung Daun Waru (Hibiscus Tiliaceus)”. Jurnal Agripet, 16(2):106-113. http://e-repository.unsyiah.ac.id/agripet/article/view /5344/5128

Busro, Busro, dan Husnul Qodim. 2018. “Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di Cirebon, Indonesia”. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 14(2):1127-147.                    https://e-journal.iain-

palangkaraya.ac.id/index.php/jsam/article/vi ew/699

Denik Risyanti, Yustina. 2021. “Nilai-Nilai Budaya Lokal Tradisi Saparan Dusun Warak di Kota Salatiga”. Gemawisata: Jurnal Ilmu Pariwisata,                  17(2):972–83.

http://stiepari.greenfrog-ts.co.id/jurnal/index.php/JT/article/view/24 8

Dora, Nuriza. 2020. “Kajian Kearifan Lokal Tradisi Marsattan/Mangupa (Meminta Keselamatan) pada Masyarakat Mandailing Desa Gunung  Malintang  Kecamatan

Barumun Tengah Kabupaten Padang Lawas”. Ijtimaiyah Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya,                       4(1):1–18.

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ijtimaiya h/article/view/7889/3636

Elimartati, E., dan R. Purwasih. 2021. “Analisisis Fikih Muamalah terhadap Tradisi Paduon Ternak di Nagari Saruaso.” PROCEEDING IAIN      Batusangkar,      1(1):81–92.

https://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/in dex.php/proceedings/article/view/2910

Fauzan, Rikza, dan Nashar Nashar. 2017. “‘Mempertahankan Tradisi, Melestarikan Budaya’ (Kajian Historis dan Nilai Budaya Lokal Kesenian Terebang Gede di Kota Serang)”. Jurnal Candrasangkala Pendidikan Sejarah 3(1):1. doi: 10.30870/candrasangkala.v3i1.2882.

https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/Candra sangkala/article/view/2882/2249

Francis, George, Zohar Kerem, Harinder P. S. Makkar, dan Klaus Becker. 2002. “The Biological Action of Saponins in Animal Systems: A Review”. British Journal of Nutrition 88(6):587–605. doi: 10.1079/bjn2002725.

Gatama. 2019. “Makna Tradisi Labuhan Gunung Kombang Bagi Masyarakat (Studi di Desa Kedungsalam  Kecamatan  Donomulyo

Kabupaten)”.    Doctoral    Dissertation,

University of Muhammadiyah Malang. https://eprints.umm.ac.id/56026/

Gunawan, Imam, dan Rina Tri Sulistyoningrum. 2016. “Menggali Nilai-Nilai Keunggulan Lokal Kesenian Reog Ponorogo Guna Mengembangkan Materi Keragaman Suku

Bangsa dan Budaya Pada Mata Pelajaran IPS Kelas IV Sekolah Dasar”. Premiere Educandum : Jurnal Pendidikan Dasar Dan Pembelajaran, 3(01):50–87. doi: 10.25273/pe.v3i01.59.              http://e-

journal.unipma.ac.id/index.php/PE/article/vi ew/59/55

Hindaryatiningsih, Nanik. 2016. “Model Proses Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Tradisi Masyarakat Buton”. Sosiohumaniora, 18(2):108–15. doi: 10.24198/sosiohumaniora.v18i2.9944.

http://journal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/ar ticle/view/9228/6473

Kaunang, Sauca Renar, Iis Nur Asyiah, dan Sulifah Aprilya. 2015. “Etnobotani Pemanfaatan Tumbuhan Secara Tradisional dalam Pengobatan Hewan Ternak Oleh Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi”. Indonesian Journal of Biotechnology and Biodiversity 3(1):27–32.

Listyana, Rohmaul, dan Yudi Hartono. 2015. “Persepsi dan Sikap Masyarakat terhadap Penanggalan Jawa dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013).” Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya 3(1): 118-138. http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/vi ew/898/810

Lobo, L. 2020. “Makna Simbolik dalam Tradisi Happo Ana (Syukuran Kelahiran) Menurut Kepercayaan Jingitiu di Kelurahan Limaggu Kabupaten Sabu Raijua”. Jurnal Gatranusantara,            18(2):127–38.

http://publikasi.undana.ac.id/index.php/JG/a rticle/view/g471

Mahsun. 2019. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Moelong, Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ningsih, T. 2019. “Tradisi Saparan dalam Budaya Masyarakat Jawa di Lumajang.” Ibda: Jurnal Kajian Islam dan Budaya, 17(1):79– 93.

http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.p hp/ibda/article/view/1982/1684

Permatasari, Berti Fitri, dan Novi Triana Habsari. 2015. “Persepsi Masyarakat Desa Jiwan terhadap Kalender Jawa Dalam Membangun Rumah.” Agastya: Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya, 5(01):165. doi: 10.25273/ajsp.v5i01.900.

http://doi.org/10.25273/ajsp.v5i01.900

Pradanta, S. W., B. Sudardi, dan S. Subiyantoro. 2015. “Kajian Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Tradisi Bancaaan Weton di Kota Surakarta (Sebuah Kajian Simbolisme dalam Budaya Jawa)”. LINGUA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 12(2):155–72. https://lingua.soloclcs.org/index.php/lingua/ article/view/25/25

Purwanto, Wahyu. 2013. “Peran Budaya Usaha Tani Ternak Sapi Potong dalam Kehidupan Ekonomi Petani Desa (Studi Kasus di Desa Muraharjo Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora)”. Solidarity: Journal of Education, Society and Culture,    2(2):129–35.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/soli darity/article/view/2177

Safitri, Retnia Yuni, Risma Margaretha Sinaga, dan Yustina Sri Ekwandari. 2018. “Persepsi Masyarakat Jawa terhadap Tradisi Brokohan di Desa Jepara Kabupaten Lampung Timur”. PESAGI (Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah,                        6(1):1–12.

https://ijobb.esaunggul.ac.id/index.php/IJO BB/article/view/34

Saleh, F. 2019. “Baca-Baca Sanro Ana’ Tradisi dan Religi pada Kelahiran Tradisional Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan”. Cordova Journal: Languages and Culture Studies,                         9(1):39–51.

https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/c ordova/article/view/1775

Sari, Ayu Wulan. 2019. “Brokohan (Studi Etnografi tentang   Tradisi   Selametan

Kelahiran Lembu pada Masyarakat Jawa di Desa Bandar Pulau Pekan, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara”. Skripsi Universitas Sumatra Utara. https://repositori.usu.ac.id/handle/12345678 9/15914

Shapiah. 2015. “Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Kelahiran pada Adat Banjar.” Jurnal Studi Gender & Anak, 1(3):67–83.

http://jurnal.uin-

antasari.ac.id/index.php/psj/article/view/631

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuntitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabetas.

Suhupawati, S., dan Dian Eka Mayasari. 2017. “Upacara Adat Kelahiran sebagai Nilai Sosial Budaya pada Masyarakat Suku Sasak Desa Pengadangan”. Historis: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah, 2(2):15–23. http://journal.ummat.ac.id/index.php/histori s/article/view/188

Sukmadinata, N. S. 2011. Metode Penelitian dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Syaffa Al Liina, As, Husna Ainun Fauziah, dan Nurmiyati Nurmiyati. 2018. “Studi Etnobotani Tumbuhan Upacara Ritual Adat Kelahiran di Desa Banmati, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo”. Biosfer: Jurnal Biologi dan Pendidikan Biologi,               2(2).               doi:

10.23969/biosfer.v2i2.657.

Umassari, Ade Rikka. 2018. “Interaksi Simbolik dalam Proses Komunikasi Jual Beli Ternak ‘Marosok’ di Payakumbuh Sumatera Barat”. Jurnal Ilmu Komunikasi 8(3):258–71.

https://jkms.ejournal.unri.ac.id/index.php/J KMS/article/view/5664

Widiastuti. 2013. “Analisis SWOT Keragaman Budaya Indonesia”. Jurnal Ilmiah Widya 1(1):8–14.                           https://e-

journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal -ilmiah/article/view/21

Widyaningrum, Listyani, dan Swis Tantoro. 2017. “Tradisi Adat Jawa dalam Menyambut Kelahiran Bayi (Studi tentang Pelaksanaan Tradisi Jagongan pada Sepasaran Bayi) di Desa Harapan Harapan Jaya Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan”. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 4(2):1–15. https://www.neliti.com/publications/117218 /tradisi-adat-jawa-dalam-menyambut-kelahiran-bayi-studi-tentang-pelaksanaan-tradi

Wulandari, Rega, Nurul Laili Adha, dan Diki Setiawan. 2019. “Strategi ‘Blantik’ dalam Metode Pemasaran di Pasar Tradisional Hewan Dimoro Blitar.” Akuntabilitas: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Ekonomi, 12(1):1– 14. doi: 10.35457/akuntabilitas.v12i1.733. https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/ akuntabilitas/article/view/733/624

86