Silakramaning “Aguron-Guron” Dalam Teks Cerita Bhagawan Dhomya-Adiparwa
on
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021
“Ludruk Jember: Ruang Kebudayaan Masyarakat Jember dalam Mengekspresikan
Kembali Kultur Kemaduraan di Wilayah Perantauan”
Mohammad Rizaldy Ramadhan, Egy Fernando, Muhammad Sulton Ridho, Vivia Suaidin 97
Silakramaning “Aguron-Guron” Dalam Teks Cerita Bhagawan Dhomya-Adiparwa
Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si 103
Dinamika Pemajemukan Dengan Morfem Unik Dalam Bahasa Bali
Penggunaan Bahasa Inggris dalam Percakapan Bahasa Indonesia Generasi Muda
Anak Agung Sagung Shanti Sari Dewi 116
Kehidupan Sosial Migran Madura di Desa Kintamani Tahun 1982-2018 Risa Yuliandri 122
Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Adat Kesiman
Ni Made Odi Tresna Oktavianti 128
Pengelolaan Yayasan Albanna sebagai Lembaga Pendidikan Islam
di Denpasar Selatan 2007-2019
Psychological Analysis of Emily Grierson in Short Story A Rose for Emily
by William Faulkner
Gaby Kumala Dewi Santoso, Ida Bagus Putra Yadnya, Ni Ketut Alit Ida Setianingsih ....149
Code switching Used by Naila on Her YouTube Channel: Naila Farhana
Kadek Yuda Wardana, Luh Putu Laksminy, Made Detriasmita Saientisna 154
The Used of Online Learning Method in Acquiring Children's English Vocabulary
at English Buzz Bali
Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516
VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021
Susunan Redaktur PUSTAKA :
Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
Pemimpin Redaksi
Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.
Wakil Ketua
I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.
Sekretaris
Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.
Staf Redaksi
I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.
Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.
Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum
Mitra Bestari
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)
Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)
Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)
Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)
Pelaksana Tata Usaha :
I Gede Nyoman Konsumajaya
Naskah dikirim ke alamat : [email protected]
Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan
Silakramaning “Aguron-Guron”
Dalam Teks Cerita Bhagawan Dhomya-Adiparwa
Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si.
Prodi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [email protected]
Abstrak
Silakramaning aguron-guron merupakan bentuk ketaatan, keikhlasan pengabdian sisya/murid terhadap guru yang harus dibuktikan melalui kesungguhan dan keseriusan untuk mengabdi dan mendedikasikan dirinya secara total terhadap gurunya. Pengabdian tersebut ditunjukkan dengan loyalitas kerja tanpa mengenal lelah untuk kepentingan gurunya. Dengan begitu sisya/murid akan diakui, dihargai dan nantinya akan diberikan tuntunan serta penghargaan berupa ilmu pengetahuan dan mantera-mantera yang berguna bagi murid tersebut. Seorang sisya/murid wajib tunduk kepada perintah guru (guru susrusa), dan dirinya dianggap berhasil apabila ia mampu melayani dan melakukan hal terbaik yang diperintahkan gurunya. Demikian yang dilakukan oleh seorang sisya/murid Arunika, Utamanyu, Weda dan Utangka di dalam cerita Dhomya-Adiparwa ini. Sebagai sisya/murid masing-masing mampu melakukan pekerjaan sesuai yang diinginkan oleh gurunya.
Kata kunci: aguron-guron, upah guru, bakti guru, dan loyalitas
Silakramaning aguron-guron adalah adat tingkah laku atau kewajiban yang seharusnya dilakukan atau ditaati oleh sisya (murid) di dalam menuntut ilmu kerohanian. Seorang sisya/murid dituntut menunjukkan loyalitas terhadap guru yang tercermin dalam teks cerita Domya-Adiparwa berikut.
Cerita ini diawali oleh gambaran keberadaan Bhagawan Dhomya yang bertempat tinggal di wilayah Negeri Ayodya, mempunyai tiga orang murid bernama; sang Arunika, sang Utamanyu, dan sang Weda. Ketiganya merupakan murid yang teruji loyalitas, kesetiaan dan komitmennya untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna dari gurunya. Bhagawan Domya senantiasa memberikan ujian berat kepada ke tiga muridnya. Sang Arunika diuji melalui keberhasilannya mengelola sawah dengan segala kesulitan yang dialaminya. Sang Utamanyu diuji dengan menjadikan kesehariannya sebagai pengembala lembu. Walaupun berkali-kali Sang Utamanyu melakukan kesalahan, karena melanggar etika pengembala, tetapi karena ketaatan dan kejujurannya akhirnya ia berhasil melewati semua ujian berat selama menjadi pengembala lembu.
Begitu pula dengan muridnya Sang Weda, ia dipercaya oleh gurunya untuk melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan dapur, seperti memasak dan menyediakan makanan sehari-hari untuk gurunya. Segala kebutuhan yang berhubungan dengan urusan dapur dikerjakannya dengan sebaik mungkin dan segala keperluan gurunya dilayaninya dengan keiklasan dan kesabaran. Akhirnya ketiga muridnya telah mampu melewati berbagai ujian sehingga layak mendapat anugrah dari gurunya. Mereka pun kembali ke pertapaan masing-masing untuk mendedikasikan pengetahuan dan ilmunya pengetahuannya kepada masyarakat.
Dalam pada itu di dalam hati Sang Weda berjanji pada dirinya sendiri, apabila kelak ia mempunyai murid ia akan memberikan dan mendedikasikan semua pengetahuan yang diperolehnya tanpa harus meminta upah (daksina guru) atau ujian kesetiaan lainnya. Selang beberapa waktu kemudian Sang Weda mempunyai murid bernama sang Utangka. Suatu ketika sang Weda mendapat titah dari raja, sekaligus kehormatan ikut menyaksikan upacara korban, sementara muridnya sang Utangka dipercaya untuk menjaga pertapaan dan istri guru.
Kala itu bertepatan datangnya hari baik untuk melakukan putrapadana (korban kelahiran) sehingga guru patni menyuruh sang Utangka untuk melakukan hal tersebut. Tetapi sang Utangka menolaknya karena ketaatannya pada
guru untuk menjaga asrama tempat tinggal gurunya. Penolakan tersebut membuat istri guru marah kepada sang Utangka. Ketika gurunya tiba kembali di pertapaan, ia sangat puas dan kagum akan keindahan pertapaan yang telah dirawat oleh muridnya. Semua yang dimiliki sang Guru/sang Weda lalu diturunkan kepada muridnya sang Utangka. Merasa telah diberikan pengetahuan yang sempurna oleh gurunya, sang Utangka mohon agar diizinkan menghaturkan upah guru/guru daksina atas segala kebaikan gurunya. Karena sangat memaksa untuk memberi upah guru, sang Weda (gurunya) menjadi marah dan menyuruhnya supaya menanyakan hal itu kepada istrinya. Sang Utangka lalu mendesak istri guru agar berkenan meminta sesuatu sebagai upah (upah guru) yang bisa ia persembahkan atau kerjakan sebagai balas budi terhadap gurunya.
Teringatlah kemudian istri guru akan permintaan dirinya yang ditolak oleh muridnya sang Utangka saat ia meminta untuk melakukan putrapadana beberapa hari sebelumnya. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh istri guru dengan menyuruh sang Utangka agar meminta perhiasan anting-anting permata milik istri maharaja Posya dari negeri Ayodya bernama Sawitri. Anting-anting tersebut pun mesti telah berhasil sampai di tangan istri guru selama empat hari empat malam walaupun negeri Ayodya letaknya sangat jauh.
Dengan berat hati sang Utangka akhirnya berangkat berusaha sekuat tenaga memenuhi keinginan istri gurunya. Dalam perjalanan menuju negeri Ayodya, ia bertemu dengan penunggang kuda yang berbaik hati menolong serta menawarkan bantuan bersyarat agar sang Utangka cepat sampai di negeri Ayodya. Syarat tersebut dipenuhinya yang kemudian mengantarkan sang Utangka secepat kilat sampai di negeri Ayodya. Dengan menghadapi berbagai macam kesulitan dalam perjalanan, sang Utangka tidak pantang menyerah untuk memperoleh anting-anting tersebut. Anting-anting tersebut akhirnya dapat dihaturkan kepada istri gurunya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Keberhasilannya tersebut membuat semua menjadi puas baik sang Guru beserta istrinya dan sang Utangka sendiri.
Berdasarkan ulasan cerita di atas maka menarik untuk diungkapkan dalam cerita ini tentang bagaimana kesungguhan dan loyalitas murid terhadap guru, seperti dalam pembahasan berikut.
Tulisan ini menggunakan metode kualitatif, dengan memberikan perhatian pada teks, Fashri (2007: 36-37) mengemukakan bahwa gagasan yang didudukkan sebagai data kualitatif, tidak mendasarkan pada angka-angka, melainkan atas pandangan, pendapat dan pemikiran. Pendapat senada disebutkan Ratna (2006: 46) bahwa metode kualitatif pada dasarnya sama dengan metode hermeneutika, memberikan penafsiran dan mencari makna-makna tersembunyi dalam karya. Bagi Ricoeur (2006:57) hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan paradigma yang bebeda-beda. Tulisan ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan metode interpretasi atau penafsiran.
Pada zaman dulu seseorang yang mempunyai pengetahuan tinggi kebanyakan dari mereka memilih tempat tinggal pada kesunyian (hutan) untuk menunai kedamaian menikmati masa wanaprasta dan sanyasin, masa dimana seseorang sudah melepaskan diri dari ikatan keduniawian dan kusuk mencari ketenangan diri. Dengan demikian, seorang murid yang serius untuk menekuni ilmu pengetahuan kerohanian, akan datang berguru di tengah hutan tidak memandang dari golongan bangsawan sekalipun.
Demikian pula, pengabdian aguron-goron (menjadi murid) akan ditentukan oleh gurunya di tengah hutan. Kebanyakan murid melakukan guru yaga yakni berguru dengan membayar berupa tenaga. Ada kalanya seorang sisya/murid harus tinggal serumah dengan keluarga gurunya di tengah hutan lebat (guru kulawasi), karena seorang guru di zaman dulu identik dengan seorang pertapa yang telah membebaskan diri dari ikatan duniawi dan mengasingkan diri dari keramaian. Hal ini banyak dilakukan oleh para rohaniawan tidak hanya dari kalangan orang biasa, bahkan banyak dilakukan oleh kalangan bangsawan atau keturunan raja. Menyatu dengan alam adalah konsepsi yang menginspirasi di dalam mencari sumber kedamaian, ketenangan, dan keselarasan hidup serta membebaskan diri dari segala yang berbau duniawi. Orientasi kehidupan
pada tingkat wanaprasta menuju sanyasin ini, seseorang tidak lagi untuk mencari harta yang berlimpah, tetapi kehidupan yang lebih ditekankan pada keseimbangan hubungan kepada Hyang Kuasa untuk memperolah kedamaian yang dirasakan ada di tengah hutan.
Guru di zaman dulu bukan seorang pendidik biasa, tetapi ia menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam segala hal. Ketaatan murid terhadap guru didasari oleh keiklasan untuk mengabdi dan menunjukkan dedikasi secara utuh terhadap gurunya. Keadaan ini di zaman lampau umum dilakukan oleh seorang murid terhadap gurunya. Bahkan seorang murid wajib melakukan apapun sesuai perintah gurunya. Bukan tidak mungkin hal ini terjadi di zaman sekarang tetapi hubungan murid dengan guru di era kekinian telah bergeser, lebih mengutamakan ikatan sosial ekonomi.
Konsepsi menuju sepi ing pamerih adalah konsep hidup menuju pembebasan diri dari ikatan duniawi, dan tidak lagi terikat pada ambisi kekuasaan lainnya. Demikianlah yang dilakukan oleh Bhagawan Domya dengan penuh keiklasan menerima, mengajarkan dan menuntun murid-muridnya untuk dididik menjadi seorang rohaniawan. Banyak hal yang diajarkan terhadap murid-muridnya terutama loyalitas pengabdian yang harus ditunjukkan melalui kerja keras dan kesetiaan.
Ketiga muridnya diuji loyalitasnya untuk mengabdi, melakukan sesuatu tanpa pamerih, dan menunjukkan bukti keiklasan berkorban terhadap gurunya. Kepada muridnya sang Arunika, disuruh mengerjakan sawah untuk menghasilkan padi yang dijadikan sumber penghidupan keluarga gurunya. Tetapi malang tidak bisa disangka, ketika biji (bulih) yang ditanamnya sedang tumbuh dengan suburnya datanglah air bah akibat turun hujan yang sangat lebat. Kawatir bibit padinya tergenang oleh air berkali-kali ditahannya air tersebut tetapi hasilnya pematang sawah jebol. Tanpa putus asa akhirnya ia berusaha menahan air dengan tubuhnya hingga tidak bergerak siang dan malam. Terlihatlah oleh gurunya upaya keras yang dilakukan muridnya sang Arunika sehingga ia dibebaskan dan diberikan penghargaan yang setimpal oleh gurunya.
Berbeda halnya dengan murinya sang Utamanyu, setiap harinya ia diberikan tugas untuk mengembalakan lembu milik gurunya. Selama mengembala sang Utamanyu menderita kelaparan sehingga terpaksa harus meminta-minta untuk
memenuhi kebutuhan dirinya. Hal ini kemudian diketahui oleh gurunya sehingga ia dilarang untuk melakukan hal itu lagi, apalagi hasil dari meminta-minta tersebut tidak diserahkan kepada gurunya. Sang Utamanyu akhirnya meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya tersebut. Keesokan harinya kembali ia mengembala lembu sambil meminta-minta lagi. Hasil dari meminta-minta tersebut, ia serahkan semuanya kepada gurunya. Untuk kebutuhan dirinya sang Utamanyu kembali meminta-minta untuk kedua kalinya yang dilarang oleh gurunya. Oleh karena ia tidak mampu menahan rasa lapar, sang Utamanyu minum susu sisa anak lembu menyusu induknya. Hal itupun dilarang oleh gurunya, karena perbuatan tersebut diangap tidak pantas oleh gurunya. Merasa sangat haus dan lapar dalam mengembala, sang Utamanyu hanya menjilati buih yang jatuh atau keluar dari mulut anak lembu ketika menyusu induknya. Perbuatan itupun dilarang dan dianggap tidak pantas oleh gurunya.
Pada akhirnya semua larangan gurunya ia turuti, tetapi karena tidak mampu menahan lapar selama mengembala sejak dari pagi sampai sore, sang Utamanyu menghisap getah daun wanduri untuk mengganjal rasa laparnya. Getah tersebut mengenai matanya sehingga merusak pengelihatannya hingga sang Utamanyu tercebur ke sumur mati. Keadaan ini diketahui oleh gurunya dan sang Utamanyu dianugrahi mantra (obat) dewa Aswino hingga ia kembali sembuh seperti sediakala, sebagaimana dalam kutipan berikut.
…Nahan matangyan wineh Aswino dewa mantra de sang guru. Ndatan wadwa sanghyang Aswinodewa, maweh anugraha, tumpihangin kinonaken wurungan wuta, ya ta panganen ira pinakasadha ni laranya, niyata warasa. Pinangan ira pwa ya ta (Adiparwa bab III.9)
Terjemahan:
Demikianlah sebabnya sang Utamanyu dianugrahi mantra dewa Aswino oleh sang guru. Sanghyang aswino dapat dipercaya memberikan tuah dipakai sebagai penolak buta, supaya dimakan sebagai obat penawarnya, agar sembuh seperti sedia kala. Terus dimakanlah obatnya.
Lain pula beban pekerjaan yang diberikan kepada muridnya Weda, ia dipercaya untuk melakukan semua pekerjaan yang berhubungan dengan urusan dapur, sekaligus menyediakan hidangan untuk keluarga gurunya. Semua perintah gurunya dikerjakan dengan baik hingga ia dianugrahi segala macam mantera weda dan ilmu pengetahuan lainnya. Anugerah yang diberikan gurunya tersebut menyadarkan muridnya Weda betapa gurunya sangat murah hati telah menganugrahi segala macam ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya. Ketulusan gurunya tersebut mengetuk hati nuraninya untuk melakukan hal terbaik bagi muridnya nanti. Dalam hatinya ia berjanji, kelak ia akan memberikan muridnya mantera tanpa meminta upah dan ujian kesetiaan lainnya, seperti diungkapkan dalam pupuh berikut;
…,Ri huwus sang Weda kertnugrahan, mulih ta sira patapanira, wruh pwa sira duhka sing sewaka, mangenangen ta sira “ yan hana sisyangkudiaha, wahengku juga sanghyang matra haywa pinalakwan guruyaga nguniweh pamariksa ni guru susrusannya” (Adiparwa bab III.11)
Terjemahan:
Setelah sang Weda menerima anugerah dari gurunya, ia pulang ke pertapaannya. Tahulah sekarang akan jerih payah orang yang mengabdi, berkatalah dalam hatinya” kalau kelak saya mempunyai murid mantera ini akan saya berikan begitu saja tanpa minta upah ataupun ujian kesetiaannya”.
Dalam pada itu sang Weda mempunyai murid bernama sang Utangka yang disuruhnya menjaga pertapaan ketika gurunya sedang menunaikan tugas, seperti kutipan berikut:
…,sang Utangka ta sira kinon utunggwa patapan, mwang akemita ri sang gurupatni,. Tarwihang ta sang Uttangka, yatna ring rahina wengi ri karaksan ikang patapan (Adiparwa bab III.12)
Terjemahan:
Sang Utangka disuruh menunggu pertapaan, dan menjaga istri guru. Sang Utangka sanggup menjalankan perintah gurunya, dan ia dengan setia siang malam menjaga pertapaan.
Atas kesetiaan dan kesungguhan sang Utangka dalam menjaga pertapaan dan menunggui istri gurunya, ia dianugrahi segala macam ilmu pengetahuan dan mantera weda terbaik. Namun demikian, niat dan ketulusikhlasan sang Weda memberikan muridnya sang Utangka pengetahuan yang mulia, dirasakan tidak sebanding karena ia merasa belum memberikan sesuatu yang berharga bagi gurunya. Oleh karena itu sang Utangka memaksa untuk menghaturkan upah guru yakni imbalan kepada gurunya karena merasa telah berhutang kepada gurunya. Keadaan ini membuat sang Weda marah dan meminta agar upah guru yang ingin dihaturkan oleh sang Utangka supaya dimohonkan kepada gurupatni yakni istri dari gurunya. Permohonan sang Utangka agar gurunya meminta upah guru pun dikabulkan oleh gurupatni. Istri guru memerintahkan agar sang Utangka berkenan meminta permata perhiasan anting-anting sang Sawitri, permaisuri dari raja Posya yaitu raja dari negeri Ayodya. Mendengar perintah gurupani, sang Utangka menjadi sedih karena permintaan anting-anting tersebut harus sudah sampai di tangan gurupatni selama empat hari empat malam. Sementara negeri Ayodya letaknya cukup jauh yang tidak mungkin ditempuh hanya dalam waktu empat hari empat malam.
Sang Utangka tidak putus asa akan hal tersebut, ia selalu berusaha memenuhi keinginan istri gurunya. Berbagai macam godaan dan kesulitan yang dihadapinya dalam perjalanan mencari perhiasan anting-anting keinginan istri gurunya. Dengan berbekal ketulusan dan keikhlasan ia akhirnya berhasil memperoleh dan menghaturkan anting-anting milik sang Sawitri sesuai dengan waktu yang ditentukan kepada istri gurunya, seperti dalam kutipan berikut:
…,.Katon sang Utangka mwataken ikang kundala ri sira sanyasambek siragelenga, cumapa sang Utangka ri wyartha nikang diwasa samaya. Amenangi pwa kala. Harsa ta sang Gurupatni,…
Terjemahan:
Terlihatlah olehnya sang Utangka, datang membawakan anting-anting kepadanya, seakan-akan sebelumnya tidak pernah marah dan mengutuk sang Utangka karena kesesuaian waktu perjanjiannya. Tepat pada waktunya. Gembiralah istri guru.
Ini merupakan satu bukti dedikasi seorang sisya (murid) yang menyadari akan ketulusan gurunya telah memberikan sesuatu yang amat berharga bagi muridnya sehingga wajar ia mempersembahkan yang terbaik terhadap gurunya sebagai upah guru, menuruti segala perintah dan memenuhi permintaan gurunya. Sang Utangka telah membayar upah guru dengan jerih payahnya mempersembahkan perhiasan anting-anting milik Sawitri permaisuri dari raja Posya, meskipun diperolehnya dengan cara yang sangat sulit.
Dalam lontar Silakramaning aguron-guron disebutkan Wiana (2004: 206) yang paling diutamakan adalah kepatuhan sisya (murid) kepada gurunya. Kepatuhan yang melahirkan disiplin, membentuk mental dan moral yang kuat, sementara ilmu pengetahuan hanya sebagai penopangnya. Kepatuhan dan disiplin sebagaimana diuraikan dalam lontar Silakramaning Aguron-guron disebutkan Wiana (2004: 206) sebagai berikut:
Nihan ta silakramaning aguron-guron, haywa tan bakti ring guru, haywa himaniman, haywa tan sakti ring guru, haywa nikelana sapatuduhing sang guru,haywa angideki wayangan sang guru haywa angglungguhi palungguhaning sang guru.
Terjemahan:
Inilah disiplin berguru kerohanian, jangan tidak berbakti kepada guru, juga dilarang mencaci maki guru, jangan tidak tahan berguru apalagi tidak tulus, terlebih menentang perintah guru, jangan menginjak bayangan guru, juga tidak diperkenankan menduduki tempat duduk guru.
Ini menandakan bahwa konsep aguron-guron lebih mementingkan kedisiplinan dan pembentukan mental yang kuat dibandingkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan semata. Seorang sisya/murid tidak dituntut hanya pintar dan cerdas, tetapi jauh lebih penting mereka disiplin, patuh dan bakti kepada gurunya yang membuktikan mereka berhasil sebagai seorang sisya.
Sebaliknya seorang guru disebutkan Atharwaveda XI.5.14 (dalam Titib, 2004: 20)
menyatakan bahwa seorang guru hendaknya bersikap keras bagaikan Yama (dewa kematian). Ini menandakan bahwa seorang guru tidak boleh lemah dalam mendidik murid-muridnya karena guru merupakan cermin bagi sisya itu sendiri. Dalam semua hal guru adalah orang yang digugu atau dipercaya dan menjadi teladan serta panutan bagi murid-muridnya. Semboyan sekaligus sindiran terhadap guru mengandaikan bahwa apabila “guru kencing berdiri murid akan kencing berlari”, demikian yang terjadi ketika guru tidak bisa memberikan teladan bagi murid-muridnya. Tetapi guru yang mumpuni selalu memberikan teladan dan contoh terbaik bagi sisyanya. Demikian yang dilakukan Bhagawan Dhomya terhadap ketiga muridnya sang Arunika, sang Utamanyu, dan sang Weda. Ketiga muridnya diberikan tugas dan tanggungjawab yang berbeda-beda dengan jenis pekerjaan yang berbeda pula. Dengan sungguh-sungguh ketiga muridnya telah menunjukkan bukti kepatuhan, ketaatan dan loyalitasnya menurut pekerjaan dan tugas mereka masing-masing.
Sang Arunika telah mampu menyelesaikan pekerjaannya menggarap sawah dengan segala tantangan yang ada dan telah diuji kegigihannya menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan oleh gurunya, seperti dalam kutipan berikut
…,Kapwa pinariksa nira, yan tuhu guru susrusa, gurubakti, sang Arunika kinon ira yasawaha rumuhun. Yatna ta sang Arunika kangulahaken sakrama ning sawah, giwayaken ira.
Terjemahan:
Semua diuji ketaatan dan baktinya kepada guru, sang Arunika disuruhnya mengerjakan sawah. Dengan hati-hati sang Arnika mengerjakan sawah yang dibebankan kepadanya dengan segala kemampuannya.
Ketekunan dan segala upaya yang dilakukan Arunika membuahkan hasil membanggakan bagi gurunya sehingga ia pantas mendapatkan reward atau penghargaan setimpal oleh gurunya.
Demikian juga yang dilakukan oleh sang Utamanyu yang sehari-harinya dibebani tugas mengembala lembu. Sang Utamanyu berkali-kali melakukan kesalahan yang tidak disengaja atau tidak diketahuinya, karena apa yang dilakukan
melanggar kramaning aguron-guron, seperti berikut.
…“Anakku Sang Utamanyu, kramaning sisya, yan guru bhakti, mawwat nasi solih niranasi, krama nika: swayam asrama ya makapajiwana: Solihtanasi tan yogya bhuktinta” (Adiparwa bab III.4)
Terjemahan:
Anakku Sang Utamanyu, tingkah laku murid yang berbakti kepada guru, menyerahkan semua yang diperoleh dari minta-minta, itulah seharusnya: swayam asrama ya makapajiwana: segala yang diperoleh dari minta-minta, tidak patut menjadi makananmu.
Kesalahan sang Utamanyu adalah meminta-minta untuk keperluan diri sendiri tidak diserahkan pada gurunya. Demikian selanjutnya ia mengembala sambil meminta-minta untuk diserahkan kepada gurunya. Akan tetapi ia kembali meminta-minta yang kedua kalinya untuk keperluan dirinya sendiri. Hal tersebut yang membuat ia disalahkan lagi oleh gurunya. Dalam pengembalaan berikutnya sang Utangka tidak lagi meminta-minta, tetapi untuk bisa menahan lapar ia meminum air susu sisa anak lembu menyusu induknya. Perbuatan itu juga dilarang karena dianggap turut menikmati dan merebut makanan orang lain dan hal tersebut dilarang oleh gurunya, seperti dalam petikan berikut.
…, tan dadi ngwang kadi kita mangapeki pangan ing watsa manghorati bhukti ning len, haywa pinakahara ikang tan yogya upajiwana apan agya ng akuru ikang watsa yan mangkana. ” (Adiparwa bab III.7)
Terjemahan:
Tidak selayaknya engkau mengambil makanan anak lembu, turut menikmati makanan orang lain, yang tidak patut menjadi penghidupan,janganlah engkau makan, karenanya anak lembu tersebut akan menjadi kurus
Akhirnya pada pengembalaan berikutnya sang Utamayu tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang oleh gurunya. Tetapi rasa lapar tidak bisa ditahan, akhirnya sang Utamanyu menghisap getah daun waduri yang membuatnya ia menjadi buta. Niatnya mengantar lembu piaraannya kembali pulang tidak dinyana ia tercebur ke dalam
sumur mati karena sang Utamanyu tidak bisa melihat lagi. Keadaan ini diketahui oleh gurunya yang kemudian menolong dengan menganugrahi mantera (obat) dewa Aswino untuk menyembuhkan buta yang diderita sang Utamanyu, seperti kutipan berikut.
Saka ri karunya Bhagawan Dhomya, wineh ta ya sang Utamanyu mantra, aswino dewa bhisak uccaranakna nira matangyan marya buta,…
Terjemahan:
Karena belas kasihan Bhagawan Dhomya, sang Utamanyu dianugrahi mantera, mantera (obat dewa aswino, supaya diucapkan olehnya, agar menyembuhkan buta yang dideritanya,…
Sedangkan muridnya sang Weda dengan segala ketaatannya melayani, menyiapkan , dan menghidangkan kebutuhan dapur bagi gurunya, ia dianugrahi berbagai macam ilmu dan mantera kerohanian. Kemurahan hati sang guru yang kemudian mengetuk hati sang Weda kelak ia mempunyai murid juga akan memberikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa menghiraukan imbalan.
Beberapa waktu kemudian sang Weda mempunyai murid bernama sang Utangka, yang sangat setia, taat dan patuh serta selalu menuruti perintah gurunya. Sang Weda lalu menganugrahi sang Utangka semua ilmu dan mantera kepada muridnya. Kebaikan gurunya ini mengetuk hati sang Utangka untuk menghaturkan upah guru (guru daksina/guru yaga) sebagai imbalan kebaikan gurunya.
Dengan sedikit memaksa sang Utangka berupaya memberikan upah terhadap gurunya padahal gurunya tidak sama sekali menghendaki hal tersebut. Akhirnya oleh gurupatni (istri gurunya), sang Utangka disuruh mencari upah guru berupa perhiasan anting-anting milik permaisuri raja Posya bernama sang Sawitri. Rasa bakti dan ketaatan pada guru, sang Utangka berupaya memenuhi keinginan guru patni, seperti dalam kutipan berikut.
Kunang ta pa kapalangen bhakti nira ring guru, matangyan panglalu lumampah amet ikang kundala
Terjemahan:
Meskipun demikian tidak mengurungkan niatnya untuk berbakti kepada guru,
karenanya ia berangkat juga mencari anting-anting tersebut.
Betapapun sangat sulit ia peroleh, akhirnya permintaan gurupatni dapat dipenuhi sesuai dengan waktu yang ditentukan. Istri gurunya menyambut gembira kedatangan sang Utangka telah berhasil memperoleh permintaannya.
Keberhasilan sisya/murid dalam aguron-guron sangat ditentukan oleh keseriusan, loyalitas dan kesungguhannya di dalam mengikuti arahan dan tuntunan dari gurunya, bukan oleh kecerdasan dan keterampilannya semata. Seorang sisya/murid senantiasa harus mengikuti perintah dan arahan serta nasihat guru yang dibuktikan melalui loyalitas kerja, pengabdian dan kewajiban sebagai sisya/murid. Atas bukti keberhasilan dan ketaatan sisya/murid tersebut akan dianugrahi pengetahuan kebajikan dan mantera-mantera kerohanian yang menandai sisya/murid tersebut telah berhasil menyelesaikan tugasnya.
Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose.
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita.
Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Titib, I Made dan Ni Ketut Supariani. 2004. Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budi Pekerti. Surabaya: Paramita
Widyatmanta, Siman. 1958. Adiparwa, Urusan Adat-Istiadat & Ceritera Rakyat Djawatan Kebudajaan Dep. P.D. & K. Tjabang Bagian Bahasa: Jogjakarta
109
Discussion and feedback