PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020

Peningkatan Kualitas SDM Melalui Pelatihan Bahasa Inggris Sebagai Penggiat Literasi Bagi Anak-Anak Jalanan di Yayasan Lentera Anak Bali (YLAB)

Sri Widiastutik, Komang Trisnadewi, I Ketut Setiawan  73

Beda Bahasa dan Berbahasa : Kajian Kepustakaan

Made Henra Dwikarmawan Sudipa  80

Bentuk Tabu Bahasa Korea

Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma  84

Desa dan Banjar Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional Ketut Kaler  93

Standardisasi Pengajaran BIPA: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif

I Ketut Darma Laksana  99

Gianyar Dalam Perspektif Arkeologi

I Ketut Setiawan  107

Pengembangan Industri Kreatif di Desa Wisata Bona, Belega dan Keramas Perspektif Gender

Ida Ayu Putu Mahyuni  114

Perkembangan Seni Patung Garuda di Dusun Pakudui Gianyar

Anak Agung Inten Asmariati  120

Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi

Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan  124

Makna Sapaan Pada Penggunaan Negirai Kotoba: Cerminan Ragam Bahasa Jepang

Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti  130

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Pemimpin Redaksi

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Wakil Ketua

I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.

Sekretaris

Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.

Staf Redaksi

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum

Mitra Bestari

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)

Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud)

Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)

Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)

Pelaksana Tata Usaha :

I Gede Nyoman Konsumajaya

Naskah dikirim ke alamat : jurnalpustaka@unud.ac.id

Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

Makna Sapaan Pada Penggunaan Negirai Kotoba: Cerminan Ragam Bahasa Jepang

Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana andry_anita@unud.ac.id, silvia_damayanti@unud.ac.id

Abstrak

Negirai kotoba merupakan ungkapan yang cukup sering digunakan oleh masyarakat Jepang dalam kehidupan sehari-hari, baik secara formal maupun informal. Ungkapan yang termasuk dalam negirai kotoba diantaranya adalah gokurou (san/sama) dan otsukare (san/sama). Negirai kotoba dapat didefinisikan sebagai ungkapan apresiasi atau terima kasih atas kerja keras/usaha/upaya yang telah dilakukan seseorang (mitra tutur).

Kedua ungkapan tersebut banyak ditemukan dalam dunia kerja khususnya di perusahaan atau perkantoran di Jepang. Penggunaan kedua ungkapan tersebut cukup beragam dan cukup banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status sosial dan kedekatan hubungan antar partisipan.

Salah satu hal yang berkaitan dengan penggunaan negirai kotoba ini adalah bentuk sapaan yang digunakan oleh partisipan. Konteks sosial mendasari penggunaan bentuk sapaan tersebut sehingga partisipan dapat menentukan negirai kotoba yang digunakan dalam tuturan.

Drama yang digunakan sebagai data adalah drama berbahasa Jepang yang berjudul Natsuko Kira yang ditanyangkan pada tahun 2016. Drama ini bergenre wanita karir yang menghadapi berbagai masalah dalam pekerjaan maupun kehidupan rumah tangganya.

Kata kunci: bentuk sapaan, negirai kotoba, makna solidaritas, makna penghormatan

PENDAHULUAN

Masyarakat Jepang memiliki beberapa konsep berpikir atau prinsip dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satu konsep atau prinsip hidup yang masih dipegang teguh adalah uchi dan soto. Mizutani dan Mizutani (1987) menyatakan bahwa masyarakat Jepang menggunakan bentuk ungkapan dan sapaan berbeda yang disesuaikan dengan latar belakang mitra tutur. Begitu pula halnya yang dikemukakakan oleh Ikeno dan Davies (2002), uchi dapat dimaknai sebagai kumpulan individu atau kelompok yang kita merupakan bagian dari kelompok tersebut. Sedangkan soto dimaknai sebagai kebalikan dari uchi yaitu kumpulan individu atau kelompok yang berada diluar kita.

Konsep atau prinsip berpikir masyarakat Jepang tersebut adalah sebuah pijakan atau dasar untuk mengetahui lebih dalam mengenai hubungan antar penutur yang terlihat dari tuturan yang digunakan termasuk didalamnya adalah penggunaan negirai kotoba. Negirai kotoba adalah ungkapan rasa terima kasih terhadap mitra tutur atas segala usaha atau kerja keras yang telah dilakukan (Shinmura, 2011). Yang termasuk

dalam negirai kotoba diantaranya yaitu gokurou san/sama (deshita) dan otsukare san/sama (deshita). Ungkapan ini sering digunakan dalam masyarakat Jepang dalam kehidupan sehari-hari di dalam maupun luar perusahaan Jepang. Penggunaan negirai kotoba tersebut dikaitkan dengan pemakaian bentuk serta makna sapaan yang digunakan partisipan dalam tuturan pada data.

Topik yang dibahas pada tulisan ini dikaitkan dengan kaidah yang dicetuskan oleh Brown & Gilman (1960) dan Braun (1988) mengenai klasifikasi pemaknaan melalui sistem sapaan yang dibagi menjadi makna solidaritas dan kekuasaan (penghormatan). Brown & Gilman menyatakan bahwa makna solidaritas terwujud dari hubungan resiprokal yang saling menyatakan T atau V. Braun menunjang kaidah yang dicetuskan Brown & Gilman, dengan menyatakan bahwa T dan V dapat dikembangkan menjadi beberapa varian Tn dan Vn. Selain itu, T dan V tidak dibatasi pemakaiannya pada sapaan pronomina persona saja, akan tetapi bisa diperluas seperti nama diri atau sistem kekerabatan.

PEMBAHASAN

Berikut merupakan penggunaan negirai kotoba gokurousan, gokorousama deshita, otsukaresama dan otsukaresama deshita yang terdapat dalam drama Natsuko Kira (2016).

  • A.    Penggunaan negirai kotoba gokurousan dan gokurousama deshita

Data (1)

小山課長 : はい、ご苦労さん。

スタッフ : ありがとうございます。

課長、ひさびさ一杯どうです か?

小山課長 : 新橋だったら、行く?

スタッフ  : いいですね。

(吉良奈津子、2016、 エピソード1:22.46)

Koyama Kachō : Hai, gokurōsan.

Sutafu         : Arigatō gozaimasu.

Kachō, hisahiza ippai dō desu ka?

Koyama Kachō : Shinbashi dattara, iku? Sutafu          : Ii desu ne.

(Kira Natsuko, 2016, Episōdo 1: 22.46)

Pusat pengembangan metropolitan, Haijima Constructions Co.Ltd.

Koyama : Terima kasih atas kerjasamanya.

Staf : Terima kasih. Pak (kepala seksi), lama tidak bertemu.

Mau minum bersama?

Koyama : Mau ke Shinbashi?

Staf : Sepertinya menyenangkan.

Pada data (1) di atas, digambarkan situasi Koyama kachō (Bapak kepala seksi Koyama) sedang menandatangani sebuah dokumen penting yaitu berupa rencana pengembangan kota metropolitan. Dokumen tersebut dibawakan oleh seorang bawahannya (laki-laki). Setelah selesai menandatangani dokumen, Koyama kachō menyerahkan kembali dokumen tersebut kepada bawahannya.

Suzuki (1978:131) menyatakan bahwa adalah suatu kelaziman untuk menyapa mitra tutur yang memiliki posisi atau status sosial lebih tinggi, dengan hanya menyebut ”posisi/statusnya” saja. Jika dilihat dari bentuk sapaan yang digunakan, staf departemen tersebut menggunakan bentuk sapaan yang merujuk posisi mitra tutur, yaitu

kachou. Bentuk sapaan yang merujuk pada posisi seseorang dalam lingkungan pekerjaan tertentu biasanya juga diawali dengan nama keluarga. Beberapa nama keluarga yang cukup populer digunakan masyarakat Jepang diantaranya: Tanaka, Satou, dan Yamada. Penggunaan bentuk sapaan dengan menyebut posisi yang diawali dengan nama keluarga misalnya : Tanaka kachou, Satou kachou, dan Yamada kachou. Pada data di atas, staf tersebut menyapa atasannya dengan bentuk sapaan merujuk posisi saja tanpa menggunakan nama diri mitra tutur, karena tuturan terjadi di lingkungan kerja, maka dianggap tidaklah penting untuk menyebut namanya lagi.

Berdasarkan tuturan yang terjadi pada data di atas, makna penghormatan atau non resiprokal terwujud yang dihasilkan dari kaidah makna T dan V2 melalui bentuk sapaan yang digunakan oleh staf kepada atasannya, yaitu bentuk sapaan ”kachou”. Sebaliknya, secara implisit memang tidak digambarkan bentuk sapaan kachou terhadap bawahannya. Namun, tuturan hai ’iya’ yang digunakan oleh Koyama kachou dapat diasumsikan sebagai pengganti sapaan terhadap bawahannya. Apabila seseorang menggunakan bentuk sapaan yang berupa sebutan posisi atau level dalam pekerjaan terhadap mitra tuturnya, maka dapat dipastikan bahwa mitra tutur memiliki posisi yang lebih tinggi daripada dirinya. Makna penghormatan terwujud apabila salah satu penutur memiliki posisi yang berbeda seperti yang terlihat pada tuturan di atas. Oleh karena posisi penutur dan mitra tutur berbeda, maka muncul pengaruh terhadap pemakaian negirai kotoba.

Ungkapan gokurousan merupakan salah satu bentuk negirai kotoba yang cukup sering digunakan dalam lingkup kerja perusahaan. Ungkapan gokurousan yang digunakan oleh Koyama kachou terhadap bawahannya merupakan gambaran bahwa ada perbedaan status diantara mereka. Status yang dimaksud adalah merujuk terhadap perbedaan posisi dalam pekerjaan.

Menurut Aoyama dkk (1988) dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar Edisi Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa ungkapan gokurousan atau gokurousama menunjukkan rasa terima kasih atas pekerjaan atau jerih payah orang lain. Akan tetapi ungkapan ini sebaiknya dihindari apabila hendak ditujukan kepada orang lebih tua ataupun atasan. Koyama kachou menggunakan ungkapan gokurousan karena posisi lebih di atas dan memiliki maksud untuk menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan stafnya dalam

perencanaan kota yang sedang dikerjakannya. Respon terhadap ungkapan negirai kotoba cukup beragam. Pada data di atas, stafnya memberikan respon dalam bentuk ungkapan terima kasih ”arigatou gozaimasu”. Hal ini didasari karena hubungan diantara mereka adalah atasan dan bawahan. Penghargaan berupa negirai kotoba otsukaresan pun direspon dengan ucapan ”terima kasih” oleh stafnya.

Data (2)

奈津子:坂部さん、遅くなってごめんなさい。

坂部 :お帰りなさいませ、奥様。

奈津子 :パパ、帰ってたんだ。

夫   :うん。

奈津子 :そた、お腹がよくなって、よかった ね。

坂部 :忘れちゃうぐらい、元気だよね。

そた :うん。

奈津子 :よかった。よし。

坂部 :では、私はそろそろ。。

奈津子 :本当にご苦労様でした。

坂部 :さようなら、そた君。

そた :さよなら。

奈津子 :またねって。

そた :またね。

奈津子 :どうも。

(吉良奈津子、2016、エ

ピソード2、42.30)

Natsuko : Sakabe san,   osoku natte

gomennasai.

Sakabe       : Okaerinasaimase, okusama.

Natsuko       : Papa, kaette kitanda.

Natsuko no otto: Un.

Natsuko       : Sota, onaka ga yoku natte,

yokatta wa.

Sakabe        : Wasurechau gurai, genki da yo

ne.

Sota            : Un.

Natsuko       : Yokatta. Yoshi.

Sakabe       : Dewa, watashi wa soro soro…

Natsuko       : Hontō ni gokurōsama deshita.

Sakabe        : Sayonara, sota kun.

Sota          : Sayonara.

Natsuko       : Mata ne tte.

Sota          : Mata ne.

Natsuko       : Dōmo.

(Kira Natsuko, 2016, Episōdo 2:42.30)

Natsuko       :

Bu Sakabe, aku minta maaf karena pulang terlambat.

Sakabe        :

Selamat datang kembali, Bu (Nyonya).

Natsuko       :

Ayah, kamu sudah kembali?

Natsuko no otto:

Ya.

Natsuko       :

Sota, Ibu senang sakit perutmu sudah sembuh.

Sakabe        :

Dia begitu bersemangat sekarang sampai lupa tadi sakit perut.

Sota            :

Ya.

Natsuko       :

Itu bagus.

Sakabe        :

Sebaiknya aku pergi sekarang.

Natsuko       :

Terimakasih banyak.

Sakabe        :

Sampai jumpa, Sota.

Sota            :

Sampai jumpa.

Natsuko       :

Bilang “sampai jumpa”

Sota            :

Sampai jumpa.

Natsuko       :

Terima kasih.

Pada data (2) di atas digambarkan situasi Natsuko Kira, seorang ibu sekaligus wanita karir yang kembali ke rumah setelah bekerja seharian. Semenjak dirinya kembali bekerja, situasi rumah tangganya menjadi agak rumit. Natsuko yang biasanya mengurus rumah tangga selama 4 tahun terakhir, harus merelakan putranya diasuh oleh seorang pengasuh yang dipekerjakan harian.

Natsuko memiliki seorang anak laki-laki berusia 4 tahun bernama Shota. Shota mengenyam pendidikan anak usia dini di sebuah tempat, yang mengharuskan Natsuko atau suaminya yang mengantarnya sebelum mereka berdua pergi ke tempat kerja. Masalah kembali dialami Natsuko dan suaminya. Mereka cukup kerepotan untuk mengatur waktu untuk menjemput anaknya. Namun secara tidak sengaja, Natsuko bertemu dengan Sakabe, seorang wanita muda yang menawarkan jasa pengasuhan kepada Natsuko. Tawaran Sakabe disambut dengan antusias oleh Natsuko, disaat dirinya memang membutuhkan bantuan seseorang.

Pada di atas, tergambar Natsuko menggunakan bentuk sapaan nama diri yang diikuti pemarkah hormat –san yaitu Sakabe-san ‘Bu Sakabe”. Sementara, Sakabe menggunakan sapaan okusama ‘nyonya’, merupakan bentuk sapaan istilah kekerabatan (IK) fiktif. Menurut Shinmura (2011), okusama merupakan sebutan yang ditujukan kepada mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan memiliki status sosial lebih tinggi daripada penutur dan berstatus

sebagai seorang istri. Bentuk sapaan okusama lebih hormat dibandingkan dengan okusan. Pemarkah –sama dan –san memiliki perbedaan derajat kesantunan. Bentuk sapaan okusama lebih elegan dan santun dibandingkan okusan.

Berdasarkan situasi bahwa Natsuko adalah orang yang mempekerjakan Sakabe, maka penggunaan bentuk sapaan kedua penutur menjadi tidak setara. Hal ini juga diperkuat dengan pemakaian negirai kotoba gokurosama deshita yang diucapkan oleh Natsuko. Natsuko menempatkan dirinya diatas Sakabe. Natsuko wajar menggunakan ungkapan tersebut karena merasa bahwa Sakabe memiliki posisi dibawahnya sebagai orang yang dipekerjakan.

Berpijak dari konteks situasi di atas maka dapat dikatakan bahwa sapaan antara kedua penutur tersebut menyatakan makna penghormatan atau nonresiprokal yang dihasilkan dari kaidah makna V1 dan V2. Kaidah makna V1 terdapat dalam bentuk sapaan “Sakabe-san”, sedangkan V2 terdapat pada bentuk sapaan “okusama”. Ketidaksetaraan posisi antara penutur menyebabkan negirai kotoba yang digunakan pun menyesuaikan konteks situasi.

  • B.    Penggunaan negirai kotoba otsukaresama dan otsukaresama deshita

Data (3)

今なし : お疲れ様。ご飯まだでしょう。

高木  : ああ。どうも。

今なし :あたし、派遣の契約来月までなの。

高木  :そう。

今なし :新しい部長疲れるから。更新する

のを、やめようかな。

(吉良奈津子、2016、エ ピソード1、24.06)

Imanashi : Otsukaresama. Go-han mada deshō.

Takagi : Aa. Dōmo.

Imanashi : Atashi, haken no keiyaku, raigetsu made na no.

Takagi : Sō

Imanashi : Atarashii buchō tsukareru kara. Kōshin suru no wo, yameyō kana.

(Kira Natsuko, 2016, Episōdo 1: 24.06)

Imanashi : Terima kasih atas kerja samanya.

Kamu belum makan malam, bukan?

Takagi : Terima kasih.

Imanashi : Kontrakku habis bulan depan.

Takagi : Begitu rupanya.

Imanashi : Bekerja di bawah kepala departemen yang baru sedikit melelahkan.

Pada data (3) diatas digambarkan situasi percakapan di perusahaan periklanan Toho yang dilakukan antara Takagi dan Imanashi. Takagi merupakan seorang direktur kreatif, sedangkan Imanashi adalah staf di departemen marketing. Keduanya merupakan karyawan yang masuk ke perusahaan tersebut pada periode yang sama. Akan tetapi, karena Takagi merupakan sosok karyawan yang berbakat, maka karirnya pun meningkat dengan pesat. Sedangkan Imanashi, hanyalah pegawai kontrak meskipun memiliki kompetensi yang baik.

Kedua penutur diatas memiliki hubungan yang baik, hingga Imanashi terkadang memberikan perhatian kepada Takagi yang pada saat itu sedang lembur untuk menyelesaikan beberapa proyek yang sedang ditanganinya. Imanashi membawakan makan malam untuk Takagi sebagai apresiasi atas kerja kerasnya. Perhatian yang diberikan Imanashi terhadap Takagi bukan semata-mata sebagai rekan kerja, akan tetapi dikarenakan Imanashi memiliki ketertarikan sebagai lawan jenis.

Pada tuturan di atas, Imanashi menggunakan sapaan bentuk pronomina persona pertama tunggal atashi ‘aku’. Penggunaan bentuk ini didasari atas hubungan yang dirasakan penutur terhadap lawan tutur adalah hubungan dekat (akrab), meskipun Takagi sebenarnya memiliki jabatan yang lebih tinggi dari dirinya. Akan tetapi, dikarenakan Takagi bertugas di departemen yang berbeda, Imanashi merasa bahwa tidak ada alasan untuk membuat jarak diantara mereka. Alasan lain juga dikarenakan mereka memiliki pengalaman bersama merintis karir di perusahaan periklanan Toho.

Tuturan yang terdapat pada data di atas terlihat didominasi oleh Imanashi, sehingga sangat minim respon dari Takagi. Selain juga karena Takagi digambarkan sebagai sosok yang memang pendiam dan berkarisma.

Berdasarkan tuturan yang terjadi pada data di atas, terealisasi makna solidaritas dalam bentuk sapaan pronomina persona atashi ‘aku’. Atashi ‘aku’ merupakan bentuk sapaan yang digunakan oleh penutur perempuan yang digunakan saat berbicara dengan mitra tutur yang dianggap memiliki kedekatan hubungan dengan

dirinya (Shinmura, 2011). Begitu pula yang dirasakan Imanashi terhadap Takagi.

Makna solidaritas atau resiprokal ini dihasilkan dari kaidah makna T dan T dari kedua penutur. Bentuk sapaan pronomina persona atashi ‘aku’ yang digunakan oleh Imanashi, selain karena kedekatan hubungan juga dikarenakan faktor bahwa tuturan dilakukan dalam situasi tidak formal (di luar jam kerja). Secara eksplisit, Takagi juga sebenarnya merespon Imanashi melalui tuturan: doumo ‘makasi’ dan sou ‘oh, gitu’. Tuturan ini bersifat kasual, sehingga dapat dijelaskan bahwa kedua penutur menempatkan diri pada posisi yang sederajat dan memenuhi kaidah T dan T sehingga makna solidaritas atau resiprokal/simetris terwujud.

Negirai kotoba otsukaresama merupakan ungkapan yang salah satunya dapat difungsikan sebagai salam. Khususnya salam yang mengandung ungkapan terima kasih atas upaya/kerja keras yang ditujukan kepada mitra tutur yang telah menyelesaikan suatu pekerjan atau berhenti sejenak dari pekerjaan yang sedang dikerjakannya. Selain itu, ungkapan ini juga saling diucapkan oleh para pekerja untuk mengapresiasi jerih payah atau kerja keras mereka (Shinmura, 2011). Imanashi menggunakan ungkapan otsukaresama terhadap Takagi sebagai penghargaan atas kerja keras Takagi yang sedang berusaha menyelesaikan pekerjaan kantor hingga melewati jam kerja. Otsukaresama merupakan salah satu bentuk negirai kotoba yang tidak lebih sopan dari otsukaresama deshita. Namun, pada umumnya digunakan karena situasi tidak formal.

Data (4) オフィスの人 : 競合プレゼンの結果をお伝 えします。

今回のキャンペーンは Slash Adさんの昇くんとマ マの目黒 100円辺に全額をお任せ します。

とほ広告 : うそ。

オフィスの人: ただし、とほ広告さんのプ ランも優れていました。 次回のプレゼンにも参加し ていただきたいとのことで す。

お疲れさまでした。 皆さん    : お疲れさまでした。

(吉良奈津子、2016、エ

ピソード1、51:15)

Ofisu no hito : Kyōgō purezen no kekka wo otsutae shimasu.

Konkai no kyanpeen wa Slash Ad san no nobori kun to mama no Meguro 100 en hen ni zengaku wo omakase shimasu.

Toho kōkoku : Uso.

Ofisu no hito : Tadashi, toho kōkoku san no puran mo tsugurete imashita.

Jikai no purezen ni mo sanka shite itadakitai to no koto desu. Otsukaresama deshita.

Minasan : Otsukaresama deshita.

(Kira Natsuko, 2016, Episōdo 1: 51.15)

Pegawai kantor : Kami akan mengumumkan hasil kontes presentasi.

Iklan pemenang kali ini, yaitu iklan Slash Ad, “Noboru dan Tuna 100 Yen

ibunya”.             Kami

Toho Advertising

mempercayakan seluruh proyek pada perusahaan kalian.

: Benarkah?

Pegawai kantor

: Tapi     rencana     Toho

Semua presenter

Advertising juga sangat mengesankann. Silakan mengikuti presentasi kami berikutnya. Terima kasih atas kerjasamanya.

: Terima kasih atas

Pada data

kerjasamanya.

di atas, digambarkan situasi

adanya presentasi proposal dari dua perusahaan periklanan. Dua perusahaan periklanan tersebut bersaing mendapat proyek dari sebuah restoran makanan Jepang sushi yang telah memiliki banyak anak cabang di seluruh Jepang. Hasil dari presentasi tersebut dinyatakan bahwa rival dari perusahaan Toho yang berhasil memenangkan proyek iklan restoran sushi tersebut.

Pihak penyelenggara presentasi pada tuturan di atas terlihat menggunakan bentuk sapaan nama perusahaan yang diikuti dengan sufiks –san. Pada bahasa Jepang, dikenal bentuk sapaan nama diri diikuti atau tidak dengan beberapa sufiks penanda hormat maupun akrab

seperti –san, -kun, -chan dan sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat beberapa kasus yaitu bentuk sapaan justru digunakan dengan menggunakan nama perusahaan/nama produsen yang dilekati pemarkah hormat –san seperti yang terlihat pada data di atas.

Adapun alasan yang melatarbelakangi pihak penyelenggara presentasi menggunakan bentuk sapaan nama perusahaan yang diikuti pemarkah –san adalah untuk merujuk seluruh karyawan dari perusahaan Toho yang ada pada saat itu. Karena wakil dari perusahaan Toho jumlahnya cukup banyak yaitu sekitar 5 orang, maka tidaklah mungkin pihak penyelenggara menyebutkan namanya satu per satu. Dengan demikian, penggunaan pemarkah –san yang dilekatkan pada nama perusahaan Toho difungsikan sebagai bentuk rasa hormat terhadap mitra tutur. Pemarkah –san merupakan salah satu pemarkah hormat yang digunakan dalam bahasa Jepang yang bertujuan untuk menghormati pihak mitra tutur. Lazimnya pemarkah hormat –san mengikuti nama diri seseorang.

Pada data di atas juga digambarkan terwujudnya makna solidaritas atau resiprokal yang dihasilkan dari kaidah makna V1 dan V1 yang ditunjukkan salah satunya ditandai dengan penggunaan pemarkah hormat –san pada nama perusahaan. Pihak perusahaan Toho digambarkan minim merespon pernyataan pihak penyelenggara presentasi. Namun negirai kotoba otsukaresamadeshita yang diucapkan baik pihak penyelenggara maupun pihak Toho memiliki makna bahwa mereka saling menghargai upaya/usaha/kerja keras yang telah dilakukan pada hari itu. Pihak penyelenggara bermaksud menghargai usaha maksimal yang telah dilakukan perusahaan Toho dalam mempresentasikan proposal meskipun gagal memenangkan proyek. Begitu juga pihak Toho pun menggunakan negirai kotoba otsukaresama deshita sebagai ungkapan terima kasih atas penerimaan pihak restoran sushi tersebut karena telah diberikan kesempatan untuk mempresentasikan proposal iklannya.

Kedua pihak terlihat menempatkan posisi sederajat dalam situasi yang formal. Hal ini terlihat dari pemakaian negirai kotoba otsukaresama deshita yang digunakan kedua pihak. Ungkapan ini memiliki makna yang sama dengan gokurosan, gokurosama, gokurosama deshita, otsukaresama, namun memiliki konteks situasi penggunaan yang berbeda. Negirai kotoba otsukaresama deshita merupakan ungkapan yang

lazim digunakan dalam situasi yang netral dan formal seperti pada tuturan di atas.

SIMPULAN

Makna sapaan bahasa Jepang diketahui banyak mempengaruhi penggunaan negirai kotoba diantaranya yaitu ungkapan gokurousan, gokurousama deshita, otsukaresama dan otsukaresama deshita. Partisipan yang terlibat dalam tuturan menggunakan bentuk sapaan didasari oleh latar belakang sebagai penutur seperti posisi/status atau kedekatan hubungan.

Adapun makna yang terwujud dalam tuturan data di atas yaitu makna penghormatan atau nonresiprokal. Tuturan partisipan pada data (1) memenuhi kaidah makna T dan V2 yang ditandai dengan bentuk sapaan merujuk kepada posisi seseorang dalam pekerjaan yaitu kachou ‘kepala seksi. Sementara itu, tuturan partisipan pada data (2) memenuhi kaidah V dan V2 tercermin pada bentuk sapaan nama diri yang disertai pemarkah hormat Sakabe-san ‘bu Sakabe’ dan bentuk sapaan istilah kekerabatan fiktif okusama ‘nyonya’. Pada makna penghormatan atau nonresiprokal ini melandasi penggunaan negirai kotoba gokurousan dan gokurousama deshita yang memperlihatkan adanya perbedaan posisi/status partisipan.

Makna solidaritas atau resiprokal terealisasi berdasarkan pemenuhan kaidah makna T dan T pada data (3) merujuk bentuk sapaan terhadap diri sendiri atashi ‘aku’. Pada data (4), makna solidaritas atau resiprokal terwujud dari kaidah makna V1 dan V1 melalui penggunaan bentuk sapaan Toho kokoku-san ‘perusahaan periklanan Toho’. Pada makna solidaritas atau resiprokal ini melandasi penggunaan negirai kotoba otsukaresama dan otsukaresama deshita. Ini menunjukkan bahwa para partisipan menempatkan posisi yang sederajat.

DAFTAR PUSTAKA

Aoyama, Teruo dkk. 1988.Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar Edisi Bahasa Indonesia.Tokyo : Kokuritsu Kokugo Kenkyusho.

Brown, R.W., and Gilman, A.1960. The Pronoun of Power and Solidarity dalam: J.A. Fishman, editor. Readings in Sociology of Language. Paris: Mouton. Hal 252-275.

Dewi, Ni Made Andry Anita. 2009. ”Sapaan Bahasa Jepang: Bentuk, Fungsi dan Makna”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana.

Friederike, Braun. 1988. Term of Address. Problems of Patterns and Usage in Various Languages and Cultures. New York: Mounton.

Ikeno, Osamu & Davies, Roger. 2002. The Japanese Mind :    Understanding

Contemporary Japanese Culture. Tuttle Publishing: Tokyo.

Mizutani, Osamu & Nobuko. 1987. How To Be Polite In Japanese. Tokyo: The Japan Times.

Suzuki, Takao. 1978. Words in Context:A Japanese Perspective on Language and Culture. Tokyo:Kodansha.

Shinmura, Izuru. 2011. Koujien Dai roppan. Tokyo: Iwanami Shoten.

136