PUSTAKA VOL. 24, NO.1 • 68 – 73

p-ISSN: 2528-7508

e-ISSN: 2528-7516


Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

Orang Tua dan Pendidik Cerdas Dalam Mengembangkan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini

Yulia Syelindah, Ismaniar, Lili Dasa Putri

Universitas Negeri Padang

Padang, Sumatera Barat, Indonesia [email protected] [email protected], [email protected]

ABSTRACT

This article examines providing information for parents in developing social competence from an early age in order to have resilience skills. According to Salkin, children's social competence develops from birth and is influenced by their environment, especially parents and schools, as well as instilling human values in students such as morals, character and social solidarity and establishing oneself as a second person means understanding the soul and character of students. In the context of the educational process in schools, educators have the task of educating, teaching and training. This study was motivated by the large number of children who lack social skills such as temperament, self-image, and seeing other people's views. This study discusses how parents and educators shape and develop the social competence of early childhood. Based on the analysis in this paper, several tricks for being an intelligent parent and educator can be summarized in developing children's social competence related to social demands in accordance with social rules, values and expectations. Parents as the first madrasah for children are where children can develop their social potential and educators help academic success as well as build relationships with friends and a positive learning environment.

Keywords: Smart parents and educators, social competence, early childhood

ABSTRAK

Artikel ini mengkaji pemberian informasi untuk orang tua dalam mengembangkan kompetensi sosial sejak dini agar memiliki keterampilan relisiensi. Menurut Salkin, nilai-nilai kemanusiaan seperti moralitas, budi pekerti, dan solidaritas sosial ditanamkan pada diri siswa, dan menjadikan diri sebagai orang kedua memerlukan pemahaman jiwa dan karakter siswa. Kompetensi sosial anak berkembang sejak lahir dan dipengaruhi oleh lingkungannya, khususnya orang tua dan sekolah. Guru mempunyai tanggung jawab untuk mengajar, melatih, dan mendidik dalam rangka proses pendidikan di sekolah. Kajian ini dilatarbelakangi banyaknya anak yang kurang keterampilan dalam bersosial seperti tempramen, citra diri, serta melihat cara pandang orang lai. Dalam kajian ini membahas bagaimaana cara orang tua dan pendidik dalam membentuk dan mengembangkan kompetensi sosial anak usia dini. Berdasarkan analisis dalam makalah ini dapat disimpilkan beberapa trik menjadi orang tua dan pendidik cerdas dalam mengembangkan kompetensi sosial anak usia yang berkaitan dengan tuntutan sosial sesuai dengan aturan, nilai dan harapan sosial. Orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak disitulah anak bisa mengembangkan potensi sosialnya dan pendidik membantu keberhasilan akademik juga membangun hubungan dengan temannya serta lingkungan belajar yang positif.

Kata Kunci: Orang tua dan pendidik cerdas, kompetensi sosial, anak usia dini

PENDAHULUAN

Menurut buku yang dikutip Anonym (2007:86), setiap orang tua yang menikah mempunyai tanggung jawab besar dalam membesarkan anak-anaknya. Tanggung jawab ini mencakup memenuhi kebutuhan mereka, mengasuh mereka, membantu mereka tumbuh, dan menanamkan moral dan standar. Selain itu, orang tua harus mampu membantu anak mencapai potensi maksimalnya, menjadi teladan, dan mengalami pertumbuhan pribadi sambil menunjukkan

tanggung jawab dan kasih sayang penuh. Hal ini terjadi karena orang tua menanggung beban dalam membentuk dan mengembangkan tubuh serta pikiran anak-anaknya. Agar anak-anaknya menjadi generasi yang sesuai dengan cita-citanya, maka kedua orang tuanya harus mampu membimbing dan mendidiknya.

Salkind (2002) menyatakan bahwa kompetensi sosial pada anak dibentuk oleh lingkungan sekitar, terutama oleh orang tua dan sekolah, dan hal itu dimulai sejak lahir.

Kemampuan mengirimkan dan menerima pesan serta menggunakannya dengan baik merupakan komponen kompetensi sosial. Kompetensi sosial awal mencakup kepribadian unik anak, kemampuan sosial, dan interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya. Selain itu, ciri-ciri psikologis termasuk temperamen, kesadaran diri, dan pandangan dunia semuanya berdampak pada kompetensi sosial.

Keterampilan sosial adalah salah satu dari empat “resilience skills.” Tiga keterampilan resiliensi lainnya, menurut Benard adalah kemampuan memecahkan masalah, mengembangkan rasa jati diri, dan mempunyai rencana dan harapan (sense of goal and the future). “Resilience” berarti anak-anak menghadapi stres dan kesulitan yang signifikan dalam hidupnya, tidak mengalami kegagalan di sekolah, tidak menyalahgunakan narkoba, dan tidak memiliki masalah kesehatan mental. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, kompetensi sosial anak adalah kemampuannya dalam berinteraksi dilingkungan sekitar seperti rumah, lingkungan dan sekolah. Melalui seseorang yang mempengaruhinya untuk memperoleh dan menghilangkan keingianan dan yang tidak diinginkan terjadi. Agar anak bisa membawa dirinya menjadi pribadi yang berkualitas dan mampu menghadapi hal-hal yang akan terjadi kedepannya.

METODE

Penelitian ini merupakan tinjauan literatur yang menggunakan metode studi pustaka. Penulis melakukan perbandingan antara satu literatur dengan hasil penelitian lainnya dalam bidang yang sama. Metode yang diterapkan adalah Systematic Mapping Study, di mana penulisan dilakukan secara sistematis dengan menyusun berbagai referensi untuk menentukan konten suatu masalah. Fokus penelitian adalah Mendeteksi Ancaman Membantu optimalisasi inisiatif untuk menjadi orang tua dan pendidik cerdas dalam mengembangkan kompetensi sosial anak usia dini.

PEMBAHASAN

  • A. Peran Orang tua dalam Membentuk dan Mengembangkan Kompetensi Sosial AUD

Pada masa remaja, keterampilan sosial dan kemampuan beradaptasi menjadi semakin penting. Hal ini dikarenakan pada masa remaja, seseorang memasuki dunia sosial yang lebih luas dan pengaruh temannya serta lingkungan sosial menjadi sangat penting. Ketika remaja tidak

mampu memperoleh keterampilan sosial, mereka sulit beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan perasaan rendah diri, pengucilan sosial, kecenderungan berperilaku non-normatif (seperti perilaku antisosial atau antisosial), dan bahkan dapat berujung pada. perilaku anti-sosial. Dapat menyebabkan gangguan mental, kenakalan remaja, kejahatan, dan perilaku kekerasan. Agar aspek psikososial dapat berkembang secara optimal, anak dapat mempelajari keterampilan sosial jika diajarkan untuk memilikinya sejak dini. Sosialisasi adalah proses melatih kepekaan seseorang pada rangsangan sosial yang berkaitan dengan tuntutan sosial sesuai aturan, nilai, atau pun harapan sosial. Proses pembangunan sosial meliputi tiga proses:

  • 1.    Mempelajari perilaku-perilaku yang bisa diterima masyarakat dan belajar mempunyai peran-peran sosial yang ada dalam masyarakat.

  • 2.    Pengembangan sikap sosial pada orang lain serta kegiatan sosial dalam masyarakat.

  • 3.    Proses sosialisasi ini menghasilkan tiga model individu: sosial, non sosial, serta anti sosial.

Pola permainan sosial pada anak usia dini antara lain: Permainan individu, permainan sebagai penonton/pengamat, permainan paralel, permainan koalisi, serta permainan kooperatif. Anak berinteraksi di lingkungan sekitar seperti rumah, lingkungan, dan sekolah. Selain di lingkungan bermain dan di sekolahnya, dirumah adalah tempat yang paling utama untuk anak bisa mengembangkan kometensi sosialnya. Karena rumah tempat anak tinggal dan orang tua adalah pendidikan pertama untuk anak. Maka dari itu perlu kita ketahui bahwa orang tua yakni yang paling penting guna pengembangan kompetensi sosial anak.

Orang tua serta pendidik anak usia dini perlu memahami apa saja yang penting dalam masa awal anak. Dengan pemahaman serta perlakuan yang tepat, anak akan belajar dengan baik serta menjadi landasan dalam proses belajar selanjutnya. Inilah yang penting dalam beberapa tahun pertama:

  • 1.    Anak usia 3 tahun bisa belajar berbicara sambil bermain

  • 2.    Anak usia 3-4 tahun sangat ingin tahu dan membutuhkan kebebasan serta kesempatan untuk mengamati, bergerak, dan menjelajahi lingkungannya sendiri.

  • 3.    Anak-anak antara usia 2 dan 6 tahun ingin

mengetahui tentang dirinya dan dunia di sekitarnya. Oleh karena itu, di usia ini sangat tepat untuk memperkenalkan nama, nama orang di sekitar, nama bagian tubuh, nama benda yang ada di rumah, taman, dan sekolah. 4. Kepribadian anak dibentuk dengan aktivitas serta pembelajaran usia 3-6 tahun. Anak-anak aktif serta sering bertindak berdasarkan dorongan hati mereka. Inilah saat yang tepat untuk mengembangkan karakter anak Anda.

Dapat kita simpulkan keluarga yakni kelompok orang yang dipersatukan ikatan perkawinan dan prokreasi. Tujuannya adalah untuk menciptakan interaksi antara satu sama lain dan peningkatan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial seseorang yang ada. Menurut Friedman (1998), fungsi keluarga merupakan salah satu jenis fungsi keluarga, dan fungsi emosional erat kaitannya dengan fungsi internal keluarga yang menjadi landasan kekuatan keluarga. Fungsi emosional membantu memenuhi keperluan psikososial. Keberhasilan kinerja fungsi emosional tercermin dalam kebahagiaan serta kegembiraan seluruh keluarga. Dalam keluarga dengan fungsi emosi yang berfungsi dengan baik, semua anggota keluarga mengembangkan konsep diri yang positif. Fungsi emosional erat kaitannya dengan kemampuan sosial anak. Oleh karenanya, sebagai orang tua, perlu melakukan banyak hal guna memastikan keterampilan sosial anak berkembang dengan baik.

Hurlock (1998: 83) menyatakan bahwa peran utama pengasuhan adalah mendorong anak menerima batasan-batasan yang dibutuhkan serta membantu mengarahkan emosi anak ke arah yang bermanfaat secara sosial serta dapat diterima sosial. Kepribadian dan perilaku seorang anak dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orang tuanya (Dariyo, 2004: 97). Menurut Hurlock (1998: 94), ada tiga jenis pola asuh orang tua: permisif, demokratis, dan otoriter. Tiga filosofi pengasuhan yang diidentifikasi oleh Baumrind (Kin, 2010: 172) sebagai cara orang tua terlibat dengan anak-anaknya: otoriter, berwibawa, dan lalai.

Menurut (Murwani, 2007), unsur-unsur yang harus dipenuhi sebuah keluarga guna memenuhi fungsi afektif yakni:

  • 1.    Saling menjaga. Kasih sayang, kehangatan, saling menerima, mendukung antar anggota keluarga, rasa sayang serta dukungan dari anggota keluarga lainnya. Dengan adanya rasa

saling sayang menyayangi antar keluarga maka anak akan merasa dia dikasihi dan dianggap ada. Dari hal tersebut, dia akan terbiasa dengan kasih sayang dan begitu pula dia dengan lingkungannya akan mudah berinteraksi dan mengganggap orang sekitarnya.

  • 2.    Saling menghargai. Semakin sering anak merasa dihargai dengan orang sekitarnya apalagi dengan orang tuanya maka semakin mudah untuk anak menghargai orang lain, dari hal tersebut akan memudahkan anak untuk bersosialiasasi dengan lingkungannya.

  • 3.    Ikatan serta identitas keluarga ada ketika pasangan sepakat untuk memulai hidup baru. Ikatan antar anggota keluarga berkembang dengan proses pengenalan serta adaptasi terhadap aspek-aspek kehidupan keluarga. Orang tua perlu mengembangkan proses identifikasi positif agar anak bisa meniru perilaku positif orang tua. Pembelajaran anak usia dini harus selalu mempertimbangkan tahapan perkembangannya. Anak-anak belajar dari sosial budaya. Dan anak-anak mempunyai zona perkembangan dimana mereka dapat tumbuh melalui orang-orang disekitarnya (Jackman, 2009).

  • 4.

Peranan orang tua sangat penting dalam membentuk serta mengembangkan kompetensi sosial anak. Berikut beberapa cara orang tua dapat berkontribusi dalam hal ini:

  • 1.    Berperan sebagai contoh: Orang tua perlu menjadi contoh yang baik dalam berinteraksi sosial, menunjukkan cara berbicara, mendengarkan, dan berkomunikasi yang positif.

  • 2.    Memberikan dukungan emosional: Memberikan dukungan dan pengertian pada anak ketika mereka mengalami emosi atau kesulitan sosial dapat membantu mereka belajar mengelola perasaan mereka dengan baik.

  • 3.    Mendorong interaksi sosial: Mengizinkan anak bermain dengan teman sebaya atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti kelompok bermain atau klub dapat membantu mereka membangun keterampilan sosial.

  • 4.    Ajarkan keterampilan komunikasi: Orang tua dapat mengajarkan anak cara berbicara dengan sopan, mendengarkan dengan baik, dan memahami ekspresi verbal dan nonverbal.

  • 5.    Berbicara tentang empati: Mendorong anak

guna memahami perasaan serta sudut pandang orang lain serta mengajarkan empati adalah langkah penting dalam pengembangan kompetensi sosial.

  • 6.    Berikan umpan balik positif: Memberikan pujian dan umpan balik yang konstruktif ketika anak berhasil dalam interaksi sosial mereka dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka.

  • 7.    Ajarkan penyelesaian konflik: Anak perlu diajarkan cara menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat dan produktif tanpa menggunakan kekerasan fisik atau verbal.

  • 8.    Monitor penggunaan media sosial: Orang tua dapat membantu anak memahami pentingnya penggunaan media sosial yang aman dan sehat serta mengawasi aktivitas online mereka.

Dengan memberikan perhatian dan bimbingan yang tepat, orang tua dapat membantu anak-anak mengembangkan kompetensi sosial yang kuat, yang akan membantu mereka berinteraksi dengan orang lain serta mencapai keberhasilan dalam kehidupan sosial mereka.

  • B.    Peran Guru dalam Membentuk dan

    Mengembangkan Kompetensi Sosial AUD

Sosialisasi anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lingkungan sekitar, gaya pengasuhan, pengaruh teman, dan penerimaan diri. Anak-anak prasekolah mempunyai beberapa kesempatan pada masa ini untuk melatih keterampilan sosial. Perkembangan sosial seorang anak dipengaruhi oleh anak, keterlibatan orang tua, lingkungan sekitar, dan peran guru TK. Cara anak-anak kecil berinteraksi dengan teman-temannya, orang dewasa, dan komunitas yang lebih besar agar berhasil beradaptasi dikenal sebagai perkembangan sosial mereka. Perkembangan prasekolah, atau perkembangan anak usia dini, mencakup ciri-ciri sosial anak yang muncul dari tahap pembelajaran dan pendewasaan. Ini adalah bagian dari pembangunan manusia secara keseluruhan. Ada beberapa strategi untuk membantu anak mengembangkan keterampilan sosialnya, seperti bermain peran, kunjungan lapangan, dan membaca dengan suara keras. Ketika seorang remaja berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya, dan lingkungannya, pembelajaran bisa terjadi kapan saja.

Menurut Suharshimi, kompetensi sosial artinya guru perlu mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan sosial pada siswa, rekan

kerja, atasan, lingkungan sekolah, serta masyarakat (Assiddiqi, 2012). (Sjarkawi, 2007) mengatakan jka indikator kompetensi sosial guru meliputi inklusivitas dan perilaku obyektif, adaptasi terhadap lingkungan kerja dan masyarakat, komunikasi efektif, serta komunikasi empati dan hormat. Perkembangan anak dipengaruhi secara positif oleh keterampilan sosial. Keterampilan sosial membina hubungan teman sebaya dan lingkungan belajar yang mendukung selain mendukung prestasi akademik, keterampilan komunikasi, dan penyesuaian sekolah (Akman, 2009; Kemp dan Carter, 2005). Tanggung jawab utama guru yang berprofesi sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan adalah mengarahkan, mengajar, menilai, dan mengevaluasi peserta didik mulai dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan formal, dasar, dan menengah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Pendidik menyatakan bahwa “guru merupakan unsur terpenting dalam proses pembelajaran, pembentuk sumber daya manusia yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembangunan.” Menjadi teladan yang baik bagi siswa Anda sangat penting bagi para guru, terutama pendidik anak usia dini yang dianggap sebagai “peniru ulung” karena kemampuan menirunya yang luar biasa. Bagi siswa dan orang-orang terdekatnya, instruktur berperan sebagai sumber identitas dan panutan. Oleh karena itu, pengajar harus memenuhi standar keunggulan tertentu, termasuk akuntabilitas, otoritas, independensi, dan disiplin, Yusuf (2012).

Keterampilan sosial membina hubungan teman sebaya dan lingkungan belajar yang mendukung selain mendukung prestasi akademik, keterampilan komunikasi, dan penyesuaian sekolah (Akman, 2009; Kemp dan Carter, 2005). Anak-anak dengan keterampilan sosial yang kuat juga memiliki opini positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Anak-anak yang kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya, melakukan kejahatan, dan putus sekolah cenderung memiliki keterampilan sosial yang buruk. Perkembangan sosial anak prasekolah sangat dipengaruhi oleh keterampilan sosial yang mereka peroleh pada interaksi awal dengan ibu mereka. Kemampuan-kemampuan ini berpotensi mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jika seseorang mahir secara sosial dalam segala situasi di mana ia harus berinteraksi dengan orang lain (Karayılmaz, 2008).

Berikut adalah beberapa peranan guru dalam pembentukan serta pengembangan kompetensi sosial bagi anak usia dini:

  • 1.    Bersikap dan Bertindak Objektif

Perilaku serta perilaku objektif merupakan keterampilan yang perlu dikembangkan guru supaya dapat berkomunikasi serta bergaul secara konsisten dengan siswa. Bagi siswa, guru yakni penasehat, motivator, moderator, penolong serta sahabat pada proses pendidikan. Namun, guru tidak bisa melakukan segalanya untuk siswanya. Karena guru tidak selalu berada di sisi siswa. Berperilaku obyektif artinya guru juga diharapkan dapat bertindak arif, arif dan adil terhadap siswanya dalam apa yang dilakukannya, dikatakannya, serta dilakukannya. Dalam hal ini, guru harus objektif dalam menilai pernyataan, tindakan, sikap, dan hasil belajarnya. Perilaku obyektif mempunyai arti jika guru sebagai tokoh sentral pada proses pembelajaran (khususnya pada tingkat awal) perlu selalu memperlakukan siswa secara adil, serta tidak boleh memilih, mengklasifikasikan, atau bertindak tidak adil terhadap siswa. Bertindak obyektif dan mewakili karakter siapa yang jadi pedoman anak di sekolah, guru adalah teladan anak. Bertindak obyektif pada siswa sebenarnya merupakan upaya transformatif untuk membantu siswa menghadapi berbagai permasalahan yang kelak akan mereka hadapi. Istansi Surviani mengatakan, salah satu bentuk pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah pembelajaran sikap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan menerima, menyikapi, mengevaluasi, menilai, dan menafsirkan objek dan nilai moral.

  • 2.    Beradaptasi dengan Lingkungan

Para profesional pengajar harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan. Guru yang ingin efektif dalam perannya harus cukup fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan sekolah dan komunitas yang lebih luas. Di lingkungan sekolah, guru harus mampu beradaptasi dengan teman sejawatnya dan anak-anaknya selama pembelajaran. Proses adaptasi terhadap lingkungan kerja seorang guru dianggap sebagai aspek komunikasi yang paling krusial. Citra diri terhubung dengan adaptasi. Guru memahami bahwa pembelajaran itu sangat kompleks karena memerlukan perpaduan aspek psikologis, pedagogi, dan didaktik selain beradaptasi dengan situasi profesional di sekolah dan masyarakat. Aspek pedagogi menunjukkan jika saat

pembelajaran berlangsung di lingkungan pendidikan. Aspek psikologis mengacu pada kenyataan jika siswa sendiri biasanya berkembang secara berbeda dan juga memiliki variasi dalam mempelajari keterampilan motorik, konsep, sikap belajar, dan lain-lain. Di sisi lain, aspek didaktis mengacu pada pengaturan pembelajaran siswa oleh guru.

  • 3.    Berkomunikasi secara Efektif

Kompetensi sosial mencerminkan komunikasi yang efektif. Guru sebagai inspirator serta motivator pada proses pembelajaran memegang peranan penting dalam berkomunikasi yang efektif. Seperti, guru perlu berkomunikasi serta berinteraksi dengan rekan kerja, siswa, serta masyarakat sekitaran. Komunikasi yang efektif dapat dibangun dalam lingkungan sosial, termasuk lingkungan belajar, ketika orang-orang sering percaya dan tidak saling curiga. Komunikasi dianggap efektif jika guru bisa memahami karakteristik masyarakat serta lingkungan. Hubungan antara kolega dan profesional lebih cenderung berdasar pada kebutuhan serta persyaratan yang sama. Beberapa di antaranya mungkin perlu dipertimbangkan ketika membangun hubungan dengan guru lain dan komunitas budaya.

  • 4.    Empatik dan Santun Berkomunikasi

Perilaku empati dan sopan sangat penting saat berkomunikasi. Sikap dan tindakan serabut bahasa menentukan suasana komunikasi. Pak Soecipto menegaskan, guru dianggap profesional jika mempunyai citra di masyarakat. Dia adalah panutan bagi banyak warga negaranya. Komunitas di sini mengacu pada komunitas pendidikan (orang-orang yang aktif dalam dunia pendidikan dan sekolah) dan masyarakat pada umumnya. Bersikap empati dan santun saat memberikan kritik, peringatan, dan nasehat. Suara menjadi alternatif solusi penyampaian kritik, peringatan, dan nasehat. Padahal, empati dan sopan santun adalah cara guru berkomunikasi dengan anak, rekan kerja, serta masyarakat. Oleh karenanya, guru juga memerlukan strategi serta pendekatan yang lebih fokus dan bisa diterima lingkungan pembelajaran.

Ahmadi menyebutkan interaksi akan berjalan lancar jika setiap pihak memaknai pola perilakunya secara sama. Lueck dan Warren mengatakan psikologi sosial sebagai ilmu yang mempelajari aspek psikologis perilaku manusia yang dipengaruhi interaksi sosial. Dari definisi

terebut bisa kita simpulkan jika perubahan perilaku dipengaruhi interaksi sosial. Hal ini terjadi pada saat pembelajaran, karena interaksi guru-siswa menjadikan pembelajaran menjadi efektif dan menarik. Oleh karena itu, salah satu syarat bagi guru yang memiliki keterampilan sosial adalah memiliki pemahaman yang kuat tentang psikologi sosial. Untuk menjamin interaksi guru-siswa yang positif, guru harus menyadari pola perilaku yang ditunjukkan oleh siswanya. Instruktur dapat dengan cepat mengidentifikasi masalah yang muncul pada siswanya. Pada akhirnya, pendidik membantu peserta didik dalam menyelesaikan permasalahan yang menghambat kemampuan mereka untuk belajar secara efektif.

SIMPULAN

Kompetensi sosial pada anak dibentuk oleh lingkungan sekitar, khususnya orang tua dan sekolah, dan dimulai sejak lahir. Kemampuan mengirim dan menerima pesan secara efektif serta menggunakannya merupakan komponen kompetensi sosial. Kompetensi sosial pada anak usia dini meliputi kepribadian, keterampilan sosial, dan hubungan dengan orang dewasa dan teman. Ciri-ciri kepribadian termasuk temperamen, persepsi diri, dan pandangan dunia semuanya berdampak pada kompetensi sosial. Perkembangan anak dipengaruhi secara positif oleh keterampilan sosial. Keterampilan sosial membantu dalam komunikasi yang efektif, prestasi akademik, penyesuaian sekolah, membangun hubungan teman sebaya, dan penciptaan lingkungan belajar yang mendukung.

DAFTAR PUSTAKA

Adristinindya Citra Nur Utami and Santoso Tri Raharjo, “Pola Asuh Orang Tua Dan Kenakalan Remaja,” Focus:   Jurnal

Pekerjaan Sosial 2, no. 1 (2019): h. 155, https://doi.org/10.24198/focus.v2i1.23131

Indriawati, P., Prasetya, K. H., Sinambela, S. M., & Taufan, I. S. 2022. Peran Guru dalam Mengembangkan Kompetensi Sosial pada Anak Usia Dini di TK Cempaka Balikpapan. Edu Cendikia: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 2(03), 521-527.

Rizqiyani, R., & Kholifah, S. N. 2022. Peran Guru Dalam Mengembangkan Sosial Emosional Anak Di Tk Darul Muttaqin Desa Bulu Sari Kecamatan Bumi Ratu Nuban Lampung Tengah. Indonesian Journal of Islamic Golden Age Education (IJIGAEd), 3(1).

Roestiyah NK, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan (Jakarta: Bina Aksara, Cet k IV, 2001), h. 175

Verra, Irzinia. 2021. PERAN ORANG TUA DALAM       MENGEMBANGKAN

KOMPETENSI SOSIAL ANAK USIA DINI.

Yd Opini Populer. 2021. Peran Orang Tua dalam Pengembangan Aspek Sosial-Emosional pada Anak Usia Dini Perkembangan AUD Aspek Sosial-Emosional.

Yessy Nur Endah Sary, “Relationship Of Perenting With Chil Interpersonal Intelegence In Wonokerto Village Lumanjang Regency” 2, no. 2

73