Pendekatan deadification dan pemanfaatan thymolvapor dalam Sistem Administrasi Pengelolaan dan Perawatan Aset Sekolah
on
PUSTAKA VOL. 23, NO. 2 • 155 – 164
p-ISSN: 2528-7508
e-ISSN: 2528-7516
Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022
Pendekatan deadification dan pemanfaatan thymolvapor dalam Sistem Administrasi Pengelolaan dan Perawatan Aset Sekolah
Ronald Jolly Pongantung1), Hascaryo Pramudibyanto2), Cynthia Maria Siwi3), Joutje Moonik4)
1) dan 3) Program Studi Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi FHISIP Universitas Terbuka, dan 2) Program Studi Ilmu Perpustakaan, Jurusan Ilmu Komunikasi FHISIP Universitas Terbuka,
4) Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Pendidikan Dasar FKIP Universitas Terbuka
[email protected], [email protected], [email protected], [email protected] korespondensi: [email protected]
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru dalam memelihara aset sekolah berupa bahan ajar. Bahan ajar merupakan sumber belajar yang harus dijaga kualitasnya agar memiliki usia bertahan lebih panjang. Bahan ajar yang dipelihara dan dikelola dengan baik akan selalu bersih dan dapat dikembalikan ke perpustakaan sekolah dalam kondisi baik, sehingga tata kelola administrasinya pun lebih mudah. Kajian ini diarahkan kepada para guru yang secara langsung memanfaatkan bahan ajar, sehingga mereka pun sebagai penanggung jawab keberlangsungan bahan ajar tersebut. Responden berasal dari unsur guru yang tinggal di pelosok desa, namun dalam kenyataannya mereka memiliki kemudahan akses berupa baiknya kualitas infrastruktur dan jaringan internet, sehingga tidak ada kendala berarti dalam pemerolehan informasi tentang deadification dan pemanfaatan thymolvapor terhadap bahan ajar. Begitu juga dengan keberadaan ventilasi dan alat penyejuk ruangan yang sudah tersedia di ruang kelas, yang sudah mencukupi. Simpulan yang diperoleh yaitu belum ada upaya deadification dan pemanfaatan thymolvapor terhadap bahan ajar karena ketidaktahuan tentang tata cara penggunannya, sehingga diperlukan satu upaya antara lain dengan mengembangkan media brosur berisi himbauan tentang pentingnya pelestarian bahan ajar sebagai aset sekolah.
Kata kunci: bahan ajar, deadification, guru, pelosok desa, thymolvapor
Abstract
This study aims to determine the ability of teachers to maintain school assets in the form of teaching materials. Teaching materials are learning resources that need to be preserved in quality to have a longer lifespan. Well-maintained and managed teaching materials will always be clean and can be returned to the school library in good condition, making the administrative management easier. This study is directed towards teachers who directly utilize teaching materials, thus making them responsible for the sustainability of these teaching materials. Respondents come from rural teachers, but in reality, they have easy access due to the good quality of infrastructure and internet network, resulting in no significant obstacles in obtaining information about the deadification and utilization of thymolvapor on teaching materials. Similarly, the presence of ventilation and room cooling equipment is available in classrooms, meeting the requirements. The conclusion drawn is that there has been no effort in the deadification and utilization of thymolvapor on teaching materials due to the lack of knowledge about its proper usage. Therefore, efforts are needed, such as developing a brochure containing information about the importance of preserving teaching materials as school assets.
Keywords: teaching materials, deadification, teachers, rural areas, thymolvapor
PENDAHULUAN
Aset berupa koleksi perpustakaan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung proses belajar-mengajar dan pengembangan intelektual. Sistem pengelolaan, pengendalian, dan administrasi aset sekolah, khususnya koleksi perpustakaan, telah menjadi sorotan dalam upaya
meningkatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Artikel ini bertujuan untuk melakukan analisis mendalam terhadap sistem pengelolaan, pengendalian, dan administrasi aset sekolah, dengan fokus pada koleksi perpustakaan. Perpustakaan sebagai sarana penunjang pendidikan memegang peranan kunci dalam
mengembangkan minat baca, pengetahuan, dan keterampilan siswa. Namun, pengelolaan koleksi perpustakaan tidak hanya tentang penyediaan buku semata, tetapi juga melibatkan perencanaan, pengadaan, pengorganisasian, pemeliharaan, dan penyediaan akses yang efektif terhadap materimateri pembelajaran. Keterbatasan dalam pengelolaan dapat menghambat potensi optimal perpustakaan dalam mendukung proses pendidikan.
Oleh karena itu, analisis sistem pengelolaan ini akan memberikan wawasan mengenai tantangan yang dihadapi dalam menjaga dan mengoptimalkan koleksi perpustakaan di lingkungan sekolah. Pentingnya pengendalian dalam pengelolaan aset perpustakaan juga tidak bisa diabaikan. Pengendalian memastikan bahwa koleksi perpustakaan tetap terjaga, aman, dan dapat diakses dengan baik. Dalam konteks ini, analisis akan menyoroti kebijakan pengamanan koleksi perpustakaan, termasuk upaya pencegahan pencurian dan kerusakan yang mungkin terjadi. Aspek administrasi juga menjadi bagian yang krusial, terutama dalam pengaturan peminjaman, pengembalian, dan pelaporan data terkait penggunaan koleksi perpustakaan. Penanganan administratif yang efisien akan berdampak pada pengalaman pengguna yang lebih baik dan peningkatan kinerja perpustakaan sebagai sumber belajar yang berharga.
Untuk itu perlu ada tinjauan mendalam terhadap metode dan teknologi yang digunakan dalam pengelolaan, pengendalian, dan administrasi koleksi perpustakaan dengan pendekatan deadification dan pemanfaatan thymolvapor. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan sistem basis data, sekolah memiliki peluang untuk membangun sistem yang lebih terstruktur, terotomatisasi, dan terintegrasi dalam manajemen aset perpustakaan. Pengembangan solusi teknologi berbasis digital dapat memberikan solusi untuk mengatasi tantangan pengelolaan, termasuk pengarsipan, pelacakan, dan pelaporan data yang lebih efisien.
Dengan latar belakang ini, artikel ini akan mengulas secara komprehensif analisis terkait sistem pengelolaan, pengendalian, dan administrasi aset sekolah berupa koleksi perpustakaan dengan pendekatan deadification dan pemanfaatan thymolvapor.. Diharapkan analisis ini akan memberikan pandangan yang lebih jelas tentang peran sistem informasi dalam
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan aksesibilitas dalam pengelolaan aset sekolah yang sangat berharga ini.
KAJIAN PUSTAKA
Lundgren (et al., 2015) telah menguraikan empat dimensi pengamatan yang menurut pandangan kami seharusnya menjadi unsur integral dalam lingkup kelas literasi. Dimensi-dimensi ini mencakup pemantauan terhadap aspek emosional anak-anak, penilaian terhadap tingkat pengetahuan yang dimiliki, analisis hubungan interpersonal, serta pemahaman terkait tujuan belajar mereka. Setiap dimensi mengemban peranan yang memiliki kepentingan masing-masing, terutama ketika anak-anak kembali ke lingkungan sekolah setelah menjalani beragam pengalaman selama periode pandemi. Namun demikian, penting untuk diakui bahwa setiap dimensi memiliki relevansi yang sama signifikan dalam rangka memperkaya proses pengajaran, terlepas dari keterkaitannya secara langsung dengan pandemi. Baik dalam rentang waktu singkat atau jangka panjang, sepanjang masa "pasca-pandemi," anak-anak akan terus membawa aspek emosional, pengetahuan, hubungan interpersonal, serta tujuan pribadi mereka ke dalam dinamika pembelajaran di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, guru harus senantiasa mengamati dan memahami bagaimana setiap anak mengaktualisasikan empat dimensi ini secara beragam sesuai dengan karakteristik unik mereka, tanpa terikat pada batasan waktu tertentu.
Begitu juga dengan Aukerman dan Aiello (2023) yang menyatakan bahwa pendidik literasi perlu melibatkan diri dalam jenis observasi yang mungkin dianggap memiliki akar dalam tradisi disiplin yang lebih klasik. Tugas mereka melibatkan peninjauan mendalam terhadap interaksi siswa dengan komponen-komponen literasi yang tautanannya erat dengan tujuan keseluruhan literasi itu sendiri. Dalam proses tersebut, para pendidik perlu mempertimbangkan bagaimana siswa dapat mencapai kemampuan-kemampuan tersebut dengan cara-cara yang paling sesuai dengan karakteristik belajar dan perkembangan unik masing-masing individu. Dengan demikian, observasi yang dilakukan tidak hanya mempertimbangkan dimensi akademis, tetapi juga mengakomodasi aspek-aspek psikologis dan sosial dalam proses pembelajaran literasi. Pemahaman mendalam tentang
keterlibatan siswa dalam ranah literasi ini menjadi kunci dalam mengembangkan pendekatan pengajaran yang efektif dan holistik.
Lebih lanjut Lundgren (et al., 2015) menegaskan bahwa untuk memusatkan perhatian dan mengobservasi anak-anak, terutama dengan penuh keingintahuan dan hormat, adalah tugas yang jauh dari sederhana. Tantangan ini menjadi semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan tugas mengamati anak-anak dengan sikap ingin tahu yang tulus serta rasa hormat yang mencerminkan dalam konteks yang dipenuhi dengan beragam perdebatan dan cerita tentang kehilangan dalam proses pembelajaran. Namun, menghadapi kerumitan ini, bahkan meskipun dengan pendekatan yang mungkin tidak sempurna, adalah sesuatu yang menurut pemahaman para pendidik harus dijalankan sebagai tanggapan terhadap anak-anak yang memiliki dimensi emosional yang bervariasi, kompetensi yang beragam, interaksi sosial yang dinamis, dan tujuan-tujuan yang berbeda di lingkungan pembelajaran. Anak-anak tersebut memiliki hak untuk terlibat dalam aktivitas literasi dengan semangat bermain dan berkerja bersama, dan eksplorasi atas kompleksitas ini perlu ditempuh dalam mengarahkan pendekatan pembelajaran.
Untuk itu, dalam merepresentasikan dan menganalisis dialog yang berkaitan dengan praktik literasi di dalam kelas merefleksikan perkembangan profesional dan pemahaman guru terhadap praktek sehari-hari mereka, pertanyaan penelitian pertama ini berupaya untuk menggali berbagai cara di mana para guru menginternalisasi praktik literasi pribadi mereka (Lundgren et al., 2015). Dari analisis ini, ditemukan bahwa inisiasi interaksi di dalam Literacy Hub, yang diawali oleh para guru, memberi mereka ruang dan kesempatan untuk mengeksplorasi keprihatinan mereka seputar kemampuan literasi para siswa. Temuan tersebut juga mengidentifikasi tantangan yang dihadapi oleh para guru, terutama yang terungkap dalam perbincangan yang tercermin dalam praktik literasi sehari-hari mereka.
Meskipun terdapat keterbatasan literatur penelitian yang membahas pengembangan literasi guru, khususnya dalam konteks literasi lingkungan dan penelitian yang terkait dengannya, kami merasa perlu untuk menjelajahi konsep bahwa keberhasilan dalam mengembangkan literasi siswa terkait erat dengan
tingkat literasi lingkungan dan literasi penelitian yang dimiliki oleh para guru (Kidman & Casinader, 2019). Menjadi literat dalam konteks lingkungan melampaui sekadar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relevan; ini juga mengandalkan disposisi berorientasi ke masa depan. Terlebih lagi, tanpa kombinasi aspek-aspek tersebut, para guru akan menghadapi tantangan dalam mengembangkan literasi lingkungan melalui aktivitas kelas mereka.
Kajian yang dilakukan oleh Dewarle (2014) menggunakan pendekatan wawancara untuk menginvestigasi interaksi antara orang tua dalam mengembangkan literasi pada anak-anak. Kajian ini bertujuan untuk memahami bagaimana peran orang tua dan dukungan yang saling diberikan antara orang tua dan guru dapat memberikan kesempatan berarti bagi perkembangan literasi anak-anak termasuk digunakannya upaya pendekatan deadification dan pemanfaatan thymolvapor. Lebih jauh, penelitian ini menganalisis bagaimana orang tua dapat turut serta dalam proses pendidikan formal untuk memberikan bantuan tambahan kepada anak-anak.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat signifikan bagi komunitas lokal tempat penelitian dilaksanakan, dengan memberikan wawasan berharga yang dapat digunakan untuk merancang program literasi keluarga. Dengan menekankan perspektif orang tua yang sejauh ini masih kurang tereksplorasi dalam penelitian sebelumnya, studi ini memperkaya kerangka penelitian mengenai keterlibatan orang tua dalam pengembangan literasi anak dengan menggunakan pendekatan deadification dan pemanfaatan thymolvapor.
Kajian ini memiliki potensi untuk memberikan kontribusi berharga pada basis pengetahuan yang mendukung kebijakan dan praktik pendidikan. Selain itu, studi ini juga berfungsi sebagai sarana untuk mendorong partisipasi orang tua secara lebih otentik dalam proses pengembangan literasi anak-anak mereka. Dalam konteks ini, pentingnya kolaborasi yang bermakna dengan orang tua diungkapkan, meskipun memahami dinamika ini dan mentransformasikannya ke dalam perspektif kebijakan bisa menjadi tugas yang kompleks. Namun demikian, penting untuk menghindari pandangan yang sekadar bersifat retorika belaka, karena kemampuan literasi anak-anak bisa sangat
tergantung pada kemitraan nyata antara orang tua dan guru.
Bahkan secara keseluruhan Thomas (2016) mengatakan bahwa dukungan gagasan perkembangan literasi anak dapat diperkaya melalui keterlibatan orang tua. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan arah kausalitas dari hubungan antara keterlibatan orang tua dan perkembangan literasi karena sifat asosiatif dari keseluruhan penelitian, hal itu menunjukkan bahwa keterlibatan lebih baik dilakukan melalui keyakinan, aspirasi, dorongan, dan komunikasi orang tua, daripada melalui interaksi guru-orang tua sebagai respons terhadap kinerja buruk dan penerapan praktik pengendalian. Keluarga dari kelompok etnis minoritas dan mereka yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah menghadapi hambatan yang lebih besar terhadap keterlibatan orang tua, namun tampaknya inkonsistensi di antara persepsi orang tua dan guru tentang keterlibatan orang tua memiliki dampak terbesar pada keterlibatan orang tua.
Simpulan yang direkomendasikan oleh Lycke (et al., 2018) memberikan bukti bahwa guru dan siswa memiliki akses ke komputer dan perangkat elektronik lainnya tidak secara langsung mempengaruhi integrasi teknologi guru ke dalam praktik pengajaran, pembelajaran, dan penilaian literasi mereka. Meskipun peserta dalam penelitian ini memiliki akses ke komputer di hampir semua ruang kelas mereka, mereka cenderung menggunakan komputer terutama untuk fungsi non-instruksional. Temuan ini berlawanan langsung dengan ilmu pengetahuan tentang literasi digital di kelas dalam dua hal. Pertama, itu menolak gagasan bahwa sekolah pedesaan tidak memiliki akses ke alat-alat literasi digital, dan kedua, itu menentang gagasan bahwa guru yang memiliki akses ke alat literasi digital akan secara otomatis mengintegrasikan teknologi ini ke dalam praktik kelas mereka.
Penelitian telah menetapkan bahwa ada kesenjangan dalam pemahaman guru tentang bagaimana menggunakan literasi digital secara efektif, terutama aspek sosial penggunaan media dalam pembelajaran. Jika guru tidak memahami bagaimana menggunakan perangkat elektronik akan cocok dengan kurikulum literasi yang ada seperti yang diimplementasikan di kelas mereka, dan jika mereka tidak bersedia atau tidak terinformasi tentang bagaimana beralih ke pendekatan pembelajaran yang lebih sosial,
mereka mungkin menolak membawa alat baru untuk mengajar dan belajar ke dalam aktivitas literasi di kelas.
Di sisi lain, Coskun (2021) menyatakan terdapat beberapa keterbatasan metodologis yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Pertama, temuan dalam penelitian ini dibatasi oleh penggunaan laporan diri ibu mengenai aktivitas literasi yang terjadi di lingkungan rumah. Keterbatasan ini mungkin mempengaruhi hubungan antara persepsi literasi ibu dan pelaksanaan praktik literasi di rumah. Untuk mengatasi hal ini, pengamatan langsung terhadap aktivitas literasi ibu dapat memberikan pemahaman yang lebih akurat mengenai korelasi antara pandangan literasi ibu dan kegiatan yang mereka lakukan. Di samping itu, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan dalam aspek metodologi kualitatifnya. Oleh karena itu, disarankan untuk melanjutkan penelitian dengan pendekatan metode kuantitatif atau pendekatan campuran.
Untuk itu, temuan Quintero (2016) pun menjadi menarik sebab menurutnya pengalaman akademik yang sukses sangat terkait dengan kualitas pengalaman bahasa yang anak-anak alami di rumah dan bagaimana pengalaman itu diperluas di sekolah. Para peneliti, pendidik, dan orang tua telah mengusulkan bahwa lingkungan di rumah adalah sumber yang mungkin dari pengalaman yang dapat meningkatkan perkembangan literasi. Sayangnya, kadang-kadang semangat dan daya tarik untuk membaca dan menulis hilang ketika anak-anak memasuki sekolah karena praktik literasi di kelas yang membosankan dan hanya terbatas pada tulisan tangan atau membaca yang hanya mencakup fonem yang dipelajari anak-anak.
Blixen & Pannell (2020) dalam kajian sebelumnya juga menemukan adanya proses pemeriksaan pekerjaan dan pemikiran dari empat guru serta pendekatan mereka terhadap membaca, yang dipandang dari berbagai landasan teoretis yang telah dan terus membentuk visi dan praktik literasi kritis yang memerdekakan. Pertanyaan yang muncul adalah tentang prospek masa depan dari pendekatan literasi yang cukup radikal ini, karena ketimpangan sosial, struktur institusi yang menindas, dan mode representasi yang dominan saat ini mengalami peninjauan kembali dan reorganisasi yang serius.
Guru-guru dalam kajian ini tidak terlihat sebagai pemimpin yang transformatif, tetapi lebih
setia pada kurikulum dan kebijakan pendidikan tradisional; mereka membawa "tas penuh trik mengajar", tetapi mereka juga individu yang kreatif dan berpikir - profesional yang sejati, yang bersedia belajar lebih banyak dan menginterogasi pandangan mereka sendiri. Guru-guru tersebut menekankan pentingnya kritis, sering kali berusaha membuat koneksi antara teks dan pengalaman pembaca, dan akrab dengan gagasan suara, ideologi, dan kekuasaan. Mereka menguasai meta-bahasa literasi mainstream, mengakui pentingnya memberikan lebih banyak kebebasan pada anak-anak, dan memiliki keyakinan pribadi yang kuat tentang toleransi dan kesetaraan.
METODE
Melalui kajian ini dapat penulis sampaikan temuan penelitian sebagai berikut. Penelitian ini menggunakan bantuan kuesioner yang diisi oleh guru sekolah pada tingkat sekolah dasar, yang tempat bekerjanya acak di seluruh wilayah Indonesia. Daftar pertanyaan penulis susun dalam bentuk kuesioner yang kemudian dibagikan kepada mitra penulis yang berdomisili di pelosok wilayah Indonesia. Hasilnya yang diperoleh tidak begitu banyak jumlah pengirimnya, yaitu dengan beberapa permasalahan antara lain tidak diisinya kuesioner secara lengkap sehingga tidak dapat menunjukkan kondisi sebenarnya.
Responden yang menjawab dan mengirimkan jawaban kuesioner secara utuh berasal yaitu para guru dari wilayah pelosok Kabupaten Kudus dan Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah, Petaling Provinsi Bangka Belitung, Bintan Kijang, Kota Kecamatan Bintan Timur, Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo dan Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur, serta Rinondora dan Serai Provinsi Sulawesi Utara.
Permasalahan lainnya adalah adanya jawaban yang tidak sesuai dengan maksud pertanyaan, sehingga penulis memutuskan untuk tidak mengkategorikannya sebagai bukti penelitian. Meskipun demikian, jumlah jawaban kuesioner yang diterima dan dinyatakan layak untuk dianalisis masih dalam kategori mewakili, yaitu sebanyak 9 responden. Jumlah ini penulis asumsikan sebagai jumlah memadai sebab sebaran respondennya juga ada di pulau-pulau besar di Indonesia, yang masuk pula dalam kategori pelosok desa.
Setelah kuesioner diisi dan dikirimkan kepada akun penulis, selanjutnya hasil isian tersebut dihitung dan dilakukan analisis. Pendekatan yang penulis gunakan adalah kualitatif deskirptif, yaitu dengan melakukan analisis naratif untuk menggambarkan temuan dan kondisi sebenarnya yang terjadi di lingkungan responden. Melalui pendekatan ini, penulis dapat mengetahui hal yang sebenarnya terjadi sehingga dapat menarik simpulan serta memberikan rekomendasi atas temuan yang penulis peroleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti yang sudah disampaikan oleh Thomas (2016) bahwa dalam dunia pendidikan diperlukan dukungan gagasan perkembangan literasi peserta didik yang melibatkan peran orang tua sehingga terjadi kausalitas dan sinergi yang baik antara keterlibatan orang tua dengan perkembangan literasi. Alasan mendasarnya adalah karena sifat asosiatif, yang dapat menunjukkan keterlibatan lebih baik melalui keyakinan, aspirasi, dorongan, dan komunikasi orang tua, daripada melalui interaksi guru-orang tua sebagai respons terhadap kinerja buruk dan penerapan praktik pengendalian. Aspek pengendalian yang dimaksud juga termasuk koleksi bahan ajar yang ada di sekolah. Koleksi bahan ajar termasuk dalam kategori aset sekolah yang kendali administrasi dan pengelolaannya perlu ditata secara baik.
Responden dalam kajian ini merupakan guru sekolah dasar yang menangani jumlah kelas beragam. Sebanyak 3 orang pada semester ini menangani 4 kelas, 1 orang menangani 2 sampai dengan 4 kelas, serta sebanyak 5 orang mengampu 1 kelas. Terdapat variasi yang signifikan dalam alokasi beban mengajar di antara para pengajar yang menjadi subjek penelitian.
Pertama, lebih dari tiga orang dari kelompok pengajar mengemban tanggung jawab mengajar untuk empat kelas. Fakta ini menunjukkan bahwa sejumlah pengajar mengalami tingkat keterlibatan yang relatif tinggi dalam hal jumlah kelas yang diampu sehingga bahan ajarnya pun akan lebih sering digunakan. Beban mengajar empat kelas dalam satu semester menuntut dedikasi dan upaya yang lebih besar dalam persiapan bahan ajar dan pelaksanaan pembelajaran.
Kemudian, terdapat satu individu yang memiliki tugas mengajar antara dua hingga empat kelas. Hal ini mengindikasikan kelompok pengajar dengan tanggung jawab yang sedang, menghadapi variasi jumlah kelas yang diampu. Meskipun beban mengajar ini lebih ringan daripada kelompok sebelumnya, tetap memerlukan pengelolaan waktu yang baik untuk menjaga kualitas pembelajaran di setiap kelas termasuk pengelolaan bahan ajar yang digunakan.
Pada kategori terakhir, terdapat lima orang yang diberikan tanggung jawab untuk mengajar satu kelas saja. Meskipun jumlah siswa dalam kelas ini mencapai lima orang, tetapi tetap menunjukkan fokus pada pembelajaran yang terfokus dan interaksi intensif antara pengajar dan siswa. Pemberian beban mengajar yang lebih terkonsentrasi dapat menciptakan kesempatan untuk memberikan perhatian lebih pada kebutuhan individu siswa.
Hasil analisis untuk kategori pertanyaan kuesioner ini menunjukkan variasi yang signifikan dalam distribusi beban mengajar di antara pengajar yang menjadi subjek penelitian. Pengajar dengan tugas mengajar empat kelas dapat menghadapi tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, sedangkan kelompok yang mengajar satu kelas memiliki kesempatan untuk memberikan perhatian lebih pada setiap siswa sehingga dibutuhkan pola pengelolaan bahan ajar yang lebih baik. Penyusunan strategi manajemen waktu untuk mengelola bahan ajar dan sumber daya yang efektif akan berperan penting dalam menjaga kualitas pembelajaran di semua tingkatan beban mengajar.
Selanjutnya dalam hal lama bekerja di sekolah sebagai guru, sebanyak 8 orang sudah mengajar antara 1 - 3 tahun, dan hanya 1 orang yang sudah mengajar lebih dari 10 tahun. Kategori pertanyaan kuesioner ini menunjukkan bahwa ada 8 individu yang telah mengajar di sekolah dalam rentang waktu 1 hingga 3 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa pada saat penelitian dilakukan, tidak ada pengajar yang baru bergabung dalam profesi pendidikan dalam jangka waktu tersebut. Kajian ini juga menemukan bukti bahwa ada satu orang yang telah mengajar lebih dari 10 tahun. Faktor ini menyoroti adanya individu dengan pengalaman mengajar yang luas, yang seharusnya telah mengembangkan pemahaman mendalam tentang dinamika pembelajaran dan perubahan dalam
lingkungan sekolah selama bertahun-tahun termasuk dalam hal pengelolaan bahan ajar.
Meskipun setiap periode pengalaman memiliki karakteristik unik, perlu diperhatikan bahwa pengalaman jangka panjang seharusnya membawa pemahaman mendalam mengenai praktik terbaik dalam pembelajaran dan pengajaran. Di sisi lain, pengalaman pengajar yang masih dalam tahap awal juga merupakan elemen penting dalam perkembangan profesi pendidikan. Pengembangan pengalaman ini dapat memberikan wawasan yang lebih baik mengenai adaptasi dan tantangan yang dihadapi oleh pengajar baru dalam dunia pendidikan.
Ditinjau dari sisi jarak antara sekolah dengan pusat kota terdekat atau pusaqt keramaian terdapat sebanyak 6 orang yang rumahnya berjarak 1 - 5 km dari pusat keramaian, sebanyak 2 orang berjarak lebih dari 10 km, dan sebanyak 1 orang berjarak 6 - 10 km dari pusat kota. Temuan ini mencerminkan variasi jarak geografis yang signifikan antara lokasi sekolah dan pusat kota terdekat, serta implikasinya terhadap partisipasi individu yang menjadi subjek penelitian.
Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar subjek penelitian berada dalam radius yang cukup dekat dengan pusat kota. Keberadaan mereka yang relatif dekat dengan pusat kota mungkin memberikan aksesibilitas yang lebih mudah terhadap fasilitas dan sumber daya yang tersedia di pusat kota sehingga apabila ada kebutuhan tertentu untuk mengelola bahan ajar pun lebih mudah. Berbeda dengan responden yang rumahnya jauh dari pusat keramaian sehingga berpengaruh terhadap kemudahan dalam mengakses berbagai layanan dan aktivitas di kota.
Untuk itu, jarak geografis ini sangat mempengaruhi aksesibilitas dan keterlibatan individu terhadap berbagai kegiatan dan fasilitas di pusat kota. Adanya jarak yang lebih dekat mungkin memberikan manfaat dalam hal akses, sementara individu yang berada dalam jarak yang lebih jauh mungkin perlu mengatasi tantangan tambahan dalam aksesibilitas dalam mengelola bahan ajar. Di samping itu, individu yang berada dalam jarak moderat juga perlu mempertimbangkan aspek aksesibilitas dalam partisipasinya dalam berbagai aktivitas di pusat kota.
Begitu juga dalam hal waktu tempuh menuju lokasi keramaian, seluruh responden
memiliki kemampuan waktu kurang dari 1 jam untuk menuju pusat keramaian. Kecepatan dalam mencapai lokasi keramaian ini dapat memberikan aksesibilitas yang memadai terhadap berbagai aktivitas dan fasilitas untuk mengelola bahan ajar yang tersedia di lokasi tersebut, yang juga didukung oleh kondisi infrastruktur berupa jalan. Sebagai bukti, sebanyak 4 orang menyatakan bahwa kondisi infrastruktur di dearahnya masuk kategori sedang, 3 orang menyatakan baik sekali, sedangkan sebanyak 2 orang menyatakan dalam kondisi baik.
Analisis ini mencerminkan persepsi responden tentang kondisi jalan yang menghubungkan wilayah tersebut dengan pusat kota atau lokasi keramaian, sehingga implikasinya terhadap mobilitas dan aksesibilitas dalam mengelola bahan ajar pun seharusnya lebih mudah. Hal ini dialami oleh 7 responden yang infrastruktur di wilayahnya masuk kategori baik dan baik sekali.
Dengan kondisi infrastruktur yang demikian, bukan berarti responden wilayahnya aman dari bencana alam, sebab sebanyak 1 orang wilayahnya relatif sering mengalami longsor, 1 orang sering mengalami banjir. Hal inilah yang kadang menghambat mereka jika harus mengelola bahan ajar sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun demikian, untuk mendukung mobilitas mereka, sebanyak 8 responden sudah memiliki sepeda motor sehingga untuk melakukan perjalanan ke arah pusat keramaian relatif lebih mudah, jika harus memenuhi kebutuhan untuk mengelola bahan ajar.
Hal ini makin diperkuat oleh kemampuan dan kualitas jaringan telekomunikasi atau internet yang dialami oleh 3 orang responden. Ketiganya memiliki kualitas jaringan internet dalam kategori sedang, dan 5 orang dalam kategori baik, namun ada 1 orang yang kondisi internetnya buruk. Dengan dukungan kemampuan internet yang baik, mayoritas responden seharusnya lebih mudah dalam mengakseas informasi tentang tata cara mengelola bahan ajar melalui informasi di media sosial. Dukungan fasilitas umum pun semakin baik dengan terpenuhinya aliran listrik di wilayah mereka. Sebanyak 7 orang responden mengakui bahwa wilayahnya relatif jarang mengalami pemadaman listrik, sedangkan 1 orang mengaku tidak pernah mengalami pemadaman listrik.
Hal ini memperkuat keyakinan penulis bahwa seluruh responden seharusnya lebih mudah mengakses internet dengan dukungan listrik yang bagus, sehingga mereka pun seharusnya lebih mudah mendapatkan informasi tentang cara mengelola bahan ajar. Pengakuan responden juga didominasi oleh pernyataan bahwa jaringan internet di wilayah mereka yang stabil dalam situasi cuaca apapun.
Demikian halnya dengan kemudahan dalam memperoleh sinyal antena TV dan radio, yang seluruh responden mengakui kemudahan hal ini. Analisis ini mencerminkan konsistensi pengalaman positif dari seluruh responden terkait aksesibilitas terhadap siaran televisi dan radio, dan kami akan menganalisis implikasinya terhadap konektivitas media. Temuan ini juga menggambarkan keseragaman persepsi positif di antara seluruh responden terkait kemudahan dalam mengakses siaran media melalui antena TV dan radio termasuk informasi tentang tata cara mengelola bahan ajar.
Hal lain yang memperkuat temuan penulis yaitu bukti bahwa seluruh guru yang bekerja di sekolah ini memiliki bahan ajar atau buku sebagai pegangan ampuan mata pelajaran. Ini artinya, seluruh guru wajib memelihara buku pelajaran tersebut sebagai aset atau inventaris sekolah. Mereka juga mendapatkan petunjuk sistem administrasi dan penggunaan buku apabila sudah selesai digunakan, termasuk di dalamnya merawat buku dengan baik.
Jumlah buku yang menjadi pegangan guru pun beragam, yaitu sebanyak 7 orang guru mendapatkan 5 buah buku, sedangkan 2 orang guru lainnya jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan sekolah antarta 2 hingga 5 buah buku.
Untuk menjaga kualitas buku pelajaran sebagai koleksi perpustakaan sekolah, suhu ruang kelas pun harus diperhatikan. Dari 5 orang responden yang berprofesi sebagai guru, diketahui bahwa suhu ruangan kelas termasuk sejuk. Mereka menjelaskan bahwa walaupun cuaca di luar ruang kelas terasa panas, namun kondisi udara di dalam kelas masih sejuk sebab terdapat puluhan pohon besar yang mengelilingi lapangan sekolah. Sementara itu sebanyak 4 orang responden mengatakan bahwa ruang kelasnya terasa panas, yang antara lain disebabkan oleh faktor lokasi sekolah yang berada di pinggir jalan raya serta tidak adanya pohon pelindung.
Analisis ini akan menggambarkan sejauh mana respons dan tanggapan responden terhadap kualitas lingkungan kelas yang memengaruhi proses pembelajaran, termasuk dalam menjaga kualitas buku ajar. Meskipun demikian, temuan ini juga mencerminkan persepsi positif tentang kualitas lingkungan kelas yang mendukung suasana pembelajaran yang nyaman. Kondisi suhu yang sejuk di dalam ruang kelas dapat berkontribusi pada konsentrasi siswa dan efektivitas pembelajaran, walaupun ada juga responden yang menghadapi tantangan dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang nyaman akibat suhu ruangan yang terlalu tinggi. Kondisi suhu yang panas dapat berdampak negatif pada kenyamanan siswa dan fokus dalam proses pembelajaran.
Penting untuk mengakui bahwa persepsi mengenai kondisi suhu ruang kelas dapat memengaruhi kualitas pengajaran dan pembelajaran sehingga kualitas buku ajar yang ada di dalam kelas pun harus diperhatikan cara perawatan dan pengelolaannya. Secara keseluruhan, temuan ini menggambarkan variasi dalam persepsi responden mengenai kondisi suhu ruang kelas. Meskipun mayoritas responden menganggap suhu ruangan yang sejuk sebagai kondisi yang memadai, penting bagi para guru untuk memantau dan mengelola suhu ruang kelas agar mendukung kenyamanan dan efektivitas pembelajaran termasuk menjaga kualitas bahan ajar.
Pengakuan lainnya dari responden adalah adanya ventilasi udara di ruang kelas. Seluruh responden menyatakan bahwa terdapat ventilasi udara yang jumlahnya beragam, mulai dari 5 hingga 6 buah jendela, dan ada pula yang memiliki ventilas sebanyak 7 buah jendela. Walaupun demikian sebanyak 2 responden mengakui bahw ruang kelasnya hanya memikliki 2 hingga 4 buah jendela.
Analisis ini akan menggambarkan peran penting ventilasi dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang sehat dan nyaman. Semua responden dalam penelitian ini menyatakan adanya ventilasi berupa jendela di ruang kelasnya. Hasil ini menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki akses terhadap sirkulasi udara yang berasal dari ventilasi jendela di dalam kelas. Ketersediaan ventilasi berupa jendela memiliki dampak signifikan pada kualitas udara dalam ruangan dan dapat memengaruhi kenyamanan siswa dan guru selama proses
pembelajaran termasuk menjaga kualitas bahan ajar.
Ketersediaan ventilasi di ruang kelas adalah faktor penting dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang sehat. Ventilasi yang baik memastikan pergantian udara segar dan mengurangi resiko terjadinya penumpukan udara kotor atau berkurangnya oksigen dalam ruangan. Oleh karena itu, kondisi ventilasi yang memadai dapat berkontribusi pada kesejahteraan fisik dan konsentrasi siswa, guru, serta aset-aset sekolah.
Dari jumlah jendela yang ada di kelas, posisinya pun sudah sangat baik yaitu sebanyak 8 responden mengatakan bahwa posisi jendela ruang kelasnya menghadap ke arah kebun atau lapangan, namun hanya 1 orang responden yang posisi jendela ruang kelasnya menghadap rumah warga. Terkait arah orientasi jendela ruang kelas analisis tentang hal ini menunjukkan adanya perhatian terhadap aspek visual yang dapat mempengaruhi atmosfer belajar. Arah jendela yang menghadap ke ruang terbuka seperti kebun atau lapangan dapat memberikan pemandangan alami yang menarik, serta memungkinkan cahaya alami dan pandangan luar masuk ke dalam ruangan. Dengan adanya kondisi ini maka suasana belajar dan aset sekolah akan tercipta dan terjaga dengan baik.
Sebaliknya, satu responden melaporkan bahwa jendela di kelasnya menghadap rumah warga. Temuan ini mengilustrasikan variasi dalam arah orientasi jendela yang mungkin memberikan pandangan yang berbeda terhadap lingkungan sekitar. Meskipun pandangan yang dihadirkan dapat bervariasi, penting bagi desain ruang kelas untuk memastikan bahwa pandangan dari jendela diharapkan tidak mengganggu kenyamanan belajar siswa. Namun secara keseluruhan, temuan ini memberikan gambaran tentang variasi dalam arah orientasi jendela di ruang kelas. Pilihan arah orientasi jendela dapat memengaruhi kualitas visual dan pengalaman belajar siswa. Oleh karena itu, dalam merancang dan mengatur tata letak ruang kelas, pertimbangan terhadap arah orientasi jendela serta pandangan yang dihasilkan dapat berkontribusi pada menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan nyaman.
Akibat kondisi ini pula, sebanyak 7 orang responden mengakui bahwa kualitas sirkulasi udara di kelas sudah bagus, walaupun 2 orang responden lainnya mengatakan perlu ada pembenahan. Khusus untuk mengharapkan ada
pembenahan, mereka berdua memberikan argumentasi bahwa kurangnya tanaman atau pohon besar di lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas udara. Meskipun kualitas sirkulasi udara sudah sejuk, namun sebanyak 7 responden mengakui bahwa di ruang kelasnya terdapat alat pendingin ruangan berup kipas angin, sedangkan 2 responden lainnya mengakui tidak ada kipas angin di ruang kelas. Jumlah kipas anginnya pun beragam, yaitu 4 responden mengatakan hanya terdapat 1 buah, 3 responden menyebutkan 2 buah, sementara2 responden lainnya mengatakan tidak ada kipas angin.
Temuan berikutnya yaitu terkait proses deadification. Proses ini merupakan sebuah upaya pelestarian arsip sekolah dengan cara menghilangkan asam pada lembaran kertas yang terdapat pada buku ajar yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk menunjukkan indikasi variasi tentang kesadaran dan pengetahuan responden dalam hal proses deadification. Untuk tiga responden yang menyatakan bahwa mereka tidak melakukan proses deadification pada buku ajar ampuan yang mereka pinjam dari perpustakaan sekolah, ini menunjukkan adanya potensi kerusakan aset sekolah dalam meningkatkan pemahaman dan implementasi praktik pelestarian arsip di kalangan responden.
Untuk lima responden yang mengaku belum mengetahui cara melakukan proses deadification pada buku ajar ampuan, ini menggambarkan kurangnya pengetahuan mengenai teknik pelestarian arsip yang spesifik. Keterbatasan ini akan mempengaruhi upaya untuk menjaga kualitas dan daya tahan buku ajar dalam jangka panjang. Hanya sebanyak satu responden yang menyatakan telah melakukan proses deadification pada buku ajar ampuan. Sebagai simpulannya,. hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dan pengetahuan terhadap metode pelestarian arsip masih relatif rendah di antara responden.
Namun, langkah yang diambil oleh responden ini dapat dinilai sebagai upaya positif dalam mempertahankan integritas materi pembelajaran. Secara keseluruhan, hasil temuan ini menyoroti pentingnya edukasi dan pelatihan terkait pelestarian arsip, terutama dalam konteks proses deadification. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan di kalangan responden dapat mendukung upaya untuk mempertahankan buku ajar ampuan dalam kondisi yang baik dan
bermanfaat dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Ditinjau dari sisi frekuensi terungkap bahwa responden lupa mencatat jumlah proses deadification dalam satu tahun, baik yang dilakukan oleh responden sendiri atau teman sejawatnya. Temuan ini mengindikasikan adanya potensi untuk lebih mengintensifkan pemantauan dan pencatatan terhadap praktik pelestarian arsip. Temuan ini mencerminkan bahwa praktik pelestarian arsip dengan metode deadification masih kurang umum di antara responden yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kesadaran mengenai manfaat dan implementasi teknik ini sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan responden.
Begitu juga dalam hal penggunaan thymolvapor atau kapur barus pengharum untuk mengatur suhu dari kelembapan dan mencegah jamur pada buku ajar. Hasil penelitian menunjukkan variasi dalam hal tingkat pengetahuan dan pemanfaatan thymolvapor di kalangan responden. Sebanyak 2 orang responden mengakui bahwa mereka belum mengetahui atau belum familiar dengan cara menggunakan thymolvapor sebagai pengharum yang dapat mengatur suhu dari kelembapan serta mencegah pertumbuhan jamur pada koleksi buku. Dengan adanya temuan ini, diharapkan ada potensi dan upaya meningkatkan pemahaman mengenai manfaat dan teknik penggunaan thymolvapor sebagai langkah pelestarian koleksi yang lebih efektif.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan thymolvapor sebagai pengharum untuk menjaga kualitas dan kondisi koleksi buku masih belum terlalu umum di kalangan responden. Diperlukan upaya edukasi dan sosialisasi mengenai manfaat serta cara penggunaan thymolvapor sebagai salah satu metode pelestarian yang efektif. Hal ini dapat meningkatkan pemahaman dan penerapan teknik ini dalam upaya menjaga kualitas koleksi buku dan mencegah potensi kerusakan akibat kelembaban dan jamur.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. Bahan ajar yang digunakan oleh guru di kelas, merupakan aset sekolah yang harus dipelihara dengan baik. Ada berbagai cara dan upaya yang dapat dilakukan oleh guru. Ditinjau
dari sisi lokasi tempat tinggal, mayoritas responden berada dalam radius yang dekat dengan pusat keramaian, yang seluruhnya memiliki kualitas jaringan internet sangat mudah untuk diakses.
Hal ini menjadi faktor penguat kesadaran para guru untuk mengetahui teknik atau cara memelihara aset sekolah. Mereka pun sangat mudah mendapatkan informasi tentang tata cara pengelolaan bahan ajar, sehingga untuk membeli atau mendapatkannya pun sangat mudah sebab lokasi dan kondisi infrastruktur berupa jalan yang sudah baik. Akan tetapi, kesadaran untuk menjaga dan memelihara bahan ajar sebagai aset sekolah masih perlu ditingkatkan, termasuk dalam hal deadification dan penggunaan thymolvapor.
Atas dasar simpulan tersebut, penulis mengajukan saran kepada institusi pendidikan, khususnya bagi guru sekolah agar dilibatkan dan diberikan pelatihan mengenai deadification dan penggunaan thymolvapor agar bahan ajar sebagai aset sekolah memiliki kualitas baik dan dapat digunakan dalam jangka waktu lama. Model pelatihan yang disarankan tidak selalu dalam bentuk pertemuan, namun bisa dengan memberikan brosur berisi himbauan deadification dan penggunaan thymolvapor kepada para guru. Di samping itu, sekolah juga perlu menyusun usulan anggaran pengadaan materi thymolvapor sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian aset sekolah.
Daftar Pustaka
Aukerman, M., & Aiello, L. (2023). Beyond
“Learning Loss:” Literacy Teacher Noticing in a Post-Pandemic World. Language and Literacy, 25(1), 8–31. https://doi.org/10.20360/langandlit29653
Blixen, T. B., & Pannell, J. (2020). Teachers’ understanding and enactment of critical
literacy–A lack of unified teaching method. Cogent Education, 7(1).
https://doi.org/10.1080/2331186X.2020.182 6073
Coskun, L. (2021). Mothers’ views and home literacy practices on children literacy skills acquisition: A qualitative study. Research in Pedagogy, 11(2), 468–482.
https://doi.org/10.5937/istrped2102468c
Dewarle, J. (2014). Parent-Teacher Collaboration: Sharing Knowledge To Support a Child’S Literacy Development. 53(9), 1689–1699.
Kidman, G., & Casinader, N. (2019). Developing teachers’ environmental literacy through inquiry-based practices. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 15(6).
https://doi.org/10.29333/ejmste/103065
Lundgren, B., Scheckle, E., & Zinn, D. (2015). Teachers’ professional development: Awareness of literacy practices. South African Journal of Education, 35(1), 1–11. https://doi.org/10.15700/201503062347
Lycke, K. L., Hurd, E., & Husband, T. (2018). Rural Teachers’ Literacy Practices In and Out of the Classroom: Exploring Teacher Characteristics and Literacy Tools. The Rural Educator, 36(3).
https://doi.org/10.35608/ruraled.v36i3.303
Quintero, L. M. (2016). School Literacy Practices Closer to Home: the New Challenge of Literacy Learning. Colombian Applied Linguistics Journal, 8, 216.
https://doi.org/10.14483/22487085.10513
Thomas, J. (2016). Presenting a United Front: Parental Involvement Facilitating Children’s Literacy Development. Journal of Initial Teacher Inquiry, 2.
164
Discussion and feedback